Menunggu Ulil Jilid Dua

Selamat ulang tahun untuk sahabat saya, Ulil Abshar Abdalla semoga selalu sehat, dan terus menginspirasi. Sebagai kado ultah kali ini saya persembahkan sebuah kolom berjudul “Menunggu Ulil Jilid Dua” di Geotimes.co
Selamat membaca.

Mawar dan Pedang

Dr. Neng Dara Affiah adalah seorang aktivis gender. Pemikirannya dipengaruhi oleh Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid, khususnya dalam gagasan toleransi dan kebebasan beragama. Ketika puisi ini saya posting di FB dan grup WA Cak Nurian, ia senang sekali, dan mengatakan bahwa puisi ini akan dibingkai dan digantung di dinding rumahnya. Selamat ultah, teteh. Semoga perjuanganmu menjadi inspirasi bagi adik-adik di generasimu. – Gaus

 

Melampaui Nurcholish Madjid

MELAMPAUI NURCHOLISH MADJID

Diam-diam, wacana Islam liberal terus menyeruak dan mengambil bentuk yang kian beragam. Islam liberal ala Nurcholish Madjid tahun 1970-an sudah dianggap kuno. Bahkan kerangka pikir Cak Nur konon sudah tidak bisa lagi digunakan karena sudah obsolet. Kini telah lahir generasi post Cak Nur yang lebih progresif, lebih liberal, selain murid-murid Cak Nur yang lain yang makin bergeser ke kanan dan menjadi pendukung gerakan-gerakan sektarian.

Bagaimana ceritanya? Yuk kita ngupi bareng di acara ini. Kita akan ngerumpi santai tentang murid-murid ideologis Cak Nur yang tercerai berai dalam berbagai sekte dan golongan. 😁

 

 

PASSING OVER: Ziarah Spiritual ala Budhy Munawar-Rachman

 

PASSING OVER: Ziarah Spiritual ala Budhy Munawar-Rachman

Oleh: Ahmad Gaus AF

Bagi para peminat kajian filsafat dan teologi, khususnya teologi antar-iman, Dr. Budhy Munawar-Rachman bukanlah nama yang asing. Dalam filsafat, Budhy mencarikan tempat yang memadai bagi filsafat Islam dalam dunia yang didominasi oleh filsafat Barat. Di kampus-kampus Islam ia mengajar filsafat Barat, di kampus umum ia mengajar filsafat Islam. Itu menunjukkan bahwa otoritasnya di kedua disiplin tersebut memang tidak diragukan.

Dalam teologi, yang dikembangkan oleh Budhy bukanlah Ilmu Kalam dalam pengertian tradisionalnya, bukan juga perbandingan agama (apalagi ini), melainkan perjumpaan agama-agama atau pencarian titik temu agama-agama (kalimatun sawaa) — mengikuti jejak gurunya, Nurcholish Madjid (Cak Nur). Dalam wacana keagamaan (Islam), Budhy memang menjadikan Cak Nur sebagai referensi utamanya, karena merasa cocok dengan posisi pemikirannya sendiri yang bercorak progresif. Budhy juga aktif mengembangkan pikiran-pikiran Cak Nur dengan bahan-bahannya sendiri dari khazanah filsafat timur dan barat.

Posisi Budhy terhadap Cak Nur kurang lebih sama dengan posisi Ibn Rusyd terhadap Aristoteles, yakni sebagai komentator dengan otoritas yang besar. Budhy menulis banyak buku mengenai pemikiran Cak Nur, salah satunya Ensiklopedi Nurcholish Madjid setebal 4000 halaman (4 jilid). Walaupun berguru secara kaffah kepada Cak Nur, bukan berarti Budhy tidak mengembangkan pemikiran sendiri. Sumbangannya yang terpenting ialah gagasan “passing over“, yang dapat disebut sebagai post-Caknurian. Melalui gagasan ini, Budhy menghadirkan harta karun yang terpendam dari agama-agama dan tradisi spiritualitas, dan sekaligus menawarkan peta jalan baru bagi perjumpaan agama-agama.

Passing over ialah “menyebrang dari satu budaya ke budaya yang lain, dari satu agama ke agama yang lain.” Yang dimaksud ‘menyebrang’ di sini bukan murtad atau menjadi muallaf, justru ini sangat dihindari, melainkan menyelam ke jantung tradisi agama/kepercayaan lain dan membuka diri untuk diperkaya oleh agama/kepercayaan lain tersebut. Jadi semacam ziarah spiritual. Dan sebagai ziarah, maka pada gilirannya proses ini diakhiri dengan gerakan kembali ke agama semula, namun dengan insight yang baru. Begitulah passing over. Dari situ akan diperoleh pengalaman-pengalaman rahasia yang bersifat mistik-spiritual.

Budhy bukan hanya berwacana. Dia sendiri yang memberi contoh (praktik) bahwa passing over itu bisa dilakukan, bahkan perlu, untuk memperkaya pengalaman religius dan spiritualitas, serta mencairkan hubungan antaragama yang membeku, bahkan cenderung mengeras akhir-akhir ini.

Para pemikir dan mistikus besar pada umumnya melakukan passing over sebelum mencapai pencerahan, sebut saja Mahatma Gandhi, yang melakukan passing over ke Kristen dan Islam, dengan tetap sebagai Hindu. Juga tokoh-tokoh seperti Louis Massignon, Henry Corbin, W.C. Smith, Sachiko Murata, William Chittick, Huston Smith, dan yang lainnya, melakukan passing over.

Budhy sendiri, setahu saya melakukan passing over ke Hindu, Katolik, Tao, dan Perenialisme. Budhy mengunjungi pusat-pusat spiritual di Tibet dan India, berguru di Brahma Kumaris, mengalami misa, praktik meditasi, Taichi, dll. Setelah menyebrang, Budhy kembali ke agamanya semula dengan pencerahan. Tidak menjadi muallaf Hindu, Katolik, atau lainnya. Budhy tetap seorang muslim yang saleh. Terakhir malah saya lihat dia menjadi khatib salat jumat pada Ramadan kemarin.

Istilah passing over berasal dari John S. Dunne, profesor teologi di Universitas Notre Dame (AS). Namun praktiknya telah dilakukan oleh para mistikus/sufi di masa lalu. Di Indonesia mungkin banyak juga yang melakukan itu, saya tidak tahu, tapi sejauh ini Budhy Munawar-Rachman lah yang merupakan konseptor sekaligus model atau prototipenya.

Dengan jaringan yang luas sebagai intelektual-aktivis, gagasan Budhy mengenai passing over memiliki pengaruh yang cukup mendalam di kalangan anak muda, satu generasi di bawahnya. Artinya, banyak anak muda yang mengikuti jejaknya. Ini jelas tidak bisa diabaikan, karena merupakan kontribusi penting bagi perjumpaan agama-agama dan dialog antar-iman di Indonesia, saat ini dan masa depan.

Melalui gagasan passing over Budhy juga menempati posisi yang unik dalam peta pemikiran dan diskursus keagamaan di tanah air. Tidak banyak orang seperti dia. Jika kalangan lintas agama ingin agama mereka dibicarakan oleh pihak luar, maka Budhy lah yang akan diundang. Bukan saja karena Budhy memiliki pengetahuan yang cukup tentang agama mereka, melainkan juga karena mereka menaruh kepercayaan kepada Budhy yang selalu menebar karma baik, dalam ucapan, pikiran, dan tindakan.

Terakhir, walaupun Budhy dan saya sama-sama murid Nurcholish Madjid, bukan berarti kami selalu seia sekata. Dalam beberapa segi pemikiran Cak Nur kami sering berbeda pandangan. Bukan karena ego-intelektual, saya kira, tapi karena spektrum pemikiran Cak Nur itu sendiri yang memang sangat terbuka untuk ditafsirkan. Tapi walaupun sering berbeda pendapat, kami tidak pernah saling mengkafirkan, hehe.. Selamat ulang tahun, Budhy (22 Juni), doa-doa terbaik mengiringimu.

Catatan:

1. Tulisan Budhy Munawar-Rachman mengenai Passing Over dapat dibaca dalam bukunya, Islam Pluralis (Rajawali Press, 2004)

2. Saya dan Prof Komaruddin Hidayat pernah menyusun buku antologi lintas agama. Dan atas saran Budhy, buku itu diberi judul “Passing Over: Melintasi Batas Agama” (Gramedia, 1999, 2004)

Salam
AHMAD GAUS AF
Penulis dan editor, berkhidmat di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Depok.

Tulisan ini sudah tayang di geotimes.id kemarin (21/06). Pemuatannya kembali di sini dan di FB atas izin redaksi dan tanpa perubahan.

https://geotimes.id/kolom/passing-over-ziarah-spiritual-ala-budhy-munawar-rachman/

 

Islam Peradaban versi Cak Nur

 
 
CAK NUR DAN ISLAM PERADABAN
 
 
Selamat ulang tahun ke-82 untuk Cak Nur (Nurcholish Madjid). Pemikir sejati tidak pernah mati !!
 
Cak Nur merupakan sosok yang fenomenal, sekaligus juga kontroversial, karena pikiran-pikirannya berbeda dari kebanyakan orang. Ia melawan arus, mengagetkan, dan membuat guncangan yang besar. Hal itu menunjukkan pengaruhnya yang penting. Kata cendekiawan Muhammadiyah, Dr. Moeslim Abdurrahman (alm), pikiran-pikiran keislaman yang berkembang di Indonesia sejak tahun 1970-an hanyalah catatan kaki dari pemikiran Nucholish Madjid.
 
Mengapa Cak Nur menempati posisi yang begitu penting dalam diskursus keislaman di Indonesia? Pertama, tentu saja masalah otoritas. Ia tumbuh di lingkungan pesantren, kuliah di IAIN, dan belajar kepada maha guru Islam Prof Fazlur Rahman di Universitas Chicago. Karya-karya intelektualnya memperlihatkan otoritas tersebut. Kedua, dia memikirkan hal-hal yang tidak dipikirkan/ tidak terpikirkan oleh orang lain. Dia pemikir sejati. Di antara tembok-tembok komunalisme yang menguat di kalangan Islam, Cak Nur mengetengahkan Islam sebagai ajaran fitrah, ajaran hanif, yang bersifat terbuka, dan lintas batas.
 
Itu yang sekarang hilang. Islam sekadar menjadi kategori sosiologis yang sempit, dan makin dibuat sempit oleh kecenderungan fanatik, fundamentalistik dan ototiter dalam memahami agama. Padahal kata Cak Nur, mengutip hadis Nabi, sebaik-baik agama di sisi Allah adalah al-hanifiyyat as-samhah, yakni upaya terus menerus mencari kebenaran dengan lapang dada, toleran, tanpa kefanatikan, dan tidak membelenggu jiwa.
 
