KIDUNG CISADANE

 
KIDUNG CISADANE
 
Buku Kidung Cisadane karya penyair Rini Intama sampai sekarang merupakan salah satu — dari sedikit — buku puisi terbaik yang pernah saya baca. Teh Rini menyajikan syair-syair indah dengan lantunan irama dan diksi yang apik.
 
Lebih dari itu, ia juga memotret sejarah dan budaya masyarakat Tangerang dalam diorama puitika yang syahdu dan sekaligus mencekam; membawa kita pada kenangan masa lalu tentang masyarakat yang hidup berdampingan dengan rukun, damai, dan harmoni. Tidak ada sekat-sekat identitas suku, ras, dan agama yang sangat keras seperti sekarang.
 
Ini buku puisi, tapi juga buku tentang multikulturalisme. Di dalamnya ada 65 puisi yang berkisah tentang gedung-gedung tua, pasar lama, kuburan China, tari Cokek, kelenteng, masjid, rakit, gang-gang sempit, pasar tradisional, pinggiran kali Cisadane, dan lansekap kota tua yang menyimpan seribu kisah para leluhur. Tak pelak lagi, penulisnya memang secara sadar ingin memantik kesadaran historis melalui penggambaran akulturasi suku-suku Betawi, Sunda, Jawa, dan China di masa lalu.
Pada 2016 Kidung Cisadane masuk 5 Buku Puisi Terbaik versi Yayasan Hari Puisi Indonesia. Dan pada 2017, buku ini meraih Anugerah Acara Sastra dari Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP) bidang Puisi pada tahun 2019 juga memasukkan buku ini sebagai Karya Sastra Unggulan.
Seandainya saya Walikota Tangerang, saya akan mewajibkan buku ini untuk dibaca di sekolah-sekolah di Tangerang. Tujuannya: agar murid-murid (dan juga para guru) memahami bahwa mereka hidup dan berpijak di tanah leluhur yang mewarisan nilai-nilai kemanusiaan universal, melampaui sekat-sekat identitas keagamaan, kesukuan, dan rasisme yang sempit. Jika mereka melupakan itu, apalagi mengingkarinya, nenek bilang akan kualat. Ngeri ‘kan?!
 
Tangerang adalah kota yang dibentuk oleh sejarah yang panjang yang melibatkan banyak aktor dari beragam latar belakang suku, agama, dan budaya. Justru itulah yang membuat kota ini heterogen, metropolis, dan potensial dikembangkan menjadi destinasi wisata sejarah dan budaya. Itu pun kalau para pemegang otoritasnya punya imajinasi seluas cakrawala.
Berikut saya sajikan tiga puisi dalam buku tersebut:
MASJID JAMI KALIPASIR
Abad tujuhbelas yang membekas sunyi, di lembaran waktu kota ini
Mengetuk ingatan tentang syiar Islam berabad silam
Perahu kecil berlayar menuju lekuk tubuh sungai dan belukar
Dari kahuripan tanah makmur, hingga di bantaran cisadane sebelah timur
Membangun altar kebesaran, atas nama Tuhan yang mengirim pesan
Di tanah pecinan empat tiang kayu menyangga kubah bergambar teratai
Ada percakapan bulan dan cahaya semesta di atas dua makam tua
Aksara ayat di empat penjuru angin
Di sinilah bibit-bibit perjuangan tersemai
Kitab Tuhan dan suara azan dari menara mesjid bersujudlah langit dan bumi
Melintasi alam pagoda dan ekor naga adalah cahaya yang memandang langit
Di peradaban tua, manusia tetap saling mencinta hingga ke surga
(Intama, 2016:4)
RUMAHMU KINI : Kapitan Oei Dji San
Dua abad rumahmu di persimpangan Karawaci
Bercerita soal Si He Yuan, ladam kuda si penyangga cinta
Pada tiang kayu dan batu-batu zaman peradapan yang dingin
Aku membaca soal rumah besarmu yang kau tinggalkan
Tanpa pesan di dinding rumah atau pada batu nisan
Juga di perkebunan karetmu yang luas
(Intama, 2016: 2).
KOTA TUA
Di kota ini, dermaga tua tepian Cisadane menyimpan kisahnya
Air mengalir serupa kidung rindu sang bunda
Dan aroma melati makam pahlawan di tengah kota
Menabur nyanyian klasik para tetua tentang tanah-tanah yang merdeka (Intama, 2016: 6).
 
Sebelum menutup esai ini saya mengucapkan selamat ulang tahun untuk Teh Rini Intama yang berulang tahun pada 21 Februari, semoga panjang umur, berkah, dan tetap produktif menulis.
 
Sentuhan Puisi 1
 
SALAM,
Ahmad Gaus, dosen Bahasa dan Budaya, Swiss German University, SGU, Tangerang, dan penulis buku Kutunggu Kamu di Cisadane
 
Tulisan ini dalam versi lebih singkat sudah ditayangkan di Grup Facebook “Sejarah Kota Tangerang”, silakan bergabung kalau anda orang Tangerang atau tinggal di Tangerang.
 
 
Baca novel saya:

Indahnya Cinta Segitiga

Dua orang perempuan saling menyayangi. Tapi, keduanya mencintai pria yang sama. Cinta segitiga terjalin begitu saja. Ada cemburu. Ada marah. Ada curiga. Tapi kasih sayang di antara kedua perempuan itu membuat mereka harus menafsirkan kembali cintanya pada si pria. Mereka tidak ingin kehilangan sahabat, tapi juga tidak mau ditinggal kekasih. Akhirnya sebuah kompromi dilakukan. Cinta segitiga terjalin mesra.

Masalah baru muncul ketika datang seseorang yang lain (pria atau wanita, hayoo tebak?). Cinta segitiga akhirnya berkembang menjadi persegi panjang. Romantis, seru, menggairahkan, penuh kelembutan, dan sekaligus brutal. Ikuti kisahnya dalam novel Hujan dalam Pelukan di platform NovelMe, selagi masih gratis, sebelum di-setting di halaman berbayar.  Ini link-nya : https://share.novelme.id/starShare.html?novelId=22983

Leave a Comment