Pertemuan Hati

Menjalani hidup sebagai mantan selebriti tidaklah mudah bagi Sally. Beban psikologis yang diembannya nyaris membuatnya kehilangan akal sehat dan hampir saja menyeretnya ke dalam jeratan obat-obat terlarang. Dan itu sudah terjadi pada teman-temannya yang senasib setelah tersingkir dari dunia hiburan. Sementara itu beban ekonomi yang kian berat ditanggungnya memaksa Sally melakukan apa saja demi dapat bertahan dari kerasnya kehidupan di ibukota.

Sekali waktu pernah terlintas dalam pikiran Sally untuk pulang ke kampung. Ia ingin kembali menjadi Salimah, nama aslinya di kampung, yang hidup apa adanya, dan bergaul bersama warga desa yang bersahaja, tanpa obsesi-obsesi yang menyiksa. Namun kini ia merasa bahwa pilihan itu bukanlah yang terbaik, ketika orang-orang di kampung sudah kadung mengenalnya sebagai selebriti ibukota. Itu sama saja dengan mempermalukan diri sendiri, pikirnya.

Sally tidak bisa membayangkan peristiwa yang terjadi beberapa tahun lalu, saat dirinya pulang kampung, rumahnya tak henti-henti dikunjungi orang. Ada yang ingin mendengar kisah suksesnya menjadi artis di ibukota, ada yang minta tanda tangan di baju, berfoto, hingga yang meminta uang. Bukannya ia tidak ingin berbuat baik kepada orang-orang di kampungnya, tapi sekarang ini keadaannya sudah jauh berbeda. 

Kini Sally menyadari dirinya hanyalah orang biasa. Bukan selebriti. Bukan orang terkenal. Bahkan ia merasa nasibnya lebih buruk dari orang biasa yang menjalani hidup secara normal tanpa beban apapun. Sedangkan dia memikul beban moral, psikologis, dan ekonomi sekaligus. Tapi walaupun begitu, Sally tetap membulatkan tekad untuk melanjutkan hidup di Jakarta. Apapun yang terjadi, dan apapun yang harus dilakukan. Dari situlah dimulai petualangan Salimah, gadis kampung yang berusaha menjadi Sally, gadis modern yang terjebak di belantara ibukota.

***

Untuk kesekian kali, Sally melirik jarum jam di tangannya. Di atas meja, sepotong Quiche Lorraine masih tersisa. Sementara kopi tinggal ampasnya, mengendap di dasar gelas. Dan ini adalah batang rokok ketiga yang dinyalakannya. Pikirannya melayang seperti asap yang dihembuskan kuat-kuat dari celah bibirnya.

Aku tidak akan membiarkan airmata jatuh di pipimu. Aku akan memberikan bahuku untuk bersandar, jika engkau membutuhkannya.”

Berulang kali Sally membaca kata-kata itu di layar ponselnya. Orang yang mengirimkannya adalah Robby. Walaupun pria itu mengatakan bahwa ia salah mengirim pesan, Sally meyakini bahwa Robby sengaja menulis kata-kata itu untuk dirinya.

Sally mengenal Robby sebagai wartawan yang pernah menulis profil dirinya di majalah pria dewasa. Saat itu Sally masih berprofesi sebagai artis sinetron. Setelah 4 tahun lamanya menggeluti dunia perfilman, baru sekali itu Sally mendapat peran utama, karena itu Robby menuliskan profil dirinya sebagai cover story di media tempatnya bekerja. Nama Sally makin berkibar dan dikenal masyarakat. Sejak itu pula ia menjalin pertemanan akrab dengan Robby.

 Tapi itu dulu. Sejak 2 tahun lalu Sally tidak pernah lagi berakting di sinetron. Perannya tergeser oleh para pendatang baru. Dan sejak itu pula ia tidak pernah bertemu lagi dengan Robby. Kerap kali Sally menghubungi nomor ponsel Robby tapi selalu dijawab “tidak terdaftar” oleh operator. Mungkin ponselnya hilang atau sudah berganti nomor, pikir Sally. Di mata para selebriti, termasuk Sally, Robby adalah wartawan anti-gosip. Ia cenderung menghindari isu-isu sensasional. Tulisan-tulisannya apresiatif namun tajam, dan sering dijadikan rujukan berita infotainment televisi. Itulah yang membuat Robby disukai oleh para selebriti.