Manusia tidak boleh terpenjara di dalam kotak-kotak yang sempit. Sebab Islam itu rahmatan lil alamin. Kebaikan untuk semua. Maka salah satu kritik Cak Nur yang paling keras ialah terhadap komunalisme (seperti partai Islam, negara Islam, ideologi Islam, dsb). Karena di dalam kotak komunalisme semacam itu Islam menjadi sempit. Padahal Islam adalah rahmatan lil alamin.
 
Gagasan sekularisasi Cak Nur terkait dengan pandangan ini. Jadi yang dimaksud sekularisasi oleh Cak Nur ialah tauhid tapi dalam bahasa sosiologi. Tauhid yang benar ialah menduniawikan hal-hal yang memang bersifat duniawi (seperti ideologi, negara, partai) dan tidak mensakralkannya.
 
Ketiga, Cak Nur berani mengangkat perkara-perkara yang tidak diangkat oleh orang lain, oleh ulama lain. Ia adalah pemikir Islam pertama di Indonesia yang berani “membunyikan” ayat-ayat toleransi. Selama ini ayat-ayat toleransi dalam al-Quran ditelantarkan, dianggap tidak ada, atau disembunyikan karena kepentingan-kepentingan tertentu. Banyak sekali ayat-ayat yang berhubungan dengan toleransi agama di dalam al-Quran, tapi orang tahunya cuma satu, yaitu lakum dinukum waliyadin.
 
Mengapa? Karena para mubaligh menyampaikannya hanya itu.
Padahal lakum dinukum itu bukan ayat toleransi. Itu ayat tentang menyembah Tuhan. Kalau Cak Nur berbicara mengenai toleransi maka ia mengutip al-Baqarah 62, al-Maidah 69, Ass-Syura 13, dsb.
 
Karena orang salah memilih dalil, maka setiap kali bicara toleransi, justru yang terjadi ialah menutup kemungkinan lahirnya sikap-sikap toleran. Akibatnya adalah lahirnya kesadaran palsu tentang toleransi. Toleransi menjadi ajaran pinggiran yang dianggap tidak penting. Cak Nur mengingatkan bahwa toleransi adalah ajaran pokok dalam Islam karena semangatnya bertebaran dalam al-Quran. Bahkan juga terkandung di dalam rukun iman yang enam. Jadi toleransi adalah bagian integral dari keimanan itu sendiri.
 
“Islam Peradaban”
 
Dengan pandangan toleransi semacam itu, maka di tangan Cak Nur Islam menjadi agama yang sangat humanis. Biarkan orang beriman atau tidak sesuai dengan pilihan bebas mereka (Q18:29). Sebab, iman hanya bermakna kalau lahir dari kebebasan, bukan dipaksa. Bukan wewenang manusia untuk menghukumi mereka sesat, itu urusan Tuhan. Urusan manusia adalah fastabiqul khairat, berlomba-lomba dalam kebaikan.
 
Ketika Cak Nur bicara toleransi maka yang ia bicarakan ialah kemungkinan mengembangkan doktrin toleransi itu sejauh yang dimungkinkan oleh al-Quran sehingga menjadi upaya emansipasi. Kata-katanya yang sering dikutip adalah: “Semakin dekat orang Islam pada al-Quran maka ia semakin toleran; semakin jauh dari al-Quran maka ia semakin tidak toleran.”
 
Islam yang dikembangkan oleh Cak Nur ialah Islam Peradaban yang agung, yang terbuka; bukan Islam syariah yang parsial dan tertutup, apalagi Islam politik yang partisan. Pikiran-pikiran Cak Nur saat ini tumbuh subur dan berkembang di kalangan kaum muda lintas agama. Sedangkan di kampus-kampus Islam saya kira kurang dieksplorasi sehingga tidak ada lagi semacam revolusi teologi ala Cak Nur.
 
Yang terjadi justru kampus-kampus sekarang semakin gandrung kembali ke syariah semata-mata karena “pasar”, tanpa visi keislaman yang jelas dan komprehensif karena tidak mengerti Islam ini mau dibawa ke mana, kecuali ke perkara halal dan haram. Alangkah jauhnya. Haihaata, haihaata.. !!
 
Salam Peradaban,
 
Ahmad Gaus
Penulis buku “Api Islam Nurcholish Madjid”, Peneliti CSRC UIN Jakarta, dosen Bahasa dan Budaya, Swiss German University (SGU), Tangerang.
 
Tulisan ini didedikasikan untuk mengenang almarhum Nurcholish Madjid yang lahir pada tanggal/hari ini (17 Maret).
 
Versi lengkap dari tulisan saya di atas dimuat pagi ini di Geotimes, berikut saya seratakan link-nya:
 
Apabila anda merasa tulisan ini bermanfaat, mohon di-share. Terima kasih
 
 
 
 

SARJANA TUA

Ini bukan lagu satire Iwan Fals yang menohok sarjana muda pencari kerja setelah empat tahun lamanya bergelut dengan buku, dan ternyata ijazahnya sia-sia…!!

Ini sarjana tua yang benar-benar menghabiskan waktu belasan tahun lamanya hanya untuk meraih gelar es dua.

Alhamdulillah ala kulli hal..

391A8205

Foto: Prosesi wisuda saya pada 27 April 2019 di Auditorium  Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina, Jakarta, oleh Rektor Prof Dr Firmansjah.

Barangkali ada yang penasaran dengan tesis saya, berikut adalah abstraknya

GERAKAN PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM NURCHOLISH MADJID DAN PARA PENERUSNYA: Analisis Wacana Kritis atas Lahirnya Gerakan Post-Pembaruan.

“Gerakan pembaruan pemikiran Islam yang dipelopori oleh Nurcholish Madjid pada dasawarsa 1970-an dan 1990-an menegaskan dua agenda utama yaitu: pembaruan teologi politik dan pembaruan keimanan. Penelitian ini ingin melihat bagaimana gerakan tersebut terbentuk, sejauhmana ia mampu memengaruhi wacana publik pada masanya dan masa sesudahnya, dan mampukah ia melahirkan gerakan penerusnya, atau gerakan yang melampauinya baik dari segi bentuk maupun substansinya.”

“Penelitian ini menggunakan metode analisis wacana kritis (critical discourse analysis). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Nurcholish Madjid telah berhasil dengan gemilang membangun praktik diskursif yang membuat gerakan dan agenda pembaruannya menjadi wacana dominan dan memberi pengaruh yang sangat besar baik dalam debat publik keagamaan selama tiga dasawarsa terakhir maupun dalam kehidupan sosial politik dan keagamaan kaum Muslim. Selain itu, gerakan ini juga telah melahirkan generasi penerus di masa ketika formasi-formasi diskursif telah berubah, relasi-relasi kuasa diruntuhkan, dan kebenaran dikondisikan kembali.”

“Generasi ini melanjutkan dan sekaligus merevisi beberapa bagian dari gagasan pembaruan Nurcholish melalui strategi diskursif yang berbeda, sehingga dapat disebut sebagai gerakan Post-Pembaruan.”

Kata Kunci: Gerakan Pembaruan, Nurcholish Madjid, Analisis Wacana Kritis, Gerakan Post-Pembaruan

Jumlah halaman: 218+ix
Daftar pustaka: 123 (1970 – 2018)

Tesis ini sedang saya kembangkan menjadi sebuah naskah buku. Untuk keperluan itu judulnya saya ubah (lihat daftar isi di bawah). Sengaja saya infokan di sini, siapa tahu ada penerbit yang melihat dan tertarik untuk menerbitkannya. Kalau tidak, ya tidak apa-apa juga. Saya akan simpan saja untuk kenang-kenangan anak-cucu.

Salam hormat
AHMAD GAUS

Outline buku

GERAKAN POST-PEMBARUAN:
Arus Besar Reformasi Pemikiran Islam Pasca Nurcholish Madjid

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

BAB II NURCHOLISH MADJID DAN GERAKAN PEMBARUAN

Pemikiran Islam

Sikap Politik

Gerakan Pembaruan

BAB III DUA AGENDA PEMBARUAN NURCHOLISH MADJID

Pembaruan Teologi Politik

Pembaruan Keimanan

Pengaruh Gerakan Pembaruan

BAB IV GERAKAN POST-PEMBARUAN

Jaringan Islam Liberal

Fiqih Lintas Agama

Membela Kebebasan Beragama

BAB V PEMIKIRAN POST-NURCHOLISH

Tradisi Nurcholishian

Neo-Nurcholishme

Nurcholish Kanan Vs Nurcholish Kiri

Komposisi dan Prospek Nurcholish Tengah

Para Pemikir Post-Nurcholish

BAB VI PENUTUP

Kesimpulan dan Rekomendasi

Note:

Kalau ada penerbit tertarik menerbitkan buku ini silakan hubungi saya di nomor berikut ini: 0857 5043 1305

Ahmad Wahib dan Pergolakan Pemikiran Islam

Wahib
Ahmad Wahib adalah nama yang sangat sering disebut ketika kita membicarakan perkembangan pemikiran Islam. Siapakah dia? Seberapa menarik pemikiran-pemikirannya sehingga ia tetap dikenang sebagai pemberontak pemikiran dan namanya menjadi legenda? Dan mengapa penting sekali “menghidupkan kembali” Ahmad Wahib dalam diskursus keislaman kita sekarang?
Dalam video ini, Ahmad Gaus AF mengupasnya untuk Anda. #AhmadWahib #AhmadGaus #PemikiranIslam #Islam
Wahib 3
Wahib 2
Salam,
Ahmad Gaus

[Puisi] Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Kepada Nurcholish Madjid)

Rektor Universitas Paramadina  Nurcholish Majid, wajah, Jakarta 12 Juli 2000 [TEMPO/ Bernard Chaniago; 30d/348/2000; 2000/07/20].
Cak Nur

Hari ini, 29 Agustus 2015 genap sepuluh tahun wafatnya Nurcholish Madjid (29 Agustus 2005). Untuk mengenang almarhum saya menulis sebuah puisi yang judulnya diambil dari buku karya beliau, Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Paramadina, 1992). Puisi ini saya bacakan di sela-sela diskusi “Mengenang 10 Tahun Wafatnya Cak Nur” yang diadakan oleh ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies) UIN Suska Riau, pada Kamis 27 Agustus lalu. Diskusi yang dipandu oleh Ali Hasan Palawa dan digelar di aula Fakultas Sains dan Teknologi UIN Suska tersebut menghadirkan tiga penulis buku tentang Cak Nur sebagai narasumber yaitu Budhi Munawar Rachman (Penulis Ensiklopedi Nurcholish Madjid), Muhammad Wahyuni Nafis (penulis buku Cak Nur Sang Guru Bangsa, dan saya sendiri, Ahmad Gaus, selaku penulis buku Api Islam Nurcholish Madjid).

