Fundamentalisme Islam

Fundamentalisme: Citra dan Fakta

Oleh Ahmad Gaus AF

Pengamat Pemikiran dan Gerakan Islam, Yayasan Paramadina

 

 

Gerakan-gerakan sosial keagamaan dengan berbagai corak, bentuk, dan tujuan sebenarnya bukanlah hal yang baru di dalam sejarah agama-agama. Demikian juga gerakan keagamaan yang disebut “fundamentalisme”, yang kini ramai kembali diperbincangkan. Karen Amstrong, mantan biarawati Katolik Roma, dalam buku The Battle for God memperlihatkan bahwa gerakan keagamaan fundamentalisme memiliki akar historisnya sampai ke abad 14 M. Kini fundamentalisme telah menjadi istilah resmi dalam sosiologi (agama). Malah menurut Amstrong, fundamentalisme bukan sekadar jenis relijiusitas melainkan juga gerakan politik, karena memang mereka sangat politis (highly political) dan karena itu lebih merupakan fundamentalisme politik (political fundamentalism).

Memang tidak ada definisi baku yang disepakati bersama mengenai apa itu fundamentalisme. Kebanyakan orang Islam malah keberatan dengan istilah tersebut. Bukan saja karena gejala fundamentalisme memang lahir dari rahim peradaban Barat (Kristen), tapi lebih-lebih karena Barat menggunakan istilah itu untuk memojokkan kaum Muslim dan mengidentikkannya dengan kekerasan, teror, dsb. Baru belakangan istilah fundamentalisme banyak digunakan secara tanpa ragu-ragu oleh orang Islam. Misalnya Ahmad Sumargono menulis sebuah buku yang diberi judul Saya Muslim Fundamentalis. Konon tidak sedikit juga kaum muda Islam di kampus-kampus sekuler dengan bangga menyebut dirinya Muslim fundamentalis.

Secara definisi umum dapat dikatakan bahwa fundamentalisme merupakan suatu pola pikir yang menempatkan teks agama sebagai rujukan utama yang bersifat absolut dan final. Tidak hanya itu, perujukan tersebut juga dilakukan secara harfiah dan menerapkan pemahaman harfiah tersebut dalam realitas kekinian secara apa adanya tanpa mempertimbangkan dinamika dan perubahan.

Dengan kata lain, kaum fundamentalis mengabaikan konteks kekinian dan lebih cenderung menengok ke teks-teks masa lalu dengan cara baca yang literalis dan absolutis. Yang kemudian sering dianggap sebagai masalah oleh para penentang fundamentalisme adalah sikap absolutisme mereka itu. Mereka berupaya menerapkan hasil pembacaan harfiah atas teks-teks agama itu ke dalam seluruh aspek kehidupan dan menjadikan teks agama itu sebagai satu-satunya parameter fundamental bagi seluruh perilaku sosial, budaya, hukum, nilai, dan sebagainya tanpa mempertimbangkan konteks kekinian. Lebih dari itu, mereka juga menolak pandangan-pandangan lain di luar pemahaman mereka atas teks agama. Singkatnya, bagi mereka tidak ada pendapat si A, si B, dst, yang ada hanya “Allah berfirman” atau “Rasul bersabda”.

 

Identifikasi dengan Islam

 

Dalam konteks sejarah modern, gerakan fundamentalisme muncul kembali di Amerika Serikat setelah Perang Dunia I. Dan kaum Muslim, menurut Amstrong, merupakan kelompok terakhir dari ketiga agama Semitik (dua yang lainnya Kristen dan Yahudi) yang mengembangkan kesalihan fundamentalis, yakni pada dasawarsa 1960-an. Meskipun demikian, karena kaum Muslim di seluruh dunia jauh tertinggal dari segi penguasaan teknologi informasi oleh negara-negara Barat, maka citra kaum fundamentalis yang negatif lebih banyak diproyeksikan media massa Barat ke tubuh umat Islam. Akibatnya, fundamentalisme kini identik dengan Islam.

Celakanya lagi, fundamentalisme kini bukan lagi sekadar punya konotasi sebagai kesalehan yang militan sebagaimana menonjol pada abad 20 lalu. Tapi, lebih dari itu, fundamentalisme juga diidentikan dengan teror dan kekerasan. Alhasil, peristiwa seperti serangan terhadap gedung kembar WTC di New York dan Markas Pentagon di Washington DC pada 11 September 2001 lalu, yang meminta korban lebih dari 5000 nyawa manusia, langsung saja dialamatkan kepada fundamentalisme Islam. Maka beberapa saat setelah dunia menyaksikan kehancuran dua simbol adidaya Amerika tersebut, pers dan pemerintah Amerika langsung me-release nama-nama yang diduga kuat terlibat dalam serangan itu, yang semuanya adalah nama-nama Timur-Tengah dan Arab Muslim. Kaum fundamentalis Islam, demikian kalangan Barat menyebut, ingin menghancurkan Amerika dan Barat dengan menghalalkan segala cara.

