Pandangan Sufistik: Mengapa Kita Tidak Boleh Membenci Corona?

sufi

Segala sesuatu di dunia ada batas waktunya: penghidupan maupun penghabisannya.

Corona diutus-NYA untuk suatu masa tertentu. Telah ditetapkan-NYA berapa nyawa dihindarinya dan berapa nyawa direnggutnya.

Jangan meminta Corona pergi sebelum waktunya pergi. Memintanya berlalu sebelum habis batas waktu seperti meminta siang di saat malam dan sebaliknya, meminta sore di kala pagi dan sebaliknya.

Bershobarlah, semua ada giliran dan dipergilirkan-NYA. Cukupkan bermohon kepada-NYA agar terjaga dari serangan Corona, dianugerahi kekuatan untuk bertahan, dan masih diberkahi panjang usia dengan dimampukan mengisi hari-hari #dirumahajah dengan positif dan tetap produktif.

Jangan membenci Corona. Membenci Corona membenci Pencipta-NYA. Cukuplah kita waspada saja, sebab ia hanya melakukan tugas dari-NYA.

Ketahuilah,
Corona diutus-NYA dengan misi untuk menguji kesetiaan hati kita untuk tidak berpaling dari-NYA, mengetes seberapa besar nyali kita untuk tidak takut Corona, ciptaan-NYA, dan kita tetep teguh hanya takut kepada-NYA.

Tetaplah setia hati kita kepada-NYA, tetaplah takut kita hanya kepada-NYA dengan selalu mengingat-NYA, terus mendekat dan lekat kepada-NYA. Sebab hanya dengan sikap jiwa demikian Corona tak kan menyentuh apalagi mengganggu kehidupan kita. Janji utusan-NYA, Nabi Agung Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, MAN KHOFALLOH KHOFAHU KULLU SYAI (Barangsiapa yang takut hanya kepada ALLOH, ia ditakuti segala sesuatu).

Untuk itu, ikutilah selalu orang yang selalu ingat, dekat, dan lekat dengan ALLOH. Orang yang hanya takut kepada ALLOH. Kita akan terbawa.

Salam Kajembaran Rohmaniyah,
abahjagat21

Sumber: KENAPA JANGAN MEMBENCI CORONA http://tqnppsuryalaya.com/kenapa-jangan-

 

 

 

 

 

 

[Memoar] Api Yang Membakar Jiwa

Puslitbang

API YANG MEMBAKAR JIWA

Pagi sampai siang ini (11/12/2018) berlangsung diskusi buku “Djohan Effendi, Sang Pelintas Batas” oleh Puslitbang Kemenag RI. Djohan Effendi pernah menjadi Kepala Litbang Depag, kemudian menjadi Menteri Sekretaris Negara di masa Presiden Abdurrahman Wahid. Tapi orang lebih mengenal Djohan sebagai intelektual dan aktivis gerakan Islam. Saya diundang ke acara ini sebagai penulis biografi Djohan Effendi, dan Dr. Neng Dara Affiah, M.Hum hadir sebagai pembahas.

Dua tema kunci dalam pemikiran Djohan Effendi adalah pluralisme dan kebebasan beragama. Itu juga yang menjadi titik temu dari para tokoh pergerakan pada masa itu dgn nama-nama yang menonjol spt Cak Nur, Gus Dur, Dawam, Wahib, dll. Walaupun begitu masing-masing tokoh punya ciri tersendiri dalam membawa pemikiran mereka ke publik.

Berbeda dengan rekan-rekannya spt Cak Nur dan Gus Dur yang cenderung menggebu-gebu, Djohan cenderung pendiam dan mengambil tempat di belakang layar: merajut solidaritas antar-kelompok dan menggerakkan aksi. Berbeda dengan mereka yang lazim berbicara mengenai hal-hal besar semisal peradaban, umat, bahkan masa depan Islam. Djohan lebih tertarik pada hal-hal sederhana seperti iman yang bersifat pribadi, kehidupan spiritual, puisi sufistik, hingga nasib kelompok sempalan alias aliran sesat. Djohan bahkan memposisikan dirinya sebagai pembela “aliran sesat”.

Dari Djohan kita belajar pentingnya dialog agama sebagai aktivitas yang dapat menjembatani perbedaan dan mereduksi sikap saling curiga. Kesediaan untuk berdialog membutuhkan kesadaran agama yang bersifat terbuka (teologi inklusif).

Dari dialog agama Djohan melangkah lebih jauh ke dialog antariman. Praksis dialog agama selama ini hanya melahirkan toleransi sosial. Dan toleransi jenis ini masih rapuh dan mudah terjatuh pada sikap saling curiga. Dialog antariman menukik lebih jauh ke dasar keyakinan, namun dilakukan dengan hati yang tulus untuk saling memahami, bukan menghakimi.

Dialog antariman inilah yang kini berkembang menjadi semacam trend di kalangan anak-anak muda yang memiliki keberanian untuk melintas (pass over) di antara agama-agama. Dari dialog semacam ini lahir sikap saling menghargai yang otentik dan sejati di antara para pemeluk agama. Bukan sekadar basa-basi sosial.

Posisi Djohan di antara tokoh-tokoh di atas menjadi unik. Dia terlibat aktif dalam gerakan pembaruan, tapi Bapak Pembaruan ialah Cak Nur; dia juga tidak diragukan lagi perannya dalam wacana dan aksi toleransi, tapi Bapak Toleransi telah disematkan orang kepada Gus Dur. Lalu di mana posisi Djohan Effendi?

Djohan adalah perintis solidaritas lintas batas. Djohan adalah BAPAK DIALOG ANTARIMAN. Inilah posisinya yang paling tepat. Posisi ini tidak ditempati oleh dua raksasa lainnya: Cak Nur dan Gus Dur.

Berbeda dengan Cak Nur dan Gus Dur yang datang dengan seruan massif, ideologis, dan intelektual, Djohan hadir di lubuk hati dengan seruan personal dan emosional. Dalam ungkapan teman saya, Budhy Munawar Rachman,  Djohan itu “api yang membakar jiwa”. Mungkin maksudnya berbeda dengan Gus Dur dan Cak Nur sebagai “api yang membakar kota”. 😃😃.

Demikian ringkasan presentasi saya.

 

Takes Mansion & Hotel, Jakarta, 11/12/18
Ahmad Gaus AF

(Dari laman Facebook Gaus Ahmad, 11.12.2018)

 

 

 

Pantun-Pantun Haji

Buku yang mengupas masalah haji dan seluk-beluknya dengan cara berpantun. Lebih dari 100 bait pantun religi jenaka akan membuat Anda tersenyum sambil merenung.

Kata Pengantar

Buku ini merupakan refleksi atas berbagai persoalan di seputar penyelenggaraan ibadah haji, praktek haji, dan makna-makna simbolik dalam ritual haji. Sebagaimana kita ketahui, masalah haji seringkali menimbulkan konflik di antara para pemangku kepentingan (stake holders) dari mulai masyarakat (umat Islam), pemerintah, DPR, kelompok-kelompok bimbingan ibadah haji (KBIH), sampai biro-biro perjalanan haji. Masalah-masalah yang dipersengketakan biasanya menyangkut ongkos naik haji atau ONH, kuota haji, maraknya calo-calo haji, pelayanan yang buruk terhadap calon-calon haji, akomodasi haji, hingga persoalan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam bisnis penyelenggaraan haji.

Masalah-masalah tersebut selalu menjadi isu yang panas, bukan saja karena menyangkut kepentingan banyak orang dan dana triliunan rupiah, tapi terutama karena ibadah haji merupakan rukun Islam, perintah Allah, yang kita semua berharap semestinya tidak ada hambatan apapun dalam pelaksanaannya. Faktanya, dari tahun ke tahun masalah-masalah di seputar itu selalu muncul.

Tentu saja masalah haji bukan hanya menyangkut persoalan administrasi sebagaimana disebutkan di atas. Masalah haji bisa dibawa lebih jauh lagi menjadi masalah eksistensi, aktualisasi diri, dan dampak setiap ritual ibadah haji pada peningkatan ruhani orang-orang yang melaksanakannya. Buku ini juga menyorot masalah tersebut. Saya memilih pantun sebagai media penyampaian pesan karena tidak ingin terlalu serius terbawa oleh masalah yang sudah begitu pelik. Pantun hanya ingin berkelakar. Sesekali mengejek sambil tersenyum.

Pantun merupakan tradisi sastra yang sangat populer di tengah masyarakat kita, sejak dulu sampai sekarang. Kalau kita menonton tayangan televisi, terutama program hiburan yang dibawakan oleh para komedian, kita selalu mendengar pantun-pantun diucapkan secara spontan untuk menyatakan pujian, kekaguman, kekesalan, bahkan juga celaan secara berseloroh. Hal ini menunjukkan bahwa pantun merupakan tradisi sastra lisan yang benar-benar hidup dalam masyarakat kita.

Para penutur pantun di televisi, terutama para komedian seperti Tukul, Opik Kumis, Ginanjar, Okky Lukman, Dorce, Parto, Sule, dll, mungkin tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya sedang merawat salah satu kekayaan budaya kita. Tatkala tradisi menulis pantun kurang begitu diminati, setidaknya tradisi lisannya masih hidup dan berkembang.
Buku ini ingin berpartisipasi dalam melanjutkan budaya menulis pantun yang mulai jarang itu—kecuali di Sumatera bagian timur, khususnya Tanjung Pinang, yang masih memiliki raja dan ratu pantun. Cara penulisan yang saya lakukan tidak terlampau ketat dengan aturan-aturan yang berlaku di dunia perpantunan. Tak jarang saya merasa gagal mengompromikan isi dengan sampirannya, atau makna dengan iramanya. Entah jadinya pantun beneran atau pantun-pantunan.

Dalam khazanah sastra lama kita mengenal pantun agama atau pantun nasihat. Dengan karakternya yang unik dalam menyampaikan pesan, pantun bisa berkelit dari tendensi yang berlebihan untuk mengubah masyarakat menjadi lebih sejalan dengan tuntunan agama. Itu pekerjaan pada ustadz atau muballigh yang selalu siap dibenci oleh masyarakat karena suka melarang-larang dan menyampaikan kebenaran tanpa tedeng aling-aling. Sedangkan pantun, saya kira, tidak berusaha merumuskan kebenaran vis a vis situasi sosial yang bobrok sekalipun. Pantun hanya merefleksikannya menjadi kenyataan imajiner supaya kebobrokan itu tidak dilupakan orang.

Pantun-pantun dengan tema seputar haji mungkin juga sudah sering dituturkan, misalnya oleh para mubaligh yang berceramah di forum walimatus safar. Penuturan mereka pasti lebih baik karena mereka memang tahu seluk beluk haji dan maknanya. Sedangkan saya, naik haji saja belum pernah, kecuali dalam mimpi. Tapi perasaan jengkel terhadap penyelenggaraan ibadah haji adalah hak semua orang, termasuk mereka yang belum naik haji. Kejengkelan itu juga yang mendorong saya untuk merefleksikannya dalam bait-bait pantun.

Buku-buku mengenai haji yang ditulis secara ilmiah saya kira sudah cukup banyak. Begitu juga kisah-kisah perjalanan haji yang ditulis sebagai memoar. Namun, buku tentang haji yang ditulis dengan media pantun saya kira masih langka, kalau bukan tidak ada, kecuali pantun-pantun terserak dalam blog internet atau diposting dalam jejaring sosial semacam fesbuk dan twitter, dan tidak dihimpun dalam sebuah buku.

Beberapa pantun yang dimuat dalam buku ini juga pernah saya posting sebagai status atau obrolan antardinding di fesbuk. Secara tidak sengaja saya juga pernah memergoki pantun-pantun yang saya posting itu di-copy paste oleh orang lain menjadi statusnya tanpa menyebutkan penulisnya. Meskipun jengkel tapi saya biasanya diam saja. Sebagai penulis profesional (beeeuuhh!!), saya tidak akan pernah melakukan perbuatan tercela semacam itu.

Semua pantun yang dimuat dalam buku ini adalah karya saya sendiri yang ditulis dalam berbagai kesempatan. Saya berterima kasih kepada penemu Communicator dan Black Berry (BB), karena dengan benda-benda itu saya bisa menulis kapan saja tanpa harus duduk di depan komputer. Bahkan ketika menaiki kendaraan, lalu sebuah ilham tiba-tiba datang, saya berusaha menepi untuk segera menuliskannya. Sebab kalau tidak begitu biasanya akan hilang dari ingatan. Sebagian besar pantun dalam buku ini pun lahir di pinggir jalan, di pesta pernikahan, di ruang seminar, di tempat tidur, di masjid, dan tempat-tempat lain yang bukan di depan komputer.

Ide untuk menghimpun pantun-pantun ini dalam sebuah buku datang belakangan, ketika saya melihat jumlahnya sudah cukup banyak. Lalu saya berpikir, mungkin ada gunanya kalau dipublikasikan dalam bentuk buku. Walhasil, inilah buku pantun pertama saya. Saya masih memiliki obsesi untuk terus menulis pantun dalam berbagai tema, sehingga nanti akan ada buku pantun kedua, ketiga, dan seterusnya, hitung-hitung melestarikan budaya Nusantara.

Pada kesempatan ini saya ingin menghaturkan terima kasih kepada para seniman musik yang telah banyak memberi inspirasi kepada saya melalui lagu-lagu mereka yang dikemas dalam irama pantun dan ternyata menghasilkan nada yang merdu, dalam hal ini khususnya alm. Benyamin S, Rhoma Irama, A Rafiq, Iwan Fals, Hj. Nur Asiah Jamil, Siti Nurhaliza dan SM Salim, dan nama-nama lain yang tidak mungkin disebutkan semuanya. Mereka semua telah membangun negeri dengan karya. Semoga pengabdian mereka mendapat pahala berlipat ganda dari Allah SWT.

Ucapan terima kasih juga saya haturkan kepada teman-teman yang telah membaca draft buku ini dan memberikan apresiasinya. Di sini saya harus menyebut nama Hawe Setiawan, penyair dan pengajar Apresiasi Puisi, Prosa, dan Pengantar Sastra di Universitas Pasundan, Bandung; Irfan Abubakar, Direktur Pusat Kajian Agama dan Budaya/ Center for the Study of Religion and Culture (CSRC), UIN Jakarta; dan Jumiatie Zaini, pengajar PAUD dan TK Baiturrahmah, Pamulang, Tangerang.

Secara khusus ucapan terima kasih disampaikan kepada tetehku, ibu Hj. Gina Adriana Sanova, pendiri dan pemimpin pengajian Babussalam, Pondok Indah, Jakarta Selatan. Berkat dukungannya, buku ini bisa terbit sesuai jadwal yang direncanakan.

Akhir kalam, semoga buku ini bisa menjadi teman untuk berefleksi, merenung, dan menertawakan keadaan karut marut dan gonjang-ganjing yang selalu kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Selamat membaca. []

Tangerang Selatan, 20 Juli 2011
Ahmad Gaus AF

Kebutuhan Pada Teologi Baru

Oleh Ahmad Gaus

Indonesia dikenal sebagai daerah pinggiran Islam, artinya sangat jauh dari Arab sebagai pusat Islam. Namun demikian, berbagai percobaan untuk mempraktekkan Islam yang dianggap otentik di tanah air ini tidak kalah dengan di negeri-negeri Islam lainnya. Salah satu percobaan itu misalnya adalah di bidang teologi. Boleh dibilang bahwa pengalaman kaum Muslim di sini dalam berteologi punya akar sejarah yang cukup jauh. Bahkan bisa diklaim bahwa trend kemunculan berbagai gerakan keagamaan di tanah air belakangan ini memiliki sangkut pangkut dengan pengalaman di masa lalu, disadari ataupun tidak. Misalnya saja yang paling populer belakang ini adalah gerakan jihad.

Seruan untuk berperang atau berjihad (dari mulai di Maluku, Poso, sampai ke Afghanistan dan Palestina sekarang ini) yang disuarakan oleh kalangan kaum Muslim tertentu akhir-akhir ini bukan saja dianggap merupakan solusi politik dalam merespon berbagai permasalahan yang ada tapi juga merupakan sikap teologis. Dengan kata lain, mereka berkeyakinan bahwa tindakannya tersebut memiliki landasan pembenaran dalam al-Quran maupun hadis. Dan oleh karena itu, mereka juga tidak perlu peduli dengan kaum Muslim lain yang tidak sepaham terhadap sikap mereka.

Perbedaan dalam teologi adalah sesuatu yang niscaya. Yang lebih penting lagi, seperti telah disinggung di atas, mereka bukan hanya punya legitimasi teologis tapi juga historis. Kita bisa menyebut beberapa contoh di sini. Syekh Abdus Shamad al-Palimbangi pada abad ke-18 misalnya pernah mengembangkan teologi jihad yang sasarannya tidak lain adalah penjajah Belanda yang kala itu dianggap telah mengancam eksistensi kaum Muslim. Begitu juga Pangeran Diponegoro yang menyerukan perang melawan Belanda, ia melakukannya dengan semangat jihad dengan mencari pembenaran pada al-Quran dan hadis.

Pendek kata, secara umum apa yang diperlihatkan kaum Muslim dalam mengusir penjajahan di masa lalu, dari Perang Aceh sampai Perang Surabaya, tidak lain merupakan pelaksanaan teologi jihad. Dan teologi jihad itu akan terus dikobarkan oleh kaum Muslim, sepanjang mereka melihat ada ancaman terhadap eksistensi Islam dan kaum Muslim. Itulah yang kita lihat dalam kasus Ambon [Maluku], Poso, sampai ke Afghanistan dan Palestina. Oleh karena itu akan sia-sia mengharapkan gerakan-gerakan jihad yang banyak bermunculan sekarang ini akan hilang selama akar-akar persoalan yang menjadi pemicu kemunculannya tidak berusaha dilenyapkan dari muka bumi.

***

Selain gerakan jihad, salah satu gerakan keagamaan yang juga cukup populer dan banyak digandrungi sekarang ini adalah gerakan spiritualitas Islam dalam bentuk tasawuf ataupun tarekat. Gerakan tarekat ataupun tasawuf kini sebenarnya belum bisa disebut sebagai “gerakan” dalam arti sebuah mobilisasi massa untuk tujuan sosial atau politik tertentu. Kendati diklaim bahwa para pengikut tasawuf atau tarekat kini terdiri dari lapisan orang-orang berada di kota, dan konon juga anak-anak muda terpelajar [mahasiswa], namun tidak ada bukti bahwa komunitas keagamaan ini terlibat dalam berbagai gerakan menumbangkan rezim otoriter Orde Baru, misalnya. Bahkan juga sulit didapatkan informasi bagaimana gerakan-gerakan keagaman seperti tasawuf yang kini telah menjadi trend keberagamaan orang-orang kaya ini akan ikut memecahkan persoalan kemiskinan, pengangguran, dan masalah-masalah sosial lainnya.

Itulah sebabnya selalu saja muncul pandangan yang kurang positif terhadap gerakan semacam ini. Misalnya saja dikatakan bahwa tasawuf—untuk kasus di perkotaan (urban sufism)—itu tidak lain hanya suatu bentuk pelarian spiritual orang-orang yang sudah mabuk materi. Sedangkan untuk kasus di pedesaan disinyalir bahwa tasawuf hanya semacam penawar dahaga bagi orang-orang Islam yang miskin yang tidak bisa meningkatkan harkat dan kesejahteraan hidupnya secara materil. Dengan bertasawuf mereka diajarkan untuk hidup sederhana dan tidak rakus pada dunia, karena hidup di dunia ini hanya sementara, kesenangan dan kebahagiaan yang abadi adalah nanti di akhirat. Harta atau pemilikan materi di dunia dinilai negatif, sebagai beban yang akan memberatkan kita di akhirat. Oleh karena itu hidup miskin tanpa harta benda akan lebih baik karena bebannya menjadi ringan.

***

Kritik terhadap tasawuf sebagaimana dilancarkan oleh Hassan Hanafi lebih terasa pedas lagi dikaitkan dengan doktrin Asy’ariyah. Sebagaimana diketahui teologi Asyariah merupakan teologi yang paling berpengaruh di Indonesia. Ia merupakan antitesa terhadap teologi Muktazilah yang lebih menekankan rasionalitas atau keunggulan nalar manusia, sementara itu teologi Asy’ariyah lebih mengedepankan dimensi takdir Tuhan yang mempengaruhi nasib dan hidup manusia di muka bumi. Manusia tidak dapat berbuat atau mendapatkan lebih dari yang telah digariskan oleh Tuhan. Pendeknya manusia harus tunduk pada kehendak Tuhan. Itulah sebabnya teologi Asyariyah ini dikenal dengan teologi predestinasi—predestination yang berarti takdir. Teologi inilah yang tumbuh subur di sini sejak agama Islam itu sendiri menyebar di nusantara ini pada abad ke-12. Kemudian semakin memapankan dirinya pada abad-abad 17 dan 18 dengan semakin banyaknya para ulama yang kembali dari menuntut ilmu di Makkah dan Madinah dan mengajarkan Islam versi Asy’ariyah ini.

Teologi Asyariyah yang cenderung fatalistik (menyerah pada nasib) yang berkolaborasi dengan doktrin sufisme yang menganjurkan uzlah (menarik diri dari kehidupan dunia) merupakan perpaduan yang sangat serasi. Artinya, jika seorang penganut Asy’ariyah adalah juga seorang praktisi tasawuf, maka ia adalah seorang fatalistik yang anti-dunia. Perpaduan inilah yang dikritik antara lain oleh Hassan Hanafi tadi. Tapi kritik yang lebih konstruktif barangkali berasal dari tokoh-tokoh seperti Hamka yang menganjurkan tasawuf modern, yakni tasawuf yang tetap terlibat dan tidak anti dengan urusan dunia, atau Fazlur Rahman yang mempopulerkan neosufisme. Seperti halnya tasawuf modern, neosufisme mengajurkan pola hidup bertasawuf yang tetap berpegang pada syariah. Disamping itu juga tetap terlibat dalam hidup bermasyarakat.

Sementara itu dari sisi teologinya, kritik terhadap teologi Asyariyah juga sudah banyak dilakukan. Langsung ataupun tidak, para pemrakarsa teologi pembangunan pada dekade 1970-an dan 80-an dulu adalah mereka yang risau dengan teologi fatalistik ala Asyariyah. Maka mereka—seperti Harun Nasution, Nurcholish madjid, dll—menganjurkan suatu jenis teologi yang mendorong kaum Muslim untuk bangkit dari keterpurukan dan menyadari bahwa agama mereka sebenarnya menginginkan mereka hidup sejahtera. Pembangunan atau modernisasi harus diterima sebagai keharusan sejarah, dan karena itu kaum Muslim tidak punya pilihan lain kecuali terlibat secara aktif di dalamnya. Dalam konteks ini Nurcholish Madjid terkenal dengan ide-idenya seperti pembaruan pemikiran Islam, sikap terbuka terhadap modernitas, gagasan kemajuan (the idea of progress), dan lain-lain. Sementara itu Harun Nasution terkenal dengan kritiknya bahwa teologi Asyariyah tidak cocok dengan pembangunan. Teologi yang cocok dengan semangat pembangunan menurutnya adalah teologi Muktazilah yang rasional.

***

Dapat dikatakan bahwa pergulatan teologi bukanlah sesuatu yang asing bagi kaum Muslim di Indonesia. Terutama sejak dicapainya kemerdekaan pada 1945, umat Islam Indonesia termasuk yang paling produktif dalam hal pengalaman teologi. Persoalan pasca kemerdekaan sudah jauh berubah dengan masa sebelumnya, masa perang yang lebih menguras semangat bertempur (teologi jihad). Persoalan kini adalah masalah bagaimana membangun bangsa dan rakyat Indonesia. Dari sinilah kalangan agamamawan terlibat dalam menyodorkan nilai-nilai keagamaan yang kompatibel bagi cita-cita kemajuan bersama itu. Maka, teologi pun senantiasa diberi konteks yang baru.

