Beberapa Persoalan dalam Isu dan Kasus Toleransi Agama di Indonesia

Oleh Ahmad Gaus

Toleransi Agama di Indonesia

Tanggal 16 Nopember ditetapkan sebagai Hari Toleransi Internasional. Ditetapkan sejak 16 Nopember 1995 oleh UNESCO – United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) – PBB. UNESCO mengadopsi Declaration of Principles on Tolerance – sebuah deklarasi yang menegaskan kembali pentingnya mempromosikan dan menjamin toleransi.

Tujuan Toleransi:

Untuk menangkal prasangka dan kebencian (Ban Ki-Moon, Sekretaris Jenderal PBB, pada pesan Perayaan Hari Toleransi 2011). Prasangka dan kebencian selalu disulut oleh ketidakmampuan kita menerima fakta sosiologis kemajemukan yang ada di sekitar kita.

Banyak aspek di sekitar kita yang memang secara given adalah beragam dan berbeda: suku, agama, ras, orientasi politik, orientasi seksual, dan lainnya. Terhadap berbagai keberagaman itu, tugas kita adalah mengakui dan menyantuninya.

Dengan mengakui dan menyantuni maka perbedaan bukanlah alat pembedaan yang melahirkan peminggiran bagi yang lain, hanya karena alasan berbeda.

Prinsip toleransi:
• Menghargai keberagaman
• Mengakui hak-hak asasi manusia

Keberagaman bukan hanya fakta tapi juga kebutuhan. Dengan meletakkan keberagaman sebagai kebutuhan, maka kita akan terus menerus mengupayakannya untuk tetap berbeda.

Cara Hidup
Toleransi hendaknya menjadi salah satu landasan dan cara kita hidup bersama.

Mengukur Kondisi Toleransi di Indonesia
Apakah toleransi beragama di Indonesia saat ini sudah cukup baik, sangat baik, buruk atau sangat buruk? Apa indikasinya?

Ciri terpenting dari kondisi toleransi di tanah air saat ini ialah toleransi yang pasif, atau biasa disebut ko-eksistensi (lazy tolerance). Hidup berdampingan secara damai. Tapi satu sama lain tidak saling peduli. Karena menganggap “masalahmu adalah masalahmu”, “masalahku adalah masalahku”.

Toleransi semacam ini nyaris tidak menyumbangkan energi bagi penguatan kohesi sosial. Kalau mau menciptakan toleransi yang kokoh, maka toleransi yang pasif itu harus ditingkatkan menjadi toleransi yang aktif-progresif, atau biasa disebut pro-eksistensi. Dalam kondisi ini, setiap elemen sosial yang berbeda (suku, agama), saling menguatkan dan memberdayakan satu sama lain. Contoh: Partisipasi dalam perayaan hari-hari besar keagamaan. Saling membantu dalam mendirikan rumah ibadah, dsb.

Persoalan dalam Toleransi Beragama

Toleransi antar umat beragama hingga kini masih diselimuti persoalan. Klaim kebenaran suatu agama terhadap agama lainnya mendorong penganutnya untuk memaksakan kebenaran itu dan bersifat sangat fanatik terhadap terhadap kelompok agama lain. Lebih tragis lagi ketika penyebaran kebenaran itu disertai aksi kekerasan yang merugikan korban harta benda dan jiwa. Fenomena kekerasan antar pemeluk agama hampir terjadi di seluruh belahan dunia.

Masalah Paradigma

Paradigma lama: Kompetisi misi agama dilakukan untuk mencari pengikut sebanyak-banyaknya. Dilakukan secara tidak sehat. Melanggar etika sosial bersama.

Paradigma baru: Kompetisi misi agama harus berjalan secara sehat dan menaati hukum yang disepakati. Kompetisi atau berlomba-lomba menjalankan kebaikan (fastabiqul khairat).
Jadi, orientasinya adalah pengembangan internal umat.

Paradigma lama: Misi agama seringkali mengundang pertentangan yang membawa kekerasan dan membangkitkan jihad atau perang antarpemeluk agama.

Paradigma baru: Kegiatan misi agama harus membawa persaudaraan universal (human brotherhood, ukhuwah basyariah). Dalam paradigma baru, ajakan agama-agama lebih mengacu kepada wacana etika kemanusiaan global, untuk menjawab isu-isu global dan lintas agama, seperti masalah kemiskinan, ketidakadilan, krisis lingkungan, pelanggaran HAM, dan sebagainya.

Paradigma lama: Mempersoalkan perbedaan dan menganggapnya sebagai ancaman. Tak jarang berujung dengan kekerasan, intimidasi, persekusi, dsb, yang dilakukan oleh kaum intoleran. (Baca: Para Penjahat Atas Nama Tuhan)

Paradigma baru: Mengacu pada platform bersama (common platform, kalimatun sawa), menganggap perbedaan sebagai kekuatan. Indonesia dipersatukan oleh perbedaan-perbedaan.

Para pendukung paradigma baru terus berupaya mengembangkan theology of religions, yaitu teologi yang tidak hanya milik satu agama, tetapi semua agama, atau teologi pluralis.

Peranan Para Tokoh

Dalam mengatasi krisis toleransi, peranan para pemuka agama, tokoh adat, pemerintahan dsb, sangat diperlukan.

• Pemuka agama: pendekatan religius (khutbah yang bersifat positif)
• Pemuka adat: pendekatan budaya
• Pemerintah: mengayomi dan berdiri di atas semua golongan. Menegakkan hukum.

Artikel di atas adalah materi “Workshop dan Pelatihan Penguatan Moderatisme di Kalangan Kaum Muda Lintas Agama di Papua (18 Januari 2012)” oleh Narasumber: Ahmad Gaus AF.

Materi tersebut sudah saya revisi dan kembangkan untuk kebutuhan diskusi dan seminar lintas agama. Silakan kalau mau mengundang saya untuk acara  sejenis itu, via email saya: gaus.unas@gmail.com

Pendekatan saya adalah teologis dan historis, dengan perspektif kebebasan beragama.  Bahan-bahan diambil dari buku di bawah ini, yang merupakan buku pertama di Indonesia yang mengangkat isu dialog agama dalam kacamata passing over.

IMG-20200517-WA0062

Baca juga: Kerukunan dan Toleransi Itu Beda, Son

 

 

Leave a Comment

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s