My Life

Burung

SAYA hanya manusia kebanyakan. Lahir di tengah keramaian. Bukan anak dewa titipan rembulan. Bukan pula tokoh yang wajahnya ada di koran-koran, lalu dilihat di bungkus kacang oleh mantan. Terus bergulir deh jadi cerita sinetron picisan yang ujungnya udah ketahuan.

Kamu gak perlu tahu kapan saya lahir, gak penting-penting amat. Tapi kalau emang  mendesak bisa japri saya atau ketik nama saya di Google — banyak file saya di situ. Yang jelas wajah saya masih 20-an, kan? eHmm.. Maklum saya suka minum jamu pahitan, teh kelor, daun afrika, jus buah naga, dan segala jenis produk hortikultura kekayaan nusantara.

Masa kecil saya dihabiskan di Cikupa [Banten], ketika kota kecil ini masih hijau, masih banyak sawah, ladang-ladang yang luas, perbukitan, perkebunan, tegalan tempat anak-anak main layangan; belum dipenuhi oleh pabrik seperti sekarang. (Kenangan masa kecil itu saya tulis dalam puisi ini: Waktu Kita Kecil). Waktu kecil saya bercita-cita ingin jadi tentara karena suka lihat film perang di TVRI. Sampai sekarang saya masih ingat bagaimana tentara Jerman waktu Perang Dunia II terjebak di jantung Rusia. Itu yang mempercepat kekalahan Jerman oleh sekutu. Entah judul filmnya apa — yang pasti bukan “Ada Apa dengan Cinta 2”. Waktu lihat banyak keluarga yang sakit, cita-cita saya berubah ingin menjadi dokter. Pernah juga saya bercita-cita ingin menjadi insinyur, guru, olahragawan, seniman — pokoknya berubah-ubah terus sesuai dengan mood waktu itu dan apa yang saya lihat. Bahkan saya pernah bercita-cita ingin jadi ulama. Benar-benar engga tahu diri.

Lagu favorit saya waktu sekolah adalah Maju Tak Gentar dan Garuda Pancasila. Dari kelas 1 sampai kelas 6 SD kalau disuruh nyanyi di depan kelas oleh bu Guru ya lagu itu yang saya bawakan. Jadi memang, jiwa nasionalisme saya sudah terbentuk sejak kecil. Keren banget, ‘kan?! Dari kecil juga saya sudah hapal lagu-lagu daerah yang suka disiarkan tv dan radio (RRI), dari mulai Bungong Jeumpa (Aceh), Erkata Bedil (Batak), Sabilulungan (Sunda), Sipatokaan (Minahasa), sampai Burung Tantina (Ambon). Makanya waktu ujian akhir kelas 6 SD, saya heran kok ada pertanyaan begini: Sebutkan 2 penyanyi pop Indonesia. Ya saya bingung, dong. Ini kan ujian nasional. Serius apa engga sih negara ini. Akhirnya saya nengok ke kanan, nanya sama teman perempuan. Dia membisikkan dua nama penyanyi pop: Nia dan Yati. Itulah yang saya tulis di lembar jawaban. Dan saya lulus SD juara tiga. Belakangan saya baru tahu bahwa nama penyanyi yang disebut teman saya itu sebetulnya satu: Nia Daniati.

Rumah saya dekat kali yang lumayan lebar dan dulu airnya kuning jernih. Namanya kali Cirarab. Di situlah dulu saya belajar berenang dan bermain bersama teman-teman kecil saya, laki dan perempuan campur baur, enggak dikasih hijab atau pembatas syar’i. Jadinya anak-anak perempuan bisa lihat titit kita, begitu juga sebaliknya. Tapi waktu itu gak ada pikiran aneh-aneh kayak orang sekarang [sampai ada yang mikir perempuan bisa hamil kalau mandi di kolam renang yang sama dengan laki-laki. Helooooww..]

Sekarang kali Cirarab itu mengalami penyempitan yang serius, dan airnya sangat kotor oleh limbah pabrik dan sampah. Kalau musim hujan dan banjir, air kali itu meluap sampai jalan raya dan masuk ke rumah ibu saya. Padahal dulu enggak pernah terjadi. Akhirnya ibu saya harus mengungsi ke rumah salah satu adik saya di Citra Raya, Cikupa, sambil nunggu air surut.

  SAYA penyuka tempe dan bandeng goreng polos [enggak dikasih apa-apa]. Waktu kecil saya senang mancing di kali, waktu itu ikannya masih banyak, dari lele, gabus, nilem, sampai lempuk. Makan ikan hasil tangkapan sendiri adalah kenikmatan yang sangat mewah. Maklum saya belum bisa jadi vegetarian. Tapi sejujurnya saya pecinta binatang. Dari kecil saya suka memperhatikan cara hidup semut dan kupu-kupu. Saya juga memelihara ayam, kucing, dan burung yang dibiarkan tanpa kandang. Karena saya nggak suka lihat burung dikurung. Menderita sekali. Bayangkan saja kamu berada di dalam penjara!