GausSusqa2

Diskusi Refleksi 10 Tahun Mengenang Wafatnya Nurcholish Madjid di UIN Sultan Syarif Kasim Riau, 27 Agustus 2015.

PINTU-PINTU MENUJU TUHAN

 Kepada Nurcholish Madjid, ‘Allah yarham’

Oleh: Ahmad Gaus

BANYAK pintu menuju Tuhan

Kita berdiri di satu pintu pilihan

Walaupun harus berdesakan

Walaupun harus berhimpitan.

PARA sufi mengajarkan

Semua jalan musyahadah kepada Tuhan

Akan sampai juga pada tujuan

Karena disinari cahaya-cahaya kebenaran.

DAN CAHAYA-cahaya itu terang adanya

Dalam Kitab yang pasti kebenarannya

Walladzina jahadu finaa

Lanahdiyannahum subulanaa

(Mereka yang bersungguh-sungguh mencari jalan Kami

Akan Kami tunjukkan berbagai jalan Kami QS. Al-Ankabut:29/69).

JIKA engkau harus memegang satu kebenaran

Silakan, tapi jangan lupa bersikap toleran

Sebab kebenaran yang engkau pertengkarkan

Nisbi adanya, bukan mutlak-mutlakan.

BANYAK pintu menuju Tuhan

Banyak jalan menuju kebenaran

Mengapa harus memaksa orang lain berada di satu jalan

Berdesakan, berhimpitan, berjatuhan.

MEREKA yang mendapat petunjuk Tuhan

Adalah orang-orang beriman

Mereka mungkin bersimpangan jalan

Namun menuju satu tujuan.

SEPERTI ribuan sungai yang mengalir

Semua bergerak menuju hilir

Tidak ada satu pun yang mangkir

Semua bermuara di samudra akhir.

(WALLAHU a’lam bis-shawab)

TUHAN Maha Tahu yang benar

Engkau dan aku hanya mengerti sekadar

Karena itu tidak patut membuat onar

Menuding orang lain sesat dan tersasar.

______________________

[Memoar] MENYANYIKAN NURCHOLISH MADJID

Islam Yes Partai Islam No

Menyanyikan Nurcholish Madjid
CATATAN berikut merupakan Pengantar Penulis untuk Biografi Nurcholish Madjid “API ISLAM”, terbitan Kompas 2010. Semoga bermanfaat sebagai renungan di tahun baru 1435 Hijriyah.

BUDAYAWAN Emha Ainun Nadjib bertanya kepada Omi Madjid, lagu apa yang paling disukai Cak Nur (Nurcholish Madjid). Istri almarhum Cak Nur itu menjawab, Umi Kulsum. Cahaya di atas panggung redup. Kelompok gamelan Kiai Kanjeng pimpinan Emha Ainun Nadjib mengalunkan lagu Ghannily shwayya shwayya dari Umi Kulsum, penyanyi legendaris asal Mesir, kemudian A’atiny naya wa ghanni dari Fairouz, penyanyi wanita Kristen Arab asal Libanon. Berkali-kali Emha mengumandangkan salawat dan doa, sambil bergumam, laka Cak Nur…, laka Cak Nur… (untukmu Cak Nur…, untukmu Cak Nur).

Para pengunjung yang memadati ruang teater TIM (Taman Ismail Marzuki) pada 28 Mei 2008 untuk menghadiri haul 1000 hari wafatnya almarhum Cak Nur itu sadar bahwa mereka tidak sedang berada dalam ruang diskusi pemikiran, di ruang mana Cak Nur biasa mereka temui. Emha membawa mereka ke ruang Cak Nur yang lain, yakni Cak Nur si anak Jombang yang gemar asyrakalan dan melantunkan salawat. (Tradisi salawatan ini, hingga sekarang, masih menjadi bagian dalam setiap acara wisuda di Universitas Paramadina yang didirikan Cak Nur). Cak Nur si pemikir, ujar Emha, sudah banyak yang tahu, tapi Cak Nur yang memiliki cita rasa seni, banyak yang belum tahu. Maka Emha membawa imajinasi hadirin untuk mengenal Cak Nur dari syair-syair Abu Nawas yang sering dilantunkannya sewaktu belajar di Pesantren Gontor.

Acara haul itu benar-benar menghadirkan suasana Jombang, kota santri, tempat kelahiran Cak Nur. Emha menyerasikan kesyahduan kota santri dengan kota Nabi (madinatun-nabiy) ketika ia melantunkan ayat-ayat suci dan pujian-pujian kepada Rasulullah Muhammad SAW. Kata Emha, Cak Nur adalah orang yang sangat mencintai Nabi. Ia tak pernah berhenti mengajak bangsa ini untuk meneladani akhlak Rasul. Di tengah kegalauan bangsa ia hadir seperti cahaya. Bahasa tubuhnya lembut, dan energinya menenangkan.

Sama-sama lahir di Jombang dan menimba ilmu agama di pesantren Gontor, Emha tampaknya sangat mengenal sosok Cak Nur. Ia menganggap Cak Nur sebagai kakaknya sendiri. Di antara mereka ada Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), juga dari Jombang. Gus Dur menyebut kedekatannya dengan Cak Nur seperti pinang dibelah dua. Jika kedua belahan pinang itu berkelahi, tutur Emha suatu ketika, tak pernah bisa lama. Biasanya salah satunya segera memanggil Emha untuk menjadi juru damai. Dan perkelahian pun berubah menjadi gerr-gerrran…!

Gus Dur dan Cak Nur
Gus Dur dan Cak Nur

Rasanya tidak ada yang bisa menggambarkan sosok Cak Nur sebaik Emha menggambarkannya. Demikian juga buku ini. Ditulis dengan perasaan was-was karena bisa saja terjerembab ke dalam reduksi dan penyederhanaan, buku ini pasti tidak lengkap. Buku ini ditulis sekadar untuk memenuhi dahaga kerinduan para sahabat, murid, dan masyarakat pada umumnya pada sosok Sang Begawan (pinjam istilah Kuntowijoyo) dan pikiran-pikirannya.

Api Islam BB

Di luar visi-visi besarnya, Cak Nur adalah orang yang ajarannya sangat sederhana. Menjadi Muslim yang baik, katanya, adalah menjadi manusia yang baik. Ia sering mengajari bangsa ini untuk selalu bersabar, menunda kesenangan, dan mau berkorban untuk kepentingan orang banyak. Ia menggambarkan pengorbanan sebagai “jalan mendaki yang sulit” (aqabah) karena mempunyai efek peningkatan harkat dan martabat manusia.

Cak Nur tidak pernah membiarkan dirinya hanyut dalam keadaan tidak menentu dan pusaran kekacauan, karena ia menghayati Tuhan sebagai Yang Maha Hadir (Omnipresent), yang selalu memberi jalan keluar. Setiap perkara kehidupan selalu dicarikan jalan keluarnya secara baik, husnul khatimah. Cara itulah, misalnya, yang ia tempuh ketika menurunkan Pak Harto dari kursi kekuasaan yang telah didudukinya selama 32 tahun. Jika bukan dengan seruan husnul khatimah, manalah ada penguasa yang rela diturunkan sambil dinistakan. Cak Nur memberi contoh tentang berpolitik secara baik.

***

Cak Nur meninggal dunia pada 29 Agustus 2005. Ia pergi meninggalkan warisan ilmu pengetahuan kepada generasi sekarang dan mendatang. Buah pikirannya menjadi rujukan yang terus dibicarakan. Obsesinya untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa besar telah menginspirasi banyak kaum muda menempuh jalan yang dilaluinya, mencermati pemikirannya, serta mencontoh sikap dan tindakannya.

CakNurMeninggal

Sampai akhir hayatnya, Cak Nur adalah orang yang lurus (hanif). Ia hanya percaya pada kebenaran yang lapang (al-hanifiyah al-samhah), kebenaran yang tidak membelenggu jiwa, kebenaran yang berproses di dalam penghayatan akan Tuhan dan pengalaman iman yang berlangsung sepanjang hayat. Kebenaran seperti ini hanya mengakui kemutlakan Tuhan, namun relatif pada dirinya sendiri. Kebenaran seperti ini bersifat rendah hati, dan tidak memaksa orang lain. Cak Nur mengajarkan: Kalau kita berhenti mencari, dan merasa sudah sampai pada kebenaran, maka kita mudah menjadi sombong!

Kritik Cak Nur terhadap fundamentalisme agama terutama pada kesombongannya. Kaum fundamentalis ingin meringkus kebenaran dan memaksakannya kepada orang lain. Fundamentalisme kini telah menjelma menjadi kekerasan agama. Dewasa ini kita semakin sering melihat orang-orang yang marah meneriakkan asma Allah, mengancam orang yang berbeda pandangan, dan menyerang rumah-rumah ibadah orang yang berbeda keyakinan. Dulu masyarakat dunia mengenal Islam Indonesia dan Asia Tenggara sebagai Islam yang berwajah lembut. “Islam with a smiling face,” tulis majalah Time dan Newsweek pada 1996. Tapi kini wajah itu telah berubah menjadi brutal dan penuh kebencian. Di titik ini kita teringat Cak Nur yang selalu tersenyum, mendakwahkan Islam sebagai rahmat bagi semua.

Cak Nur adalah guru kebebasan. Kata Cak Nur, kebebasan adalah hal pertama yang diberikan Tuhan kepada manusia, bahkan kebebasan untuk beriman atau tidak beriman kepada-Nya (faman sya’a fal yu’min, wa man sya’a fal yakfur). Kalau Tuhan tidak memberi kebebasan kepada makhluknya untuk tidak beriman, bagaimana mungkin kita bisa beriman secara tulus? Keimanan yang sejati hanya bisa lahir dari kebebasan. Konstruksi kebebasan seperti ini mendorong tumbuhnya sikap keimanan yang terbuka. Yaitu, tidak merasa benar sendiri, dan mau menerima perbedaan sebagai konsekuensi dari kebebasan yang diberikan Tuhan. Wujud dari sikap keagamaan seperti ini adalah toleransi antar-sesama. Orang yang berbeda bukanlah musuh yang harus dimusnahkan. Ajaran tentang kebebasan dan toleransi telah menjadi dasar bagi perdamaian dan persahabatan antar-agama.