Bahkan di masa-masa awal kemerdekaan, kaum Muslim harus berjuang untuk merumuskan suatu teologi yang bisa diterima semua kalangan. Keharusan untuk menerima keragaman atau pluralitas sebagai kenyataan bangsa ini menyebabkan kaum Muslim menghentikan hasrat membentuk negara Islam. Bahkan mereka juga rela menghapuskan tujuh kata dalam klausul Piagam Jakarta yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban melaksanakan ajaran Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Hal itu dilakukan untuk menjaga keutuhan republik Indonesia yang baru saja diproklamirkan.

Dengan kata lain, kaum Muslim ternyata lebih mendahulukan kepentingan bangsa dan negara ketimbang mendahulukan kepentingan golongan Islam. Inilah teologi kebangsaan yang disumbangkan kaum Muslim untuk bangsa ini. karena itu sekarang ini, setiap kali kita mendengar kontroversi mengenai negara Islam atau Piagam Jakarta, maka teologi kebangsaan itu senantiasa dijadikan rujukan.

Melompat agak jauh, dasawarsa 1970-an merupakan masa-masa yang paling produktif dalam berteologi. Selain teologi pembangunan atau modernisasi seperti yang telah disebutkan, ada banyak jenis teologi yang dkembangkan oleh kaum Muslim dalam merespon pembangunan sebagai arus utama pada dasawarsa tersebut. Salah satu yang cukup menonjol adalah teologi yang kemudian menjadi gerakan, yakni fundamentalisme. Inilah gerakan teologi dan kritik yang paling keras terhadap ideologi dan praktek pembangunan yang dianggap menggerogoti nilai-nilai Islam.

Seruan utama teologi ini adalah kembali kepada Islam murni yakni Islam sebagaimana dipraktekkan pada zaman Nabi dan para sahabat. Bertolakbelakang dengan ide-ide sekularisasi yang didengungkan oleh para protagonis teologi pembangunan, para pendukung teologi fundamentalisme justru menyerukan Islamisasi. Teologi dan gerakan fundamentalisme ini memperolah sokongan dari kalangan mahasiswa terutama di kampus-kampus “sekuler”.

Hampir menyerupai teologi fundamentalisme, teologi neotradisionalisme juga mengangkat isu dan keprihatinan yang sama. Yakni, bahwa proses pembangunan atau modernisasi telah menelantarkan sisi spiritualitas manusia dan masyarakat, untuk sekadar menjadi hamba-hamba kapitalisme. Karena itu, seruan mereka adalah kembali kepada warisan spiritual Islam, terutama dalam hal ini, tasawuf. Teologi ini menerima dan sangat menghargai seluruh warisan tradisinal Islam. Tokoh utama teologi ini adalah Seyyed Hosein Nasr.

Tentu, selain yang telah disebutkan itu, masih banyak varian teologi yang berkembang atau dikembangkan dan dianut komunitas-komunitas kecil maupun besar. Tidak mungkin semuanya kita kemukakan di sini. Yang jelas, teologi lahir dari situasi tertentu, tantangan tertentu, atau kebutuhan tertentu. Karena itu tugas berteologi sesungguhnya tidak pernah selesai. Kini ketika bangsa kita menapaki abad baru, abad 21, kita berhadapan dengan masalah baru dan tantangan-tantangan baru.

Oleh karena itu kaum Muslim sebagai penduduk terbesar di negeri ini kembali dituntut untuk menyumbangkan pikiran-pikiran terbaiknya dalam berbagai bidang. Kita memerlukan lahirnya teologi baru yang akan menghentakkan kesadaran kita tentang tugas masa depan. Seperti apa teologi baru itu? Mari kita pikirkan bersama!!

Panjimas, Maret 2001

Islam, The State, and Civil Society

Contemporary Islamic Movements and Thought

The Editors’ Introduction

by Komaruddin Hidayat and Ahmad Gaus AF

Throughout Indonesia’s history as an independent nation, Islam and the state have struggled with each other as separate, competing entities.1 This struggle reached one of its peaks during the Constitutional Assembly’s Sessions (1956-1959), when Islamic groups took a stance opposed to that of secular nationalists. The Islamic groups fought for Islam to serve as the country’s foundation, while the secular nationalists insisted on Pancasila philosophy [ed. note: belief in one God; a just and civilized humanity; national unity; democracy and social justice] instead. As both groups clung fiercely to their own arguments and opinions, the Constitutional Assembly found itself at a deadlock, unable to resolve the problem.  This in turn led President Sukarno to take charge of the Assembly’s agenda and to issue the famous Presidential Decree, which returned the country to the 1945 Constitution.

This story has become a classic, and perhaps too traumatic to ever repeat. But the fact that the problem was unresolved is exactly why it has remained stored in the vault of history, with the opposing arguments passed on from generation to generation. Each succeeding generation has always been tempted to reopen the old history vault and rehash the Constitutional Assembly’s debate transcripts, page after page.

Since the Constitutional Assembly, the problem concerning the relationship between Islam and the state has grown more ideological and political, overshadowing the academic discourses that were so productive in the nineteen-fifties.2 Indeed, the debate about the relationship between Islam and the state has assumed an academic form since the early days, such as the nineteen-thirties debate between Soekarno and Mohammad Natsir.3 The political struggle to actualize the idea of an Islamic state did not occur until the Constitutional Assembly’s Conference, where Islam suffered the above-mentioned “defeat.” But this precedent had a lasting, negative impact on the relationship between the state and Islam, which has carried over to subsequent periods.

As Islam’s leverage as a political force declined, Masyumi leaders – who had been militant supporters of the Islamic state during the Constitutional Assembly’s Sessions – were imprisoned without trial by the Soekarno Regime.4 Masyumi was then disbanded in the late sixties on the grounds that some of its main leaders (e.g. Mohammad Natsir and Sjafruddin Prawiranegara) were involved in the PRRI rebellion. When the Soekarno regime fell and these leaders were released from prison, intending to revive Masyumi, the Soeharto regime did not permit it.5 As a substitute, Soeharto allowed the formation of a new party to represent the Islamic community, which was later named Parmusi (Partai Muslimin Indonesia, or the Indonesian Muslims Party—founded in 1968). As it turned out, the Soeharto Regime was motivated not by good will towards the Islamic community, but because Suharto felt it would be easier to control Islam as a political force through this rump party.

In the 1971 Elections, Parmusi received only 5.3% of the votes as the “heir” of Masyumi, while Golkar – the political machine of the Soeharto regime, or the “New Order” – won 62.8% of the votes.6 From this election result, it is clear that Islam as a political force had faded in Indonesia. The New Order Regime did not treat political Islam any better than had the previous Soekarno regime. In fact, the antagonism worsened, due to Soeharto’s government policies in the seventies and early eighties.7

This antagonism brought about a crisis, as evidenced by the worsening relationship between Islam and the state. The Tanjung Priok incident8 was one of several “uncontainable explosions” that characterized the mounting crisis. The mid-eighties also witnessed other incidents, like the bombing of the ancient Buddhist temple of Borobudur in Central Java and the bombing of Bank Central Asia (BCA) in Jakarta, by Islamic groups.

Not all Islamic forces were drawn into conflict with the ruling regime, from the Old Order under Soekarno to the New Order under Soeharto. Outside the political mainstream and commotion that struggled to establish an Islamic order from the fifties to the eighties, a different tide arose bearing other voices. These voices represent a Hegelian synthesis in the dialectical clash that occurred between Islamic groups and the ruling regime. They were born in the form of socio-cultural and intellectual movements.

The socio-cultural movements in question were the Nahdhatul Ulama (NU) and the Muhammadiyah – the world’s largest and second-largest mass Muslim organizations. NU was actually one of the Islamic groups that struggled for Islam to serve as the country’s foundation during the 1956-1959 Constitutional Assembly’s Sessions. But when the Soekarno regime issued its decree mandating a return to the 1945 Constitution, the NU easily accepted this decision, while other Islamic groups did not. When the Soeharto regime established Pancasila as the only foundation for political and religious organizations in 1983/84, the NU readily accepted this decision as well. The NU proved itself to be highly flexible in confronting various political situations.9 Despite accusations of its being opportunistic—due to this flexible stance—the NU remains to this day the largest Islamic organization in Indonesia, with the largest number of followers (nearly 40 million).

Muhammdiyah – which withdrew earlier from the practical political arena (in 1971, vs. the NU in 1984), was also in the ranks of what came to be known as the Islamic cultural movement. Its advocates believed that Islamization should occur in the form of culturalization, not politization. They also believed that any Islamic movement should be more of a cultural rather than political movement. This kind of attitude emerging from the Muhammadiyah—and also the NU—“represents a more substantial understanding of the relationship between Islam and politics, or between Islam and the state in Indonesia.”10

Beside the NU and Muhammadiyah, there also appeared voices from intellectual movements attempting to find “a solution to the disharmony between Islam and the state.”11 These intellectual movements offered alternative thoughts about the Islam-state relationship, which differed from those of preceding Muslim activists. Led by Nurcholish Madjid, who was the General Chairman of PB HMI [the central headquarters of the Muhhamadiyah Youth Organization], these intellectual movements called for a renewal of Islamic thought and a rejuvenation of religious understanding.

Their calls broke through the stiff relationship between Islam and the state, but also incited controversy among the Islamic community—a risk that they must have anticipated. The revolutionary power and controversial nature of this movement was evident in the ideas they expressed, such as “Islam Yes, Islamic Party No”; the need for secularization and liberalization; and their sharp criticism of the idea of an Islamic state, which they called a mere apology.12 What they aimed to accomplish was to emerge from the old paradigms and thought patterns concerning the relationship between Islam and the state, and to offer a viewpoint different from that of mainstream thought.

Nurcholish Madjid, the “locomotive” behind these intellectual movements, regarded the Islamic state as an apologetic tendency of Muslims when confronted by modern Western ideologies such as democracy, socialism, communism and others. This apology in the face of modern ideologies led to an ideological-political appreciation of Islam, which in turn led to a desire for an “Islamic State,” comparable to democratic states, socialist states, communist states, etc.15 Nurcholish believed that this apology was a form of psychological and emotional compensation for Muslims’ low self-esteem in facing a modern life dominated by Western lifestyles. Through a totalitarian idealization of Islam, Islamist activists wished to prove that Islam was superior, or at least on a par with Western civilization and its modern ideologies in the realm of economics, politics, social life, etc.—i.e., fields where the Islamic community had suffered total defeat.

In light of this analysis, Nurcholish pointed out that the Islamist apology would not prove effective in the long run. After lending the Islamic community temporary satisfaction and self-esteem, he wrote, “These ideas would turn out to be false in the end, and come back as a boomerang to strike the Islamic community.”14 Nurcholish’s criticisms of the idea of an “Islamic State” shifted the mainstream Islamic paradigm, and also gave a sense of theological security to Muslims, in that they could remain good Muslims without having to establish an Islamic State or become a member of an Islamic Party.

This paradigm shift is readily evident in the fact that from the post-Independence era (Soekarno’s regime) to early New Order (Soeharto’s regime), the political formulas used by Islamic activists constantly clashed with other groups, i.e., nationalists and non-Muslims. The intellectual movements established by Nurcholish and his friends, on the other hand, attempted to “formulize a nationally acceptable relationship between Islam and the state.”15 This was carried out by reducing the legalistic-formalistic tendencies that Nurcholish observed had become so acute among the Islamic community, which he called “fiqihism.” [“obsession with Islamic law”]16

Insofar as bridging the gap between Islamic groups and nationalist groups (most of whom actually came from the Islamic community, but rejected the idea of an Islamic State), Nurcholish and friends were relatively successful. The question then emerged as to how to put these ideas and discourses into political action, so as not to remain a mere intellectual discourse or awareness. The actions of Islamic political activists from Nurcholish’s generation have demonstrated how these ideas might work in practice. The clearest example of this can be seen in the career of Akbar Tandjung. The former General Chairman of PB HMI [the Muhammadiyah’s youth wing] joined Golkar [Soeharto’s political party], which was clearly not an Islamic party. Akbar took this controversial step—his Islamic colleagues had wanted him to join an Islamic party—not without reason. In his own words:

Nurcholish’s “liberal” ideas have of course inspired HMI activists to enter the political arena. Nurcholish believes that we should fight for universal values, instead of Islamic symbols. So I believe that to fight for these values on a practical level, one does not necessarily have to be a member of an Islamic Party. I believe that the Islamic people’s aspirations can be fulfilled without Islamic parties.17

Akbar represents a new generation of political Islam that was formed by the Islamic thought renewal movement a la Nurcholish Madjid—something that had been unimaginable until then.

Meanwhile, on the level of governmental bureaucracy, Nurcholish Madjid’s ideas were given form and substance by figures like Munawir Sjadzali.18 Munawir served as the Minister of Religion for two back-to-back terms (1983-1993). His ideas about the reactualization of Islamic teachings helped give direction to the intellectual movements that had emerged since the nineteen seventies. This has placed him as one of the key and most influential figures of Islamic thought renewal in Indonesia.19 Similar to renewal discourses in the seventies, Munawir Sjadzali’s thoughts revolved around the concept of the Islamic State. His views were in line with those of Nurcholish Madjid and Kyai Haji Abdurrahman Wahid, and not unlike those of Syaikh Ali Abd al-Raziq from Egypt, who said that the concept of the Islamic state did not exist, nor did what was called an “Islamic State.”20

Indeed, the roots of Munawir’s thoughts about Islam – as Dawam Rahardjo has observed – revolved around the theories of Islamic state and government. As the Minister of Religion in the New Order, which the Islamic community viewed as an un-Islamic regime, Munawir faced a difficult task of convincing Muslims to accept Pancasila as the country’s foundation and ideology, as well as of their own ideology. He viewed Pancasila as a result of ijtihad (interpretation) that was, at least, in line with the most fundamental of Islamic teachings—a situation similar to the Islamic state and governmental system in the era of Khulafa’ al Rasyidin, which was a result of the collective ijtihad of the Islamic community at that time.21

Actually, long before Nurcholish and his friends criticized the idea of the “Islamic State,” Munawir had already written a book called Analyse: Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam? (Analysis: Can the Nation of Indonesia be Based upon Islam?) in the nineteen fifties. At that time he used a pen name, Ibnu Amatillah. Perhaps he did not want to expose himself to personal attacks engendered by his criticism of the concept of an “Islamic State” at a time when the Islamic mainstream was zealously and emotionally supporting the establishment of an “Islamic State.” Munawir’s ideas may be regarded as too advanced for their time.22 In that book, as well as in his other works such as Islam dan Tata Negara (Islam and the State System), Munawir expressed his belief that all historical processes, including the succession of power from the Prophet to Abu Bakar, Umar, Utsman and Ali (the Prophet’s companions), were simply the result of human initiative and ijtihad. There were no instructions from the Prophet, let alone from God, about how a polity should be created. In other words, political issues have always been a fully rational issue.23

Certainly, during the nineteen fifties through the eighties – when Islam and the Indonesian state struggled intensively – we never heard of the term or the idea of civil society. But during the nineteen seventies, various socio-cultural groups (especially the NU and Muhammadiyah) and Islamic intellectual movements a la Munawir, Nurcholish and friends actually created a socio-cultural movement to build civil society from the ground up. Had the concept of civil society been as widely developed and understood at that time as it is today, it would have added much color to the dialectic and struggle between Islam and the state.

Today, clearly fewer Indonesians speak about the Islamic State. But the occasional maneuvers that demand a return to the Jakarta Charter or the national adoption of Islamic Shari’a, are a continuation of the idea of the Islamic State. It massively resurfaced, for example, during an MPR [national legislative session] session in 2000, when Islamic groups like FPI, KISDI, KAMMI, PII, HAMMAS, DDII, etc. rallied their followers at the DPR/MPR [legislative] building to voice their aspirations. In this case, the forces of Islamic civil society – represented by the NU and Muhammadiyah, and scholars such as Nurcholish Madjid – were among those who rejected the call for an Islamic State.24

The concept of civil society increasingly strengthens and informs Indonesia’s Islamic socio-cultural movements, for they share the same vision. In the concept of civil society, the people are not subordinate to the state, but its equal partner. This is also the case in Islam, especially Sunni Islam, where a religious institution must not force its concepts upon its followers or rule based on the claims or prerogatives of a single group. In Islam, power is civil power, as expressed through a consensus of the people. It is the people themselves who are the source of legitimate power. And therefore, those who possess political power may be toppled or relieved of that power, should the people wish it.25 It is this kind of civil society concept that is endorsed by the various socio-cultural Islamic groups and Islamic intellectual movements a la Nurcholish Madjid, Kyai Haji Abdurrahman Wahid, Munawir Sjadzali, etc.

After Islamic socio-cultural movements like the NU and Muhammadiyah withdrew from practical politics, they began to focus their activities on reinforcing civil society. Muslim youths – both belonging to groups affiliated to these two Islamic mass organizations, or to independent ones – are not thinking about the “Islamic State” anymore, either. They tend to spend more of their thought and energy on empowering civil society, by introducing progressive discourses, enhancing democracy and civil freedom, advocating issues such as gender and citizen rights, publishing, training, etc.

The essays compiled in this book are largely written by young Muslim who hold such an Islamic vision and orientation. They view their religion through the lens of the future. For example, they respect the legacy and traditions of classical thought, but are not reluctant to criticize it, if they feel that idealization of these classical legacies by certain Islamic groups today is excessive. The ideas of the past were born in response to the needs of their own time. Changing times bring about different needs, and thus a need for new formulations of thoughts and ideas. It is in this area that the contributors to this volume are now delving.

Today many of them are continuing their studies either within or outside Indonesia. Some are NGO activists or professors at universities. Their names are widely familiar to Indonesians because of their activities, their articles in the mass media or in books. As the editors of this volume, we will not describe the thoughts of the young contributors to this book one by one. We will let them speak for themselves about their concerns.

The articles compiled in this book are published as a tribute to the late Munawir Sjadzali, who has left us. Although a large age difference—three generations—separates many of the authors from that of Munawir Sjadzali, his ideas remain close to them, and have even come to form their inspiration and spirit.

Pak Mun—as he was intimately called—died on Friday, July 23, 2004 at Pondok Indah Hospital, Jakarta. He had been treated in the hospital since June 8, 2004, for stroke and complications of several diseases. The late Pak Munawir was known as an educator, diplomat, bureaucrat and thinker. As an educator, he was known for his brilliant ideas for improving Islamic education system and the future quality of Muslim scholars. Islamic professors from leading universities in the West today have not forgotten Munawir Sjadzali’s great deeds, for he was the one who fought to establish those channels of study in the West while he was serving as Indonesia’s Minister of Religion. The Special Programs for Madrasah Aliyah Project (MAPK), which opened in 1988 and later yielded many top-quality young scholars, was also the fruit of his labor.

As a diplomat, Munawir Sjadzali was a polite and well-respected figure in the international world. As a bureaucrat, he was known to be clean and honest—there have never been negative rumors about him during his service as a public official or afterwards. And as a thinker, he did not sit idly by the sidelines, when he witnessed the symptoms of rigid thinking befall the Islamic community. He will be remembered as one of the locomotives of Islamic thought renewal in Indonesia.

Munawir Sjadzali dedicated most of his life to the public welfare through his many careers, which he executed with hard work and no nonsense. Indeed, he conveyed his deep and “establishment-challenging” thoughts clearly and calmly, almost without ambition or fiery provocation. When in the nineteen eighties, for example, he voiced the need for the reinterpretation of Islamic law – concerning inheritance, bank interest, etc. – he was actually calling for scientific discussions of a kind that have long since disappeared from the Islamic intellectual mainstream.

A harsh polemic emerged when he voiced his reinterpretation ideas once again in Paramadina’s KKA forum in the late eighties. Nevertheless, he was not viewed as a controversial person seeking popularity. This was because his opinions were actually on many people’s minds; only they were reluctant to express their thoughts because the reinterpretation of Islamic law was considered a sensitive issue.  Undeterred by such considerations – because he considered it to be a real problem that Muslims faced every day – Munawir was convinced that the issue of reinterpretation must be openly addressed.

Now Munawir Sjadzali has passed on. But his legacy – the inspiration to delve into the essence of Islamic teachings – will always live on. To remember Munawir is to remember his spirit in capturing the dynamics of Islamic teachings, which he believed were flexible and could follow the turning wheels of time, as long as its adherents were able to correctly understand the spirit of the Qur’an.

This book aims to remember, and to eulogize, the figure, spirit, struggles and thoughts of Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA. It is hoped that the readers, especially the young generation, can benefit from his lifelong works and devotion.

In closing, we as editors would like to express our deepest gratitude to the family of the late Munawir Sjadzali, who have put their trust in us to compile this book. It would not have been completed without the help of many people, especially the involvement of the authors. For that we also express our appreciation and thanks to the various writers who have contributed their thoughts to this book.

We requested almost all of the articles in this book from the authors. We asked them to write especially about certain themes that we have arranged. However, we included some articles beyond the ones we requested, for their content is significant and should be widely read and known. For these articles, we included information regarding their source at the end of each article.

Of course, not all of the articles in this book are directly related to the figure or thoughts of the late Munawir Sjadzali. Ever since the origin of this project, it has been agreed that this book will address progressive discourses and issues in Islam, especially Islam in Indonesia, and that Pak Mun’s thoughts would be the source of inspiration. That is why the writers we have chosen are those who could be “imaginary students” of the late Munawir Sjadzali, whom we know to have been a progressive thinker.

As for books by and about Pak Mun himself that have been published by the Paramadina Foundation, there was one entitled Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzi, MA. (The Contextualization of Islamic Teachings: 70 Years Prof Dr. H. Munawir Sjadzi, MA.) published in 1995 in association with IPHI (Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia).  Following that, in 1997 Paramadina published a small book by Pak Munawir entitled Ijtihad Kemanusiaan (Humanistic Interpretation). As such, this is his third book published by Paramadina. We hope this volume will benefit us all, and happy reading.

Endnotes

1 The relationship between the two is described as “a story of antagonism and distrust by both sides.” See, for example, Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transforamasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta; Paramadina, 1998), p. 60. Of course it should be noted that the relational problem between Islam and the state has also been a concern of Islamic movements all over the world, not only in Indonesia. See, for example, Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama dan Negara (Jakarta; Grasindo, 1999), p. 63.

2 In the fifties, many books were published on the theme of the relationship between Islam and the State, among others: Mukthar Yahya, Islam Dan Negara, Padang Pandjang, Poestaka Sa’adijah, 1946; H.S. Fachruddin, Politik dan Islam, Medan, 1951; Abu Hanifah, Soal Agama dalam Negara Modern, Djakarta, 1949; Muhammad Saleh Suaidy, Persoalan Negara Islam, Djakarta: Perbaikan, 1953; Zainal Abidin Ahmad, Membentuk Negara Islam, Djakarta: Widjaya, 1956; M. Hasbi Ash Shiddieqy, Dasar-Dasar Pemerintahan Islam, Medan, 1950; Zainal Abidin Ahmad, Islam dan Parlementarisme, Bandung, Indonesia: Aliran Islam, 1950; Mohammad Iqbal dan M. Natsir, Dapatkah Dipisahkan Politik dari Agama? Djakarta: Mutiara, 1954; Khalifa Abdul Hakim dan Syarif Usman, Konsepsi Asasi Tatanegara Islam: Ditambah Dengan Pendapat Alim Ulama Seluruh Pakistan dan Pendapat Alim Ulama Seluruh Indonesia, Djakarta: Fa. Sudjas, 1953; Ibnu Amatillah, M. Sj., Mungkinkah Negara Indonesia Bersendikan Islam: Analyse, Tjet. 1. ed. Semarang: Usaha Taruna, 1950. For further information, read also Luthfi Assyaukanie’s article in this book.

