MASYARAKAT SENJA
Senja berbaris mengenakan baju hitam. Orang-orang berdiri di atas jembatan, menunggu matahari terperosok ke dalam jurang. Dari sudut kota seorang pemuda datang tergopoh-gopoh, “Hai, lihat itu ada yang menangis di atas langit.” Suaranya perlahan-lahan menghilang ditelan kerumunan.
Sebuah peristiwa tengah disiapkan, untuk menyambut pergantian. Perempuan-perempuan menari di atas punggung kuda yang berlari kencang dari masa silam. Anak-anak dilemparkan ke atas bukit, dibekali panah beracun. Para resi keluar dari tempat pertapaan, memanggul senjata.
“Ada apa?” Pemuda itu masih belum mengerti.
Para nabi membawa kabar langit suci. Manusia membangun rumah sendiri-sendiri. Berdesakan dalam ruang sunyi, dengan sedikit lubang pintu untuk mengintip. Mereka hanya ke luar ketika langit mulai gelap. Malaikat-malaikat turun mengantarkan cahaya. Meninggalkannya di atas menara rumah-rumah Tuhan. Namun manusia mengurung diri. Dunia murung dalam keasingannya yang abadi.
Orang-orang itu menaiki bukit dan bersorak-sorai. Merayakan kemenangan atas matahari yang terperosok dalam kepala. Bumi hitam. Langit hitam. Dan segala yang dapat ditangkap oleh pancaindera. Tapi di atas bukit, angkasa tidak bertuan. Dunia terlalu kecil untuk menjadi medan pertempuran yang tak berkesudahan.
Alam Sutera, 08/09/17
Puisi “Masyarakat Senja” dimuat dalam kumpulan puisi saya, Senja di Jakarta (2017)
Foto ilustrasi:
Senja di teluk Kinabalu, Sabah-Malaysia, 24 April 2018, bersama para sastrawan Malaysia dan Indonesia: Fatin Hamama, Fanny Jonathan, D. Kemalawati, Isbedy Setiawan ZS, Datuk Jasni Matlani, dkk.