Waktu Kita Kecil

httpswwwfotoblur.comimages182594

WAKTU kita kecil, kita ingin terbang seperti burung, berkelana ke angkasa, mencari dunia yang lebih angker untuk bermain petak umpet. Sebab hanya di tempat seperti itu kita diperebutkan oleh anak-anak perempuan yang takut setan.

Waktu kecil kita ingin menjadi kupu-kupu. Hinggap dari satu bunga ke bunga lain yang tumbuh di antara semak belukar. Bercinta dengan bebasnya di alam terbuka. Angin berhembus kencang menimbulkan getaran keras pada daun-daun dan menggoyangkan tangkai-tangkainya — hingga seluruh birahi tumpah di penghujung petang itu.

Waktu kecil kita berlarian di pematang sawah, atau bermain di tumpukan jerami sehabis panen. Waktu itu belum ada pabrik yang dibangun di atas lahan pertanian. Petang hari kita bermain sepak bola. Lapangannya terbentang dari belakangan rumah sampai ke bukit-bukit. Sama sekali tidak pernah terpikir bahwa kelak kita akan kehilangan itu semua, dan hanya bisa bermain bola di lapangan futsal yang sempit. Tapi mungkin itu bukan permainan bola, hanya sejenis kenangan yang diawetkan.

Waktu kecil kita pergi ke sekolah berjalan kaki tanpa sepatu. Jaraknya berkilo-kilo meter. Buku pun cuma satu untuk mencatat semua mata pelajaran. Waktu itu pemerintah menyediakan buku ajar. Jadi kita tidak perlu membelinya. Atau buku bekas kakak sulung kita yang masih bisa dipakai sampai adik yang kesepuluh.

Waktu kecil kita bermimpi pindah ke kota, bekerja di kantor besar. Pergi dengan mobil yang disetir sendiri sambil ngebut di jalan raya. Waktu itu belum terpikir kemacetan akan seburuk ini. Di kota kita bisa hidup lebih bebas. Pergi ke mana kita suka tanpa takut diomeli orang tua. Membeli pakaian sendiri. Memilih sepatu sendiri. Memilih pasangan hidup sendiri.

Setelah dewasa, kita ingin kembali ke masa kecil yang dipenuhi impian-impian indah. Kita pun kembali berkumpul dengan anak-anak di sore hari atau malam bulan purnama. Menyaksikan mereka bermain ular naga, galasin, engklek, atau hompimpa yang mengawali permainan yang mendebarkan: petak umpet. Kita terkejut karena semua yang pernah kita impikan dulu masih tersimpan rapi di mata mereka.

——–

 

Follow my instragram: @gauspoem and let me know by DM if you want me to follow you back

Adult romance –> Hujan dalam Pelukan

5 Comments

  1. aku suka puisi ini mengingatkan kita waktu kecil. aku mau nanya nih pak ahmad kalau kita yang smp mau bikin novel atau tulisan,sebaiknya mengambil tema apa pak? dari penulis MUSTANG KEDAMAIAN

    Like

    1. Ahmad Gaus says:

      Cara menulis yang mudah tentu yang tema-nya dekat dengan anda dan anda kuasai. Jika anda masih remaja, tulislah tema-tema seputar kehidupan dan dunia remaja sehingga anda menghayatinya dan bisa “menulis dengan hati”. Begitu ya, sukses selalu. Salam

      Like

  2. Mesakh Kristia Hartono says:

    Sangat suka dengan karangan yang ini bagamaina tema sedherhana yang banyak terjadi di ruang lingkup orang indonesia.Bercita-cita ke kota besar penghidupan yang lebih baik tapi apalah yang didapat hanya kekosongan hati ditengah keramaian ibukota.Layaknya manusia yang tidak pernah bersyukur apabila di desa ingin ke kota dan dari kota ingin suasana tenang seperti di desa.Gaya bahasa yang sedherhana dan mudah dimengerti membuat karangan ini sangat mengena buat saya yang juga notabene orang daerah yang sedang menempuh pendidikan tinggi di wilayah metropolitan.
    Salam

    Like

  3. Sangat suka dengan karangan ini.Dengan tema yang banyak terjadi di Indonesia.Paradigma untuk pindah ke kota untuk mecari kehidupan yang lebih baik namun apa daya hati kosong yang di-dapat ditengah keramaian ibukota.Layaknya orang yang tidak pernah puas namun baru dapat menghargai indahnya sesuatu saat hal tersebut sudah hilang.
    Karangan ini sangat mengena buat saya yang notabene anak daerah yang sedang menimba ilmu di kawasan megapolitan.

    salam

    Like

    1. Ahmad Gaus says:

      Terima kasih Bung Mesakh 🙂

      Like

Leave a Comment