Nilai-nilai yang diusung Cak Nur adalah nilai-nilai universal yang ada pada semua agama, bukan nilai sektarian, dari dan untuk kepentingan kelompok tertentu saja. Saat ini, di tengah menguatnya kembali intoleransi dan kekerasan atas nama agama, pikiran-pikiran Cak Nur kembali relevan untuk diingat dan disemaikan. Cita-cita Cak Nur untuk menjadikan umat Islam Indonesia lebih toleran, moderat, dan bersahabat, belum selesai dan harus terus dikerjakan. Buku ini adalah upaya kecil untuk menyambung cita-cita Cak Nur tersebut.

***

Dalam menyusun buku ini penulis berutang budi kepada banyak orang. Pertama-tama, saya ingin menyampaikan terima kasih kepada Ibu Omi Madjid, istri almarhum Cak Nur dan putra-putri mereka, Nadia dan Mikail. Saya mohon maaf jika banyak kekurangan dalam buku ini.

Putri alm Cak Nur, Nadia Madjid menyampaikan sambutan dalam acara Sewindu Haul Cak Nur
Putri alm Cak Nur, Nadia Madjid menyampaikan sambutan dalam acara Sewindu Haul Cak Nur

Kemudian kepada Mas Tom (pendiri Paramadina), yang selalu bertanya, “Mana biografi Cak Nur itu?” Maka, buku ini juga saya hadiahkan untuk Mas Tom, disertai doa dari saya, istri, dan anak-anak kami, Fya dan Echa, agar ‘Apa Tom’ sehat, panjang umur, dan tetap beramal saleh.

Mas Tom (Utomo Dananjaya)
Mas Tom (Utomo Dananjaya)

Yudi Latif
Yudi Latif

Saya juga menerima dorongan yang positif dan tulus dari dua sahabat saya, Budhy Munawar-Rachman dan Yudi Latif yang menorehkan catatan mereka untuk buku ini. Perhatian mereka terhadap proses penulisan buku ini sangat membesarkan hati. Semua jalan mereka usahakan agar buku ini bisa terbit. Menurut saya, Cak Nur tidak bisa digantikan oleh salah satu muridnya yang paling pintar sekalipun. Tapi kalau orang seperti Budhy dan Yudi berkolaborasi, ditambah beberapa yang lain, akan lahir “Cak Nur edisi baru”. Bentuknya mungkin post-Nurcholish, semacam rekonstruksi atas wacana-wacana Nurcholishian untuk menjawab tantangan zaman yang sudah berubah dan berbeda dengan zaman Cak Nur dulu.

Budhy Munawar-Rachman
Budhy Munawar-Rachman

Beberapa teman di JIL (Jaringan Islam Liberal), murid intelektual Cak Nur ataupun bukan, telah melakukan itu, seperti tampak dalam berbagai pernyataan dan tulisan mereka yang berusaha merevisi sejumlah bangunan epistemologi Nurcholishian yang pernah menjadi paradigma dalam diskursus keislaman di Tanah Air. Sementara itu, murid-murid Cak Nur yang lain masih senang dengan wacana-wacana seperti “inklusivisme” dan “titik temu” (Cak Nur tahun 80-an). Ketika Cak Nur telah melesat jauh, para pengeritiknya dari sayap kanan Islam masih terus mempersoalkan gagasan sekularisasi (Cak Nur tahun 70-an).

Yang agak lumayan adalah para pengeritik Cak Nur dari sayap kiri Islam, seperti beberapa anak muda NU. Mereka bisa menangkap ide-ide Cak Nur sejak edisi pertama hingga terakhir. Sehingga sosok Cak Nur muncul seperti gambar hidup, bukan potret yang mati. Sayangnya, argumen-argumen mereka terlampau pekat dengan kecurigaan. Akhirnya posisi mereka pun nyaris serupa dengan para kritikus sayap kanan, yakni sama-sama menciptakan halusinasi tentang sosok Cak Nur “yang mengancam”.

Bagi kritikus sayap kanan, Cak Nur adalah agen zionis dan orientalis yang mengancam Islam yang mereka pahami. Bagi kritikus sayap kiri, Cak Nur adalah advokat ideologi modernisme yang mengancam basis pengetahuan dan praksis politik kelompok tradisionalis. Cara pandang seperti ini telah menghidupkan kembali politik aliran. Bentuk serangan mereka terhadap Cak Nur dikesankan seolah-olah wacana ilmiah, padahal hanya propaganda ideologi, yang membangkitkan kebencian antar-kelompok.

Terlepas dari itu, saya ingin berterima kasih kepada mereka semua. Sebab buku ini pun, mau tidak mau, berutang kepada berbagai pandangan yang pernah muncul, baik pro maupun kontra, terhadap pemikiran Cak Nur. Entah buku ini ada di posisi mana. Sebisa mungkin saya berusaha untuk objektif. Tapi bagaimanapun, Cak Nur adalah guru saya, sehingga tidak sepenuhnya saya bisa melepaskan unsur subjektivitas. Saya teringat pesan Ahmad Sumargono ketika berbicara melalui telepon, “Jangan mengatakan hal-hal yang buruk tentang orang yang sudah wafat.” Luar biasa. Kata-kata itu diucapkan oleh Ahmad Sumargono, penentang Cak Nur yang paling serius. Terima kasih, Mas Gogon. Saya berharap kritik-kritik yang saya rangkum dalam buku ini bukan hal yang buruk.

Beberapa bagian buku ini merujuk pada manuskrip yang ditulis oleh Ihsan Ali-Fauzi, yang semula direncanakan sebagai otobiografi Cak Nur. Tapi entah kenapa, sudah lebih sepuluh tahun, tak juga terbit. Sebagian bahan itu telah dimuat dalam Ensiklopedi Nurcholish Madjid. Saya memanfaatkan beberapa bagian yang saya anggap penting, terutama untuk tulisan mengenai Gontor, IAIN, dan HMI. Terima kasih kepada Ihsan.

Saya juga ingin berterima kasih kepada teman-teman saya di CSL (Center for Spirituality and Leadership). Pertama-tama kepada para senior saya: Pak Hario Soeprobo, Pak Mahdi Syahbuddin, dan Pak Hendro Martowardojo. Kemudian teman-teman seperjuangan: Bang Dame, Mas Eko, Jhody, Vita, Zaki, Ali, Dwi, dan Pepen. Dalam kegiatan wawancara dengan para narasumber, saya dibantu oleh Ade Buchori dan Abdul Halim (keduanya dari Universitas Paramadina), dan Asnawi (IAIN Jakarta). Mereka juga mentranskripsikan hasil wawancara di Jombang, Surabaya, Bandung, dan Jakarta.

Draft awal artikel mengenai ICMI disiapkan oleh Muhamad Nabil (IAIN Jakarta). Rifki (Paramadina) dan Afif (HMI Cirebon) juga saya minta bantuannya untuk melihat Cak Nur dalam perspektif kaum muda. Sedangkan dari perspektif kaum tua, saya berutang budi kepada Bapak Arifin Pakih, peserta awal kegiatan-kegiatan Paramadina, yang memberi banyak masukan. Beliau juga meminjamkan beberapa catatan reflektifnya mengenai Cak Nur dan Paramadina, termasuk catatan keributannya dengan seorang ustadz di masjid lingkungan tempat tinggalnya di Cirendeu, gara-gara sang ustadz berceramah menuding-nuding Cak Nur dan Paramadina sebagai sesat. “Saya tidak rela masjid digunakan untuk menghujat-hujat orang,” ujarnya.
Maulana Muladi (Tabloid Jumat), Deden Ridwan dan Taufik MR (keduanya dari Mizan) telah meminjamkan bahan-bahan yang sangat penting untuk penulisan buku ini. Begitu juga teman-teman di Paramadina, terutama Kang Muslih, Rahmat, dan Indah. Teman lain yang fanatik dengan Paramadina, tapi tidak pernah mengaji di Paramadina, ialah Chaider S. Bamualim. Beberapa bagian buku ini saya tulis dalam perjalanan riset dengan dia di Bandung, Cianjur, Tasikmalaya, dan Kuningan selama dua bulan pada 2009. Anak keturunan Arab dari Sumba, NTT, ini sangat ngefans kepada Cak Nur, dan menulis tesis di Universitas Leiden, Belanda, seputar konsep Cak Nur mengenai al-hanifiyat al-samhah. Atas dukungan mereka semua buku ini bisa selesai.

Saya juga ingin berterima kasih kepada semua narasumber yang kami wawancarai dalam rangka mengumpulkan bahan-bahan untuk penulisan buku ini. Meski tidak semua hasil wawancara dikutip secara langsung, tapi apa yang mereka sampaikan menjadi referensi pikiran dalam membentuk keseluruhan alur cerita dalam buku ini. Nama-nama narasumber saya lampirkan di halaman belakang.

Akhirnya, saya harus katakan bahwa tanpa kebaikan dan peran Mas St. Sularto di Kompas, pasti penyelesaian buku ini akan memakan waktu lebih lama lagi. Ucapan terima kasih kepada beliau dan juga teman-teman di Penerbit Buku Kompas. Semoga kerjasama yang baik menetaskan inspirasi untuk menulis karya-karya lain yang berguna bagi masyarakat.

Pernyataan para tokoh yang dikutip pada sampul belakang buku ini diambil dari kesaksian mereka dalam acara haul 1000 hari wafatnya Cak Nur di TIM pada 28 Mei 2008 lalu. Untuk itu, saya mohon keikhlasan mereka, karena komentar mereka saya munculkan tanpa izin (kecuali Neng Dara Affiah, yang saya minta komentarnya secara khusus tentang Cak Nur). Saya menganggap bahwa itu pernyataan publikasi, sehingga bisa diklaim milik umum.

Emha Ainun Nadjib yang memimpin acara haul itu menuturkan bahwa Kiai Kanjeng tidak akan bisa “menyanyikan Nurcholish Madjid” secara sempurna kecuali semua alat musiknya dimainkan. Itu juga berlaku untuk buku ini. Berbagai pandangan pro dan kontra, atau “netral”, yang berhasil dirangkum sebisa mungkin dimunculkan sebagai “alat musik” untuk menyanyikan lagu-lagu tentang Cak Nur.