Saya pikir Tuhan menciptakan sayap pada burung-burung pastinya agar mereka terbang bebas menghiasi langit yang terbuka. Karena itu, salah satu cita-cita saya selain ingin jadi presiden ialah ingin melepaskan burung-burung dari sangkarnya, di seluruh dunia. Saya pernah berhenti di pinggir jalan dan turun dari sepeda motor karena melihat beberapa anak tanggung lagi main burung ketilang. Saya bayarin burung-burung itu dan saya lepaskan di depan mereka.

Kakek saya pernah bilang, “Kalau belum punya anak dan belum naik haji jangan suka melihara burung [dikandangin].” Saya tidak tahu apa maksudnya. Tapi pesan yang terdengar mistis itu sangat membekas di kepala saya. Berikut saya kutipkan dulu puisi yang pernah saya tulis tentang penderitaan seekor burung kandang:

OTOBIOGRAFI SEEKOR BURUNG

Sudah tiga hari ini burung dalam sangkar tidak mau makan. Dan tadi malam, saat kusodori makanan, dia kembali menolaknya dengan lembut. “Aku tidak lapar. Aku hanya butuh pena.” Bukan main kagetnya aku mendengar permintaan itu. “Untuk apa?” Tanyaku. “Aku ingin menulis biografi.” Maka kuletakkan sebuah pena di sangkarnya.

Pagi hari kutemukan burung itu tergeletak tak bernyawa. Di bagian sayapnya terbaca sebuah tulisan: “Tuhan, hidup dan matiku adalah milik-Mu. Hari ini kukembalikan semuanya kepada-Mu. Kecuali sayapku ini. Berikanlah ia pada orang-orang yang mendambakan kebebasan.”

Bandung, 15 September 2018, poem by: ahmadgaus

Oke saya lanjutkan lagi…

BAPAK saya tukang besi yang gigih dan puritan. Dia punya kios di Pasar Lindeteves, Jakarta Barat. Setiap pagi berangkat kerja naik vespa atau mobil angkutan. Sore hari adalah waktu yang kami tunggu-tunggu karena bapak biasanya pulang bawa kue semprong, roti, atau martabak. Saya katakan bapak saya puritan karena memang pandangan keagamaannya cenderung emoh-tradisi. Nenek saya pernah dia omeli gara-gara naro sesajen makanan di bawah pohon pada malam jumat. Bapak saya adalah satu-satunya orang di kampung saya yang salat terawehnya 11 rakaat. Mungkin karena dia sehari-hari banyak menghabiskan waktu di Jakarta, jadi kena pengaruh salatnya orang kota. Sementara itu, kakek saya adalah imam mushalla yang terawihnya 23 rakaat. Dia juga amil yang ngurusin jenazah dan ngawinin orang. Tapi orang-orang sakit juga datang ke dia untuk “disembur”, dari yang sakit gigi sampai yang kesurupan setan, bisa dia sembuhkan.

Ibu saya lulusan SMP dan pernah bekerja di Jakarta sebagai sekretaris kantor. Waktu saya kecil dia mengajari saya lagu Que Sera-Sera dari Doris Day —  sampai sekarang saya hapal lagu itu di luar kepala. Kalau Bapak saya sukanya lagu-lagu Melayu, Elvi Sukaesih, dan Eddie Peregrine —  banyak juga yang saya hapal lagunya dari kecil seperti Since You’ve Been Gone, Memories of our Dream, Don’t Ever Go Away, Truly, Mardi, dll.

IMG_20190114_124413_639

Ini Ibu saya, Ai Roswiyati. Puisi saya tentang ibu bisa dibaca di sini Mata Ibu Waktu saya lulus SD, nenek saya bilang, “Terusin sekolah ke mana aja bagus, asal jangan ke Muhammadiyah.” Waktu itu saya tidak tahu Muhammadiyah itu apa. Rupanya di kampung saya Muhammadiyah dianggap kafir karena subuhnya nggak baca qunut, dan suka nyesat-nyesatin orang yang ziarah kubur dan mauludan. Ya akhirnya saya juga nggak suka, soalnya pas acara mauludan itulah saya bisa makan ikan bandeng. Bayangkan kalau mauludan dihapuskan, di mana saya makan ikan bandeng lagi. Tapi pas udah dewasa dan cari-cari referensi sendiri, saya justru suka dengan Muhammadiyah karena cara berpikir mereka rasional dan modern.  Mereka juga sangat terbuka dengan pemikiran Barat.  Walaupun —  dan ini anehnya —  kadang sikap puritannya keterlaluan juga sampai (untuk sebagian) mendekati intoleran.