3 The Natsir vs. Soekarno polemic was recorded, in part, in the writings, Arti Agama dalam Negara; Mungkinkah Quran Mengatur Negara; Islam “Demokrasi?” etc. See Mohammad Natsir, Capita Selecta (Jakarta: Bulan Bintang, 1973). Soekarno himself had already written many articles about Islam, one of which incited this polemic, viz., Apa Sebab Turki Memisahkan Agama dari Negara? (Why Has Turkey Separated Religion and State?), published in Panji Islam magazine, 1938.

4 Ahmad Syafii Maarif, “Dialog Dua Generasi”, introduction in Tidak Ada Negara Islam: Surat-Surat Politik Nurcholish Madjid—Mohamad Roem (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1997), p. xi.

5 Ahmad Syafii Maarif, ibid.

6 R. William Liddle, Pemilu-Pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik (Jakarta: LP3ES, 1992), p. 10. Other Islamic parties also received little support, like PSII (2.39%), Perti (0.70%), while NU was politically moderate (18.67%). The utter defeat of these Islamic parties, according to Harold Crouch, was because the New Order regime had succeeded in creating “an unfavorable condition for political parties” (quoted from Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, p. 116).

7 Among these policies were: permitting gambling to increase revenue for the city of Jakarta’s local government; the 1973 bill of marriage; the government’s suggestion in 1978 legislative session to upgrade the status of traditional beliefs to recognize these as a religion, like Islam; and the adoption of Pancasila as the only foundation for all sociopolitical forces, which for the Islamic community meant that they had to replace Islam with Pancasila as their political party’s or socio-cultural movement’s foundation.

8 The Tanjung Priok Incident, which occurred on September 12, 1984, was incited by the Islamic community’s feeling offended by military thugs, who entered a mosque in a densely-populated area without taking off their shoes and then poured ditch water on the walls. These actions angered Islamic activists, who subsequently launched a major demonstration, which was met by the police with gunfire. This tragedy took the lives of 63 Muslims, left 100 badly wounded, and 171 disappeared.

9 Such an approach is not without religious basis. Kyai Haji Abdurrahman Wahid has explained that it follows a fiqh rule that says, ma la yudraku kulluh la yutraku julluh, which means “That which cannot be gained fully is not to be omitted completely.” As a whole, he said, of course Muslims initially hoped for a formal adoption of the Islamic State, but with the birth of the Indonesian Republic, we must accept the most important thing in it, which is the existence of a country that allows Muslims to follow and express their religious teachings. (See Mengurai Hubungan Agama dan Negara, p. 341).

10 M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru (Jakarta: Logos, 2001), p. 156.

11 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, p. 126.

12 See Nurcholish Madjid’s paper, “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” and “Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia”, republished in Charles Kurzman (ed.), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global (Jakarta: Paramadina, 2001), p. 484-503

13 Ibid., p. 501.

14 Ibid., p. 502.

15 Bahtiar Effendy, “Islam dan Negara di Indonesia: Munawir Sjadzali dan Pengembangan Dasar-Dasar Teologi Baru Politik Islam”, in Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA (Jakarta; Paramadina and IPHI, 1995), p. 404.

16 See “Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia”, republished in Charles Kurzman (ed.), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global (Jakarta, Paramadina, 2001), p. 503).

17 M. Deden Ridwan and M. Muhajirin, Membangun Konsensus: Pemikiran dan Praktek Politik Akbar Tandjung (Jakarta: Sinar Harapan, 2003), p. 127.

18 Bahtiar Effendy, “Islam dan Negara di Indonesia: Munawir Sjadzali dan Pengembangan Dasar-Dasar Teologi Baru Politik Islam,” in Kontekstualisasi Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA (Jakarta; Paramadina and IPHI, 1995), p. 410.

19 See M. Dawam Rahardjo’s article in the preface to this book.

20 Ibid.

21 Ibid.

22 See Luthfi Assyaukanie’s article in this book.

23 Ibid.

24 See, “Tiga Tokoh Islam Tolak Piagam Jakarta”, Republika, August 11, 2000, republished in Kurniawan Zein and Saripudin HA, Ed., Syariat Islam Yes, Syariat Islam No: Dilema Piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945 (Jakarta; Paramadina, 2001), p. 203.

25 Fahmi Huwaydi, Demokrasi, Oposisi, dan Masyarakat Madani, translated (Bandung: Mizan, 1996), p. 197-198.

Komaruddin Hidayat, Prof. Ph.D., Professor of Islamic Philosophy at Universitas Islam Negeri (UIN/State Islamic University) Syarif Hidayatullah Jakarta. He earned his doctorate in philosophy from the Middle East University in Ankara, Turkey. In 1997 Dr. Hidayat was appointed Executive Director of Paramadina Foundation, then as the Executive Director of Madania Education Institution. He is currently a member of Paramadina Foundation’s Board of Patrons. A former reporter for Panjimas magazine, Dr. Hidayat is a prolific author whose writings often appear in numerous leading national newspapers and magazines such as Kompas, Republika, Koran Tempo, Suara Karya, Majalah Tempo, Gatra, Forum, and many others. His published works include Memahami Bahasa Agama (Understanding the Language of Religion; Paramadina, 1996), Agama Masa Depan (Religion of the Future; Paramadina, 1996), Tragedi Raja Midas (The Tragedy of King Midas; Paramadina, 1999), Fikih Lintas Agama [co-author] (Interreligious Jurisprudence; Paramadina, 2003). He was previously the Director of Perguruan Tinggi Agama Islam (Islamic Tertiary Education) at the Indonesian government’s Department of Religion.  During the 2004 Elections, he was the head of Central Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu, the Elections Observer Committee). He is currently the Dean of the Graduate School at the Islamic State University, Jakarta.

Ahmad Gaus AF, is Libforall Foundation’s Director of Publications, where he is responsible for translating the best work of progressive Indonesian Muslims into Arabic and English.  Chief Editor at Paramadina Publishing from 1999-2005, Mr. Gaus is an alumnus of the Communications Department at Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP/Institute for Social and Political Science) in Jakarta, Indonesia. He studied religion at Pondok Pesantren (Islamic boarding school) Daar el-Qolam under the tutelage of Dr. Kyai Haji Ahmad Rifai Arief. While in college, Mr. Gaus was a member of Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI/Indonesian National Studients’ Movement in Greater Jakarta) Jakarta Raya, and a visiting student at several religious schools (pesantren salafiyah, affiliated with the Nahdlatul Ulama). In 1998, together with several intellectuals and activists, Mr. Gaus founded the Indonesian Institute for Civil Society (INCIS), an NGO that promotes advocacy and empowerment in the field of social politics. He was INCIS’s Program Officer in a study of “ethnic conflicts,” performed in collaboration with LP3ES-OTI. He was also an associate researcher at P3M under Kyai Haji Masdar F. Mas’udi.

Mr. Gaus’s career as a writer began in middle school, when he contributed to the teenage, education and culture sections of many Sunday newspapers. His articles, columns, features and book reviews have been published in newspapers and magazines including: Kompas, Media Indonesia, Republika, Suara Karya, Majalah Gatra, MATRA, GAMMA, Panjimas, Petra Journal, Kultur Journal, etc. He is the co-author of Fikih Lintas Agama (Interreligious Jurisprudence: Paramadina, 2003), edited several anthologies by Nurcholish Madjid, such as Atas Nama Pengalaman: Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi (In the Name of Experience: Practicing Religion and Nationhood in a Time of Transition; Paramadina, 2002), Dialog Ramadlan Bersama Cak Nur (Ramadan Dialog with Cak Nur; Paramadina, 2000), Kaki Langit Peradaban Islam (Horizons of Islamic Culture; Paramadina, 1997), Masyarakat Religius (Religious Society; Paramadina, 1997). With Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, he edited Passing Over: Melintasi Batas Agama (Passing Over: Crossing the Boundaries of Religion; Gramedia-Paramadina, 1998).  He contributed hundreds of entries for Ensiklopedi Islam untuk Pelajar (Islamic Encyclopedia for Students; Jakarta, PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2002).
http://www.libforall.org/programs-islam-state-civilsociety.01.html


© 2003 – 2010 LibForAll Foundation

Berislam dengan Santun oleh Prof Dr Komaruddin Hidayat

Timbangan Buku API ISLAM Nurcholish Madjid

Kompas, Rabu, 22 Desember 2010

 

Oleh Prof. Dr. Komaruddin Hidayat

 

Sosok dan pemikiran Nurcholish Madjid (1939-2005) sulit dihapus dari ingatan intelektual Islam Indonesia kontemporer. Bersama Abdurrahman Wahid, keduanya meletakkan fondasi pemikiran keagamaan dan ke-Indonesia-an yang inklusif dan visioner. Mereka mempertegas integrasi Islam, demokrasi, dan negara kebangsaan baik dalam tataran epistemologis maupun dalam praksis-politik.

Yang sering mengemuka, setiap menyebut Cak Nur, demikian dia disapa, selalu dikaitkan dengan gagasan kontroversialnya, baik dalam bidang politik maupun keagamaan. Sering kali saya mendengarkan kritik dan caci maki terhadap pemikiran Cak Nur tentang keagamaan. Akan tetapi, setelah saya berdialog baik-baik, ternyata pemahamannya sepotong-sepotong. Itu pun disertai prasangka negatif. Kesimpulan saya, Cak Nur memang banyak disalahpahami.

Lewat buku ini, dan sekian banyak buku lainnya yang menghimpun pemikiran Cak Nur, pembaca bisa lebih dingin dan mudah mengapresiasi atau mengkritik karena yang bersangkutan telah tiada. Gagasannya mempunyai kaki dan sayap. Dia akan menjelaskan kepada siapa saja yang dijumpai serta akan membela dirinya sendiri di hadapan penghujatnya.

Paradigma pemikiran

Dalam pengantarnya, Yudi Latif sangat artikulatif menjelaskan gagasan-gagasan besar Cak Nur, terutama tentang paham ”sekularisme”, ”sekularisasi”, dan ”modernisasi” yang menjadi obyek polemik dan sekaligus mengentakkan pemikiran umat pada dekade 80-an dan bahkan sampai sekarang. Sebagai sesama alumni pesantren Gontor Ponorogo yang kemudian meraih doktor ilmu sosial-politik di Australia, Yudi cukup fasih menjelaskan geneologi pemikiran paradigmatik Cak Nur.

Secara akademis-intelektual, ada empat kualitas yang dimiliki Cak Nur, yang jarang dimiliki teman seangkatannya. Pertama, dia menguasai khazanah klasik pemikiran Islam. Dia memiliki perangkat intelektual yang kuat untuk mempelajari apa yang disebut ’kitab kuning’. Kedua, Cak Nur mempelajari teori-teori sosial dan metodologi riset sehingga kritis dalam memahami teks dan konteks sosial-historis sebuah doktrin agama. Ketiga, dia adalah juga seorang aktivis organisasi sosial sehingga pemikirannya selalu mempertimbangkan dampak strategis bagi perubahan sosial. Keempat, Cak Nur adalah penulis yang baik dan produktif sehingga memudahkan bagi mereka yang pro atau kontra untuk melakukan klarifikasi.

Pada dekade 80-an aktivis-intelektual dan intelektual-aktivis yang datang dari dunia pesantren memang masih langka. Cak Nur tampil menonjol sendirian. Kata teman-teman dekatnya, sungkan membantah Cak Nur karena bacaannya paling lengkap dibanding teman seangkatannya. Orangnya santun dan pribadinya bersih. Untuk konteks hari ini, beberapa topik yang dilontarkan Cak Nur waktu itu tidak lagi dianggap kontroversial. Apa yang dulu membuat terkaget-kaget, sekarang sudah banyak yang memahami, menerima dan mendukungnya secara kritis berkat terjadinya mobilitas intelektual anak-anak santri sehingga mampu mengakses kepustakaan Islam klasik ataupun ilmu-ilmu sosial modern. Konsep semacam inklusifisme, pluralisme, sekularisasi, toleransi, demokrasi sekarang merupakan topik seminar di kalangan akademisi yang didekati secara kritis dan serius.

Buku ini memperlihatkan bahwa kekuatan pemikiran Cak Nur terletak pada kemampuannya menggali spirit Islam lalu memformulasikan ke dalam kaidah-kaidah ilmu sosial kontemporer untuk ikut memecahkan masalah yang muncul pada zamannya. Salah satu terobosan yang historis adalah ketika Cak Nur melemparkan gagasan: ”Islam-Yes, Partai Islam-No” untuk melelehkan kebekuan sakralisasi partai Islam yang membuat Islam terkurung atau terpenjara oleh rumah partai yang sempit dan pengab. Padahal, banyak umat Islam yang merasa tidak nyaman untuk bergabung ke partai Islam yang ada waktu itu.

Meski waktu itu Cak Nur dihujat dan dicaci, ternyata apa yang dia gagas memperoleh pembenaran di kemudian hari. Bahkan, PKS dan PAN yang jelas-jelas semula mengusung ideologi ke-Islam-an, sekarang menyatakan diri sebagai partai terbuka. Jadi, untuk membaca pikiran Cak Nur mesti meli- hat teks, konteks dan argumentasinya.

Sisi pribadi

Dalam buku setebal 382 halaman ini Gaus berusaha menggambarkan sosok Cak Nur apa adanya. Kekaguman penulis pada sang tokoh tidak membuatnya terjatuh pada subyektivitas yang berlebihan. Bahkan, dalam beberapa bagian kritik terhadap Cak Nur juga ditampilkan.

Meski masih banyak bagian- bagian penting dari penggalan hidup dan pemikiran Cak Nur yang belum disajikan dalam buku ini, dokumentasi dan narasi sosok Cak Nur yang ditulis oleh Ahmad Gaus ini sangat membantu untuk mengenal lebih dekat siapa Cak Nur.

Buku ini sangat bagus jika diposisikan sebagai pemandu untuk memahami karya-karya tulis Cak Nur lainnya serta untuk memahami dinamika intelektual yang dimotori oleh angkatan-66, khususnya oleh kalangan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dalam melakukan penyegaran pemikiran Islam.

Judul Api Islam pilihan Ahmad Gaus sendiri terinspirasi tulisan Seyyed Amir Ali dan Bung Karno. Mungkin penulisnya ingin menekankan bahwa apa yang dilakukan Cak Nur adalah menghidupkan kembali api Islam yang diwarisi dari para pendahulunya. Atau api Islam itu selalu menyala berpindah dari putra-putri terbaik dan tercerahkan yang muncul di setiap generasi.

Lewat buku ini akan terlihat sisi-sisi manusiawi Cak Nur bagi mereka yang tidak mengenal dekat. Misalnya, bagaimana perjuangan hidupnya untuk menyelesaikan doktornya di AS dengan beasiswa yang sangat minim sehingga Mbak Omi, istrinya, mesti bekerja mencari tambahan uang. Gaya hidup Cak Nur sangat sederhana. Tidak punya sopir pribadi, tidak juga ada pembantu rumah tangga. Memasak dan mencuci pakaian adalah hal yang biasa dilakukan sendiri kecuali pada saat sakit keras.

Sebagai sebuah biografi tokoh besar seperti Cak Nur, buku ini niscaya akan memberi inspirasi bagi kaum muda. Jalan hidup yang ditempuh oleh sang tokoh memberi pelajaran bahwa untuk menjadi somebody tidaklah mudah. Banyak jalan mendaki. Tidak sedikit pengorbanan. Akan tetapi, dengan begitu hidup menjadi bermakna.

 Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

• Judul: Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner
• Penulis: Ahmad Gaus AF
• Penerbit: Penerbit Buku Kompas, 2010
• Tebal: xlii + 382 halaman
• ISBN: 978-979-709-514-7

 

Komentar

Masyhur gagah

Jumat, 24 Desember 2010 | 13:29 WIB

sebuah resensi yang menarik untuk dibaca. saya sendiri tertarik untuk memiliki buku tersebut. hanya saja, tampaknya buku tersebut belum terdistribusi di provinsi NTB. mudah-mudahan segera di distribusikan……

juman rofarif

Rabu, 22 Desember 2010 | 09:17 WIB

sebuah timbangan yang membangkitkan dan menggugah dari sosok kompeten tentang buku bagus tentang sosok hebat… mantabeh!

Yunanto yunan

Rabu, 22 Desember 2010 | 08:37 WIB

Hidup CAk Nur….Pemikirannya yang luar biasa..

 

_________________________________________________________________________________

Penulis: @AhmadGaus

Pengantar: @yulatif

Epilog: Budhy Munawar-Rachman

 

Berminat membeli buku ini hubungi Patricius/Kompas: 08158925350

__________________________________________________________________________________

 

 

 

 

 

 

Nurcholish Madjid: Kebesaran dalam Kesalahpahaman oleh Yudi Latif, PhD / @yulatif

 

 

Pengantar Dr. Yudi Latif

 

“Apakah sedemikian buruknya untuk disalahpahami? Pythagoras pernah disalahpahami, demikian pula Socrates, Yesus, Luther, Copernicus, Galileo, Newton, dan setiap spirit murni dan bijak yang berdaging. Untuk menjadi agung adalah untuk disalahpahami,” tulis pemikir Amerika Ralph Waldo Emerson.

Setiap pemikir besar terlahir karena lompatan berpikir jauh ke depan mengangkangi kelaziman pemikiran arus utama; menyimpang dari kelaziman pemahaman yang sering dianggap sebagai pengingkaran dan pengkhianatan terhadap keumuman. Meski sering disalahpahami, penyimpangan kreatif seperti itulah yang menjamin keberlangsungan sejarah umat manusia yang meniscayakan pembaruan.

Kegentingan yang memaksalah yang kerap mendorong sang pemikir untuk berani mengambil pilihan yang sulit: berkhidmat pada ketentraman umum dengan risiko mempertahankan kejumudan pehamanan komunitasnya, atau berteguh pendirian menawarkan ide pembaruan demi pencerahan pehamanan komunitasnya meski berisiko disalahpahami dan dicaci-maki. Seorang pemikir besar terlahir karena keteguhan pendiriannya memancangkan ide pembaruan.

Demikianlah, seorang Nurcholish Madjid (Cak Nur) mencapai kebesarannya sebagai pemikir karena terobosan ide-ide pembaruannya untuk mencari persenyawaan yang kreatif dan produktif antara keislaman dan kebangsaan (ke-Indonesian) antara tradisi dan kemodernan. Suatu usaha penyerbukan silang budaya, yang dalam situasi ketegangan konflik ideologis, membuatnya berada di garis luar setiap pengkutuban; bagai binatang jalang yang dari kumpulannya terbuang, dicerca, dikucilkan dan disalahpamahi. Tetapi berkat kebernasan rasionalitas, keteguhan dalam pendirian, serta kebersahajaan dalam hidupnya, ide-ide pembaruannya lambat laun menjadi mercusuar bagi biduk-biduk yang limbung di tengah samudera krisis aktualisasi diri komunitas Islam dalam konteks kebangsaan dan kemoderenan.

Kegentingan yang memaksa Cak Nur untuk menggulirkan ide-ide pembaruannya berawal dari impasse politik Islam pasca Orde Lama. Turut andil dalam memberi jalan bagi kelahiran Orde Baru, harapan kalangan aktivis politik Islam bagi rehabilitasi Partai Masyumi yang dibekukan rezim Soekarno bagai punduk merindukan bulan, setelah Suharto menolaknya pada bulan Januari 1967. Kenyataan ini melambungkan kekecewaan politik yang mendalam terutama di kalangan para tokoh dan aktivis politik Islam dari angkatan tua.

Dengan pemblokiran jalan politik ini, para mantan pemimpin Masjumi mulai menyadari pentingnya memperluas lingkup perjuangan Islam ke arena-arena non-politik. Selain itu, menyadari kenyataan rapuhnya Islam sebagai kekuatan politik mereka juga menyerukan perlunya mempekuat persatuan (integrasi) umat Islam. Tema ‘integrasi’ ummat dan pengembangan ‘dakwah’ lantas menjadi arus utama wacana Islam, terutama di kalangan para pemimpin Islam senior. Penanda penting dari arus kesadaran ini adalah pendirian Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), pada Mei 1967.

Krisis politik Islam di kalangan tua ini membawa luberan krisis identitas yang melanda lingkungan aktivis mahasiswa Islam.   Identifikasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masjumi selama masa Orde Lama berarti bahwa kebijakan penjinakan Islam politik pada awal Orde Baru melahirkan kekecewaan yang besar. Padahal, dominasi HMI di antara organisasi mahasiswa yang ada sejak tahun 1960-an melambungkan harapan-harapan di kalangan para anggotanya untuk bisa memainkan peranan publik yang signifikan di masa depan. Situasi yang membingungkan ini menempatkan para aktivis HMI dalam posisi limbo, antara meneruskan proyek ‘Islamisasi’ dunia politik dan pendidikan ataukah beralih ke proyek liberalisasi pemikiran dan aksi politik Islam.

Berhadapan dengan pilihan-pilihan ini, generasi ini terdorong untuk mengembangkan sebuah wacana tentang beberapa isu krusial mengenai sosok masa depan Islam dan historisitas HMI.Secara eksternal, muncul tuntutan untuk melahirkan respon-respon yang strategis dan tepat terhadap tantangan modernisasi dan pemarjinalan Islam politik. Pada saat yang sama, dituntut pula adanya respon terhadap dilema antara apakah mendukung ‘integrasi ummat’ ataukah mendukung agenda liberalisasi pemikiran Islam yang dikenal sebagai ‘gerakan pembaharuan’. Secara internal, HMI harus memilih apakah tetap independen secara politik ataukah berada di pihak organisasi-organisasi sosial-politik Islam, dan apakah menjadi organisasi kader ataukah organisasi massa.

Pada awalnya, reaksi umum dari para intelektual HMI terhadap proyek modernisasi Orde Baru bersikap defensif. Modernisasi dianggap sebagai sebuah dalih bagi proses westernisasi dimana di dalamnya terkandung proses sekularisme yang berbahaya. Dalam perkembangan lebih jauh, muncul tiga jenis respon: liberal, reaksioner (Islamis), dan moderat (moderat-reaksioner).

Respon liberal yang pertama-tama datang dari lingkaran aktivias HMI di cabang Yogyakarta, yang kadangkala disebut sebagai Kelompok Yogya. Cabang ini pernah mendukung Manipol-USDEK selama periode Demokrasi Terpimpin. Di antara para intelektual terkemuka dari kelompok ini ialah Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Dawam Rahardjo. Di luar HMI, komunitas epistemik lainnya yang mempengaruhi perkembangan intelektual dari para intelektual muda ini ialah sebuah kelompok studi yang dikenal sebagai ‘Limited Group’. Kelompok ini mulai hidup sejak tahun 1967 sampai dengan 1971 dengan Prof. Mukti Ali sebagai mentornya, yakni seorang dosen IAIN Yogyakarta yang berpendidikan Barat yang mengajarkan kepada mereka keahliannya dalam ilmu perbandingan agama dan pemikiran Islam modern. Dalam kasus Ahmad Wahib, dia memiliki hubungan emosional dan intelektual yang kuat dengan beberapa pastor Katolik karena dia pernah menghabiskan waktu beberapa tahun tinggal di asrama mahasiswa Katolik, yaitu Realino. Bagi kelompok ini, modernisasi pertama-tama disambut baik; lantas kemudian dianggap sebagai keharusan bagi kaum Muslim Indonesia, bahkan meskipun proses itu mungkin mengarah pada Westernisasi (Wahib 1981: 40, 149).