Sebagai penutup, izinkan saya mengutip doa persembahan yang dibawakan oleh Kang Jalal (Prof Dr KH Jalaluddin Rakhmat) pada acara haul 1000 hari wafatnya Cak Nur sebagai berikut: “Saudara kami Nurcholish Madjid telah meninggalkan kenangan indah bagi kami. Ia telah mengajari kami Islam yang penuh kasih kepada seluruh alam. Ia telah menanamkan pada hati kami Islam Qurani yang dengan amal menilai kemuliaan orang, apapun mazhabnya; Islam Muhammadi yang dari cintanya kepada sesama manusia menghormati semua pecinta Tuhan, apapun agamanya; Islam ilmi yang dari bukti-bukti ilmiah menghargai perbedaan pendapat, apapun alirannya.”

Demikian. Selamat membaca buku ini dan semoga bermanfaat.

Ciputat, Juli 2010
Salam Penulis
Ahmad Gaus AF

Nurcholish Madjid: Kebesaran dalam Kesalahpahaman oleh Yudi Latif, PhD / @yulatif

 

 

Pengantar Dr. Yudi Latif

 

“Apakah sedemikian buruknya untuk disalahpahami? Pythagoras pernah disalahpahami, demikian pula Socrates, Yesus, Luther, Copernicus, Galileo, Newton, dan setiap spirit murni dan bijak yang berdaging. Untuk menjadi agung adalah untuk disalahpahami,” tulis pemikir Amerika Ralph Waldo Emerson.

Setiap pemikir besar terlahir karena lompatan berpikir jauh ke depan mengangkangi kelaziman pemikiran arus utama; menyimpang dari kelaziman pemahaman yang sering dianggap sebagai pengingkaran dan pengkhianatan terhadap keumuman. Meski sering disalahpahami, penyimpangan kreatif seperti itulah yang menjamin keberlangsungan sejarah umat manusia yang meniscayakan pembaruan.

Kegentingan yang memaksalah yang kerap mendorong sang pemikir untuk berani mengambil pilihan yang sulit: berkhidmat pada ketentraman umum dengan risiko mempertahankan kejumudan pehamanan komunitasnya, atau berteguh pendirian menawarkan ide pembaruan demi pencerahan pehamanan komunitasnya meski berisiko disalahpahami dan dicaci-maki. Seorang pemikir besar terlahir karena keteguhan pendiriannya memancangkan ide pembaruan.

Demikianlah, seorang Nurcholish Madjid (Cak Nur) mencapai kebesarannya sebagai pemikir karena terobosan ide-ide pembaruannya untuk mencari persenyawaan yang kreatif dan produktif antara keislaman dan kebangsaan (ke-Indonesian) antara tradisi dan kemodernan. Suatu usaha penyerbukan silang budaya, yang dalam situasi ketegangan konflik ideologis, membuatnya berada di garis luar setiap pengkutuban; bagai binatang jalang yang dari kumpulannya terbuang, dicerca, dikucilkan dan disalahpamahi. Tetapi berkat kebernasan rasionalitas, keteguhan dalam pendirian, serta kebersahajaan dalam hidupnya, ide-ide pembaruannya lambat laun menjadi mercusuar bagi biduk-biduk yang limbung di tengah samudera krisis aktualisasi diri komunitas Islam dalam konteks kebangsaan dan kemoderenan.

Kegentingan yang memaksa Cak Nur untuk menggulirkan ide-ide pembaruannya berawal dari impasse politik Islam pasca Orde Lama. Turut andil dalam memberi jalan bagi kelahiran Orde Baru, harapan kalangan aktivis politik Islam bagi rehabilitasi Partai Masyumi yang dibekukan rezim Soekarno bagai punduk merindukan bulan, setelah Suharto menolaknya pada bulan Januari 1967. Kenyataan ini melambungkan kekecewaan politik yang mendalam terutama di kalangan para tokoh dan aktivis politik Islam dari angkatan tua.

Dengan pemblokiran jalan politik ini, para mantan pemimpin Masjumi mulai menyadari pentingnya memperluas lingkup perjuangan Islam ke arena-arena non-politik. Selain itu, menyadari kenyataan rapuhnya Islam sebagai kekuatan politik mereka juga menyerukan perlunya mempekuat persatuan (integrasi) umat Islam. Tema ‘integrasi’ ummat dan pengembangan ‘dakwah’ lantas menjadi arus utama wacana Islam, terutama di kalangan para pemimpin Islam senior. Penanda penting dari arus kesadaran ini adalah pendirian Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), pada Mei 1967.

Krisis politik Islam di kalangan tua ini membawa luberan krisis identitas yang melanda lingkungan aktivis mahasiswa Islam.   Identifikasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masjumi selama masa Orde Lama berarti bahwa kebijakan penjinakan Islam politik pada awal Orde Baru melahirkan kekecewaan yang besar. Padahal, dominasi HMI di antara organisasi mahasiswa yang ada sejak tahun 1960-an melambungkan harapan-harapan di kalangan para anggotanya untuk bisa memainkan peranan publik yang signifikan di masa depan. Situasi yang membingungkan ini menempatkan para aktivis HMI dalam posisi limbo, antara meneruskan proyek ‘Islamisasi’ dunia politik dan pendidikan ataukah beralih ke proyek liberalisasi pemikiran dan aksi politik Islam.

Berhadapan dengan pilihan-pilihan ini, generasi ini terdorong untuk mengembangkan sebuah wacana tentang beberapa isu krusial mengenai sosok masa depan Islam dan historisitas HMI.Secara eksternal, muncul tuntutan untuk melahirkan respon-respon yang strategis dan tepat terhadap tantangan modernisasi dan pemarjinalan Islam politik. Pada saat yang sama, dituntut pula adanya respon terhadap dilema antara apakah mendukung ‘integrasi ummat’ ataukah mendukung agenda liberalisasi pemikiran Islam yang dikenal sebagai ‘gerakan pembaharuan’. Secara internal, HMI harus memilih apakah tetap independen secara politik ataukah berada di pihak organisasi-organisasi sosial-politik Islam, dan apakah menjadi organisasi kader ataukah organisasi massa.

Pada awalnya, reaksi umum dari para intelektual HMI terhadap proyek modernisasi Orde Baru bersikap defensif. Modernisasi dianggap sebagai sebuah dalih bagi proses westernisasi dimana di dalamnya terkandung proses sekularisme yang berbahaya. Dalam perkembangan lebih jauh, muncul tiga jenis respon: liberal, reaksioner (Islamis), dan moderat (moderat-reaksioner).

Respon liberal yang pertama-tama datang dari lingkaran aktivias HMI di cabang Yogyakarta, yang kadangkala disebut sebagai Kelompok Yogya. Cabang ini pernah mendukung Manipol-USDEK selama periode Demokrasi Terpimpin. Di antara para intelektual terkemuka dari kelompok ini ialah Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Dawam Rahardjo. Di luar HMI, komunitas epistemik lainnya yang mempengaruhi perkembangan intelektual dari para intelektual muda ini ialah sebuah kelompok studi yang dikenal sebagai ‘Limited Group’. Kelompok ini mulai hidup sejak tahun 1967 sampai dengan 1971 dengan Prof. Mukti Ali sebagai mentornya, yakni seorang dosen IAIN Yogyakarta yang berpendidikan Barat yang mengajarkan kepada mereka keahliannya dalam ilmu perbandingan agama dan pemikiran Islam modern. Dalam kasus Ahmad Wahib, dia memiliki hubungan emosional dan intelektual yang kuat dengan beberapa pastor Katolik karena dia pernah menghabiskan waktu beberapa tahun tinggal di asrama mahasiswa Katolik, yaitu Realino. Bagi kelompok ini, modernisasi pertama-tama disambut baik; lantas kemudian dianggap sebagai keharusan bagi kaum Muslim Indonesia, bahkan meskipun proses itu mungkin mengarah pada Westernisasi (Wahib 1981: 40, 149).

Respon Islamis-reaksioner terutama datang dari para aktivis Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI – HMI). Didirikan pada 1966, Ketua pertama lembaga ini ialah Imaduddin Abdulrahim dengan dibantu oleh Endang Saifuddin Anshari (keduanya berasal dari HMI Cabang Bandung), dan Miftah Faridl (dari Cabang Solo). Karena kantor pusatnya berada di Bandung, kelompok intelektual yang memiliki hubungan dengan lembaga ini seringkali disebut sebagai Kelompok Bandung. Selama periode demokrasi terpimpin, HMI Cabang Bandung menjadi penentang kuat Manipol-USDEK. Sikap umum dari kelompok ini terhadap proyek modernisasi cenderung reaksioner dan curiga, baik karena alasan semantik maupun politik. Kelompok ini tidak berkeberatan dengan rasionalisme modern, sains dan teknologi, karena antara doktrin Islam dan penemuan saintifik, menurut standar argumen dari kelompok Islamis ini, tidaklah bertentangan, melainkan malah komplementer. Hanya saja, kelompok ini berkeberatan dengan istilah ‘modernisasi’ karena istilah itu dianggap sangat berhubungan dengan proses Westernisasi dan sekularisasi, dan pengadopsiannya oleh rezim Orde Baru dicurigai sebagai dalih untuk memarjinalkan pengaruh Islam politik.

Bahwa pandangan-pandangan dari kelompok ini menggemakan pandangan dari para pemimpin Masjumi, hal ini tidaklah terlalu mengejutkan. Para pemimpin LDMI, terutama Imaduddin dan Endang, memang memelihara hubungan emosional dan intelektual yang erat dengan para pemimpin Masjumi dan DDII. Ayah dari kedua orang itu (yaitu Abdulrahim dan Muhammad Isa Anshari) berasal masing-masing dari Langkat (Sumatra Timur) dan Sumatra Barat. Abdulrahim adalah seorang lulusan Al-Azhar dan merupakan seorang pemimpin lokal Masjumi di Sumatra. Sedangkan Isa Anshari, setelah pindah ke Bandung, merupakan seorang pemimpin Masjumi dan Persis yang terkemuka dan militan. Selain itu, baik Imaduddin maupun Endang dididik oleh guru agama yang sama, yaitu Rusjad Nurdin (seorang pemimpin Persis dan Masjumi). Sebagai seorang anak pemimpin Persis, Endang memiliki hubungan yang lama dengan Nurdin, sementara Imaduddin memiliki hubungan dekat dengan Nurdin setelah Nurdin menjadi seorang dosen Studi Islam di ITB pada tahun 1962. Jadi, secara etnik, ideologi, maupun intelektual, baik Imaduddin dan Endang memiliki kecenderungan untuk mengidentifikasikan diri dengan Natsir.[1] Lebih dari itu, keduanya juga termasuk dalam sebuah kelompok intelektual muda yang pernah mendapatkan pelatihan dari DDII sejak akhir tahun 1960-an untuk menjadi pendakwah Islam bagi komunitas Muslim di universitas-universitas sekuler.

