PAGI yang cerah. Sally membantu adik-adiknya mencabuti umbi kentang.
Sudah lama ia tidak melakukan itu sehingga beberapa kali melakukan kesalahan.
“Hati-hati Kak, pakai ini,” kata Fitria menyodorkan garpu tanah.
“Ambil yang daunnya sudah kuning saja, Kak,” tambah Mega.
“Ah iya, kakak sudah lupa, hihihik.” Sally menyingkirkan beberapa umbi kentang muda yang belum saatnya dipanen tapi sudah telanjur dicabut dari tanah. Suara tawanya mengundang perhatian para petani yang sedang sibuk memanen.
“Maklum Neng Limah sudah jadi orang terkenal, jadi sudah lupa cara memanen kentang,” ujar seorang ibu.
“Eeeeehh Bu Hapsah dengar saja. Saya tidak lupa kok bu, cuma tidak ingat, hehehehe,” jawab Sally berkelakar.
“Ya itu mah sama saja, lupa, tidak ingat, sarua keneh.” Tiga kakak-beradik itu tertawa mendengar logat sunda Bu Hapsah yang medok.
Panen kentang itu tidak dibuka oleh bapak gubernur, tidak dihadiri pejabat pertanian maupun petugas penyuluh. Itu memang panen biasa, bukan panen raya. Sudah lama tidak ada panen raya kentang karena sebagian lahan sudah alih fungsi menjadi ladang macam-macam sayuran, bahkan banyak yang tidak lagi ditanami karena para petani merugi dan gulung tikar.
“Panen sekarang beda ya dengan dulu, sekarang sepi,” ujar Sally lagi. Ia bicara kepada Bu Hapsah yang tampaknya sudah kembali sibuk dengan pekerjaannya. Namun suara lain menyahut.
“Ya, sepi karena sudah lama kamu tidak pulang kampung.” Sally menoleh mencari arah datangnya suara. Seseorang sekonyong-konyong sudah berdiri di belakangnya.
“Kang Bahar.” Sally membalikkan badan.
“Saya kira kamu sudah lupa sama saya,” ucap Bahar
“Memangnya saya sudah kelihatan kayak nenek-nenek pikun?”
Keduanya tersenyum. Sally melepaskan sarung tangannya untuk menyambut jabat tangan Bahar. Sudah lama kedua tangan itu tidak saling bersentuhan. Waktu dan jarak yang memisahkan, menciptakan dorongan yang kuat dari dalam diri masing-masing untuk menyatu dalam getaran yang sama. Tidak ada kata yang terucap. Sally tertunduk. Bahar masih menggenggam tangan Sally yang dulu selalu menggelendot manja atau melingkar di pinggangnya saat duduk di belakang sepeda motornya.
“Wah, kok salamannya lama bener,” sergah Mega yang sejak tadi memperhatikan keduanya. Terburu-buru Sally menarik tangannya. “Usil saja kamu,” balasnya memelototi sang adik. Dan Mega paham, ia melirik Fitri dan mengedipkan matanya memberi isyarat. Lalu keduanya menjauh.
“Kapan kamu datang, Limah?”
“Baru kemarin, tapi besok harus berangkat ke Jakarta lagi.”
“Kok cepat sekali, saya sengaja menambah cuti lho, supaya bisa bertemu kamu.”
Kata-kata itu mengagetkan Sally, walaupun dalam hatinya terbersit perasaan senang. “Saya banyak pekerjaan Kang. Memangnya Kang Bahar cuti sampai kapan?”
“Saya menambah cuti satu minggu lagi, karena dapat kabar kamu mau datang, tapi kalau kamu mau pergi besok, saya juga akan pergi secepatnya.”
“Mengapa tergantung sama saya, Kang? Urusan kita kan beda.”
“Kamu masih saja bilang begitu. Kapan urusan kita akan sama?”
“Maksud Kang Bahar? Saya tidak paham.”
“Kamu sebenarnya sudah paham, Limah, hanya kamu selalu pura-pura tidak paham.”
Sally terdiam. Dia tidak tahu apa yang harus dikatakan. Tapi benar kata Bahar, dia paham, bahkan sangat paham. Hanya saja tidak pernah berusaha untuk membuka hati untuk pria yang ia tahu sejak dulu mencintainya itu. Sekarang tiba-tiba ia disudutkan untuk memberi jawab atas pertanyaan yang tertunda bertahun-tahun, dan sudah dilupakannya.
“Saya dengar Kang Bahar bekerja di pelayaran ya, di mana itu, Kang?” Ia mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Di kapal pesiar, perairan Malaka. Tapi pertanyaan saya belum dijawab, Limah, kapan kamu mau membuka hati untuk saya? Saya sudah lama sekali menunggu.”
“Kapan… ya terserah Kang Bahar dong, kalau ada kuncinya, buka saja sendiri,” jawab Sally seenaknya.
Naluri remajanya muncul. Ia berlari-lari di tengah ladang, di antara orang-orang yang sedang sibuk memanen kentang. Bahar segera mengejarnya. Di kaki bukit, di dekat perkebunan tomat, ia berhasil menangkap tubuh Salimah yang berusaha berontak. Guncangan yang keras dari Salimah dan dekapan yang erat dari Bahar membuat keduanya oleng. Lalu tubuh keduanya ambruk. Tertawa bergulingan di tanah, tanpa mempedulikan puluhan pasang mata yang memperhatikan dari kejauhan.
Kisah di atas adalah cuplikan dari novel terbaru saya Hujan dalam Pelukan. Novel ini terdiri dari 33 bab, selengkapnya dapat dibaca di platform Novelme. Link-nya ada di sini: Hujan dalam Pelukan