Suatu ketika tanpa sengaja Sally melihat status baru Robby di media sosial, padahal selama bertahun-tahun akun miliknya dibiarkan tidak aktif. Sally pun menyapanya via inbox, dan ternyata dijawab. Keduanya kembali bertukar nomor. Karena sudah berteman lama, mereka mudah menjadi akrab. Bahkan Sally sudah mulai sering curhat tentang kesedihan-kesedihannya. Kemudian Sally mengundang Robby untuk afternoon coffee. “Aku ingin bertemu Rob, ada hal penting yang mau aku bicarakan, tidak bisa di WA” tulis Sally. Tidak lupa ia menyebutkan tempat pertemuan – sebuah kafe di kawasan Kebayoran Baru. Dan Robby mengiyakan.

***

Pertemuan itu disepakati pukul 16.00, namun Sally sudah menunggu hampir satu jam di kafe itu, Robby tak juga menampakkan batang hidungnya. “Ingat, Rob, aku tidak pernah memaafkan orang yang tidak tepat waktu, apalagi mengingkari janji.” Begitu bunyi pesan pendek yang dikirimkan Sally kepada Robby pagi tadi.

“Aku siap dihukum apa saja kalau datang terlambat,” jawab Robby.

Dan sekarang sudah lebih dari satu jam Robby belum juga datang. “Ke mana pria itu? Apakah dia sengaja mengingkari janjinya, dan tidak takut dengan ancamanku,” Sally membatin.

Duduk sendiri menunggu orang yang kedatangannya tidak pasti, sementara telepon selulernya dimatikan, membutuhkan kesabaran ekstra. Dan Sally tampaknya bukan tipe orang yang bisa melakukan itu. Dihisapnya lagi rokok yang terselip di sela jarinya. Asapnya dihembuskan memenuhi ruangan kafe, menyatu dengan asap rokok para pengunjung yang lain.

Pandangannya kini beralih, memperhatikan setiap pengunjung yang datang dan pergi. Tak satu pun yang memperhatikannya, apalagi menyapanya. Apakah mereka sudah tidak mengenali aku lagi? Sally bertanya dalam hati. Dulu aku pesinetron, sekarang sudah tidak lagi. Apakah waktu dua tahun menghilang di depan publik terlalu lama, sehingga masyarakat sudah melupakanku? Pertanyaan demi pertanyaan berlintasan di kepala Sally.

“Ini zaman iklan, Sal, semua harus dipromosikan kalau ingin tetap eksis. Dunia hiburan penuh sesak oleh pendatang baru, dan yang lama akan dicampakkan, kecuali mereka yang rajin mempromossikan diri.” Nasihat itu pernah diucapkan rekan Sally sebelum casting di sebuah studio beberapa tahun lalu. Itulah untuk pertamakalinya ia berhasil mendapatkan peran utama. Namun, rupanya itu juga menjadi kontrak kerjanya yang terakhir berakting dalam sinetron.

Sekarang ia menyadari kebenaran dari nasihat rekannya. Dua tahun adalah waktu yang terlalu lama untuk menghilang dari publik. Status selebriti yang melekat pada dirinya kini menjadi beban. Sementara tawaran job yang tak kunjung datang membuatnya kalang-kabut. Sally merasa dunia hiburan hanya memberi harapan hampa bagi dirinya. Tidak ada jaminan apapun. Jangankan masa depan, untuk sekarang saja ia sudah megap-megap. Ia memang masih mengajar kursus menari di sanggar yang dikelola oleh seorang kenalannya. Namun penghasilannya hanya cukup untuk dikirim ke kampung. Sementara kebutuhan hidup di ibukota tidak bisa dikompromikan. Semakin lama ia terbiasa menerima job dari Tante Vony, seorang perempuan setengah baya yang baik hati dan memiliki relasi dengan para pengusaha, politisi, dan pejabat tinggi.

Tiba-tiba Sally teringat ibunya di kampung dan dua adik perempuannya yang mulai beranjak remaja.

“Ibu tidak memaksamu bekerja, Nak, kebun warisan almarhum ayahmu masih ada sepetak, kalau kita menjualnya cukup untuk membuka warung di depan rumah.”

Kata-kata ibunya terngiang, diucapkan saat Sally meminta izin pergi ke Jakarta untuk melamar kerja sebagai model di sebuah agen iklan. Tatapan mata ibunya saat itu tak pernah bisa dilupakan. Menyapu seluruh tubuhnya. Seperti tidak rela ditinggal pergi oleh anak perempuan sulungnya.

“Tapi ibu tidak bisa mencegahmu kalau memang tekadmu sudah bulat. Ibu percaya kamu bisa menjaga diri karena kamu sudah besar.”