Respon Islamis-reaksioner terutama datang dari para aktivis Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI – HMI). Didirikan pada 1966, Ketua pertama lembaga ini ialah Imaduddin Abdulrahim dengan dibantu oleh Endang Saifuddin Anshari (keduanya berasal dari HMI Cabang Bandung), dan Miftah Faridl (dari Cabang Solo). Karena kantor pusatnya berada di Bandung, kelompok intelektual yang memiliki hubungan dengan lembaga ini seringkali disebut sebagai Kelompok Bandung. Selama periode demokrasi terpimpin, HMI Cabang Bandung menjadi penentang kuat Manipol-USDEK. Sikap umum dari kelompok ini terhadap proyek modernisasi cenderung reaksioner dan curiga, baik karena alasan semantik maupun politik. Kelompok ini tidak berkeberatan dengan rasionalisme modern, sains dan teknologi, karena antara doktrin Islam dan penemuan saintifik, menurut standar argumen dari kelompok Islamis ini, tidaklah bertentangan, melainkan malah komplementer. Hanya saja, kelompok ini berkeberatan dengan istilah ‘modernisasi’ karena istilah itu dianggap sangat berhubungan dengan proses Westernisasi dan sekularisasi, dan pengadopsiannya oleh rezim Orde Baru dicurigai sebagai dalih untuk memarjinalkan pengaruh Islam politik.

Bahwa pandangan-pandangan dari kelompok ini menggemakan pandangan dari para pemimpin Masjumi, hal ini tidaklah terlalu mengejutkan. Para pemimpin LDMI, terutama Imaduddin dan Endang, memang memelihara hubungan emosional dan intelektual yang erat dengan para pemimpin Masjumi dan DDII. Ayah dari kedua orang itu (yaitu Abdulrahim dan Muhammad Isa Anshari) berasal masing-masing dari Langkat (Sumatra Timur) dan Sumatra Barat. Abdulrahim adalah seorang lulusan Al-Azhar dan merupakan seorang pemimpin lokal Masjumi di Sumatra. Sedangkan Isa Anshari, setelah pindah ke Bandung, merupakan seorang pemimpin Masjumi dan Persis yang terkemuka dan militan. Selain itu, baik Imaduddin maupun Endang dididik oleh guru agama yang sama, yaitu Rusjad Nurdin (seorang pemimpin Persis dan Masjumi). Sebagai seorang anak pemimpin Persis, Endang memiliki hubungan yang lama dengan Nurdin, sementara Imaduddin memiliki hubungan dekat dengan Nurdin setelah Nurdin menjadi seorang dosen Studi Islam di ITB pada tahun 1962. Jadi, secara etnik, ideologi, maupun intelektual, baik Imaduddin dan Endang memiliki kecenderungan untuk mengidentifikasikan diri dengan Natsir.[1] Lebih dari itu, keduanya juga termasuk dalam sebuah kelompok intelektual muda yang pernah mendapatkan pelatihan dari DDII sejak akhir tahun 1960-an untuk menjadi pendakwah Islam bagi komunitas Muslim di universitas-universitas sekuler.

Di tengahnya ada kelompok moderat, yang menerima modernisasi dengan syarat. Pandangan ini direpresentasikan oleh sikap umum dari Pengurus Pusat (PB) HMI di Jakarta. Sebagai suatu kelompok dengan kecenderungan ideologis yang berspektrum luas, PB berada dalam situasi di tengah-tengah perang antara poros Jakarta-Bandung versus poros Jakarta-Yogyakarta. Poros yang pertama disebut Cak Nur sebagai ‘jalur politik’, sementara poros yang kedua, disebutnya sebagai ‘jalur ide’.

Mengenai integrasi ummat, para intelektual HMI pada awalnya memandang isu ini sebagai perhatian utama. Kongres HMI kedelapan di Solo (10-17 September 1966) mendukung ide Kongres Umat Islam. Kelompok liberal kemudian lebih menyukai agenda gerakan pembaharuan Islam, bahkan meskipun dengan memprioritaskan agenda ini akan berarti menyebabkan terciptanya ketegangan hubungan dengan ummat. Bagi kelompok ini, problem utama bagi kaum Muslim Indonesia bukanlah perpecahan Islam, akan tetapi kemandegan pemikiran Islam. Namun, bagi kelompok Islamis, perselisihan-perselisihan di kalangan internal ummat merupakan akar dari ketidakberdayaan kaum Muslim, dan oleh karenanya, mempertahankan solidaritas Islam dianggap jauh lebih penting daripada petualangan intelektual yang hanya memuaskan diri sendiri. Bagi kelompok moderat, rekonstruksi pemikiran Islam itu penting, namun tidak perlu membawa risiko terciptanya ketegangan hubungan dengan ummat dan organisasi-organisasi Islam lainnya.

Cak Nur sendiri pada mulanya memiliki kecenderungan moderat ini, untuk alasan yang bisa diterka. Pada masa-masa genting di awal Orde Baru ini, Cak Nur terpilih sebagai ketua HMI untuk dua periode berturut-turut (1966-1968, 1968-1971), yang tak pernah terjadi sebelumnya. Dalam posisinya sebagai ketua umum HMI, tentu saja ia dituntut menjembatani kutub-kutub pemikiran yang berkembang. Selain itu, ia pun punya kedekatan hubungan dengan tokoh-tokoh Masyumi.

Pada tahun 1968, Cak Nur menulis seri artikel yang berjudul ‘Modernisasi ialah Rasionalisasi, Bukan Westernisasi’ yang dimuat di majalah Pandji Masyarakat[2] dan Liga Demokrasi. Menurutnya, definisi modernisasi secara sederhana adalah ‘yang identik, atau hampir identik, dengan rasionalisasi’ dan jika istilah itu didefinisikan secara demikian, modernisasi bagi seorang Muslim adalah sebuah keharusan. Meski demikian, dia kemudian mengingatkan bahwa ada kemungkinan adanya sekularisme (termasuk humanisme, liberalisme, dan komunisme) dan Westernisasi yang bersembunyi di balik seruan ‘modernisasi’ ini. Dalam pandangannya, sekularisme harus dilawan karena hal itu akan menghancurkan dasar agama dari negara Indonesia. Pada saat yang sama, dia menekankan pada pentingnya ideologi dan ketakterelakkan agama sebagai syarat bagi terarahnya kehidupan nasional. Modernisasi dalam konteks Indonesia, menurutnya, tidak boleh mengakibatkan berakhirnya ideologi, karena kehidupan tak mungkin berjalan baik tanpa seperangkat kepercayaan, ide, sikap dan keyakinan. Yang terakhir, dia mengingatkan akan bahaya agenda tersembunyi yang dikembangkan oleh beberapa elit Indonesia yang kebarat-baratan yang sangat tidak suka dengan segala sesuatu yang bernada Islam.

Pergeseran pemikiran Cak Nur ke arah pemikiran Islam yang lebih progresif  merupakan hasil dari dinamika diri dan lingkungan intelektualnya. Seperti yang dikatakan Wahib (1981: 160-161): ‘Nurcholish Madjid adalah orang yang senang belajar dan membaca. Buku adalah pacarnya yang pertama. Walau dia sudah merasa benar tapi karena kesediaannya untuk senantiasa belajar, memaksanya lama-lama untuk mempersoalkan kembali apa yang telah diyakininya’. Karena hobi membacanya, kata Wahib, Nurcholish adalah orang yang cukup punya  peralatan ilmu sehingga dengan suatu sikap perubahan mental saja dia sudah sanggup meloncat jauh ke depan mengejar ketinggalan-ketinggalannya (h. 163). Ia juga merupakan seorang individu independen yang tidak memiliki mentor khusus. Bagi seorang mahasiswa IAIN, menjadi ketua HMI merupakan sesuatu yang sangat tak lazim dan ini juga mencerminkan kekuatan pribadinya. Cak Nur juga menunjukkan kecenderungan kuat di kalangan para mahasiswa IAIN dan pesantren tradisional untuk tidak terlalu radikal dan sangat mendambakan melek pengetahuan saintifik Barat dan bahasa ‘wacana intelektual’ modern.

Namun, impetus utama bagi pembaruan pemikirannya merupakan berkah atas kunjungannya secara langsung ke Amerika Serikat dan Timur Tengah. Pada bulan Oktober 1968, dia diundang untuk mengunjungi Amerika Serikat oleh Departemen Luar Negeri Pemerintah Amerika Serikat di bawah sponsor Council for Leaders and Specialists (CLS). Alasan di balik undangan ini, menurut seorang pejabat Kedutaan Besar Amerika di Jakarta, ialah ‘sekedar memperlihatkan apa yang dia benci selama ini’ (Wahib 1981: 161). Selama dua bulan perjalanannya di Amerika, dia mengunjungi universitas-universitas dan belajar tentang kehidupan akademis dari para mahasiswa, mengikuti seminar-seminar dan diskusi-diskusi dengan beberapa tokoh akademis dan politik, dan menyaksikan langung prestasi-prestasi peradaban Barat. Dia juga berkesempatan untuk menemui kompatriotnya, seorang intelektual sosialis yang berpengaruh, Soedjatmoko, yang saat itu menjadi Duta Besar Indonesia di AS, yang menyambut kunjungannya dengan ramah. Segera setelah itu, dia melanjutkan perjalanannya ke Prancis, Turki, Lebanon, Syria, Irak, Kuwait, Saudi Arabia, Sudan, Mesir dan Pakistan. Selanjutnya pada bulan Maret 1969, atas undangan Raja Faisal dari Saudi Arabia, dia naik haji bersama dengan 10 fungsionaris HMI lainnya. Saat berefleksi atas kunjungannya baik ke dunia Barat maupun ke dunia Islam, dia menjadi sadar akan adanya jarak antara ide-ide Islam dengan realitas kehidupan di dunia Muslim. Di sisi lain, Barat yang telah sedemikian banyak dikritiknya, menunjukkan banyak dimensi dan prestasi positif. Sejak saat itu, ‘mulai terlihat perubahan-perubahan arah pikiran Nurcholish. Dia mulai tertarik pada segi-segi baik dari humanisme yang sebelumnya dicapnya sebagai agama baru’ (Wahib 1981: 161).

Perubahan mental Cak Nur mulai terjadi, meski tidak berlangsung secara radikal dan serta-merta. Bulan-bulan berikutnya di tahun 1969 merupakan bulan-bulan yang kritis bagi pemikiran Cak Nur mengenai liberalisme Islam. Dia masih terus melakukan refleksi diri, apakah akan berpihak kepada usaha integrasi ummat ataukah terlibat dalam gerakan pembaharuan. Sebuah faktor yang berpengaruh dalam langkahnya menuju gerakan pembaharuan datang dari ‘komunitas epistemiknya’, berupa lingkaran-lingaran diskusi kelompok kecil secara informal, yang diikuti oleh rekan-rekan terdekatnya.

Salah seorang tokoh kunci yang terlibat dalam proses ini adalah Utomo Dananjaya. Dia adalah seorang pemimpin PII (1967-1969) yang moderat dan menjadi seorang sahabat dekat Cak Nur. Pada tahun 1969 itu, Utomo mengaktifkan kembali tradisi mengundang ketua HMI (pada saat itu Madjid) untuk memberikan ceramah di hadapan Kongres Nasional PII (yang diadakan di Bandung pada tahun itu). Pada tahun yang sama, pada saat acara halal bihalal setelah ‘Idul Fitri, Utomo mengadakan sebuah diskusi dengan tema ‘Integrasi Ummat Islam’ yang diikuti oleh Subchan Z.E. (dari NU), H.M. Rasjidi (dari Muhammadiyah), Anwar Tjokroaminoto (dari PSII), dan Rusli Khalil (dari Perti). Namun, setelah diskusi itu, Dananjaya menangkap kesan bahwa agenda integrasi belum diterima dengan baik. Maka, dia pun mulai mengadakan diskusi-diskusi kelompok kecil, yang melibatkan rekan-rekan terdekatnya: seperti Nurcholish Madjid (dari HMI), Usep Fathuddin (dari PII), dan Anwar Saleh (dari GPII), untuk memecahkan dilema apakah mendukung tujuan integrasi yang tak praktis ataukah berpihak kepada gerakan pembaharuan yang bisa menciptakan perpecahan.

Selain diskusi-diskusi kelompok kecil, Cak Nur juga mengadakan diskusi-diskusi dengan para pemimpin Masjumi seperti Prawoto Mangkusasmita, Mohamad Roem, dan Osman Raliby, dan dari mereka, dia mendapat kesan bahwa orang-orang ini tidak benar-benar menganggap ide mengenai negara Islam sebagai harga mati atau prioritas yang mendesak. Dalam pandangannya: ‘Mereka memang memiliki sebuah ide mengenai bagaimana kira-kira negara Islam, namun hal itu harus dicapai lewat mekanisme-mekanisme demokratis. Bahkan seorang seperti Roem tidak mencita-citakan negara Islam, meskipun dia tetap simpati dengan para pendukung cita-cita itu’.

Meskipun diskusi-diskusi kelompok kecil itu tidak mencapai hasil konklusif apapun, diskusi-diskusi tersebut cukup memberikan inspirasi baru bagi para pesertanya. Sudah sejak akhir November 1969, Cak Nur menulis surat-surat pribadi kepada Ahmad Wahib dan Djohan Effendi, dua tokoh utama pemikiran liberal yang telah mengundurkan diri dari HMI pada tanggal 30 September dan 10 Oktober 1969, karena ketidaksepakatannya dengan kelompok Islamis dalam tubuh HMI. Dalam suratnya, dia menyatakan kesepakatannya dengan ide-ide pokok dari kedua individu tersebut, namun juga meminta pengertian mereka tentang sulitnya mengimplementasikan ide-ide semacam itu di HMI (Wahib 1981: 165-166). Kemudian, dalam persiapan acara halal bihalal setelah ‘Idul fitri pada tahun 1970, yang diorganisir bersama oleh empat organisasi mahasiswa-pelajar dan sarjana Muslim, yaitu HMI, GPI, PII, dan Persami, pihak panitia yang antara lain terdiri dari para peserta diskusi kelompok kecil tersebut, sepakat untuk memilih ‘pembaharuan pemikiran dan integrasi’ sebagai tema diskusi silaturahmi. Tujuan awal pemilihan tema tersebut sekadar untuk menstimulus diskusi dan menggarisbawahi keinginan dari pemimpin kelompok-kelompok pemuda Muslim tersebut untuk menemukan solusi  bagi problem-problem ummat yang sangat berat. Awalnya, intelektual yang diundang untuk memberikan ceramah pada kesempatan itu adalah Alfian (seorang intelektual Muslim dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Namun dia berhalangan hadir. Karena itu, Harun Nasution (seorang sarjana Islam yang rasionalis dari IAIN) dipilih sebagai pengantinya. Ternyata, Nasution juga berhalangan. Akhirnya, Cak Nur ditunjuk sebagai pembicara.

Dalam acara halal bihalal itu, yang diadakan pada tanggal 2 Januari 1970, Cak Nur mempresentasikan sebuah makalah berjudul ‘Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Ummat’. Dalam ceramah itu, dia menjelaskan bahwa dalam pandangannya, agenda integrasi merupakan pendekatan yang tak praktis. Struktur peluang politik Orde Baru mengharuskan adanya perubahan dalam kondisi perilaku dan emosional ummat Muslim, sementara pendekatan integrasi yang bersifat idealistik hanya akan mengabadikan kemandulan dan kejumudan intelektual dalam ummat. Dia percaya bahwa hilangnya apa yang dia sebut sebagai ‘psychological striking force’ dari diri ummat Muslim telah menyebabkan ‘kemunduran 25 tahun’ bagi ummat, dan hal ini terlalu kompleks untuk diselesaikan lewat sebuah pendekatan berorientasi integrasi. Maka, dia menganggap agenda pembaharuan pemikiran Islam sebagai obat bagai malaise yang dialami ummat. Isu-isu kontroversial dari agenda ini mungkin akan menghalangi usaha-usaha untuk menciptakan integrasi, namun dalam penilaiannya, risiko tersebut memang pantas untuk ditanggung. Bahkan meskipun proyek tersebut gagal untuk melahirkan hasil seperti yang diharapkan, proyek tersebut masih berguna paling tidak sebagai upaya untuk menyingkirkan beban kejumudan intelektual. Ditambahkannya, proyek ini menjadi lebih mendesak lagi jika dipertimbangkan adanya kenyataan bahwa organisasi-organisasi Islam reformis yang mapan, seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis dan yang lainnya, telah kehilangan semangat pembaharuan dan élan vital-nya sehingga menyebabkan mereka menjadi tak ada bedanya dengan, dan bahkan kalah progresif dari, organisasi-organisasi Muslim tradisionalis.

Saat menjelaskan garis besar pemikirannya mengenai ‘pembaharuan’, Cak Nur sampai pada sebuah poin yang krusial. Dia yakin bahwa proses pembaharuan ini haruslah dimulai dengan membebaskan ummat dari ‘nilai-nilai tradisional’-nya dan menggantinya dengan ‘nilai-nilai yang berorientasi masa depan’. Menurutnya, proses pembebasan ini mengharuskan ummat untul mengadopsi ‘sekularisasi’, mempromosikan kebebasan intelektual, menjalankan ‘ide tentang kemajuan’ (idea of progress), dan mengembangkan sikap-sikap terbuka. Apa yang dia maksudkan dengan istilah ‘sekularisasi’ di sini tidaklah identik dengan sekularisme karena sekularisme itu, dalam pandangannya, sangat asing bagi pandangan dunia Islam. Cak Nur meminjam penafsiran seorang teolog Kristen, Harvey Cox, dan seorang sosiolog Amerika, Robert N. Bellah, bahwa yang dimaksud dengan sekularisasi itu ialah proses temporalisasi terhadap nilai-nilai yang memang temporal, namun yang cenderung dianggap ummat sebagai bersifat ukhrawi. Istilah ini juga bermakna ‘desakralisasi’ atas segala sesuatu yang selain dari yang benar-benar transendental. Yang terakhir namun juga penting, dalam merespon kian meningkatnya ketertarikan orang terhadap Islam di satu sisi dan mandulnya Islam politik di sisi lain, dia sampai pada kesimpulan bahwa bagi banyak Muslim pada saat itu: ‘Islam, yes; partai Islam, No!’

Keberanian Cak Nur dalam mengambil langkah yang tak populer dengan mengutamakan gerakan pembaharuan, meskipun berisiko mengundang kritik luas, merupakan sebuah momen menentukan bagi penasbihannya sebagai seorang intelektual garda depan. Seperti yang dijelaskan Max Weber: ‘Para intelektual seringkali berhadapan dengan dilema antara memilih integritas intelektual atau kontingensi-kontingensi ekstra-intelektual, antara arus ide yang rasional atau kejumudan dogmatik. Setiap keputusan yang memilih pilihan kedua akan berarti melakukan ‘pengorbanan intelek’’.[3] Ambivalensi yang secara tipikal muncul dari posisi seperti itu, diuraikan oleh Bernhard Giesen sebagai berikut (1998: 43):

 

“Para intelektual mengeluhkan tidak adanya pemahaman dari publik yang memang tak paham, tak memiliki kesanggupan untuk paham, atau bahkan bersikap memusuhi, interpretasi-interpretasi para intelektual itu. Di sisi lain, persis karena adanya penolakan oleh publik itulah, secara khas tercipta ketegangan yang bisa dimaknai sebagai keunggulan interpretatif dari intelektual garda depan. Dalam keluhannya atas publik itulah, intelektual mulai mengkonstruksi struktur dasar yang di dalamnya dia bisa mencapai hal luar biasa sebagai intelektual. Sebaliknya, pengadopsian interpretasi-interpretasi intelektual oleh khalayak luas selalu menimbulkan bahaya berupa pudarnya seorang intelektual.”

Dengan memprioritaskan ide-ide di atas opini publik, Cak Nur cenderung kurang menghiraukan implikasi-implikasi sosial dari pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan-pernyataan kontemplatifnya. Hal ini terutama berlaku dalam pernyataan krusialnya mengenai keharusan ‘sekularisasi’. Apapun definisinya mengenai sekularisasi, suatu bahasa atau terminologi tidaklah bisa beroperasi secara terisolasi dan tak bisa mengelak dari sejarah. Makna selalu terkonstruksi dalam konteks sosial dan historis, dan dalam proses itu, institusi-institusi dan pergulatan sosial terlibat.  Seperti yang diargumentasikan oleh Jay L. Lemke (1995: 9): ‘Semua makna tercipta dalam masyarakat, dan karena itu analisis terhadap makna tak bisa dilepaskan dari dimensi-dimensi sosial, historis, kultural dan politik dari masyarakat ini’. Dalam struktur kognitif kaum Muslim Indonesia, istilah ‘sekuler’ dan derivasinya memiliki sebuah konotasi yang negatif sebagai penanda dari ‘kelianan’ (otherness). Istilah itu umumnya diasosiasikan dengan penyingkiran pengaruh agama dari ruang publik dan politik—yang dianggap asing bagi pandangan dunia Islam—dengan referensi khusus pada kebijakan kolonial Belanda yang represif di bawah pengaruh Snouck Hurgronje untuk memarjinalkan Islam politik. Keberatan-keberatan yang diajukan kaum Muslim terhadap istilah tersebut, diperparah dengan perujukan-perujukan yang terlalu sering yang dilakukan Cak Nur ke sumber-sumber akademis Barat, sehingga semakin memperkuat rasa keasingan dan kelianan dari istilah tersebut.

Karena alasan-alasan yang sama, pernyataan Cak Nur mengenai ‘Islam yes; partai Islam: no!’ juga disalahpahami. Seperti halnya pernyataan Tjokroaminoto di hadapan kongres Sarekat Islam di Surakarta pada tahun 1931 bahwa ‘SI bukan sebuah partai politik, dan bukan sebuah organisasi yang menginginkan suatu revolusi, namun merupakan sebuah organisasi yang loyal kepada pemerintah,’ pernyataan Madjid itu pada hakekatnya tidaklah bermaksud untuk merobohkan pengaruh Islam secara politik. Sebaliknya, justru menyodorkan alternatif untuk  memperkuat pengaruh Islam secara politik melalui pendekatan non-politik. Namun, sekali lagi karena pernyataan itu dianggap sebagai bagian dan paket dari pernyataannya mengenai sekularisasi, para kritikusnya tak bisa membaca esensi dan nuansadari pernyataan tersebut.

Perbenturan antara ‘visi’ dan ‘tradisi’ berlangsung di seputar dua poin krusial dalam pemikiran Cak Nur tersebut, yang menimbulkan perdebatan-perbedatan intelektual yang melelahkan untuk beberapa tahun ke depan. Perdebatan menyita banyak waktu itu telah terperangkap pada persoalan semantik, dan gagal membicarakan isu-isu yang substansial. Skala kontroversi dan kesungguhan visi Cak Nur menjadi semakin meluas dan kuat karena intensitas dan densitas liputan media, terutama oleh majalah Tempo dan Pandji Masyarakat yang menjadi inisiator utama dari polemik ini. Dipacu oleh liputan media, elemen-elemen penentang dari kaum Muslim, baik dari generasi-generasi yang tua maupun muda dari kalangan intelektual Muslim, seperti H.M. Rasjidi (seorang pemimpin Masjumi/DDII), Abdul Qadir Jaelani (seorang pemimpin PII yang militan), dan Endang Saifuddin Anshari (seorang intelektual HMI yang berorientasi dakwah) mulai melancarkan serangan-serangan kritik yang pedas. Di antara serangan-serangannya, Rasjidi mengeritik pandangan sekularisasi Madjid sebagai sebuah interpretasi yang semena-mena karena istilah tersebut telah memiliki makna yang baku. Rasjidi juga menegaskan bahwa Cak Nur telah mengabaikan fakta bahwa proses sekularisasi pada gilirannya akan mengarah pada sekularisme. Mendukung kritik Rasjidi, para peserta polemik yang lain berkeberatan dengan apa yang mereka tangkap sebagai penolakan Cak Nur terhadap politik Islam. Mereka ini menyakini bahwa ‘Islam, yes: partai Islam, yes!’