Di tengahnya ada kelompok moderat, yang menerima modernisasi dengan syarat. Pandangan ini direpresentasikan oleh sikap umum dari Pengurus Pusat (PB) HMI di Jakarta. Sebagai suatu kelompok dengan kecenderungan ideologis yang berspektrum luas, PB berada dalam situasi di tengah-tengah perang antara poros Jakarta-Bandung versus poros Jakarta-Yogyakarta. Poros yang pertama disebut Cak Nur sebagai ‘jalur politik’, sementara poros yang kedua, disebutnya sebagai ‘jalur ide’.

Mengenai integrasi ummat, para intelektual HMI pada awalnya memandang isu ini sebagai perhatian utama. Kongres HMI kedelapan di Solo (10-17 September 1966) mendukung ide Kongres Umat Islam. Kelompok liberal kemudian lebih menyukai agenda gerakan pembaharuan Islam, bahkan meskipun dengan memprioritaskan agenda ini akan berarti menyebabkan terciptanya ketegangan hubungan dengan ummat. Bagi kelompok ini, problem utama bagi kaum Muslim Indonesia bukanlah perpecahan Islam, akan tetapi kemandegan pemikiran Islam. Namun, bagi kelompok Islamis, perselisihan-perselisihan di kalangan internal ummat merupakan akar dari ketidakberdayaan kaum Muslim, dan oleh karenanya, mempertahankan solidaritas Islam dianggap jauh lebih penting daripada petualangan intelektual yang hanya memuaskan diri sendiri. Bagi kelompok moderat, rekonstruksi pemikiran Islam itu penting, namun tidak perlu membawa risiko terciptanya ketegangan hubungan dengan ummat dan organisasi-organisasi Islam lainnya.

Cak Nur sendiri pada mulanya memiliki kecenderungan moderat ini, untuk alasan yang bisa diterka. Pada masa-masa genting di awal Orde Baru ini, Cak Nur terpilih sebagai ketua HMI untuk dua periode berturut-turut (1966-1968, 1968-1971), yang tak pernah terjadi sebelumnya. Dalam posisinya sebagai ketua umum HMI, tentu saja ia dituntut menjembatani kutub-kutub pemikiran yang berkembang. Selain itu, ia pun punya kedekatan hubungan dengan tokoh-tokoh Masyumi.

Pada tahun 1968, Cak Nur menulis seri artikel yang berjudul ‘Modernisasi ialah Rasionalisasi, Bukan Westernisasi’ yang dimuat di majalah Pandji Masyarakat[2] dan Liga Demokrasi. Menurutnya, definisi modernisasi secara sederhana adalah ‘yang identik, atau hampir identik, dengan rasionalisasi’ dan jika istilah itu didefinisikan secara demikian, modernisasi bagi seorang Muslim adalah sebuah keharusan. Meski demikian, dia kemudian mengingatkan bahwa ada kemungkinan adanya sekularisme (termasuk humanisme, liberalisme, dan komunisme) dan Westernisasi yang bersembunyi di balik seruan ‘modernisasi’ ini. Dalam pandangannya, sekularisme harus dilawan karena hal itu akan menghancurkan dasar agama dari negara Indonesia. Pada saat yang sama, dia menekankan pada pentingnya ideologi dan ketakterelakkan agama sebagai syarat bagi terarahnya kehidupan nasional. Modernisasi dalam konteks Indonesia, menurutnya, tidak boleh mengakibatkan berakhirnya ideologi, karena kehidupan tak mungkin berjalan baik tanpa seperangkat kepercayaan, ide, sikap dan keyakinan. Yang terakhir, dia mengingatkan akan bahaya agenda tersembunyi yang dikembangkan oleh beberapa elit Indonesia yang kebarat-baratan yang sangat tidak suka dengan segala sesuatu yang bernada Islam.

Pergeseran pemikiran Cak Nur ke arah pemikiran Islam yang lebih progresif  merupakan hasil dari dinamika diri dan lingkungan intelektualnya. Seperti yang dikatakan Wahib (1981: 160-161): ‘Nurcholish Madjid adalah orang yang senang belajar dan membaca. Buku adalah pacarnya yang pertama. Walau dia sudah merasa benar tapi karena kesediaannya untuk senantiasa belajar, memaksanya lama-lama untuk mempersoalkan kembali apa yang telah diyakininya’. Karena hobi membacanya, kata Wahib, Nurcholish adalah orang yang cukup punya  peralatan ilmu sehingga dengan suatu sikap perubahan mental saja dia sudah sanggup meloncat jauh ke depan mengejar ketinggalan-ketinggalannya (h. 163). Ia juga merupakan seorang individu independen yang tidak memiliki mentor khusus. Bagi seorang mahasiswa IAIN, menjadi ketua HMI merupakan sesuatu yang sangat tak lazim dan ini juga mencerminkan kekuatan pribadinya. Cak Nur juga menunjukkan kecenderungan kuat di kalangan para mahasiswa IAIN dan pesantren tradisional untuk tidak terlalu radikal dan sangat mendambakan melek pengetahuan saintifik Barat dan bahasa ‘wacana intelektual’ modern.

Namun, impetus utama bagi pembaruan pemikirannya merupakan berkah atas kunjungannya secara langsung ke Amerika Serikat dan Timur Tengah. Pada bulan Oktober 1968, dia diundang untuk mengunjungi Amerika Serikat oleh Departemen Luar Negeri Pemerintah Amerika Serikat di bawah sponsor Council for Leaders and Specialists (CLS). Alasan di balik undangan ini, menurut seorang pejabat Kedutaan Besar Amerika di Jakarta, ialah ‘sekedar memperlihatkan apa yang dia benci selama ini’ (Wahib 1981: 161). Selama dua bulan perjalanannya di Amerika, dia mengunjungi universitas-universitas dan belajar tentang kehidupan akademis dari para mahasiswa, mengikuti seminar-seminar dan diskusi-diskusi dengan beberapa tokoh akademis dan politik, dan menyaksikan langung prestasi-prestasi peradaban Barat. Dia juga berkesempatan untuk menemui kompatriotnya, seorang intelektual sosialis yang berpengaruh, Soedjatmoko, yang saat itu menjadi Duta Besar Indonesia di AS, yang menyambut kunjungannya dengan ramah. Segera setelah itu, dia melanjutkan perjalanannya ke Prancis, Turki, Lebanon, Syria, Irak, Kuwait, Saudi Arabia, Sudan, Mesir dan Pakistan. Selanjutnya pada bulan Maret 1969, atas undangan Raja Faisal dari Saudi Arabia, dia naik haji bersama dengan 10 fungsionaris HMI lainnya. Saat berefleksi atas kunjungannya baik ke dunia Barat maupun ke dunia Islam, dia menjadi sadar akan adanya jarak antara ide-ide Islam dengan realitas kehidupan di dunia Muslim. Di sisi lain, Barat yang telah sedemikian banyak dikritiknya, menunjukkan banyak dimensi dan prestasi positif. Sejak saat itu, ‘mulai terlihat perubahan-perubahan arah pikiran Nurcholish. Dia mulai tertarik pada segi-segi baik dari humanisme yang sebelumnya dicapnya sebagai agama baru’ (Wahib 1981: 161).

Perubahan mental Cak Nur mulai terjadi, meski tidak berlangsung secara radikal dan serta-merta. Bulan-bulan berikutnya di tahun 1969 merupakan bulan-bulan yang kritis bagi pemikiran Cak Nur mengenai liberalisme Islam. Dia masih terus melakukan refleksi diri, apakah akan berpihak kepada usaha integrasi ummat ataukah terlibat dalam gerakan pembaharuan. Sebuah faktor yang berpengaruh dalam langkahnya menuju gerakan pembaharuan datang dari ‘komunitas epistemiknya’, berupa lingkaran-lingaran diskusi kelompok kecil secara informal, yang diikuti oleh rekan-rekan terdekatnya.

Salah seorang tokoh kunci yang terlibat dalam proses ini adalah Utomo Dananjaya. Dia adalah seorang pemimpin PII (1967-1969) yang moderat dan menjadi seorang sahabat dekat Cak Nur. Pada tahun 1969 itu, Utomo mengaktifkan kembali tradisi mengundang ketua HMI (pada saat itu Madjid) untuk memberikan ceramah di hadapan Kongres Nasional PII (yang diadakan di Bandung pada tahun itu). Pada tahun yang sama, pada saat acara halal bihalal setelah ‘Idul Fitri, Utomo mengadakan sebuah diskusi dengan tema ‘Integrasi Ummat Islam’ yang diikuti oleh Subchan Z.E. (dari NU), H.M. Rasjidi (dari Muhammadiyah), Anwar Tjokroaminoto (dari PSII), dan Rusli Khalil (dari Perti). Namun, setelah diskusi itu, Dananjaya menangkap kesan bahwa agenda integrasi belum diterima dengan baik. Maka, dia pun mulai mengadakan diskusi-diskusi kelompok kecil, yang melibatkan rekan-rekan terdekatnya: seperti Nurcholish Madjid (dari HMI), Usep Fathuddin (dari PII), dan Anwar Saleh (dari GPII), untuk memecahkan dilema apakah mendukung tujuan integrasi yang tak praktis ataukah berpihak kepada gerakan pembaharuan yang bisa menciptakan perpecahan.

Selain diskusi-diskusi kelompok kecil, Cak Nur juga mengadakan diskusi-diskusi dengan para pemimpin Masjumi seperti Prawoto Mangkusasmita, Mohamad Roem, dan Osman Raliby, dan dari mereka, dia mendapat kesan bahwa orang-orang ini tidak benar-benar menganggap ide mengenai negara Islam sebagai harga mati atau prioritas yang mendesak. Dalam pandangannya: ‘Mereka memang memiliki sebuah ide mengenai bagaimana kira-kira negara Islam, namun hal itu harus dicapai lewat mekanisme-mekanisme demokratis. Bahkan seorang seperti Roem tidak mencita-citakan negara Islam, meskipun dia tetap simpati dengan para pendukung cita-cita itu’.