Kebencian dan dendam klasik terhadap Islam pun kembali meruyak. Di berbagai wilayah Amerika Serikat orang-orang Islam menjadi korban serangan fisik dan teror. Di Australia, masjid-masjid orang Islam dilempari kotoran dan batu. Kaum Muslimah yang berjilbab mulai cemas untuk keluar rumah. Untungnya sikap antipati dan kebencian itu bukan sikap resmi pemerintah yang bersangkutan. George W. Bush,  misalnya, meskipun sempat keseleo lidah menyebut-nyebut istilah crusade (Perang Salib), mengatakan di depan kaum Muslim Amerika bahwa Islam bukanlah agama teror, melainkan agama perdamaian. Karena itu para teroris itu adalah para pembajak agama.

Episode berikutnya adalah kampanye Amerika Serikat memerangi terorisme. Korban pertama adalah rezim Taliban di Afganistan yang diserang AS karena dianggap melindungi Usamah bin Ladin. Dan lagi-lagi kaum fundamentalis Islam menjadi sorotan. Tuduhan terhadap organisasi al-Qaidah dan Usamah bin Ladin sebagai pelaku penyerangan berkembang menjadi tuduhan terhadap seluruh kaum Muslim yang mengeksperesikan sentimen anti-Amerika dan Barat yang dicap sebagai kaum fundamentalis yang harus diperangi. Bahkan kaum Muslim moderat yang mengutuk serangan AS ke Afganistan pun dituduh sebagai kaum fundamentalis.

Kutukan dan pencitraan negatif oleh kalangan Barat terhadap “Islam fundamentalis” tentu saja bukan hal baru, tapi telah berlangsung sangat lama. Bibit-bibitnya diwarisi dari Perang Salib. Kemudian pada masa modern dipupuk dan dikembangkan oleh kolonialisme Barat terhadap dunia Islam. Dunia Barat berobsesi menundukkan seluruh dunia Muslim untuk mendiktekan berbagai kepentingannya. Dan negara-negara Muslim yang menolak tunduk kepada mereka dianggap mengancam kepentingan Barat dan disebut kaum fundamentalis.

Fakta Pertahanan Atlantik Utara (Nato) pada tahun 1992 mensponsori suatu konferensi di Munich Jerman untuk menyorot gerakan fundamentalis Islam. Konferensi menghasilkan semacam kesepakatan bahwa Islam fundamentalis telah menjadi ancaman baru bagi Barat setelah ambruknya komunisme di bekas Uni Soviet dan negara-negara Eropa Timur. Konferensi itu sendiri diinspirasi oleh kemenangan partai fundamentalis FIS (Front Penyelamatan Islam) di Aljazair pada pemilu bebas putaran pertama untuk parlemen tahun 1991.

Kemenangan partai fundamentalis FIS itu rupanya sangat menghentakkan dunia Barat, betapa kekuatan Islam militan itu begitu nyata. Itulah sebabnya, pemerintah militer atas dorongan Barat (terutama dalam hal ini Prancis dan Amerika Serikat) kemudian membubarkan FIS. Padahal dunia menyaksikan bahwa pemilu itu berlangsung secara demokratis. Tapi begitulah. Yang menjadi tujuan utama kalangan Barat sebenarnya bukanlah demokrasi, melainkan apakah kepentingan mereka di Timur Tengah khususnya dan Dunia Islam umumnya aman ataukah terancam. Dalam pandangan mereka, kelompok fundamentalis semacam FIS ini akan membahayakan kepentingan mereka. Karena itu berbagai cara dilakukan untuk menyudutkan dan menghadangnya.

Salah satu cara untuk “menghabisi” kaum fundamentalis Islam adalah membuat buruk citra kaum fundamentalis, antara lain dengan perang opini di media massa. Simaklah berita dari kantor berita resmi Aljazair, APS menyangkut kekerasan yang dilakukan FIS, sbb: “ Dua wanita Aljazair digorok lehernya hingga putus setelah menolak lamaran dua pemuda fundamentalis untuk melakukan kawin kontrak.”