Polemik dan kategorisasi yang dilakukan oleh media atau oleh para pengamat seringkali mendorong para peserta polemik untuk berpegang teguh pada suatu posisi pemikiran intelektual tertentu, kendatipun sebelumnya bolehjadi mereka masih memiliki keraguan tentang hal itu. Meskipun niat awal dari ceramah Cak Nur hanyalah untuk menstimulus diskusi, efek dari kritik yang memusuhi dan liputan media mendesaknya untuk melangkah lebih jauh dalam memperjuangkan ide-ide pembaruan Islam.

Ide pokok pembaruan pemikiran Cak Nur berporos pada persenyawaan dari segitiga “keislaman, keindonesiaan, dan kemoderenan”. Dari segi keislaman, Cak Nur mengingatkan kembali sentralitas doktrin Tauhid (monotheisme) yang mengandung konsekuensi bahwa hanya Tuhanlah satu-satunya wujud yang pasti. Semua selain Tuhan bersifat nisbi belaka. Jalan dari kenisbian mendekatkan kepada ”Kebenaran” dan kemaslahatan hidup bersama ditempuh melalui kehanifan, kerendahhatian, kesalingpengertian (ta‘aruf), dan permusyawaratan dalam suatu tatanan sosial yang terbuka, adil dan beradab. Berdasarkan hal itu, orang-orang Muslim dituntut untuk lebih mampu menempatkan diri dan menampilkan ajaran agama mereka sebagai pembawa kebaikan untuk semua (rahmatan lil-alamin). Masalah yang secara khusus dihadapi umat Islam tidak dapat dipandang akan dapat diselesaikan hanya oleh mereka sendiri. Jika kesenjangan sosial dan antarbangsa merupakan sumber pokok masalah zaman sekarang, maka usaha untuk menutup kesenjangan tersebut menuntut kerjasama semua orang.

Dalam semangat pencarian titik temu itu, klaim universal Islam harus didialogkan dengan realitas setempat. Orang-orang Muslim diharapkan mampu mewujudkan diri dalam sikap hidup kebangsaan yang tidak lagi melihat kesenjangan antara keislaman dan keindonesiaan. Bahkan lebih mendasar lagi, Muslim Indonesia menyongsong masa depan bangsa dan negara dalam semangat tiadanya lagi kesenjangan antara Islam dan Pancasila. Sebagai pendukung dan sumber utama nilai-nilai keindonesiaan, Islam semakin diharapkan untuk tampil dengan tawaran-tawaran kultural yang produktif dan konstruktif, khususnya dalam pengisian nilai-nilai keindonesaan dalam kerangka Pancasila. Garis pemikiran seperti inilah yang mempertemukan Cak Nur dengan Bung Karno dari jurusan yang berbeda. Jika Bung Karno mengidealisasikan kebangsaan yang memuliakan nilai-nilai ketuhanan, Cak Nur mengidealisaikan ketuhanan (keislaman) yang memuliakan nilai-nilai kebangsaan.

Seiring dengan itu, Cak Nur menyerukan bahwa dalam merespons dinamika perkembangan masyarakat semesta, tradisi Islam juga harus senantiasa terbuka bagi inovasi kemoderenan. Tradisi yang dinamis menghendaki adanya pembaruan (tajdîd), yang dengan tekun dikembangkan. Meskipun pembaruan itu, untuk keotentikannya, dan demi kekuatannya sendiri harus berlangsung secara mengakar pada kerangka acuan bersama sebagaimana yang dilakukan sejak zaman klasik. Tidaklah banyak artinya mengenang kejayaan masa lampau tanpa kemampuan mengembangkan warisan kultural yang ditinggalkannya.dalam status dialog yang dinamis dan lestari, yang menyatakan dirinya dalam gagasan-gagasan kreatif zaman sekarang.

Oleh karena itu, yang amat diperlukan oleh Muslim Indonesia saat ini, ialah suatu persepsi kepada agamanya secara intelektual, disertai sikap kritis terhadap berbagai warisan sejarahnya sendiri. Seterusnya, yang harus dicari ialah bagaimana memelihara segi-segi yang baik dari masa lampau itu dan sekaligus mengambil hal-hal yang lebih maju dan lebih bermanfaat dari masa sekarang.

Ide-ide pembaruan Cak Nur itu ternyata memiliki kakinya sendiri. Sejarah membuktikan bahwa kebernasan gagasan, keteguhan pendirian, kelurusan niat dan kebersahajaan hidup sang pemikir membuat ide-ide yang semula disalahpahami dan dicerca pada waktunya bisa dipahami, diapresiasi dan bahkan diadopsi.

Hampir tiga puluh tahun setelah pidato pembaruan Cak Nur yang menghebohkan, gerakan reformasi 1998 memberi ruang sejarah bagi pembuktian dan penerimaan ide-ide Cak Nur. Pengaruh gerakan pembaruan Islam yang menekankan keterbukaan dan insklusivisme dengan kuat mempengaruhi mental model dari partai-partai politik. Bahkan partai-partai yang berasas Islam sekalipun perlu menyatakan dalam Anggaran Dasarnya bahwa partainya bersifat terbuka. Terbukti pula, sejak Pemilu 1998, partai-partai Islam tak kunjung mencapai suara mayoritas bahkan cenderung merosot dari Pemilu ke Pemilu. Suatu perkembangan yang membuat partai Islamis seperti PKS pun tergoda untuk bermetamorfosis menuju partai terbuka yang bercorak nasionalistis. Menurunnya perolehan suara partai-partai Islam tersebut justru berbanding terbalik dengan meningkatnya apresiasi terhadap Islam dalam kehidupan dan wacana publik, sehingga partai-partai ”nasionalis-sekular” sekalipun tak ketinggalan memberi perhatian khusus pada aspirasi dan representasi keislaman.

Di luar itu, apresiasi terhadap tema-tema pluralisme dan toleransi juga kian meluas dalam masyarakat. Apresiasi yang mencerminkan kesejatian, pencapaian dan kontribusi ide-ide pambaruan dalam mengupayakan penyerbukan silang budaya antara keislaman dan kebangsaan serta antara tradisi dan kemodernan.

Singkat kata, pokok-pokok pembaruan pemikiran Cak Nur tidak akan aus karena kepergiannya, malahan kian aktual dalam menghadapi tantangan globalisasi saat ini. Dengan intensivikasi hubungan-hubungan sosial berskala global, setiap negara bukan saja menghadapi potensi ledakan pluralisme dari dalam, melainkan juga tekanan keragaman dari luar. Tarikan global ke arah demokratisasi dan perlindungan hak-hak asasi memang menguat. Tetapi oposisi dan antagonisme terhadap kecenderungan ini juga terjadi. Di seluruh dunia, ”politik identitas” (identity politics) yang mengukuhkan perbedaan identitas kolektif berbasis etnis, bahasa dan agama mengalami gelombang pasang. Di Indonesia sendiri, pergeseran dari rezim otoritarian menuju demokrasi membawa kabar baik dalam pemulihan kebebasan berekspresi  dan berasosiasi, namun sekaligus mengandung potensi ancaman dari menguatnya politik identitas dengan ekspresi kekerasan  yang menyertainya.

Karena setiap pencarian identitas memerlukan perbedaan dengan yang lain, maka politik identitas senantiasa merupakan politik penciptaan perbedaan. Apa yang harus diwaspadai dari kecenderungan ini bukanlah dialektika yang tak terhindarkan dari identitas/perbedaan, melainkan ancaman dari munculnya keyakinan atavistik yang berkeyakinan bahwa suatu identitas hanya bisa dipertahankan dan diamankan dengan cara menghabisi perbedaan dan keberlainan (otherness).

 

Dalam situasi seperti itu, semangat untuk memandang perbedaan sebagai rahmat sangat diperlukan. Di sinilah relevansi pemikiran Cak Nur terasa sangat kuat.

Buku yang ditulis secara bersemangat oleh saudara Gaus ini merupakan suatu usaha untuk merekonstruksi bangunan pemikiran Cak Nur, lengkap dengan segala kontroversi, kesalahpahaman dan implikasi-implikasinya. Ia telah berusaha memperlihatkan hitam-putihnya Cak Nur dengan menyertakan berbagai sudut pandang, meskipun berbagai sudut pandang itu boleh jadi merupakan persepsi subjektif orang luar yang belum tentu demikian sejatinya menurut Cak Nur sendiri. Sayang, Cak Nur sendiri telah meninggal sehingga tidak bisa memberikan tanggapan balik atas pandangan para komentatornya.

Sungguh pun begitu, setiap teks memiliki sejarahnya sendiri. Sekali teks dinyatakan, penulisnya mati, membiarkan teks itu bebas diinterpretasikan oleh penerimanya. Apalagi jika teks itu mengandung ide besar dari seorang besar, sudah barang tentu mengundang bobot kontrovesri dan ragam tafsir, termasuk potensi kesalahpahaman yang begitu besar.

Namun demikian, hal itu bukanlah suatu kecelakaan. Kesalahpahaman memang bagian inheren dari nama besar. Bahkan ketika sang pemikir besar itu telah wafat, kesalahpahaman bisa berlanjut meski suatu biografi ditulis untuk meluruskan tafsir yang bengkok. Apalagi jika biografi yang ditulis juga memancing kontroversi baru.

Disalahpahami bukanlah sesuatu yang buruk. Seperti kata Cak Nur sendiri, kalau kita takut dikritik dan disalahpahami, maka, “Do nothing, say nothing, and be nothing!” Biografinya sendiri mempersaksikan keberaniannya untuk melontarkan ide progresif, tanpa takut penghujatan, dan membuktikan bahwa ide satu orang yang bernas, konsisten dan bersahaja memberi arti banyak bagi kehidupan banyak orang. Selamat membaca!

 

 

Dr. Yudi Latif adalah pengamat politik dan pemikiran Islam


[1] Natsir juga berasal dari Sumatra dan juga dikenal sebagai intelektual Persis pada tahun 1920-an/1930-an.

[2] Pandji Masyarakat nomer 28, 29 dan 30, artikel-artikel itu bertanggal 1 Muharram 1388 H./29 Maret 1968.

[3] Lihat Ahmad Sadri, Max Weber’s Sociology of Intellectuals (1992: 72).

 

Berminat membeli buku ini hubungi: Patricius/Kompas 08158925350

Penulis: @AhmadGaus

Pengantar: @yulatif

Epilog: Budhy Munawar-Rachman

 

 

 

 

Fadilah Surat Al-Fatihah

Buku yang merekam perjalanan hidup Nurcholish Madjid, seorang cendekiawan-pemikir paling kontroversial dengan gagasan-gagasan yang menggetarkan.

Kutipan dari buku Api Islam:

Fadilah Surat Al-Fatihah. Jakarta berdarah. Sore itu, 12 Mei 1998, hari-hari panjang demonstrasi mahasiswa yang menuntut Presiden Soeharto mundur dari jabatannya, berakhir duka. Kerumunan mahasiswa yang terkonsentrasi di depan kampus Trisakti, Jakarta Barat, berlarian tunggang langgang sesaat setelah terdengar letusan senjata api. Empat orang mahasiswa tersungkur, dan tewas. Di tengah keremangan malam yang mulai merambat jeritan mahasiswa demonstran bersahutan dengan bunyi letusan senjata. Dan malam itu pula, gerakan reformasi berada di puncak gamang: Apakah tentara berpihak pada rezim yang ingin mereka rubuhkan?

Tampaknya tidak semua tentara. Sore di hari yang sama Nurcholish sedang mengadakan pertemuan dengan beberapa perwira tentara di Hotel Hilton yang mengundangnya untuk memberi masukan-masukan mengenai situasi politik. Tapi pertemuan itu segera bubar karena tiba-tiba Letjen TNI Susilo Bambang Yudhoyono—saat itu Kepala Staf Teritorial/Kaster ABRI, yang memprakarsai pertemuan—mendapat laporan tentang penembakan di Trisakti itu.

Rabu, 13 Mei, Jakarta dibakar api kerusuhan. Buntut penembakan di Trisakti telah mengobarkan kemarahan massa. Tapi siapa yang menyulut api, siapa yang merusak gedung-gedung, siapa yang mengerahkan massa untuk menjarah pusat-pusat perbelanjaan, dan menimbulkan situasi chaos di mana-mana? Tidak ada yang tahu! Aparat keamanan hanya berjaga-jaga di jalan-jalan. Saat itu Presiden Soeharto sedang berada di Kairo, Mesir, untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Negara-negara Kelompok 15 (G-15). Pada 13 Mei, Soeharto bertemu masyarakat Indonesia di Kedutaan Besar Indonesia di Kairo. Ucapan Soeharto dalam pertemuan itu muncul menjadi berita utama harian Kompas dengan judul, ”Bila Rakyat Tidak Menghendaki, Presiden Siap Mundur”.

Pertemuan di Mabes ABRI

Suasana di tanah air masih mencekam. Pada 14 Mei, Susilo Bambang Yudhoyoni kembali mengundang Nurcholish ke Mabes ABRI di Cilangkap, untuk melanjutkan pertemuan dua hari sebelumnya di Hilton. Nurcholish menyiapkan butir-butir pikiran yang akan disampaikan di Mabes untuk mengakhiri situasi yang makin tidak menentu. Intinya, ia mengusulkan Presiden Soeharto mudur, namun tetap dengan cara yang baik. Maka, butir-butir pikiran itu ia beri judul “Semuanya Harus Berakhir dengan Baik” (husnul khatimah).

Dalam perjalanan, ia ditelpon oleh Goenawan Mohamad yang mengingatkan tentang agenda pertemuan antara Goenawan, Amien Rais, Nurcholish, dan beberapa yang lain di tempat Toeti Herati. Goenawan kaget ketika Nurcholish mengatakan ia sedang dalam perjalanan ke Mabes ABRI. Spontan dia tanya, mau apa? Mau menyampaikan pikiran, jawab Nurcholish. Lalu ia membacakan pokok-pokok pikirannya kepada Goenawan Mohamad.

Di Cilangkap, di depan sebuah tim yang terdiri dari para perwira tinggi militer, Nurcholish membacakan pokok-pokok pikirannya dalam dua halaman. Semuanya ia tujukan kepada Presiden Soeharto yang ia minta untuk menyampaikan pidato di depan rakyatnya dan mengakui telah membuat kesalahan serta meminta maaf atas kesalahan tersebut. Selanjutnya ia mengusulkan beberapa hal yang harus disampaikan Presiden Soeharto sebagai berikut:

1.  Menegaskan tekad untuk memimpin sendiri tindakan melancarkan koreksi total terhadap berbagai penyimpangan dan penyelewengan di segala bidang, khususnya yang terjadi pada masa‑masa terakhir ini.

2.  Menyesalkan terjadinya krisis moneter dan ekonomi dahsyat (yang juga telah melanda negara‑negara tetangga) ini, meskipun sebetulnya tidak seorang pun dapat meramalkan bakal terjadi (seperti diakui oleh James Wolfensohn, Presiden Bank Dunia sendiri), dan meskipun para ahli kemudian dapat menerangkan sebab‑sebabnya.

3.  Menyudahi semua kekeliruan itu, khususnya yang menyangkut proses‑proses kebijakan politik yang mengakibatkan terjadinya kolusi, korupsi, kroniisme dan nepotisme.

4.  Akan mengadakan reshuffle kabinet sehingga menteri‑menteri yang anti‑reformasi dan yang tidak mendapat simpati rakyat dapat diganti dengan tokoh‑tokoh pro‑reformasi dan yang mendapat simpati rakyat.

5.  Menyatakan bersedia mundur dari jabatan kepresidenan secepat mungkin melalui cara‑cara damai dan konstitusional.

6.  Bersama seluruh rakyat dan segenap jajaran ABRI bertekad memulihkan kesehatan ekonomi nasional dan melaksanakan reformasi sosial‑politik menyeluruh, membimbing bangsa Indonesia memasuki tahun 2000 dan millenium ketiga.

7.  Berseru kepada seluruh rakyat untuk mendukung pelaksanaan tekad itu dalam semangat ketabahan dan kesediaan berkorban yang setinggi‑tingginya.

8.  Untuk memulai itu semua, Presiden dan seluruh keluarga Presiden bersedia menyerahkan kekayaan pribadi mereka untuk kepentingan bangsa dan negara.

9.  Reformasi sosial‑politik harus segera dituangkan dalam ketentuan‑ketentuan legal‑formal‑konstitusional, dengan mengubah semua perundang‑undangan sosial‑politik yang ada, dan menghapus sama sekali ketentuan‑ketentuan yang menghasilkan sistem masyarakat yang tidak adil, terbuka dan demokratis.

10.     Berdasarkan undang‑undang politik baru itu, harus segera diadakan pemilihan umum, paling lambat sudah terlaksana pada tanggal 10 Januari (Hari Ampera), tahun 2000.

11.     Dalam waktu dua bulan, harus sudah berlangsung Sidang Umum MPR hasil pemilihan umum itu, dan pada tanggal 11 Maret (Hari Supersemar), tahun 2000, sudah terpilih Presiden dan Wakil Presiden baru, yang kemudian harus membentuk kabinet melalui proses terbuka dalam waktu satu bulan.

12.     Tenggang waktu selama 20 bulan dari sekarang sampai terselenggaranya pemilihan umum 10 Januari 2000 tersebut digunakan sebaik‑baiknya untuk melaksanakan sebagian usaha pemulihan ekonomi di bidang yang paling mendesak (seperti penyediaan sembilan bahan pokok yang secukup‑cukupnya), dengan memanfaatkan sebaik‑baiknya janji bantuan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia.

Menurut Nurcholish, dengan cara itu maka kepemimpinan Presiden Soeharto dapat berakhir secara husnul khatimah. “Inilah jalan keluar terbaik, jalan tengah, yang mengandung semangat menang sama menang (win‑win solution) dan tidak ada pihak yang merasa dipermalukan,” ungkapnya. Selesai dibacakan, reaksi para jenderal beragam. Ada yang bilang: Nah, sekarang ada jalan keluar. Ada juga yang bertanya: Lantas siapa yang mau menyampaikan ini kepada Presiden Soeharto? Ternyata, tidak ada yang berani.

Nurcholish izin pulang. Tapi, kerusuhan masih berkobar. Malah, makin tak terkendali, sehingga orang-orang di Mabes ABRI menganjurkan supaya ia tetap berada di sana. Tapi Nurcholish tetap bersikeras untuk pulang karena kuatir dengan keluarga. Beberapa personel tentara mengawalnya sampai ke rumah. Sepanjang jalan suasana Jakarta seperti neraka yang dipenuhi kobaran api. Motor, mobil, gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, dibakar massa

Doa Saadillah Mursyid

Keesokan harinya, Jumat 15 Mei, Malik Fadjar mengusulkan agar poin-poin pikiran Nurcholish itu disampaikan kepada Presiden Soeharto melalui Quraish Shihab, sebagai Menteri Agama dengan memakai momen Jumatan di Masjid Baiturrahim, Kompleks Istana. Pagi itu Soeharto akan tiba di  Jakarta dari lawatan ke Mesir. Pagi-pagi sekali Nurcholish dan Malik Fadjar menuju kediaman Quraish Shihab. Ternyata Quraish Shihab tidak bisa Jumatan dengan Presiden Soeharto karena menerima delegasi Muslimat NU, sampai mepet dengan waktu Jumatan. “Kalau menunggu ada yang mau menyampaikan kepada Pak Harto tidak sampai-sampai, karena para jenderal pun tidak ada yang berani, ya kita harus cari cara lain,” ujar Nurcholish.

Cara lain itu diusulkan oleh budayawan Emha Ainun Nadjib: bergerilya melalui pers. Maka pada Minggu 17 Mei Nurcholish dan kawan-kawan mengadakan konferensi pers di Hotel Wisata. Besoknya, Senin 18 Mei, hasil konferensi itu dimuat di media massa. Dan itu dibaca oleh Saadillah Mursyid, Menteri Sekretaris Negara. Hari itu ia mengontak Nurcholish dan memintanya untuk bertemu. Nurcholish datang ke kantor Saadillah, dan di situ sudah ada Fahmi Idris, Utomo Dananjaya, dan beberapa yang lain. Di situ mereka kembali menyampaikan pokok-pokok pikiran dalam konferensi pers yang sebenarnya ditujukan untuk Presiden Soeharto.

Ternyata, Saadilah menyetujui semua pikiran tersebut dan berjanji akan menyampaikannya kepada Presiden Soeharto hari itu juga. Ia mengatakan bahwa dirinya memang sedang mencari bahan yang akan disampaikan kepada Presiden Soeharto, karena sepanjang perjalanan dari Mesir Soeharto selalu menanyakan soal itu. Saadillah terutama terkesan dengan usulan husnul khatimah (berakhir dengan baik)dari Nurcholish, karena seandainya Presiden Soeharto harus turun, pikirnya, ia tidak boleh dinistakan. Saadillah lalu memejamkan mata, berdoa. Nurcholish dan kawan-kawan tahu ia sedang menguatkan hati. Kemudian mereka bersama-sama membaca surat al-Fatihah, agar pesan itu sampai kepada Presiden Soeharto.

Diundang ke Cendana

Dari kantor Saadillah Mursyid, Nurcholish menuju kantor Majalah Ummat untuk bertemu dengan Amien Rais dan kawan-kawan dari unsur-unsur gerakan reformasi untuk merencanakan seruan kepada masyarakat agar membatalkan rencana demonstrasi besar-besaran pada 20 Mei untuk memaksa Soeharto mundur.  Pembatalan itu dilakukan karena Amien Rais telah membaca gelagat akan timbul bentrokan antara rakyat dengan tentara, setelah ia menyaksikan sendiri tank-tank panser bersiaga di sudut-sudut jalan. Disepakati seruan akan dilakukan melalui televisi.  Setelah itu Nurcholish pulang.

Baru menginjakkan kaki di lantai rumahnya, ia menerima telepon dari Saadillah Mursyid, yang menyampaikan bahwa Soeharto ingin bicara. Di ujung telepon Soeharto bercakap kepada Nurcholish dan memintanya datang ke kediamannya di Jl. Cendana saat itu juga. Nurcholish menjawab bahwa ia tidak bisa pergi karena blokade keamanan yang begitu ketat. Lalu dikirimlah mobil dari Cendana disopiri seorang perwira menengah bernama Joko. Nurcholish dibawa masuk ke rumah Soeharto lewat pintu belakang karena pintu depan dipenuh wartawan.

Ditemani Saadillah Mursyid, Nurcholish duduk berhadapan dengan Soeharto. Waktu menunjukkan pukul 21.00 WIB. Setelah saling menyapa dan menanyakan kabar masing-masing, Soeharto meminta Nurcholish untuk menceritakan apa yang sedang terjadi di luar. Menganggap itu sebagai kesempatan baik, Nurcholish menuturkan secara detil aks-aksi reformasi yang berujung pada kerusuhan besar yang melanda Jakarta ketika Soeharto sedang berada di Mesir (11-15 Mei). Dan hari ini, 18 Mei, kata Nurcholish, elemen-elemen gerakan reformasi telah menduduki gedung DPR/MPR. “Karena itu saya datang ke sini tidak dengan pertimbangan bulan atau hari, pertimbangan per jam juga tidak, malah per menit juga tidak. Saya datang ke sini dengan pertimbangan detik per detik.”

Soeharto mendengarkan dengan tekun. Lalu dengan lugu ia bertanya, “Reformasi itu apa, sih, Cak Nur?” Akhirnya momen yang ditunggu itu datang, dan Nurcholish segera menyahut, “Reformasi itu artinya Pak Harto turun.” Mendengar itu, Soeharto tertawa cekakakan sambil mengangkat  tangannya, ya saya turun, saya sudah kapok jadi presiden, katanya. Lalu Soeharto menyatakan, “Saya dari dulu memang ingin turun. Tetapi soalnya adalah, oleh Harmoko dan teman‑temannya di MPR saya ini diapusi, dibohongi, bahwa rakyat masih membutuhkan saya, malah didorong‑dorong, dipaksa‑paksa untuk naik lagi.”