Kemudian ibu memeluknya erat. Sally melihat dari balik cermin yang terpasang di atas meja rias di kamarnya, ibunya sedang memilin-milin rambutnya yang terurai panjang.

“Kamu ingat pesan ayahmu, rambut anak perempuan tidak boleh dipotong pendek,” ujar ibunya sambil melepaskan pelukan. Ayahnya meninggal dunia akibat sakit yang terlambat ditangani.

***

Lamunan Sally terus melayang. Dihisapnya lagi rokok di tangannya dalam-dalam dan dihembuskan kuat-kuat. Rongga dadanya terasa hangat, tapi nafasnya berat, seperti ada beban yang menimpa di sekujur tubuhnya. Ia tertunduk lesu — tidak peduli lagi pada orang-orang yang lalu-lalang keluar masuk kafe; tidak ingat lagi pada Robby.

Tanpa terasa matanya mulai berkaca-kaca. Saat-saat seperti itu ia sungguh membutuhkan bahu untuk bersandar. Tapi bahu siapa? Bahkan orang-orang di sekitarnya pun tidak ada lagi yang mengenali. Ia benar-benar menjadi Salimah kecil yang menangis meminta dibelikan boneka Barbie oleh ibunya—sebuah permintaan yang tak pernah terwujud, sampai ia mampu membelinya dari hasil keringat sendiri, dan memenuhi kamar apartemen sewaannya dengan boneka ciptaan Ruth Handler tersebut.

“Selamat sore, Sally!” Sally mendongakkan kepala menatap pria bertubuh atletis yang menyapanya dan berdiri tepat di depannya. Pria itu mengulurkan tangannya. Tanpa beranjak dari kursinya Sally menyambut uluran tangan itu. Lalu sekonyong-konyong ia berkata dengan nada setengah membentak

“Heh, Rob, kamu tahu…”

Belum lagi Sally menyelesaikan bicaranya, pria itu dengan sigap menyela.

“Ya, ya, aku tahu, aku mengaku bersalah, aku minta maaf karena datang terlambat.”

“Minta maaf? Enak sekali, dalam perjanjiannya tidak ada pasal minta maaf.”

“Ok, ok, kalau kamu mau, aku siap dihukum!”

Tatapan tajam Sally menyelidik pria itu: rambutnya dipotong pendek,  alis matanya tebal, dan tulang rahang yang menonjol — apakah orang ini sungguh-sungguh dengan ucapannya.

“Ok, aku akan menghukummu, tapi tidak sekarang, dan tidak di sini,” tandas Sally serius. Ia merasa aneh bisa berkata begitu karena selama ini sudah cukup akrab dan terbiasa bercanda dengan pria tersebut.

Robby tidak bereaksi. Ia ragu-ragu memberi respon atas ancaman Sally karena melihat wajah perempuan itu tampak dingin. Namun ia tetap berusaha mencairkan suasana.

“Bolehkah aku duduk dan memesan minum?”

“Tidak. Kamu harus tetap berdiri di situ sampai aku selesai bicara. Ini adalah hukumanmu yang pertama.”

“Baiklah. Lanjutkan kalau masih ada yang harus aku dengarkan.” Robby mengurungkan niatnya untuk duduk di kursi.

“Begini,” lanjut Sally. Sekarang ia bangkit dari kursinya. “Kamu telah membuang-buang waktuku lebih dari satu jam, Rob. Itu membuatku merasa sangat bodoh. Mulai sekarang kamu menjadi tawananku.”

“Tawanan? Kok kayak film perang!”

‘Terserah.”

“Sampai kapan aku jadi tawananmu, Sal?”

“Sampai batas waktu yang tidak ditentukan.”

“Mengapa kamu tidak menghukum aku sekarang saja?”

“Ooo.. tidak secepat itu, Rob. Kamu harus melewati beberapa tahap penyiksaan, sebelum kamu merasakan ini.” Sally mengepalkan tangan dan menempelkannya ke wajah Robby. Pria itu tidak berusaha untuk berkelit. Ia sepertinya tahu Sally hanya berpura-pura marah. Kalau tidak, mengapa tangannya ditempelkan begitu lembut ke wajahnya.

“Aku tidak sabar ingin segera disiksa,” seloroh Robby.

Sally memonyongkan mulutnya tanpa menjawab. Tangannya meraih rokok putih dan pemantik api di atas meja, memasukkannya ke dalam tas, lalu memberi isyarat mengajak Robby pergi.

NOTE:

Baca juga: Laura dan Burung Hantu

Leave a Comment