Meskipun diskusi-diskusi kelompok kecil itu tidak mencapai hasil konklusif apapun, diskusi-diskusi tersebut cukup memberikan inspirasi baru bagi para pesertanya. Sudah sejak akhir November 1969, Cak Nur menulis surat-surat pribadi kepada Ahmad Wahib dan Djohan Effendi, dua tokoh utama pemikiran liberal yang telah mengundurkan diri dari HMI pada tanggal 30 September dan 10 Oktober 1969, karena ketidaksepakatannya dengan kelompok Islamis dalam tubuh HMI. Dalam suratnya, dia menyatakan kesepakatannya dengan ide-ide pokok dari kedua individu tersebut, namun juga meminta pengertian mereka tentang sulitnya mengimplementasikan ide-ide semacam itu di HMI (Wahib 1981: 165-166). Kemudian, dalam persiapan acara halal bihalal setelah ‘Idul fitri pada tahun 1970, yang diorganisir bersama oleh empat organisasi mahasiswa-pelajar dan sarjana Muslim, yaitu HMI, GPI, PII, dan Persami, pihak panitia yang antara lain terdiri dari para peserta diskusi kelompok kecil tersebut, sepakat untuk memilih ‘pembaharuan pemikiran dan integrasi’ sebagai tema diskusi silaturahmi. Tujuan awal pemilihan tema tersebut sekadar untuk menstimulus diskusi dan menggarisbawahi keinginan dari pemimpin kelompok-kelompok pemuda Muslim tersebut untuk menemukan solusi  bagi problem-problem ummat yang sangat berat. Awalnya, intelektual yang diundang untuk memberikan ceramah pada kesempatan itu adalah Alfian (seorang intelektual Muslim dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Namun dia berhalangan hadir. Karena itu, Harun Nasution (seorang sarjana Islam yang rasionalis dari IAIN) dipilih sebagai pengantinya. Ternyata, Nasution juga berhalangan. Akhirnya, Cak Nur ditunjuk sebagai pembicara.

Dalam acara halal bihalal itu, yang diadakan pada tanggal 2 Januari 1970, Cak Nur mempresentasikan sebuah makalah berjudul ‘Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Ummat’. Dalam ceramah itu, dia menjelaskan bahwa dalam pandangannya, agenda integrasi merupakan pendekatan yang tak praktis. Struktur peluang politik Orde Baru mengharuskan adanya perubahan dalam kondisi perilaku dan emosional ummat Muslim, sementara pendekatan integrasi yang bersifat idealistik hanya akan mengabadikan kemandulan dan kejumudan intelektual dalam ummat. Dia percaya bahwa hilangnya apa yang dia sebut sebagai ‘psychological striking force’ dari diri ummat Muslim telah menyebabkan ‘kemunduran 25 tahun’ bagi ummat, dan hal ini terlalu kompleks untuk diselesaikan lewat sebuah pendekatan berorientasi integrasi. Maka, dia menganggap agenda pembaharuan pemikiran Islam sebagai obat bagai malaise yang dialami ummat. Isu-isu kontroversial dari agenda ini mungkin akan menghalangi usaha-usaha untuk menciptakan integrasi, namun dalam penilaiannya, risiko tersebut memang pantas untuk ditanggung. Bahkan meskipun proyek tersebut gagal untuk melahirkan hasil seperti yang diharapkan, proyek tersebut masih berguna paling tidak sebagai upaya untuk menyingkirkan beban kejumudan intelektual. Ditambahkannya, proyek ini menjadi lebih mendesak lagi jika dipertimbangkan adanya kenyataan bahwa organisasi-organisasi Islam reformis yang mapan, seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis dan yang lainnya, telah kehilangan semangat pembaharuan dan élan vital-nya sehingga menyebabkan mereka menjadi tak ada bedanya dengan, dan bahkan kalah progresif dari, organisasi-organisasi Muslim tradisionalis.

Saat menjelaskan garis besar pemikirannya mengenai ‘pembaharuan’, Cak Nur sampai pada sebuah poin yang krusial. Dia yakin bahwa proses pembaharuan ini haruslah dimulai dengan membebaskan ummat dari ‘nilai-nilai tradisional’-nya dan menggantinya dengan ‘nilai-nilai yang berorientasi masa depan’. Menurutnya, proses pembebasan ini mengharuskan ummat untul mengadopsi ‘sekularisasi’, mempromosikan kebebasan intelektual, menjalankan ‘ide tentang kemajuan’ (idea of progress), dan mengembangkan sikap-sikap terbuka. Apa yang dia maksudkan dengan istilah ‘sekularisasi’ di sini tidaklah identik dengan sekularisme karena sekularisme itu, dalam pandangannya, sangat asing bagi pandangan dunia Islam. Cak Nur meminjam penafsiran seorang teolog Kristen, Harvey Cox, dan seorang sosiolog Amerika, Robert N. Bellah, bahwa yang dimaksud dengan sekularisasi itu ialah proses temporalisasi terhadap nilai-nilai yang memang temporal, namun yang cenderung dianggap ummat sebagai bersifat ukhrawi. Istilah ini juga bermakna ‘desakralisasi’ atas segala sesuatu yang selain dari yang benar-benar transendental. Yang terakhir namun juga penting, dalam merespon kian meningkatnya ketertarikan orang terhadap Islam di satu sisi dan mandulnya Islam politik di sisi lain, dia sampai pada kesimpulan bahwa bagi banyak Muslim pada saat itu: ‘Islam, yes; partai Islam, No!’

Keberanian Cak Nur dalam mengambil langkah yang tak populer dengan mengutamakan gerakan pembaharuan, meskipun berisiko mengundang kritik luas, merupakan sebuah momen menentukan bagi penasbihannya sebagai seorang intelektual garda depan. Seperti yang dijelaskan Max Weber: ‘Para intelektual seringkali berhadapan dengan dilema antara memilih integritas intelektual atau kontingensi-kontingensi ekstra-intelektual, antara arus ide yang rasional atau kejumudan dogmatik. Setiap keputusan yang memilih pilihan kedua akan berarti melakukan ‘pengorbanan intelek’’.[3] Ambivalensi yang secara tipikal muncul dari posisi seperti itu, diuraikan oleh Bernhard Giesen sebagai berikut (1998: 43):

 

“Para intelektual mengeluhkan tidak adanya pemahaman dari publik yang memang tak paham, tak memiliki kesanggupan untuk paham, atau bahkan bersikap memusuhi, interpretasi-interpretasi para intelektual itu. Di sisi lain, persis karena adanya penolakan oleh publik itulah, secara khas tercipta ketegangan yang bisa dimaknai sebagai keunggulan interpretatif dari intelektual garda depan. Dalam keluhannya atas publik itulah, intelektual mulai mengkonstruksi struktur dasar yang di dalamnya dia bisa mencapai hal luar biasa sebagai intelektual. Sebaliknya, pengadopsian interpretasi-interpretasi intelektual oleh khalayak luas selalu menimbulkan bahaya berupa pudarnya seorang intelektual.”

Dengan memprioritaskan ide-ide di atas opini publik, Cak Nur cenderung kurang menghiraukan implikasi-implikasi sosial dari pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan-pernyataan kontemplatifnya. Hal ini terutama berlaku dalam pernyataan krusialnya mengenai keharusan ‘sekularisasi’. Apapun definisinya mengenai sekularisasi, suatu bahasa atau terminologi tidaklah bisa beroperasi secara terisolasi dan tak bisa mengelak dari sejarah. Makna selalu terkonstruksi dalam konteks sosial dan historis, dan dalam proses itu, institusi-institusi dan pergulatan sosial terlibat.  Seperti yang diargumentasikan oleh Jay L. Lemke (1995: 9): ‘Semua makna tercipta dalam masyarakat, dan karena itu analisis terhadap makna tak bisa dilepaskan dari dimensi-dimensi sosial, historis, kultural dan politik dari masyarakat ini’. Dalam struktur kognitif kaum Muslim Indonesia, istilah ‘sekuler’ dan derivasinya memiliki sebuah konotasi yang negatif sebagai penanda dari ‘kelianan’ (otherness). Istilah itu umumnya diasosiasikan dengan penyingkiran pengaruh agama dari ruang publik dan politik—yang dianggap asing bagi pandangan dunia Islam—dengan referensi khusus pada kebijakan kolonial Belanda yang represif di bawah pengaruh Snouck Hurgronje untuk memarjinalkan Islam politik. Keberatan-keberatan yang diajukan kaum Muslim terhadap istilah tersebut, diperparah dengan perujukan-perujukan yang terlalu sering yang dilakukan Cak Nur ke sumber-sumber akademis Barat, sehingga semakin memperkuat rasa keasingan dan kelianan dari istilah tersebut.

Karena alasan-alasan yang sama, pernyataan Cak Nur mengenai ‘Islam yes; partai Islam: no!’ juga disalahpahami. Seperti halnya pernyataan Tjokroaminoto di hadapan kongres Sarekat Islam di Surakarta pada tahun 1931 bahwa ‘SI bukan sebuah partai politik, dan bukan sebuah organisasi yang menginginkan suatu revolusi, namun merupakan sebuah organisasi yang loyal kepada pemerintah,’ pernyataan Madjid itu pada hakekatnya tidaklah bermaksud untuk merobohkan pengaruh Islam secara politik. Sebaliknya, justru menyodorkan alternatif untuk  memperkuat pengaruh Islam secara politik melalui pendekatan non-politik. Namun, sekali lagi karena pernyataan itu dianggap sebagai bagian dan paket dari pernyataannya mengenai sekularisasi, para kritikusnya tak bisa membaca esensi dan nuansadari pernyataan tersebut.

Perbenturan antara ‘visi’ dan ‘tradisi’ berlangsung di seputar dua poin krusial dalam pemikiran Cak Nur tersebut, yang menimbulkan perdebatan-perbedatan intelektual yang melelahkan untuk beberapa tahun ke depan. Perdebatan menyita banyak waktu itu telah terperangkap pada persoalan semantik, dan gagal membicarakan isu-isu yang substansial. Skala kontroversi dan kesungguhan visi Cak Nur menjadi semakin meluas dan kuat karena intensitas dan densitas liputan media, terutama oleh majalah Tempo dan Pandji Masyarakat yang menjadi inisiator utama dari polemik ini. Dipacu oleh liputan media, elemen-elemen penentang dari kaum Muslim, baik dari generasi-generasi yang tua maupun muda dari kalangan intelektual Muslim, seperti H.M. Rasjidi (seorang pemimpin Masjumi/DDII), Abdul Qadir Jaelani (seorang pemimpin PII yang militan), dan Endang Saifuddin Anshari (seorang intelektual HMI yang berorientasi dakwah) mulai melancarkan serangan-serangan kritik yang pedas. Di antara serangan-serangannya, Rasjidi mengeritik pandangan sekularisasi Madjid sebagai sebuah interpretasi yang semena-mena karena istilah tersebut telah memiliki makna yang baku. Rasjidi juga menegaskan bahwa Cak Nur telah mengabaikan fakta bahwa proses sekularisasi pada gilirannya akan mengarah pada sekularisme. Mendukung kritik Rasjidi, para peserta polemik yang lain berkeberatan dengan apa yang mereka tangkap sebagai penolakan Cak Nur terhadap politik Islam. Mereka ini menyakini bahwa ‘Islam, yes: partai Islam, yes!’