Soeharto lalu mengatakan bahwa ia akan segera mengumumkan pengunduran dirinya.

“Kapan?” tanya Nurcholish.

“Besok,” jawab Soeharto.

“Lho, kok cepat sekali?” Nurcholish kaget.

“Lho, katanya tadi hitungannya detik,” Soeharto membalik ucapan Nurcholish.

Nurcholish tertawa karena tidak menduga jawaban seperti itu. Soeharto berencana mengumumkan pengunduran dirinya, namun sebelum itu ingin bertemu dengan tokoh-tokoh masyarakat. Sejurus kemudian Saadillah mencacat beberapa nama. Dan semuanya tokoh Islam. Kemudian ia memberikannya kepada Soeharto. “Karena Mas Saadillah ini seorang ulama, maka yang ada dalam benaknya hanya ulama, yang kemudian diprotes oleh orang non-Muslim, kok hanya orang Islam saja yang diundang,” tutur Nurcholish.

Ada sembilan nama yang diberikan oleh Saadillah Mursyid kepada Soeharto untuk diundang yaitu Abdurrahman Wahid, Ahmad Bagja, Ali Yafie, Anwar Harjono, Emha Ainun Najib, Ilyas Rukhiyat, Mahrus Amin, Malik Fajar, Soetrisno Muhdam, dan Nurcholish sendiri. Pertemuannya sendiri ditentukan besok Selasa, 19 Mei, pukul sembilan pagi, di Istana Merdeka. Nurcholish sebenarnya mengusulkan nama Amien Rais untuk diundang, tapi Soeharto keberatan, “Ah, nanti dulu, deh,” ujarnya.

Komite Reformasi

Pagi hari sebelum berangkat ke Istana, kesembilan tokoh itu berkumpul di rumah Malik Fajar, di Jl. Indramayu nomor 14, Jakarta Pusat. Rupanya,  di sana sudah ada Amien Rais dan kawan-kawan. Dalam pertemuan itu Nurcholish menegaskan bahwa mereka datang ke Istana bukan untuk menghadap, tetapi karena dipanggil. Menurutnya, hal itu penting sekali karena menyangkut wibawa moral dan legitimasi. Ia mengutip kitab Ihya Ulumuddin karangan Imam al‑Ghazali, yang menegaskan bahwa seorang ulama haram menghadap pejabat, tetapi ia wajib datang kalau dipanggil.

Mereka tiba di Istana agak terlambat karena harus menunggu beberapa teman yang lain, yaitu Emha Ainun Najib, Malik Fajar dan Cholil Badawi (yang akan menggantikan Anwar Harjono yang tidak bisa datang karena sakit). Sebelumnya, Nurcholish juga mengajak Yusril Ihza Mahendra, karena dia ahli hukum tata negara. Maka, ketika dia masuk, protokol Istana kaget, karena dia tidak diundang. Nurcholish bilang, ini pembantunya Mas Saadillah. Karena tidak ada kursi untuk Yusril, ia menyuruh protokol Istana mencarikan kursi. Sambil menunggu Soeharto, ia kembali menyampaikan kepada para ulama yang diundang itu bahwa yang akan mereka sampaikan kepada Presiden Soeharto ialah bahwa hingga detik ini orang tetap menghendaki supaya Pak Harto mundur.

Nurcholish meminta Yusril duduk di antara dirinya dan Soeharto, karena dia diperlukan untuk membahas persoalan-persoalan konstitusional. Nurcholish sendiri bertindak sebagai juru bicara dalam pertemuan itu. Pertemuan itu sebenarnya dirancang untuk berlangsung hanya setengah jam. Tetapi, akhirnya berlangsung sampai dua setengah jam. Sebab, rupanya Soeharto sendiri sudah mempersiapkan teks versi dia sehingga terjadi tarik menarik pendapat yang cukup alot. Di antaranya, dalam teks itu ada ide mengenai Dewan Reformasi yang dipersoalkan oleh para tokoh. Kemudian Soeharto memanggil Jenderal Wiranto. Rupanya ide itu dari dia. Setelah didiskusikan, namanya diubah menjadi Komite Reformasi.

Tapi, sebenarnya para tokoh tidak setuju dengan idenya, bukan namanya. Karena itu, Nurcholish segera menyatakan bahwa kalau nanti Pak Harto membentuk komite ini, tolong anggotanya jangan diambil dari yang hadir di situ. Soeharto kaget, kenapa? Tanyanya. Kami ini dalam posisi tercurigai, kata Nurcholish, semata-mata datang ke sini saja sudah dicurigai, meskipun bukan kami yang menghendaki tapi Pak Harto, tapi hal ini sulit dijelaskan kepada masyarakat. “Kalau nanti Pak Harto memasukkan kami dalam komite ataupun dalam kabinet yang di-reshuffle, kami menjadi seperti rupiah, kurs kami jatuh,” ujar Nurcholish. Mendengar itu Soeharto tertawa. Kemudian Yusril mengoreksi. Dalam perkembangan dialog itu Yusril banyak memberi koreksian sehingga teks yang disiapkan oleh Soeharto menjadi banyak coretan. Itu sebabnya ketika membacakan teks tersebut Soeharto tersendat-sendat.

Sampai pertemuan selesai, para tokoh yang hadir di situ akhirnya memang tidak ada yang bersedia duduk dalam Komite Reformasi. Ketika teks itu dibacakan oleh Soeharto di hadapan pers disaksikan oleh jutaan rakyat melalui televisi, ia tetap mengumumkan akan membentuk Komite Reformasi. Suara itu bergema hampa di udara, karena yang ditunggu oleh rakyat bukan itu, melainkan pernyataan Soeharto mundur sebagai presiden.

Namun, Soeharto belum menyerah. Ia masih berencana membentuk Komite Refomasi. Ia membujuk Nurcholish untuk duduk sebagai ketua. Nurcholish tidak mau. Kemudian ia menurunkan lagi, tidak apa-apa kalau tidak mau jadi ketua asal mau jadi anggota. Nurcholish tetap tidak mau. Bagaimana kalau dicantumkan sebagai salah satu orang yang ikut membentuk? Katanya. Tapi Nurcholish tetap menolak. “Pak Harto terus mendesak saya, sampai kira-kira jam tujuh malam, tanggal 20 Mei itu,” jelas Nurcholish. Karena Nurcholish tetap tidak mau, akhirnya Soeharto benar-benar menyerah. “Jika orang yang moderat seperti Cak Nur tidak lagi mempercayai saya, maka sudah saatnya bagi saya untuk mundur,” tegasnya.

Presiden Soeharto Mundur

Pada jam sepuluh malam itu juga ada konfirmasi bahwa Soeharto mau mundur. Nurcholish dan kawan-kawan segera berkumpul untuk merencanakan konferensi pers di Jalan Indramayu nomor 14 Jakarta. Mereka menyusun poin-poin yang akan disampaikan ke publik. Mereka sudah tahu Soeharto mundur dan akan digantikan oleh BJ Habibie. Nurcholish berujar: “Kekuasaan Habibie harus kita beri isian cek, tidak boleh menulis sendiri isi ceknya. Bukan cek kosong!” Konferensi pers itu terlaksana jam setengah satu pagi, tanggal 21 Mei, dengan poin-poin sebagai berikut:

Kami adalah pribadi-pribadi warga negara yang merasa ikut terpanggil memenuhi kewajiban bersama menyangga keutuhan Bangsa dan Negara, dengan ini menyatakan:

1. Sesudah BJ Habibie dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan UUD 1945, menyatakan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Soeharto atas sikap beliau yang arif bijaksana dan penuh kebesaran jiwa memenuhi keinginan masyarakat luas untuk berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia dalam rangka Reformasi.

2. Kami bersepakat bahwa Presiden BJ Habibie memimpin pemerintahan transisi sampai dengan Sidang Umum MPR baru dalam waktu 6 bulan.

3. Presiden harus segera menyusun Kabinet Reformasi yang sepenuhnya mencerminkan pluralitas masyarakat Indonesia, dan yang terdiri dari orang-orang yang bersih dari kolusi, korupsi, kroniisme dan nepotisme.

4. Pemerintah harus secepat mungkin melahirkan paket UU Politik, UU Anti Monopoli, UU Anti Korupsi serta UU Pers; sesuai dengan ide dan aspirasi Reformasi.

5. Pemerintah harus menyelenggarakan Pemilu dan Sidang Umum MPR dalam 6 (enam) bulan berdasarkan paket Pemilu yang baru.

6. Pemerintah harus dengan sungguh-sungguh dan secara efektif melaksanakan pemberantasan korupsi, kolusi, kroniisme dan nepotisme.

Pagi hari itu juga, Kamis tanggal 21 Mei, Presiden Soeharto benar-benar mengumumkan pengunduran dirinya. Di Credentials Room, Istana Merdeka, ia membacakan pidatonya yang terakhir, sebagai berikut:

“Sejak beberapa waktu terakhir, saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi nasional kita, terutama aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas dasar pemahaman saya yang mendalam terhadap aspirasi tersebut dan terdorong oleh keyakinan bahwa reformasi perlu dilaksanakan secara tertib, damai, dan konstitusional.”

“Demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta kelangsungan pembangunan nasional, saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII. Namun demikian, kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan Komite tersebut.”

“Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi, maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.”

“Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu, dengan memperhatikan Pasal 8 UUD 1945 dan secara sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan Fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari Kamis 21 Mei 1998.”

“Pernyataan saya berhenti dari jabatan sebagai Presiden RI saya sampaikan di hadapan saudara-saudara pimpinan DPR dan juga adalah pimpinan MPR pada kesempatan silaturahmi. Sesuai Pasal 8 UUD 1945, maka Wakil Presiden RI, Prof Dr Ir BJ Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden/Mandataris MPR 1998-2003. Atas bantuan dan dukungan rakyat selama saya memimpin negara dan bangsa Indonesia ini saya ucapkan terima kasih dan minta maaf bila ada kesalahan dan kekurangan-kekurangannya semoga bangsa Indonesia tetap jaya dengan Pancasila dan UUD 1945.”

“Mulai hari ini pula Kabinet Pembangunan VI demisioner dan kepada para menteri saya ucapkan terima kasih. Oleh karena keadaan tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan pengucapan sumpah di hadapan DPR, maka untuk menghindari kekosongan pimpinan dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, kiranya saudara wakil presiden sekarang juga akan melaksanakan sumpah jabatan presiden di hadapan Mahkamah Agung RI.”

Setelah membacakan pidato pengunduran dirinya, Soeharto menyerahkan kepemimpinan negara kepada wakilnya, Prof Dr Ing BJ Habibie. Dengan gagap Habibie menerima penyerahan itu, sebab tadi malam ia ingin berbicara dengan Soeharto namun ditolak tanpa alasan. Sebagaimana dituturkan dalam buku Detik-Detik Yang Menentukan (2006), malam itu Habibie sama sekali tidak bisa tidur, dan berkali-kali membaca surat al-Fatihah agar Tuhan memberinya jalan keluar dari kebingungan yang melandanya. Pagi ini pun, sebelum ke Istana Merdeka, ia masih ingin bertemu Soeharto di Cendana, juga ditolak. Tiba-tiba Soeharto menyatakan mundur dan menyerahkan kepemimpinan negara kepada dirinya. Setelah itu, semua yang hadir di situ menyalami Habibie dan mengucapkan selamat. Ribuan mahasiswa yang berkumpul di gedung DPR/MPR bersorak meneriakkan kemenangan reformasi, kemudian melakukan sujud syukur. Banyak yang terharu sampai menitikkan air mata.

Lima Tahun Empat Presiden

Besoknya Habibie dilantik. Sebelumnya, tokoh ICMI Sofyan Effendy mendatangi Nurcholish unutk meminta draft pidato yang akan dibaca oleh Habibie sebagai pidato penukuhan. Nurcholish membuat draft dengan tetap memasukkan poin-poin yang dibacakan saat konferensi pers menyambut mundurnya Soeharto, yaitu bahwa Habibie adalah presiden sementara dengan tugas melaksanakan Pemilu secepat-cepatnya. Namun, draft itu tidak dibaca oleh Habibie, yang menginginkan menjadi presiden hingga tahun 2003. Tapi karena suasana reformasi tidak menghendaki Habibie, akhirnya dia menyesuaikan diri. Pada 28 Mei 1998 ia mengadakan pertemuan konsultasi dengan Pimpinan DPR beserta Pimpinan Fraksi-fraksi, yang menyepakati untuk mempercepat pemilu, yaitu pada 7 Juni 1999.

Pada Sidang Umum MPR tanggal 19 Oktober 1999 Pidato Pertanggungjawaban Habibie sebagai presiden ditolak MPR, sehingga ia mundur dari pencalonan sebagai presiden periode berikutnya. Selanjutnya MPR memilih KH Abdurrahman Wahid dan Megawati sebagai presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober 1999. Karena berbagai kasus yang menimpanya, KH Abdurrahman Wahid akhirnya dimakjulkan oleh MPR melalui Sidang Istimewa pada 23 Juli 2001.

MPR kemudian mengangkat Wakil Presiden Megawati sebagai presiden. Megawati memimpin negeri ini sampai tahun 2004. Di masa pemerintahannyalah pemilu presiden secara langsung dilaksanakan. Dan dalam pemilu itu ia mengalami kekalahan, sehingga harus menyerahkan tongkat kepemimpinan negeri kepada Susilo Bambang Yudhoyono, salah seorang menteri dalam kabinetnya, yang maju melalui Partai Demokrat. Dalam lima tahun Indonesia telah memiliki empat orang presiden.

Jalan ke Istana

Pada 2003, Nurcholish mencalonkan diri sebagai presiden dalam Pemilu yang akan digelar pada 5 Juli 2004. Kesediaannya untuk menjadi calon presiden mengagetkan banyak orang, sebab selama ini ia dikenal sangat konsisten menempatkan dirinya di pihak oposisi. Yang lebih mengagetkan lagi tentu saja karena ia telah ditempatkan sebagai cendekiawan guru bangsa lantaran peranannya dalam menurunkan Presiden Soeharto secara husnul khatimah dan seruan-seruan moralnya yang dijadikan rujukan para tokoh nasional dalam menjalankan negeri ini.

Tapi Nurcholish mengatakan bahwa kesediaannya itu karena ia didorong oleh berbagai pihak dan ia tidak bisa mengelak. “Saya tidak mau memupus harapan-harapan mereka,” ujarnya. Taufik Kiemas, Ketua Dewan Pembina PDIP dan suami Presiden RI 2001-2004 Megawati Soekarnoputri, percaya bahwa Nurcholish tidak berambisi menjadi presiden melainkan sekadar ingin memberi pendidikan politik kepada bangsa. “Kalau Cak Nur berambisi menjadi presiden, maka dulu ia mau ditunjuk Pak Harto menjadi Ketua Komite Reformasi, setelah itu dialah yang akan menggantikan Pak Harto; tapi nyatanya dia tidak mau,” ujarnya.

Taufik mengatakan bahwa saat itu Nurcholish bukannya lari dari tanggung jawab, sebab dia yang pertama meminta Pak Harto mundur langsung di hadapan Pak Harto, melainkan karena terlalu berhitung dengan dukungan yang akan diperolehnya. Dia, lanjut Taufik, melihat bahwa basis dukungan utamanya di HMI tidak terlalu kuat karena HMI sendiri terpecah. “Mestinya dulu Cak Nur jadi ketua GMNI, dan orang-orang nasionalis seperti PDIP pasti akan mendukungnya karena pikiran kami bulat-bulat sama dengan Cak Nur,” ungkap Taufik.

Mendengar bahwa Nurcholish akan maju sebagai calon presiden, para aktivis HMI Cabang Malang, Jawa Timur, langsung menurunkan foto Presiden Megawati di dinding dan menggantinya dengan foto Nurcholish Madjid. Padahal, saat itu Nurcholish belum mengumumkan secara resmi pencalonannya sebagai presiden, baru sebatas menggulirkan wacana di media. Namun, bagi sebagian anggota HMI, kanda Nurcholish sangat pantas untuk didukung karena integritas yang telah ditunjukkannya selama ini, baik moral maupun intelektual. Kenyataan bahwa Nurcholish bukan orang partai, justru dilihat oleh mereka sebagai kekuatannya, karena dengan begitu ia melintasi garis batas politik komunal. Kekuatannya ialah pribadinya sendiri.

Nurcholish sendiri mengaku sangat tersiksa dengan dorongan teman-teman dan media yang terus-menerus menantangnya agar “Jangan cuma pandai ngomong, tunjukkan kalau memang mampu!” Nurcholish menjawab bahwa dirinya memang “lebih suka diskusi”, “membaca buku”, dan lagi “tidak bisa baris-berbaris”. Namun, karena tidak mau memupus harapan, akhirnya Nurcholish mau maju sebagai calon presiden.

Maka, pada 28 April 2003, ia secara resmi dan terbuka menyatakan kesediaannya untuk menjadi calon presiden dalam jumpa pers di Kampus Universitas Paramadina, Jakarta. Di situ ia menyebut pencalonannya sebagai wacana lunak, “Soalnya saya capek ditanya, mau atau tidak. Kalau saya bilang ya, itu soft yes. Saya tidak mau memupus harapan,” ujarnya. Ia juga menegaskan bahwa pendekatan yang akan dilakukannya adalah pendekatan platform, bukan figur. Sepuluh butir platform yang diberi judul “Membangun Kembali Indonesia” dibacakan Nurcholish dalam konferensi pers tersebut:

Pertama, mewujudkan good governance pada semua lapisan pengelolaan negara.

Kedua, menegakkan supremasi hukum dengan konsisten dan konsekwen.

Ketiga, melaksanakan rekonsiliasi nasional.

Keempat, merintis reformasi ekonomi dengan mengutamakan pengembangan kegiatan produktif dari bawah.

Kelima, mengembangkan dan memperkuat pranata-pranata demokrasi: kebebasan sipil khusus pers dan akademik, pembagian tugas dan wewenang yang jelas antara pemerintahan, perwakilan, dan pengadilan.

Keenam, meningkatkan ketahanan dan keamanan nasional dengan membangun harkat dan martabat, personel dan pranata TNI dan Polri dalam bingkai birokrasi.

Ketujuh, memelihara keutuhan wilayah negara melalui pendekatan budaya, peneguhan kebhinekaan dan keekaan dan serta pembangunan otonomisasi.

Kedelapan, meratakan dan meningkatkan mutu pendidikan di seluruh Nusantara.

Kesembilan, mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat sebagai tujuan bernegara.

Kesepuluh, mengambil peran aktif dalam usaha bersama meningkatkan perdamaian dunia.

Sepuluh platform itu kemudian dimuat dalam buku Indonesia Kita yang ditulis di Mekah saat Nurcholish menunaikan ibadah umrah. Buku ini bukan hanya berisi uraian panjang mengenai 10 platform itu, melainkan juga uraian mengenai gerakan reformasi yang menurutnya harus terus dilakukan untuk memperbaiki kondisi sosial-ekonomi dan politik negara dan bangsa Indonesia. Ia juga menguraikan secara panjang lebar proses terbentuknya negara-bangsa Indonesia, pasang surut pelaksanaan demokrasi Indonesia, dan berbagai harapan menyongsong masa depan.

Berbagai reaksi bermunculan setelah Nurcholish mengumumkan kesediaan menjadi calon presiden. Seperti pikiran-pikiran yang selama ini dikemukakannya yang selalu menimbulkan polemik, demikian juga pernyataan kesediaannya menjadi calon presiden. Seorang sejarawan dan budayawan Dr. Kuntowijoyo, menyindir Nurcholish secara pedas dalam tulisan berjudul “Begawan Jadi Capres” di harian Republika (7/06/2003). Kunto menulis: “Politik menghancurkan pamor Sang Begawan! Kita yatim piatu. Mengejar barang kecil, kehilangan barang besar! Mulai dari nol! Ditinggal pemimpin! Kita cemas! Masa depan gelap! Dicari, pemimpin yang setia umat!”

Ratusan artikel bertaburan di media massa. Pro dan kontra. Berbagai diskusi digelar menghadirkan para pengamat, melihat baik-buruknya seorang Nurcholish maju sebagai capres. Bahkan sebuah buku ditulis secara khusus oleh Hartono Ahmad Jaiz untuk mengingatkan masyarakat agar tidak melupakan siapa Nurcholish Madjid itu, judulnya Kursi Panas Pencalonan Nurcholish Madjid sebagai Presiden (2003). Buku itu menguraikan rekam jejak Nurcholish sejak mencetuskan gagasan sekularisasi tahun 1970 hingga pernyataan kontemporernya bahwa “setan gundul pun kalau terpilih dalam Pemilu secara demokratis maka harus kita terima.” Paramadina sendiri menerbitkan sebuah buku yang merupakan suntingan dari pandangan pro-kontra di media massa, yang judulnya diambil dari judul artikel Kuntowijoyo yang juga dimuat dalam buku itu, Begawan Jadi Capres (2003).

Kesediaan Nurcholish menjadi calon presiden tidak hanya menjadi perbincangan para politisi melainkan juga orang-orang yang jauh dari politik. Dalam sebuah pelatihan The 7 Habits of Highly Effective People pada Juli 2003 di Cilandak, Jakarta, instruktur utamanya, Ibu Judo, menuturkan, “Saya mendukung Cak Nur, bukan karena paham apa programnya, melainkan karena saya percaya.” Dalam sesi pelatihan berjudul emotional bank account (rekening bank emosi), ia mengajarkan pentingnya menjadi orang baik karena dengan begitu orang akan dipercaya. “Jika pilihan Cak Nur menjadi capres nanti terbukti salah, ia akan dimaafkan karena tabungan kebaikannya lebih banyak dari kesalahannya,” tegasnya.

Bagi Sudhamek AWS, Ketua Umum Majelis Buddhayana Indonesia (MBI), di mana Nurcholish duduk dalam Dewan Konsultatifnya, Nurcholish adalah pelopor pembaruan politik karena ide-idenya seperti pentingnya oposisi loyal, civil society, demokrasi, Pancasila sebagai common platform bangsa,  pluralisme, dan hak asasi manusia. Nurcholish, kata Sudhamek, melihat pluralisme di Indonesia harus dihormati sebagai investasi bangsa. Falsafah Bhinneka Tunggal Ika dinyatakan tetap relevan dengan kondisi bangsa saat ini. Keberagaman dan kemajemukan merupakan bekal berharga bangsa Indonesia. Menghadapi krisis multidimensi saat ini, termasuk pertentangan antaragama, kemampuan saling memahami dan menerima kemajemukan menjadi hal yang harus diupayakan. “Menurut Cak Nur, masing-masing agama memiliki kebenarannya. Perbedaan dalam kehidupan beragama, hanya sisi sekunder, yakni simbol-simbol agama. Apabila agama sudah menjadi transenden, paham dan cita-cita yang mengendap lama dalam ajaran agama akan terwujud, yaitu wawasan yang universal,” ujar  Sudhamek, yang bersama Nurcholish mendirikan “National plus school” Sevilla, nama sebuah kota di propinsi Andalusia-Spanyol, di mana peradaban barat dan timur bertemu.  Seperti halnya, Ibu Judo, Sudhamek pun percaya kepada Nurcholish, dan karena itu pula ia mendukung pencalonan Nurcholish sebagai presiden.

Dalam konferensi pers itu Nurcholish menyebut adanya tim sukses yang ”nyentrik” yang akan menggodok strategi penggalangan dukungan. Tim nyentrik itu bernama PMKI (Perkumpulan Membangun Kembali Indonesia). Orang-orang dalam tim ini seperti Sudirman Said, Kemal Stamboel, Erry Riyana Hardjapamekas, dan lain-lain, adalah para aktivis MTI (Masyarakat Transparansi Indonesia), yang aktif mengkampanyekan gerakan anti-korupsi. Sejak semula tim ini sadar untuk tidak mematok target material. “Yang penting bagi kita waktu itu ialah sosialisasi gagasan-gagasan Cak Nur, bukan aspek politik praktisnya,” kata Widjayanto, seorang aktivis PMKI. Lembaga ini, lanjutnya, akan berkoordinasi dengan jaringan di daerah-daerah, volunteer dan simpatisan yang mendukung gagasan-gagasan pembaruan politik Nurcholish untuk membangun sistem politik yang adil, terbuka, dan demokratis.