Saya suka menulis, khususnya puisi. Tapi kerap juga menulis esai sastra, artikel ilmiah, dan buku-buku wacana (20-an buku). Saya paling suka menulis puisi tentang senja — mungkin karena pengaruh Chairil Anwar: Senja di Pelabuhan Kecil, Derai-Derai Cemara, dll. (Baca esai saya tentang Chairil di sini: Chairil Anwar dan Revolusi Puisi Indonesia) Puisi saya juga banyak merekam suasana hujan — kalau ini jelas pengaruh raja penyair romantik Sapardi Djoko Damono: Hujan Bulan Juni, Hujan Turun Sepanjang Jalan, Hujan dalam Komposisi, Di Beranda Waktu Hujan, Kuhentikan Hujan, dll. (Baca esai saya tentang puisi-puisi hujan Sapardi di sini: Menikmati ‘Hujan Bulan Juni’ bersama Tuan Sapardi). Saking sukanya dengan senja sampai-sampai buku puisi saya pun judulnya Senja di Jakarta (lihat SENJA DI JAKARTA dan Musikalisasi Puisi SENJA DI JAKARTA). Di dalamnya juga banyak puisi tentang hujan. Begitulah.. dengan sengaja saya membuka diri untuk dipengaruhi oleh orang-orang besar. Pepatah mengatakan, “Berdirilah di pundak orang besar” [maksudnya biar kelihatan, hiks].

Senja di Jakarta

Dulu saya sering menulis artikel popular atau kolom di koran dan majalah, tapi honornya kecil dan lama nunggu keluarnya. Waktu itu sistemnya belum transfer rekening. Kadang kita para penulis udah lama antri di kasir, ehh.. juru bayarnya nggak masuk. Besok datang lagi, katanya. Jadi malas. Pernah juga saya menulis sampai belasan artikel dimuat koran dan honornya engga saya ambil-ambil, maksudnya biar banyak sekalian. Pas mendekati lebaran, saya datang ke koran itu untuk ambil honor. Saya diberi tahu satpam bahwa manajemen koran sedang peralihan, karena yang dulu udah bangkrut. Ya Allaaahh, terus honor saya bagaimana? “Ya nggak ada, dik, kan udah bangkrut,” jelas pak satpam. Anjirrr..!!  Kampret Bulgaria..!! Saya agak kapok. Sejak itu  saya hanya menulis kalau diminta, dan dibayar di muka. Serius!!

Oh ya, saya juga menulis biografi sejumlah tokoh nasional. Salah satunya Nurcholish Madjid atau Cak Nur — suhunya para cendekiawan Indonesia dan juga Guru Bangsa yang menurunkan Suharto dengan cara yang sangat lembut dengan konsep husnul khatimah — sebab kalau nggak gitu Suharto nggak mau turun. Maklum dia jenderal besar, nggak mau dihujat-hujat, apalagi diturunkan paksa.

Ajaran Cak Nur yang sangat membekas dalam diri saya adalah tentang toleransi dan kebebasan beragama. Dalam hal ini dia sangat liberal dan sekaligus Quranik. Pikiran-pikiran liberalnya justru bertolak dari pesan-pesan al-Quran sendiri. Saya kira Cak Nur adalah cendekiawan  Muslim yang paling berjasa membunyikan ayat-ayat pluralisme yang selama ini ditutup-tutupi oleh para ulama konservatif dan kaum intoleran. Menurut Cak Nur, orang Islam itu semakin dekat dengan Quran semakin toleran, dan semakin jauh dengan Quran semakin tidak toleran. Menurut Cak Nur lagi, al-Quran itu mengakui kebenaran agama lain, dan memberi pernyataan tegas bahwa umat agama lain pun akan masuk surga. Maka, katanya, al-Quran itu sangat liberal, sampai-sampai umat Islam takut dengan kitab sucinya sendiri. Tidak banyak orang Islam yang punya pemikiran seperti ini. Dia segaris dengan para cendekiawan seperti Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), Djohan Effendy, M. Dawam Rahadjo, Buya Syafii Maarif, dan mereka-mereka yang tercerahkan.

api02
Buku yang merekam perjalanan hidup Nurcholish Madjid, seorang cendekiawan-pemikir paling kontroversial dengan ggasan-gagasan yang menggetarkan.

