Kota-kota dalam Koloni Airmata

Hujan menepi pada dinding beton rumah-rumah yang menyekap ingatan tentang rasa sakit. Sejarah yang dikubur oleh cairan timah yang membeku dalam tubuh orang-orang yang mengaumkan kepedihan. Dalam reportoar para pembenci di atas panggung yang disulap menjadi zona perang.

Para penjaga malam negeri ini menjerit kesakitan. Mencabut luka satu demi satu reruntuhan peradaban yang telah asing. Orang-orang menjelma serigala—mencabik-cabik tubuh mereka sendiri, menggali urat nadi untuk menghanyutkan rasa sakit yang mengeras dalam genangan darah.

Mereka berbaris membentuk pasukan burung, berarak di atas langit yang robek oleh desingan peluru. Para malaikat melantunkan salawat, memisahkan roh-roh jahat dari butiran hujan—sebab hujan adalah airmata yang menguap ke angkasa, tangisan yang direnggut penguasa-penguasa durjana.

Kota-kota kini dalam koloni airmata dan kabut dan dingin yang menebal di setiap persendian. Orang-orang bergegas memburu bayangan langit yang runtuh menjadi percikan api. Semua mimpi berserakan dan terbakar. Sebab mereka tak mampu lagi membedakan warna senja dan fajar yang mulai menyingsing di kaki bukit.

2 Comments

  1. Sitta Maryam says:

    apa yahh artinya puisi ini, bingung..

    Like

  2. Sutono_abe says:

    the amazing poem, but i dont understand 🙂

    Like

Leave a Comment