Tim “nyentrik” dari PMKI inilah yang mengatur jadwal safari politik Nurcholish ke daerah-daerah. Kegiatan yang mereka lakukan lebih banyak diskusi publik dan sesekali “menumpang” kampanye dalam sebuah partai yang mengundang Nurcholish untuk bicara dalam rapat akbar. Puluhan ribu orang hadir dalam kampanye PNBK (Partai Nasional Banteng Kemerdekaan) di Semarang, sampai-sampai Ketua Umum partai ini, Eros Djarot, mengatakan terus terang bahwa kehadiran orang-orang itu pasti bukan karena dirinya melainkan karena Nurcholish. Di Padang, Sumatera Barat, kehadiran Nurcholish juga dieluk-elukkan ribuan massa yang membanjiri kampanye Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) ketika Edi Sudradjat, Ketua Umum PKPI, mengajak Nurcholish untuk menjadi juru kampanye partai tersebut.

PMKI kemudian menjadi lembaga yang sangat progresif dalam mensosialisasikan gagasan-gagasan Nurcholish di berbagai daerah, melebihi apa yang bisa dilakukan oleh Paramadina, yang hanya berkutat di Jakarta. Dalam prakteknya, apa yang dilakukan Nurcholish dengan kampanye itu ialah ceramah agama, hanya temanya demokrasi. “Dari berbagai perjalanan itu kami jadi tahu bahwa Cak Nur sangat populer dan pikiran-pikirannya diterima, termasuk di kalangan pesantren,” tutur Widjayanto.

Pada 30 Juni 2003 Nurcholish menyatakan akan mengikuti konvensi nasional Partai Golkar, yakni ajang penjaringan calon presiden yang dibuka untuk umum di luar para kader partai itu sendiri. Alasannya, menurut Nurcholish, konvensi merupakan tradisi politik yang bagus seperti pengalaman di Amerika. Konvensi juga memungkinkan proses rekrutmen yang terbuka dan bersifat bottom up. Namun ia menegaskan bahwa di Amerika proses konvensi tidak diikuti oleh pengurus partai, sebab hal itu akan membuat persaingan menjadi tidak seimbang.

Keikutsertaan Nurcholish dalam konvensi Partai Golkar dikecam banyak kalangan mengingat rekam jejak Golkar di masa lalu yang ikut mendukung dan menjadi bagian dari Orde Baru yang runtuh karena kasus korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Mereka tidak yakin Golkar akan berlaku jujur dalam proses tersebut. “Banyak kalangan yang menyarankan agar saya mundur karena mereka meragukan proses konvensi akan berjalan secara adil,” katanya seperti dikutip Koran Tempo (23/07/2003).

Kendati mengaku akan mempertimbangkan masukan-masukan itu, Nurcholish tetap bersikukuh karena menurutnya konvensi merupakan tradisi politik baru yang harus didukung. Lagi pula, ujarnya, ia akan konsisten dengan sepuluh platform yang dibuatnya. Baru belakangan ia mengalami sendiri apa yang dikatakan orang itu benar. Dalam safari kampanye ke kantong-kantong Golkar di daerah untuk menjajakan platform-nya ia selalu ditanya tentang apa yang akan dia berikan kepada mereka. “Kalau visi kami sudah punya, Cak Nur, yang kami perlukan sekarang ialah gizi (uang).”

Semula Nurcholish menduga hal itu hanya gurauan, tapi setelah banyak daerah yang dikunjunginya mengatakan hal yang sama, maka ia mulai memikirkan ulang keikutsertaannya dalam konvensi. “Kalau saya kasih gizi (uang) berati saya membatalkan diri sendiri karena kita komitmen menegakkan good governance,” katanya (Gatra, 31/07/2003). Situasi ini diperburuk oleh keikutsertaan Ketua Umum Golkar, Akbar Tandjung, dalam konvensi. Maka, dalam sebuah forum di Medan, Sumatera Utara, 30 Juli 2003, Nurcholish menyatakan mundur dari konvensi Partai Golkar dengan cara tidak mengembalikan formulir isian, padahal ia sudah mengantongi dukungan dari 14 DPD (Dewan Pimpinan Daerah) Golkar.

Setelah mundur dari konvensi Golkar, Nurcholish menggalang kekuatan dengan koalisi partai-partai kecil. Namun partai-partai ini tidak memperoleh suara signifikan dalam Pemilu legislatif 5April 2004. Pada 6 Mei 2004 Nurcholish terbang ke Amerika untuk memenuhi undangan sebagai pembicara dalam seminar yang diselenggarakan oleh Harvard University. Saat itu hanya beberapa hari menjelang penutupan waktu pendaftaran calon presiden di KPU (Komisi Pemilihan Umum). Artinya, Nurcholish tidak mendaftar. Ia memang sudah memutuskan untuk tidak maju dalam Pemilu Presiden 5 Juli 2004.

Cak Nur telah Pergi

Persis pada hari pemungutan suara untuk Pemilu Presiden, 5 Juli 2004, Nurcholish yang baru pulang dari bilik suara terkulai lemah dan muntah-muntah. Ia dilarikan ke Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI), Jakarta. Dr. Hermansyur Kartowisastro yang menangani pemeriksaan menyatakan bahwa Nurcholish mengalami gejala gagal hati. Maka atas rekomendasinya, Nurcholish kemudian dibawa ke China untuk menjalani transplantasi (pencangkokan) hati di RS Taiping People Hospital, Guangzhou. Operasi cangkok hati itu berhasil dengan baik, dan untuk menjalani perawatan pasca operasi ia disarankan untuk dipindah ke Singapura. Sejak 19 Agustus 2004 ia dirawat di National University Hospital (NUH) Singapura.

Cukup lama Nurcholish menjalani perawatan di NUH. Sampai kondisinya dianggap cukup baik, pada 17 Februari 2005 ia diperbolehkan pulang ke Tanah Air. Namun di Tanah Air kesehatannya kembali memburuk, sehingga pada 15 Agustus ia dilarikan ke RSPI yang dulu menanganinya sebelum menjalani operasi di China. Selama menjalani perawatan di sini, kabar tentang kondisi kesehatannya menjadi berita yang selalu menghiasi media massa. Setiap hari orang berdatangan menjenguknya. Kadang ia mampu berbincang dengan para tamu yang mengunjunginya, tapi lebih sering tidak tahu siapa yang datang karena letih dan terlelap.

Dan petang itu, Senin, 29 Agustus 2005, ketika jam dinding menunjuk ke angka dua lewat lima, ketika matahari mulai condong ke barat, Nurcholish mengerahkan tenaga yang tersisa untuk menggerak-gerakkan bibirnya. Ia tersenyum lima kali untuk istri, anak-anaknya, dan para sahabat yang mendampinginya. Setelah itu, ia menutup mata. Cak Nur telah pergi untuk selamanya! “Kita harus merelakan Cak Nur pergi untuk beristirahat karena dia sudah terlalu capek,” ujar Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) dalam wawancara di radio sesaat setelah Nurcholish wafat. Gus Dur mengatakan bahwa Cak Nur sama dengan dirinya yang tak pernah memikirkan kesehatannya sendiri ketika harus melakukan apa yang menjadi panggilan hatinya. Kesehatan Cak Nur, katanya, memburuk ketika disibukkan oleh kampanye sebagai calon presiden.

Jauh sebelum dinyatakan menderita gejala gagal hati oleh dokter, Cak Nur pernah terbaring di Rumah Sakit Pasar Minggu pada Maret 2003 karena keretakan di tulang kaki akibat jatuh dari tangga rumahnya di Kota Wisata Cibubur, Jakarta Timur. Saat itu ia sedang turun dari lantai dua rumahnya, dan mengira kakinya telah menginjak tangga terakhir. Ternyata satu tangga lagi ia lewati, sehingga ia terjerembab. Pada hari ketiga ia dirawat, seseorang bernama Ustadz Latif dari Pejaten menjenguknya di pagi hari. “Saya mendoakan Cak Nur cepat sembuh,” katanya, “Dan membatalkan pencalonan Cak Nur sebagai presiden.” Lalu ia menjelaskan bahwa jatuh dari tangga itu peristiwa yang didahulukan Tuhan sebagai isyarat. Kemudian dengan khusu’ ia membacakan surat al-Fatihah.[]

Berminat membeli buku ini, hubungi Patricius/Kompas: 08158925350

Para Penyair dan Sastrawan Bicara tentang Buku Puisi Esai Ahmad Gaus

Buku terbaru karya Ahmad Gaus “Kutunggu Kamu Di Cisadane: Antologi Puisi Esai.” (KomodoBook, 2012). Kata Pengantar Oleh: Jamal D. Rahman (Pemimpin Redaksi Majalah Sastra HORISON). /  @AhmadGaus

APA KATA MEREKA tentang BUKU INI

Membaca puisi esai Ahmad Gaus menjadi peluang untuk melihat persoalan kemanusiaan tidak hitam-putih, melainkan penuh kejutan seperti lagu-lagu dangdut Indonesia yang perkasa. – Acep Zamzam Noor, Penyair

Puisi esai adalah gagasan menantang, khususnya bagi penyair yang intelektual. Ahmad Gaus memenuhi tantangan itu. Lewat antologinya ini, ia mencoba menguji kesungguhan kita sebagai bangsa yang bhinneka tunggal ika. – Agus R. Sarjono, Penyair.

Gaus itu peka soal puisi dan tajam soal esai. Ketika ia menulis puisi esai, karyanya asik dibaca karena temanya tajam dan bahasanya indah. – Denny JA, Penulis Buku Atas Nama Cinta: Sebuah Puisi Esai

Kedalaman sufistik dan ketajaman sosio-antropologis menunjukkan pengalaman empirik penulisnya dalam menyelami kehidupan. Kelima puisi esai ini menarik, menggugah dan mencerdaskan. – Fakhrunnas MA Jabbar, Sastrawan dan Budayawan

Melalui puisi-puisi esainya Gaus memotret dunia yang kongkrit dan merefleksikannya dengan bahasa yang indah dan jernih. – Ahmadun Yosi Herfanda, Penyair dan Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).

_________________________________________________________________________

Pesan buku ini via Mobile: 0818829193/ PIN 21907D51. Jabodetabek Rp35.000.00/ Jawa dan Luar Jawa Rp45.000.00

______________  Follow me at twitter @AhmadGaus  ____________________

How Liberal Can You Go?

   
 
 

How Liberal Can You Go?

Oleh: Ahmad Gaus AF
Pengamat Pemikiran dan Gerakan Islam, Paramadina

 

ANCAMAN serius bagi setiap pemikiran keagamaan adalah kemandekan, kebuntuan, dan ketiadaan semangat inovasi. Kondisi semacam itu akan menyebabkan agama kehilangan relevansinya dengan zaman dan masyarakat yang terus berubah. Pemikiran keagamaan dalam bentuk tafsir, teologi, dan lebih-lebih hukum (fiqih), bagaimanapun merupakan hasil interaksi dengan semangat zamannya.

Maka, mandeknya pemikiran keagamaan akan berdampak langsung pada irelevansi agama dan akhirnya peminggiran agama dari denyut nadi kehidupan manusia.

Itulah sebabnya, di setiap kurun waktu selalu ada orang atau kelompok yang “gelisah” bahwa agama mereka akan kehilangan elan vital untuk menyesuaikan diri dengan-atau menjawab-tantangan zaman. Mereka berusaha mempelopori perubahan dan melampaui pemikiran status quo. Namun, gerakan semacam itu tidak selalu berjalan mulus karena akan ditantang oleh mereka yang juga “cemas” dengan kemurnian iman mereka apabila perubahan dilakukan di wilayah-wilayah keagamaan.

Sejarah kemunculan gerakan-gerakan keagamaan (Islam) di Tanah Air dengan jelas menunjukkan hasrat kepada perubahan di satu kutub, dan pada saat bersamaan muncul perlawanan dari kutub lain yang mencoba mempertahankan apa yang mereka anggap “kebenaran mutlak” yang tidak bisa diganggu gugat. Contoh paling mudah adalah Nurcholish Madjid ketika pada dekade 1970-an, ia dan teman-temannya mendeklarasikan perlunya kelompok pembaru yang liberal.

Melalui berbagai ceramah dan tulisannya, Cak Nur mengajak umat Islam untuk melakukan perubahan-perubahan yang mendalam supaya dapat mengikuti perkembangan zaman. Ia mengajukan argumen bahwa organisasi-organisasi Islam yang selama ini mengklaim sebagai pembaru telah berhenti sebagai pembaru, karena mereka tidak sanggup menangkap semangat dari ide pembaruan itu sendiri, yaitu dinamika dan progresivitas. Lebih jauh, menurut dia, ide-ide dan pemikiran Islam yang diwadahi dan hendak diperjuangkan oleh partai-partai Islam ketika itu sudah memfosil, usang, kehilangan dinamika, sehingga tidak menarik lagi. Karena itu, kemudian ia mengajukan tesis: Islam Yes, Partai Islam No!

Dalam makalahnya yang berjudul Menyegarkan Kembali Pemahaman Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia, ketua umum PB HMI dua periode ini juga mengkritik ide Negara Islam yang menurutnya hanya merupakan suatu apologi, yaitu apologi terhadap ideologi-ideologi Barat modern seperti demokrasi, sosialisme,dan komunisme. Sebagai apologi, ujarnya, pikiran-pikiran itu hanya mempunyai efektivitas yang berumur pendek.

Dua tesis itulah (Islam Yes Partai Islam No, dan Tidak Ada Negara Islam), yang menyulut kontroversi berkepanjangan. Tetapi, ia juga banyak diakui telah menyegarkan kembali pemahaman Islam yang dianggap telah lama membeku, dan seraya itu memberikan “rasa aman teologis” bagi kaum Muslim tanpa harus bergabung dengan partai Islam atau mendirikan negara Islam.

SEMANGAT untuk menyegarkan kembali pemahaman Islam itu pulalah tampaknya yang kini diwarisi oleh anak-anak muda yang juga menyuarakan perlunya suatu pembaruan yang liberal dalam pemikiran Islam. Dinyatakan oleh koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL), Ulil Abshar-Abdalla dalam tulisannya, Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam.

Dibandingkan dengan gerakan pembaruan pemikiran Islam era 1970-an, apa yang dilakukan oleh Ulil Abshar dan kawan-kawan di JIL sekarang ini jauh lebih agresif dan maju, karena terorganisir dengan baik. Tema-tema yang diangkat pun lebih beragam dengan melibatkan narasumber berbagai tokoh yang dipandang sejalan dengan, dan dapat mendukung, ideologi Islam liberal.

Atas dasar itu, tidak heran jika Ketua PB-NU KH Salahuddin Wahid pernah menyatakan bahwa JIL-yang kebanyakan dipelopori oleh anak-anak muda NU-jauh lebih liberal dari Cak Nur. Kalau Cak Nur, katanya kepada majalah Sabili Nomor 15, 25 Januari 2002, masih kental dengan nuansa Islamnya seperti penggunaan istilah masyarakat madani, sedangkan JIL menggunakan istilah masyarakat sipil. Berbeda dengan Kiai Salahuddin, para penentang JIL, cenderung berpendapat bahwa JIL itu hanya kelanjutan belaka dari proyek dan ide-ide Cak Nur.

Mana yang benar, bukanlah soal yang terlalu penting. Yang penting adalah sejauh mana ide-ide itu memang mampu membangunkan tidur orang banyak, bukan sekadar memancing kemarahan orang banyak. Dalam hal ini, pilihan-pilihan isu tidak bisa diabaikan. Apa yang membuat gerakan pembaruan pemikiran Islam era 70-an begitu spektakuler dan gaungnya begitu kuat, tidak lain karena pilihan isunya.

Kalau saja waktu itu Cak Nur bicara soal hak waris, kesaksian perempuan, jilbab, kawin antaragama, dan yang setara dengan itu, mungkin proyek pembaruannya tidak akan cukup berwibawa.

Betapapun gerakan pembaruan ketika itu adalah gerakan kultural, namun ia bisa menjadi counter political discourse bagi pemikiran arus utama (mainstream) yang tertanam kuat di benak para politisi dan aktivis Islam tentang hubungan antara Islam, partai politik, dan negara. Boleh dibilang bahwa perdebatan mengenai hubungan ketiganya pada masa itu (Orde Baru) sudah menemui jalan buntu. Kaum Muslim di-fait accompli bahwa menjadi Muslim harus dengan sendirinya menjadi pendukung partai Islam dan mendirikan negara Islam; sebaliknya, rezim Orde Baru sangat alergi dengan partai Islam dan ide-ide negara Islam. Penghadapan antara umat dan rezim seakan-akan adalah zero sum game. Di sinilah kehadiran gagasan pembaruan ketika itu menemukan arti pentingnya; ia memberikan solusi dan jalan keluar dari kebuntuan.

APA yang diagendakan oleh gerakan Islam liberal sekarang ini sebenarnya juga sebagian menyangkut isu-isu struktural, seperti demokrasi dan penghargaan kepada HAM. Dalam tingkat tertentu, isu-isu pinggiran seperti soal jilbab, kawin antar- agama, dan lain-lain, juga bisa ditransformasikan menjadi isu struktural sehingga dampaknya langsung terasa. Misalnya kasus jilbab. Memang benar bahwa seorang ahli tafsir seperti Prof Quraish Shihab saja mengisyaratkan bahwa jilbab itu budaya Arab. Yang bukan bangsa Arab tidak terkena ketentuan untuk mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh. Perintah dalam Al Quran dan hadis menyangkut ketentuan jilbab, kata Shihab, adalah perintah dalam arti sebaik-baiknya, bukan perintah wajib (Lihat, Wawasan Al Quran, 1996, tentang Pakaian). Akan tetapi, yang harus menjadi agenda para pejuang demokratisasi pemikiran keagamaan seperti JIL bukanlah soal hukumnya wajib atau tidak (itu soal interpretasi fiqih yang boleh berbeda), melainkan memperjuangkan agar orang bisa melaksanakan apa yang diyakininya sendiri tanpa paksaan.

Sasaran kampanye JIL dalam hal ini bukanlah masyakarat itu sendiri, tetapi institusi atau otoritas yang membelenggu kebebasan masyarakat dalam menjalankan apa yang diyakini dari ajaran agamanya. JIL, sekadar contoh, tidak perlu mempengaruhi mahasiswa IAIN/UIN untuk tidak berjilbab, karena itu akan percuma selama institusinya sendiri mewajibkan jilbab. Artinya, kampanye demokratisasi Islam harus diarahkan langsung kepada sistem yang melingkupinya.

Begitu juga sebaliknya. Lembaga atau otoritas yang melarang perempuan Muslim memakai jilbab-seperti lazim di masa rezim Orde Baru-juga harus dilawan, demi persamaan hak yang dijunjung tinggi Islam liberal. Bukankah prinsip liberalisme adalah “mekanisme pasar”? Di sinilah diuji sejauhmana kalangan Islam liberal itu sungguh-sungguh liberal dalam pandangan dan sikapnya. How liberal can you go?

Kasus lain. Kawin antaragama adalah juga isu pinggiran, karena tidak menjadi mainstream dan cenderung tidak tampak. Diakui atau tidak, sudah banyak warga masyarakat yang melakukan kawin antaragama, sekalipun mereka tahu kesulitan yang akan mereka hadapi, misalnya dalam hal pencatatan pernikahan mereka di kantor catatan sipil.

Isu pinggiran ini akan menjadi isu publik apabila agenda pemecahannya struktural. Misalnya, dalam Islam, memisahkan kantor urusan agama (KUA) dengan catatan sipil. Sehingga dengan begitu menghilangkan kendala pencatatan bagi pasangan beda agama. Dalam konteks ini perlu dipikirkan bahwa salah satu agenda Islam liberal adalah mereduksi campur tangan (birokrasi) negara dalam mengatur kehidupan umat beragama. Hal lain yang bisa dilakukan adalah menyusun fiqih baru menyangkut ketentuan kawin beda agama.

Dua kasus itu sekadar contoh terhadap mana gerakan Islam liberal bisa memainkan peran strategisnya. Pendekatan baru adalah kata kuncinya. Bukankah Islam liberal sendiri hanya old wine in the new bottle? Karena itu, tanpa pendekatan baru, JIL tidak bisa mengelak dari tuduhan bahwa agendanya hanya mengulang-ulang proyek usang yang sudah ketinggalan zaman.

Akhirnya, dengan sedikit memperbandingkan gerakan Islam liberal era Cak Nur dan kawan-kawan pada dekade 1970-an dengan era Ulil Abshar dan kawan-kawan pada dekade 2000-an sekarang ini, bukanlah hendak menegaskan supremasi, prestise, dan kelebihan yang satu atas yang lain. Di setiap generasi, memang seharusnya muncul pikiran-pikiran baru yang menyegarkan. Gerakan pembaruan Cak Nur digulirkan pada masa transisi masyarakat dan bangsa dari era Orde Lama ke era Orde Baru, yang menyebabkan munculnya tuntutan-tuntutan baru yang perlu diberikan jawabannya.

Gerakan Islam liberal sekarang ini juga digulirkan pada era transisi dari rezim otoriter Orde Baru ke Orde Demokrasi atau era kebebasan. Tantangan era kebebasan sekarang ini pasti jauh lebih kompleks, dan pasti pula membutuhkan pikiran-pikiran yang jauh lebih liberal, yang lebih menyentakkan kesadaran banyak orang, dan mengganggu tidurnya orangorang yang malas. How liberal can you go?

Tulisan ini dimuat di Kompas, Jumat, 13 Desember 2002

 

Masjid Cak Nur

 

Sebuah Masjid di Atas Langit

 Oleh Ahmad Gaus AF

 

 

Dalam suatu pertemuan Majelis Reboan, awal tahun 1985, KH Abdurrahman Wahid menantang Nurcholish untuk membuat gebrakan baru, setelah menyelesaikan PhD-nya di Universitas Chicago, AS.[1] Menjawab tantangan itu, Nurcholish mengatakan bahwa ia ingin membangun masjid ketiga terbesar di Indonesia setelah Masjid Istiqlal di Jakarta dan Masjid Syuhada di Yogyakarta. Mendengar itu Abdurrahman Wahid terbahak, diiringi gelak tawa para peserta pertemuan yang ada di situ (Utomo Dananjaya, Ekky Syahruddin, Soetjipto Wirosardjono, Masdar F. Mas’udi, dll). Mereka menduga Nurcholish sedang berkelakar.

gusdur-caknur2

Waktu itu, Abdurrahman Wahid belum lama terpilih sebagai Ketua Umum PB NU dalam Muktamar Situbondo. Sebagai masinis dari gerbong yang mengangkut 40 juta kaum santri, ujarnya, dia tidak berpikir untuk membikin masjid, masa’ Nurcholish yang baru meraih gelar doktor bidang keislaman dari Amerika, pulang ke Indonesia cuma mau membikin masjid.

Tapi, Nurcholish tidak sedang berkelakar. Ia menjelaskan bahwa universitas-universitas besar dan ternama di Amerika, pada mulanya tumbuh dari lingkungan kompleks keagamaan semacam pesantren di Indonesia. Ia menyebut pendeta Harvard yang “pesantren”-nya kemudian tumbuh menjadi Universitas Harvard yang besar dan paling berperan dalam pengembangan ilmu pengetahuan modern. Karena faktor-faktor kesejarahan tertentu seperti penjajahan, ujarnya, pesantren-pesantren di Indonesia berada di pinggiran kota, dan tidak tumbuh menjadi universitas yang berpengaruh semacam Harvard.