Masih sekitar FIS simak pula sajian berita ini: “Kebanyakan pembunuhan dalam 24 bulan terakhir dilakukan oleh kaum fundamentalis dan diarahkan terhadap golongan intelektual dan pejabat. Tindak kekerasan sudah melampaui tindak pembunuhan kaum intelektual dan sekular yang dianggap musuh fundamentalis, yang sudah merupakan tindakan rutin. Sekarang kekerasan itu sudah memilih sasaran lain seperti kereta api yang dibakar, bus, perusahaan pertanian, sekolah, hutan dan pembunuhan terhadap wanita terutama wanita yang tampil di depan umum tanpa kerudung”. (Dikutip dari Suara Pembaruan, 16 April 1994).

Begitulah citra yang dikembangkan media massa terhadap kaum fundamentalis. Apakah faktanya memang seperti itu, jelas tidak mudah untuk membuktikannya. Dan memang yang diinginkan oleh media dan kalangan Barat pun tampaknya bukan kebenaran faktanya melainkan citra yang ingin dikembangkannya. Itulah sebabnya studi Amstrong mengenai fundamentalisme cukup menyentak, lantaran dia mengambil posisi yang bersebrangan dengan kalangan Barat pada umumnya. Amstrong menggunakan pendekatan empati. Baginya, gejala fundamentalisme jauh lebih kompleks dari yang bisa digambarkan media dan kalangan Barat secara sepihak. Amstrong tampaknya ingin melihat gejala fundamentalisme secara apa adanya dan fakta-fakta berbicara sendiri tanpa dicampuri oleh prakonsepsi dan praasumsi subyektif.

 

Islam Liberal dan Fundamentalisme

 

Adakah fundamentalisme keagamaan (dan khususnya Islam) di Indonesia? Dr. Jalaluddin Rakhmat dalam diskusi di Paramadina akhir bulan Mei lalu menjawab positif pertanyaan itu. Katanya, Islam Fundamentalis di Indonesia berhadapan Islam Liberal. Dulu para sarjana membagi Islam di Indonesia secara politis ke dalam dua kategori, yaitu Islam tradisionalis dan Islam modernis. Saat ini menurut Kang Jalal (sapaan akrab Jalaluddin Rakhmat) pembagian seperti itu tidak fungsional lagi. Kini Islam fundamentalis berhadapan dengan Islam liberal. Di dalam kelompok Islam tradisionalis ada unsur-unsur liberal dan kaum fundamentalis sekaligus. Begitu juga di dalam kelompok Islam modernis terdapat baik unsur fundamentalis maupun liberalis.

Kaum fundamentalis mendefinisikan sistem politik Islam sebagai sistem politik yang ditegakkan di atas pelaksanaan syariat Islam, sementara itu kelompok Islam liberal menentang pemberlakuan secara resmi syariat Islam di tingkat negara mengingat komposisi masyarakat Indonesia yang plural. Kelompok Islam fundamentalis, menurut Kang Jalal, cenderung “syariah minded”, sementara kelompok Islam liberal tidak melihat Islam dari segi syariat melainkan dari nilai-nilai universal.

Kaum fundamentalis membagi dunia menjadi dua: yang ikut bersama kita termasuk kaum Mukmin dan yang menentang kita yang disebut kaum kafirin. Sementara itu bagi kelompok liberal, dunia ini tidak hanya terbagi dua tapi banyak. Dan semuanya harus diakui eksistensinya. Mereka [kaum liberalis] sangat mendukung demokrasi, yang salah satu pondasi utamanya adalah pengakuan terhadap pluralisme.

Menurut Amstrong, fundamentalisme lahir dari proses sosiologis dan historis yang sangat kompleks. Karena itu kelahirannya merupakan sesuatu yang wajar dan harus diterima. Mereka mempunyai andil yang tidak kecil dalam mempertahankan eksistensi agama. Mereka ingin mengembalikan agama dari posisi pinggiran—karena terdesak oleh arus modernisasi dan sekularisasi—ke posisi sentral.

Kita setuju dengan Amstrong bahwa fundamentalisme hanya merupakan salah satu dari pengalaman agama modern. Di dunia yang semakin plural seperti sekarang ini tidak ada alasan bagi kita untuk menolak kehadiran warga dunia yang berbeda dengan kita. Begitu juga “warga dunia” yang bernama kaum fundamentalis maupun kaum liberalis. Yang perlu kita upayakan bersama adalah menumbuhkan iklim dialogis sehingga wacana-wacana bisa berkembang secara wajar. Demokrasi merupakan tempat dimana berbagai aliran, kelompok, golongan, kaum, suku, dan sebagainya, bisa hidup bersama secara damai, saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Tidak ada satu kelompok pun di dunia ini yang paling berhak mengklaim merekalah yang paling benar. Mudah-mudahan itulah yang terjadi di negeri kita.

Leave a Comment