Polemik dan kategorisasi yang dilakukan oleh media atau oleh para pengamat seringkali mendorong para peserta polemik untuk berpegang teguh pada suatu posisi pemikiran intelektual tertentu, kendatipun sebelumnya bolehjadi mereka masih memiliki keraguan tentang hal itu. Meskipun niat awal dari ceramah Cak Nur hanyalah untuk menstimulus diskusi, efek dari kritik yang memusuhi dan liputan media mendesaknya untuk melangkah lebih jauh dalam memperjuangkan ide-ide pembaruan Islam.

Ide pokok pembaruan pemikiran Cak Nur berporos pada persenyawaan dari segitiga “keislaman, keindonesiaan, dan kemoderenan”. Dari segi keislaman, Cak Nur mengingatkan kembali sentralitas doktrin Tauhid (monotheisme) yang mengandung konsekuensi bahwa hanya Tuhanlah satu-satunya wujud yang pasti. Semua selain Tuhan bersifat nisbi belaka. Jalan dari kenisbian mendekatkan kepada ”Kebenaran” dan kemaslahatan hidup bersama ditempuh melalui kehanifan, kerendahhatian, kesalingpengertian (ta‘aruf), dan permusyawaratan dalam suatu tatanan sosial yang terbuka, adil dan beradab. Berdasarkan hal itu, orang-orang Muslim dituntut untuk lebih mampu menempatkan diri dan menampilkan ajaran agama mereka sebagai pembawa kebaikan untuk semua (rahmatan lil-alamin). Masalah yang secara khusus dihadapi umat Islam tidak dapat dipandang akan dapat diselesaikan hanya oleh mereka sendiri. Jika kesenjangan sosial dan antarbangsa merupakan sumber pokok masalah zaman sekarang, maka usaha untuk menutup kesenjangan tersebut menuntut kerjasama semua orang.

Dalam semangat pencarian titik temu itu, klaim universal Islam harus didialogkan dengan realitas setempat. Orang-orang Muslim diharapkan mampu mewujudkan diri dalam sikap hidup kebangsaan yang tidak lagi melihat kesenjangan antara keislaman dan keindonesiaan. Bahkan lebih mendasar lagi, Muslim Indonesia menyongsong masa depan bangsa dan negara dalam semangat tiadanya lagi kesenjangan antara Islam dan Pancasila. Sebagai pendukung dan sumber utama nilai-nilai keindonesiaan, Islam semakin diharapkan untuk tampil dengan tawaran-tawaran kultural yang produktif dan konstruktif, khususnya dalam pengisian nilai-nilai keindonesaan dalam kerangka Pancasila. Garis pemikiran seperti inilah yang mempertemukan Cak Nur dengan Bung Karno dari jurusan yang berbeda. Jika Bung Karno mengidealisasikan kebangsaan yang memuliakan nilai-nilai ketuhanan, Cak Nur mengidealisaikan ketuhanan (keislaman) yang memuliakan nilai-nilai kebangsaan.

Seiring dengan itu, Cak Nur menyerukan bahwa dalam merespons dinamika perkembangan masyarakat semesta, tradisi Islam juga harus senantiasa terbuka bagi inovasi kemoderenan. Tradisi yang dinamis menghendaki adanya pembaruan (tajdîd), yang dengan tekun dikembangkan. Meskipun pembaruan itu, untuk keotentikannya, dan demi kekuatannya sendiri harus berlangsung secara mengakar pada kerangka acuan bersama sebagaimana yang dilakukan sejak zaman klasik. Tidaklah banyak artinya mengenang kejayaan masa lampau tanpa kemampuan mengembangkan warisan kultural yang ditinggalkannya.dalam status dialog yang dinamis dan lestari, yang menyatakan dirinya dalam gagasan-gagasan kreatif zaman sekarang.

Oleh karena itu, yang amat diperlukan oleh Muslim Indonesia saat ini, ialah suatu persepsi kepada agamanya secara intelektual, disertai sikap kritis terhadap berbagai warisan sejarahnya sendiri. Seterusnya, yang harus dicari ialah bagaimana memelihara segi-segi yang baik dari masa lampau itu dan sekaligus mengambil hal-hal yang lebih maju dan lebih bermanfaat dari masa sekarang.

Ide-ide pembaruan Cak Nur itu ternyata memiliki kakinya sendiri. Sejarah membuktikan bahwa kebernasan gagasan, keteguhan pendirian, kelurusan niat dan kebersahajaan hidup sang pemikir membuat ide-ide yang semula disalahpahami dan dicerca pada waktunya bisa dipahami, diapresiasi dan bahkan diadopsi.

Hampir tiga puluh tahun setelah pidato pembaruan Cak Nur yang menghebohkan, gerakan reformasi 1998 memberi ruang sejarah bagi pembuktian dan penerimaan ide-ide Cak Nur. Pengaruh gerakan pembaruan Islam yang menekankan keterbukaan dan insklusivisme dengan kuat mempengaruhi mental model dari partai-partai politik. Bahkan partai-partai yang berasas Islam sekalipun perlu menyatakan dalam Anggaran Dasarnya bahwa partainya bersifat terbuka. Terbukti pula, sejak Pemilu 1998, partai-partai Islam tak kunjung mencapai suara mayoritas bahkan cenderung merosot dari Pemilu ke Pemilu. Suatu perkembangan yang membuat partai Islamis seperti PKS pun tergoda untuk bermetamorfosis menuju partai terbuka yang bercorak nasionalistis. Menurunnya perolehan suara partai-partai Islam tersebut justru berbanding terbalik dengan meningkatnya apresiasi terhadap Islam dalam kehidupan dan wacana publik, sehingga partai-partai ”nasionalis-sekular” sekalipun tak ketinggalan memberi perhatian khusus pada aspirasi dan representasi keislaman.

Di luar itu, apresiasi terhadap tema-tema pluralisme dan toleransi juga kian meluas dalam masyarakat. Apresiasi yang mencerminkan kesejatian, pencapaian dan kontribusi ide-ide pambaruan dalam mengupayakan penyerbukan silang budaya antara keislaman dan kebangsaan serta antara tradisi dan kemodernan.

Singkat kata, pokok-pokok pembaruan pemikiran Cak Nur tidak akan aus karena kepergiannya, malahan kian aktual dalam menghadapi tantangan globalisasi saat ini. Dengan intensivikasi hubungan-hubungan sosial berskala global, setiap negara bukan saja menghadapi potensi ledakan pluralisme dari dalam, melainkan juga tekanan keragaman dari luar. Tarikan global ke arah demokratisasi dan perlindungan hak-hak asasi memang menguat. Tetapi oposisi dan antagonisme terhadap kecenderungan ini juga terjadi. Di seluruh dunia, ”politik identitas” (identity politics) yang mengukuhkan perbedaan identitas kolektif berbasis etnis, bahasa dan agama mengalami gelombang pasang. Di Indonesia sendiri, pergeseran dari rezim otoritarian menuju demokrasi membawa kabar baik dalam pemulihan kebebasan berekspresi  dan berasosiasi, namun sekaligus mengandung potensi ancaman dari menguatnya politik identitas dengan ekspresi kekerasan  yang menyertainya.

Karena setiap pencarian identitas memerlukan perbedaan dengan yang lain, maka politik identitas senantiasa merupakan politik penciptaan perbedaan. Apa yang harus diwaspadai dari kecenderungan ini bukanlah dialektika yang tak terhindarkan dari identitas/perbedaan, melainkan ancaman dari munculnya keyakinan atavistik yang berkeyakinan bahwa suatu identitas hanya bisa dipertahankan dan diamankan dengan cara menghabisi perbedaan dan keberlainan (otherness).

 

Dalam situasi seperti itu, semangat untuk memandang perbedaan sebagai rahmat sangat diperlukan. Di sinilah relevansi pemikiran Cak Nur terasa sangat kuat.

Buku yang ditulis secara bersemangat oleh saudara Gaus ini merupakan suatu usaha untuk merekonstruksi bangunan pemikiran Cak Nur, lengkap dengan segala kontroversi, kesalahpahaman dan implikasi-implikasinya. Ia telah berusaha memperlihatkan hitam-putihnya Cak Nur dengan menyertakan berbagai sudut pandang, meskipun berbagai sudut pandang itu boleh jadi merupakan persepsi subjektif orang luar yang belum tentu demikian sejatinya menurut Cak Nur sendiri. Sayang, Cak Nur sendiri telah meninggal sehingga tidak bisa memberikan tanggapan balik atas pandangan para komentatornya.

Sungguh pun begitu, setiap teks memiliki sejarahnya sendiri. Sekali teks dinyatakan, penulisnya mati, membiarkan teks itu bebas diinterpretasikan oleh penerimanya. Apalagi jika teks itu mengandung ide besar dari seorang besar, sudah barang tentu mengundang bobot kontrovesri dan ragam tafsir, termasuk potensi kesalahpahaman yang begitu besar.

Namun demikian, hal itu bukanlah suatu kecelakaan. Kesalahpahaman memang bagian inheren dari nama besar. Bahkan ketika sang pemikir besar itu telah wafat, kesalahpahaman bisa berlanjut meski suatu biografi ditulis untuk meluruskan tafsir yang bengkok. Apalagi jika biografi yang ditulis juga memancing kontroversi baru.

Disalahpahami bukanlah sesuatu yang buruk. Seperti kata Cak Nur sendiri, kalau kita takut dikritik dan disalahpahami, maka, “Do nothing, say nothing, and be nothing!” Biografinya sendiri mempersaksikan keberaniannya untuk melontarkan ide progresif, tanpa takut penghujatan, dan membuktikan bahwa ide satu orang yang bernas, konsisten dan bersahaja memberi arti banyak bagi kehidupan banyak orang. Selamat membaca!

 

 

Dr. Yudi Latif adalah pengamat politik dan pemikiran Islam


[1] Natsir juga berasal dari Sumatra dan juga dikenal sebagai intelektual Persis pada tahun 1920-an/1930-an.

[2] Pandji Masyarakat nomer 28, 29 dan 30, artikel-artikel itu bertanggal 1 Muharram 1388 H./29 Maret 1968.

[3] Lihat Ahmad Sadri, Max Weber’s Sociology of Intellectuals (1992: 72).

 

Berminat membeli buku ini hubungi: Patricius/Kompas 08158925350

Penulis: @AhmadGaus

Pengantar: @yulatif

Epilog: Budhy Munawar-Rachman