KADANG saya juga menulis sebagai ghost writer — menulis buku atas nama orang lain, yang penting bayarannya cocok, uhh… Di Amerika, ghost writer itu sangat kaya karena mereka dibayar mahal. Tapi di sini biasa aja.  Memang negeri +62 ini belum bisa menghargai keahlian menulis, padahal ini pekerjaan nggak gampang, nggak semua orang bisa melakukannya. Coba aja kamu nulis satu paragraf kirim ke saya, saya akan tunjukkan kesalahannya.

SEJAK 2008 hingga sekarang saya mengajar mata kuliah bahasa dan budaya di Swiss German University (SGU), BSD City, Tangerang. Hampir semua jurusan di kampus ini bercorak ilmu-ilmu ‘keras’ [otak kiri] seperti teknik industri, mekatronik, biomedik enjinering, foodtech,  dll. Makanya di kelas saya, saya ajak mereka “berkhayal” untuk mengaktifkan otak kanan. Saya ajak mereka bernyanyi, menari, main ular naga, membaca puisi dan cerpen, menulis puisi, dan sejenisnya. Puji Tuhan, akhirnya para mahasiswa SGU berhasil menerbitkan buku puisi berjudul Istana Angin yang diberi kata pengantar dengan penuh kekaguman oleh eyang Sapardi Djoko Damono, rajanya penyair Indonesia.

Istana Angin

—- oo0oo —

BUKU kumpulan puisi saya juga sudah terbit, judulnya:  Kutunggu Kamu Di Cisadane: Antologi Puisi Esai, terbitan KomodoBooks, 2012. (Lihat, Para Penyair dan Sastrawan Bicara tentang Buku Puisi Esai Ahmad Gaus). Puisi panjang ini sekarang sedang dibuatkan filmnya [kebetulan ada yang membiayai]. Genrenya semi-dokumenter karena mengandung unsur sejarah dan budaya. Buku kedua ialah Senja di Jakarta (Kosa Kata Kita, 2017), yang diluncurkan dan dibedah di Singapura (2018). Saat ini ada sekitar seratusan naskah puisi saya yang belum diterbitkan. Nunggu orang baik yang mau mendanai. Sebab, susah cari penerbit yang mau nerbitin buku puisi dengan dana sendiri. Soalnya buku puisi itu proyek rugi. Gak akan balik modal. Kecuali buku puisinya Rupi Kaur [anak insta-poet milenial di Amerika] yang terjual lebih dari sejuta kopi itu.

Saya pernah bekerja di Paramadina sebagai pemimpin redaksi penerbitan. Kemudian pindah ke yayasan yang berbasis di AS, LibforAll Foundation. Kemudian menjadi tim sensor di Lembaga Sensor Film (LSF) RI. Sekarang menjadi “proyektor”, alias tukang nyari-nyari proyek penulisan, penelitian, pelatihan, seminar, dan sebangsa itu.

Betewe, biar begini saya juga masih sekolah, lho. Saya menyelesaikan kuliah S1 di IISIP Jakarta, dan S2 di Universitas Paramadina. Dan sekarang — di sela-sela kesibukan saya sebagai pengangguran terdidik — saya kuliah lagi, S3 Ilmu Politik di Universitas Nasional (Unas), Jakarta. Semester depan, September 2020, sudah harus menulis disertasi. Apakah anda punya usulan, apa yang harus saya tulis? Hehee..

 Walaupun kuliah S3 banyak sekali tugas paper dan presentasi yang harus dibuat setiap minggunya, tapi saya selalu meluangkan waktu untuk menulis puisi dan esai sastra. Dan sekarang saya lagi suka menulis novel. Dalam kondisi bagaimanapun, menulis itu bagi saya seperti bernapas, kebutuhan untuk hidup itu sendiri.

Akhir kata, saya harus mengucapkan terima kasih karena anda sudah mau menghabiskan beberapa menit dalam hidup anda untuk membaca tulisan ini. Sekali lagi, website pribadi ini dibuat untuk berbagi. Jika anda ingin berdiskusi seputar masalah sastra, agama, budaya, politik [banyak amat ya :)] jangan sungkan-sungkan menghubungi saya. Insya Allah saya terima dengan tangan terbuka. Sukses ya, bro/sis.

164-1645835_emot-icon-senyum

Salam Puisi

-ahmadgaus-

YIB Puisi

Selangor 10 des 17

Keterangan foto:

Foto di atas itu saya lagi baca puisi di acara diskusi sastra di ajang Festival Bahasa dan Persuratan, Malaysia, 2017. Di atasnya lagi, yang pakai kaos biru, lagi baca puisi bertema kebahagiaan di Taman Surapati, Menteng, Jakarta, di Hari Kebahagiaan Internasional 2018

Follow my IG: @gauspoem

Leave a Comment

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s