Menurut Nurcholish, ia tidak berencana mendirikan pesantren, karena ia bukan kiai seperti Abdurrahman Wahid, melainkan ingin membangun masjid yang akan berfungsi semacam “pesantren”, dan kemudian tumbuh di dalamnya universitas. Predesen semacam itu, urainya, bisa ditemukan di masa-masa kejayaan peradaban Islam di Baghdad maupun Spanyol.

Madinatul Umran

Pada awal 2003, dalam sebuah forum yang diselenggarakan oleh ICRP, Abdurrahman Wahid bertanya kepada Nurcholish apa yang sedang direncanakannya, selain mau maju sebagai calon presiden pada Pemilu 2004. Di luar dugaannya, Nurcholish memberikan jawaban yang sama dengan pernyataannya 18 (delapan belas) tahun silam, bahwa ia ingin membangun masjid. Abdurrahman Wahid tersentak. Lho, belum jadi juga toh masjid itu? Begitu pikirnya. Tapi kali ini ia sudah tahu Nurcholish serius. Bahkan, ia juga bicara soal dananya. “Namanya masjid monumen,” kata Abdurrahman Wahid menirukan Nurcholish saat itu. Ia kemudian menuturkan keberhasilan Nurcholish membangun sekolah dan universitas, tetapi sejauh ini belum berhasil membangun masjid. “Mungkin orang-orang yang mendukungnya ‘gak mengerti jalan pikiran Cak Nur,” ujar Abdurrahman Wahid, yang pernah mengucurkan dana Rp.500 juta untuk membantu pembelian kantor baru Paramadina.

Beasiswa Universitas Paramadina

Nama masjid yang dibicarakan itu sebenarnya ialah Madinatul Umran, yang berarti “peradaban kertaraharja”. Pada akhir dasawarsa 1980-an, Nurcholish  menggambar arsitektur masjid itu di langit-langit pikirannya. Kemudian, belasan tahun lamanya ia berusaha memindahkan lukisan masjid itu dari langit ke tanah yang keras. Namun, sampai hari ia dipanggil Tuhan pada 29 Agustus 2005, tak pernah ada peletakan batu pertama. Berbeda dengan sekolah-sekolah dan universitas yang diprakarsainya yang begitu cepat memperoleh dukungan sponsor, rencana pembangunan Masjid Madinatul Umran selalu tersendat. Para pendukung yang semula begitu antusias dan ingin segera merealisasikan rencana itu, satu persatu pergi dan tak terdengar lagi beritanya.

Melihat rancangan arsitektur, fasilitas, lokasi, dan prasarananya, masjid ini memang terbilang ambisius. Dari segi kemegahan, sebagai pembandingnya Nurcholish menyebut-nyebut Masjid Muhammad Ali di Kairo, Masjid Sulaimaniyah di Istambul, dan Taj Mahal di Agra. Dana yang diperlukan bagi pembangunan masjid mencapai Rp6,8 miliar (perhitungan tahun 1997). Lahan yang diperlukan untuk pembangunan masjid luasnya minimal 7000 (tujuh ribu) meter persegi dan berada di keramaian kota dengan tujuan untuk mengundang apresiasi dan menarik perhatian banyak orang. Saat itu telah ditentukan lokasinya di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, yang sekaligus juga akan menjadi lokasi kampus Universitas Paramadina.[2]

d06d2c88b48be4440587e8530a5be3e5

Keyakinan Nurcholish untuk mewujudkan impian akan sebuah masjid megah itu lahir dari pengamatannya sendiri tentang kelas menengah kota yang sedang tumbuh, terhadap siapa ia berharap akan mendapatkan dukungan yang memadai. Bersama Utomo Dananjaya dan beberapa pendiri Paramadina lainnya, Nurcholish mulai menjajakan konsep Masjid Madinatul Umran itu kepada calon-calon donatur potensial. Para jamaah Paramadina yang kebanyakan dari kelas menengah kota—yang diam-diam telah terbentuk menjadi segmen Muslim tersendiri sebagai hasil dari pengajian di hotel-hotel bintang lima yang dikelola Paramadina—sangat antusias menyambut rencana tersebut, dan menganggapnya sebagai cita-cita bersama. Mata para jamaah berbinar-binar manakala Nurcholish sudah mulai berbicara mengenai Masjid Madinatul Umran.

Pada bulan Januari 1990, dalam suatu kesempatan makan malam di Restoran Arirang, Jakarta, yang di-setting sebagai acara presentasi, para dermawan dan sejumlah pejabat tinggi pemerintah tampak hadir. Beberapa di antara mereka menyatakan kesiapan untuk mendukung pembangunan Madinatul Umran, bahkan ada yang langsung memberikan kantornya untuk digunakan sebagai sekretariat pembangunan masjid. Seorang menteri dari kalangan militer menyebut tentang adanya lima kemungkinan bakal lokasi masjid ini. Dermawan lainnya berjanji akan menjadi fasilitator dalam pertemuan-pertemuan fund raising.

Kepercayaan kepada Nurcholish sebagai ikon cendekiawan Muslim modern menjadi faktor penting bagi tumbuhnya harapan akan Islam Indonesia yang sedang bangkit menyongsong zaman baru. Mendengarkan bagaimana Nurcholish menjelaskan visi-misi Madinatul Umran sebagai episentrum peradaban, tidak syak lagi ia memang sangat serius dengan rencananya tersebut. Konsep yang memuat pandangan dasar, fungsi, dan peruntukan masjid sudah disusun, menyusul kemudian maket yang menggambarkan bangunan fisik, lingkungan, dan fasilitas masjid.

Akan tetapi, karena berbagai faktor dan kendala, perkembangan pembangunan masjid ini sering sekali tertunda. Baru pada 29 April 1997 sebuah kepanitiaan resmi dilantik di Hotel Regent, Jakarta. Di dalamnya tercatat nama-nama seperti Emil Abeng (putra Tanri Abeng/Presiden Direktur Bakrie Grup saat itu) yang duduk sebagai ketua panitia, Shahnaz Haque (aktris) dan Ratih Sanggarwati (peragawati dan foto model) yang dilibatkan untuk mobilisasi dana, serta sederet nama lain dari kalangan dalam Paramadina maupun simpatisan.

Monumen Ketiga

Masjid Madinatul Umran merupakan simbol perjuangan dalam mewujudkan cita-cita masyarakat beradab, adil, dan makmur. Nurcholish merujuk contoh perjuangan Nabi Muhammad SAW ketika hijrah dari Makkah ke Madinah. Hal pertama yang dilakukan Nabi ketika tiba di Madinah ialah membangun Masjid Nabawi (sesudah Masjid Quba yang dibangun di tengah perjalanan hijrah). Masjid Nabawi inilah yang menjadi modal utama perjuangan Nabi dalam mewujudkan masyarakat beradab. Fungsi masjid ini tidak hanya sebagai tempat kegiatan peribadatan, melainkan lebih luas lagi, yaitu menjadi pusat bagi segenap aktivitas beliau dalam berinteraksi dengan umat. Singkatnya, masjid ketika itu merupakan pranata terpenting masyarakat Islam.

Masjid Madinatul Umran dirancang oleh Nurcholish untuk menjadi monumen ketiga setelah Masjid Syuhada dan Masjid Istiqlal. Masjid Syuhada terletak di Yogyakarta, ibukota revolusi di masa perjuangan kemerdekaan. Nama Syuhada diambil dari bahasa Arab yang berarti pahlawan. Nama ini digunakan untuk memperingati jasa para pahlawan dan sekaligus sebagai doa kepada mereka yang telah berjasa bagi bangsa dan negara. Dengan demikian, Masjid Syuhada merupakan monumen kepahlawanan. Sementara itu, Masjid Istiqlal yang terletak di ibukota proklamasi, Jakarta, dibangun sebagai monumen kemerdekaan. Kata Istiqlal sendiri memiliki makna kemerdekaan.  Pembangunan Masjid Istiqlal dimaksudkan untuk mengingatkan bangsa Indonesia agar senantiasa bersyukur atas karunia kemerdekaan yang tak terkira nilainya, yang diperoleh atas jasa dan pengorbanan para Bapak Bangsa (the Founding Fathers).

Kedua masjid yang didirikan untuk memperingati hari-hari besar sejarah bangsa itu, menurut Nurcholish, menunjukkan adanya keinsafan dan kesadaran yang amat mendalam para pemimpin nasional kita tentang peranan jiwa keagamaan dalam kebangkitan, pertumbuhan, perkembangan, dan pembangunan bangsa. Jika Masjid Syuhada dibangun sebagai penanda fase revolusi, dan Masjid Istiqlal menjadi penanda fase kemerdekaan, maka Masjid Madinatul Umran dengan sadar direncanakan untuk menandai fase ketiga dalam sejarah perjalanan bangsa, yaitu pembangunan nasional. Bagi Nurcholish, pembangunan nasional memang masih jauh dari cita-cita konstitusional yang diamanatkan dalam UUD 1945. Masyarakat yang adil dan makmur sebagai cita-cita bersama pun masih harus terus diperjuangkan. Akan tetapi, ujarnya, kita tidak boleh mengingkari bahwa pembangunan telah membawa kebaikan bagi seluruh bangsa. Salah satu wujud nyata dari keberhasilan pembangunan ialah tetap utuh dan bersatunya seluruh tanah air dari Sabang sampai Merauke, dan makin kukuhnya kedudukan UUD 1945 dan Pancasila.

Seraya menegaskan perasaan bangganya terhadap hasil-hasil pembangunan yang menurutnya sangat mengesankan dan pantas dipanjatkan puji syukur ke hadirat Allah atas semua hasil itu, Cak Nur  menekankan pentingnya membangun sebuah masjid monumen. Masjid Madinatul Umran dimaksudkan sebagai masjid monumen itu. Sebagai monumen kebangsaan, yang merupakan kelanjutan dari masjid-masjid monumen Syuhada dan Istiqlal, Madinatul Umran dirancang untuk menampilkan unsur-unsur ekspresi artistik Islam Indonesia yang representatif. Dengan cara begitu, dari segi arsitektural, Masjid Madinatul Umran bukan hanya akan menjadi pendorong bagi perkembangan seni Islam Indonesia lebih lanjut, tapi juga menjadi suatu masterpiece  bangunan Islam Indonesia yang membanggakan sebagai salah satu landmark ibukota negara, seperti suksesnya Masjid Islamic Center di Washington D.C. sebagai salah satu landmark ibukota Amerika.

islamic-mosque-and-cultural

Usaha untuk menampilkan kembali unsur-unsur klasik dalam sebuah bangunan masjid modern memang bukan tanpa preseden. Dalam konteks ini, Nurcholish tidak menutupi kebanggaannya kepada Presiden Soeharto yang telah membangun ratusan masjid dengan konsep revivalisme arsitektur klasik Masjid Demak dalam arsitektur masjid-masjid yang didirikan oleh Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila yang dipimpin Pak Harto. Pandangan dasar Masjid Madinatul Umran ialah nilai-nilai keislaman dalam paduannya yang harmonis dan utuh dengan nilai-nilai keindonesiaan. Pancasila menjadi simbol perpaduan antara keislaman dan keindonesiaan, sebab Pancasila mengandung nilai-nilai tauhid yang menjadi pesan dasar Islam, dan sekaligus juga merupakan identitas bangsa Indonesia. Masjid Madinatul Umran dengan sadar dirancang untuk menjadi salah satu sumber usaha substansiasi dan pengisian nilai-nilai Pancasila. Sejajar dengan kedudukan Pancasila yang telah final sebagai dasar hidup bersama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka Masjid Madinatul Umran juga dididirikan untuk ikut memikul amanat toleransi dan kerukunan agama dalam masyarakat plural Indonesia.

Pusat Kegiatan Paramadina

Rencana pembangunan Masjid Madinatul Umran tidak terlepas dari pengembangan aktivitas Yayasan Wakaf Paramadina yang didirikan Nurcholish dan kawan-kawan pada tahun 1986. Karena itu, pandangan dasar masjid ini serupa dengan pandangan dasar Paramadina yang dibangun di atas prinsip kebebasan dan toleransi, dengan menekankan dialog dalam semangat keterbukaan. Program-program yang dirancang untuk menjadi kegiatan Madinatul Umran sebenarnya juga merupakan perluasan dari kegiatan Paramadina. Bahkan dalam konsep yang disusun oleh Nurcholish, dengan jelas disebutkan bahwa Masjid Madinatul Umran merupakan pusat kegiatan Yayasan Wakaf Paramadina.

Beberapa program pokok yang dirancang untuk menjadikan masjid sebagai monumen yang hidup, terlibat aktif, dan memberi kontribusi nyata dalam kehidupan masyarakat adalah sebagai berikut:[3]

  1. Peningkatan dan penyebaran faham keagamaan Islam yang luas, mendalam dan bersemangat keterbukaan, dengan titik berat kepada:

a)    Pemahaman sumber-sumber ajaran Islam, khususnya masa-masanya yang paling formatif, dalam kaitannya dengan lingkungan sosial, politik,, ekonomi, budaya, dll.

b)   Penyadaran tentang sejarah pemikiran Islam, khususnya masa-masanya yang paling formatif, dalam kaitannya dengan lingkungan sosial, politik,, ekonomi, budaya, dll.

c)    Penginsafan tentang segi-segi budaya dan peradaban dalam sejarah Islam dan bangsa-bangsa Muslim.

d)   Penanaman semangat non-sektarian dan pengembangan serta pemeliharaan ukhuwah Islamiyah dalam arti yang sebenar-benarnya.

e)    Pendalaman dan perluasan segi komparatif mazhab-mazhab dan aliran-aliran dalam Islam, antara lain guna menangkal timbulnya faham-faham kelompok yang sempit dan eksklusivistik.

f)     Pengembangan sikap penuh toleransi dan hormat kepada kelompok-kelompok agama lain yang damai dan bersahabat sebagaimana hal itu diajarkan oleh Islam.

 

  1. Penyediaansarana fisik guna menopang kegiatan tersebut, khususnya perpustakaan yang tepat dan benar-benar memadai.
  2. Penyelenggaraan kegiatan-kegiatan ilmiah khusus dalam bentuk berbagai halaqah (lingkaran, circle) ilmiah untuk para ulama, kaum intelektual, para dai dan mubalig, serta para mahasiswa dan remaja.
  3. Pengadaan penelitian dan pengembangan, serta penyelenggaraan pertemuan-pertemuan ilmiah tentang berbagai masalah aktual.
  4. Penyelenggaraan pendidikan manajemen dan kewirausahaan (entrepreneurship) guna ikut mendorong gerak dinamik pembangunan nasional.
  5. Pengadaan pelayanan masyarakat umum serta penyelenggaraan acara-acara seni dan budaya Islam.
  6. Penerbitan jurnal, booklet dan buku-buku ilmiah tentang keislaman dan keindonesiaan.
  7. Penggalangan kerjasama dengan lembaga-lembaga ilmiah di luar negeri, guna meningkatkan mutu intelektualitas Islam Indonesia.
  8. Inventarisasi, pemeliharaan, dan pengembangan warisan budaya Islam Indonesia guna memupuk kesadaran keislaman-keindonesiaan.

Banyak_Jalan_Menuju_Tuhan-PromoPuasa

Mereka yang mencermati perkembangan pemikiran Nurcholish sejak tahun 1970-an akan mudah menarik kesimpulan bahwa gagasan-gagasan yang dituangkan dalam rancangan kegiatan Madinatul Umran tidak lain adalah tema-tema pokok dari pikiran Nurcholish sendiri yang dicobanya untuk diwujudkan. Metode gerakan dakwahnya yang setia di jalan kultural membuatnya tetap percaya bahwa masjid adalah pusat budaya atau “kultur centrum”. Dari masjidlah—tempat nama Allah paling banyak disebut—memancar cahaya peradaban Islam. Karena itu, ke mana saja Nurcholish pergi mengunjungi negeri-negeri lslam, oleh-oleh cerita yang selalu dituturkannya tidak lain adalah masjid-masjid indah peninggalan kejayaan peradaban Islam di masa lampau.

Dengan menyebut Madinatul Umran sebagai pusat kegiatan Paramadina, menjadi jelas pula bahwa masjid ini merupakan muara dari semua impian Nurcholish tentang bangunan peradaban Islam yang agung, yang tak henti-hentinya ia suarakan. Akan tetapi, sebagaimana telah dikemukakan di atas, sampai akhir hayat Nurcholish tidak pernah ada peletakan batu pertama pembangunan masjid bernama Madinatul Umran. Obsesi yang terlampau besar untuk mewujudkannya, bertabrakan dengan fakta-fakta keras yang menghadangnya, melahirkan perasaan “frustasi” pada diri Nurcholish sehingga belakangan ia tidak pernah menyinggung soal pembangunan masjid itu lagi.[4]

DySgLzJUYAA8l76

 

Kisah sebuah Buletin

Saat ini, mungkin hanya Utomo Dananjaya yang matanya masih selalu berkaca-kaca setiap kali menatap maket bangunan masjid yang tak pernah terwujud itu—sebelum akhirnya maket itu sendiri pun raib entah ke mana. Abdurrahman Wahid mungkin orang terakhir kepada siapa Nurcholish menyampaikan impiannya tentang membangun sebuah masjid. Nama yang lainnya adalah Rahmat, yang selama 10 tahun menjadi sekretaris pribadi Nurcholish. Setelah kemangkatan Nurcholish pada 2005, Rahmat tetap mengabdikan dirinya mengurus kantor lama Paramadina yang telah diubah fungsinya menjadi mushalla. Bukan kebetulan bahwa mushalla ini diberi nama Mushalla Rahardja Paramadina. Rahardja dalam bahasa Arab semakna dengan Umran. Selain itu, sejak Juli 2007 Rahmat dan kawan-kawan juga secara rutin menerbitkan buletin Jumat bernama Madinatul Umran, untuk memelihara ingatan pada masjid impian itu.[5]

Dicetak setiap terbit sebanyak 800 eksemplar, buletin Madinatul Umran yang berukuran saku ini pada mulanya hanya dibagikan kepada jamaah salat Jumat di Mushalla Rahardja dan di kantor Paramadina yang baru di Pondok Indah Plasa III yang juga rutin mengadakan jumatan. Seratus eksemplar di antaranya dikirimkan melalui pos kepada lembaga-lembaga Islam dan sejumlah tokoh. Pendanaan buletin yang membutuhkan biaya Rp. 640 ribu setiap terbit dicarikan sendiri oleh Rahmat dari para jamaah dan donatur. Yayasan Medco dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Departemen Agama pernah tercatat sebagai penyumbang, selain beberapa individu yang mengulurkan bantuan atas nama pribadi.

DySgLzJUYAA8l76

Berbeda dengan buletin-buletin Jumat lain yang biasanya diedarkan di masjid-masjid, Madinatul Umran disebarkan di outlet-outlet laundry milik Joes Noerdin, pengusaha waralaba binatu ternama, 5 à Sec. Joes yang sejak lama bersimpati kepada Nurcholish belakangan bahkan menanggung semua biaya percetakan buletin, sedangkan biaya untuk pra-produksi diperoleh dari para donatur individual.

Buletin Madinatul Umran memuat materi khutbah Jumat yang disampaikan para khatib di Mushalla Rahardja Paramadina. Dalam setiap edisinya dimuat isi khutbah pertama dan khutbah kedua, sehingga materi buletin ini bisa langsung digunakan oleh para khatib pemula untuk bahan khutbah. Terkesan dengan isi dan nama buletin yang dinilai mengingatkan pada Nurcholish, beberapa orang yang dikirimi buletin ini melalui pos karena jarak yang jauh sengaja datang ke Mushalla Rahardja Paramadina semata-mata untuk memberi ongkos cetak, agar buletin tetap terbit.

Sampai  bulan Maret 2010, buletin Madinatul Umran telah memasuki edisi ke-80. Tapi, Rahmat dan kawan-kawan tidak tahu sampai kapan mereka akan mampu menjaga kesinambungan penerbitannya. Mereka juga tidak tahu apakah usahanya itu akan mampu membangkitkan ingatan orang-orang pada impian bersama membangun sebuah masjid dengan nama yang sangat elok itu: Madinatul Umran, Peradaban Kertaraharja.[]

Tulisan ini adalah salah satu bagian dari buku API ISLAM- Biografi Nurcholish Madjid, karya Ahmad Gaus (Penerbit Buku Kompas, 2010).

Baca juga: [Puisi] Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Kepada Nurcholish Madjid)


[1] Wawancara dengan KH Abdurrahman Wahid di Jakarta (17/07/2007).

[2] Booklet “Masjid Monumen Pembangunan Madinatul Umran”, Yayasan Wakaf Paramadina, 1990

[3] Dikutip dari Booklet, Ibid.

[4] Konon, Nurcholish juga merasa malu kepada beberapa arsitek yang pernah dihubunginya, antara lain Ir. Ahmad Noe’man, yang pernah mengarsiteki Masjid Salman ITB, yang sangat dikagumi Nurcholish. Kepada Rahmat, sekretaris pribadinya, Nurcholish pernah mengatakan bahwa ia sebenarnya tidak sulit mendapatkan dana dari para pengusaha non-Muslim, kalau ia mau, tapi ia masih menjaga perasaan umat Islam.

[5] Deskripsi mengenai Buletin Madinatul Umran diolah dari hasil wawancara dengan Rahmat Hidayat, sekretaris pribadi Nurcholish Madjid (22/03/2010).

Fundamentalisme Islam

Fundamentalisme: Citra dan Fakta

Oleh Ahmad Gaus AF

Pengamat Pemikiran dan Gerakan Islam, Yayasan Paramadina

 

 

Gerakan-gerakan sosial keagamaan dengan berbagai corak, bentuk, dan tujuan sebenarnya bukanlah hal yang baru di dalam sejarah agama-agama. Demikian juga gerakan keagamaan yang disebut “fundamentalisme”, yang kini ramai kembali diperbincangkan. Karen Amstrong, mantan biarawati Katolik Roma, dalam buku The Battle for God memperlihatkan bahwa gerakan keagamaan fundamentalisme memiliki akar historisnya sampai ke abad 14 M. Kini fundamentalisme telah menjadi istilah resmi dalam sosiologi (agama). Malah menurut Amstrong, fundamentalisme bukan sekadar jenis relijiusitas melainkan juga gerakan politik, karena memang mereka sangat politis (highly political) dan karena itu lebih merupakan fundamentalisme politik (political fundamentalism).

Memang tidak ada definisi baku yang disepakati bersama mengenai apa itu fundamentalisme. Kebanyakan orang Islam malah keberatan dengan istilah tersebut. Bukan saja karena gejala fundamentalisme memang lahir dari rahim peradaban Barat (Kristen), tapi lebih-lebih karena Barat menggunakan istilah itu untuk memojokkan kaum Muslim dan mengidentikkannya dengan kekerasan, teror, dsb. Baru belakangan istilah fundamentalisme banyak digunakan secara tanpa ragu-ragu oleh orang Islam. Misalnya Ahmad Sumargono menulis sebuah buku yang diberi judul Saya Muslim Fundamentalis. Konon tidak sedikit juga kaum muda Islam di kampus-kampus sekuler dengan bangga menyebut dirinya Muslim fundamentalis.

Secara definisi umum dapat dikatakan bahwa fundamentalisme merupakan suatu pola pikir yang menempatkan teks agama sebagai rujukan utama yang bersifat absolut dan final. Tidak hanya itu, perujukan tersebut juga dilakukan secara harfiah dan menerapkan pemahaman harfiah tersebut dalam realitas kekinian secara apa adanya tanpa mempertimbangkan dinamika dan perubahan.

Dengan kata lain, kaum fundamentalis mengabaikan konteks kekinian dan lebih cenderung menengok ke teks-teks masa lalu dengan cara baca yang literalis dan absolutis. Yang kemudian sering dianggap sebagai masalah oleh para penentang fundamentalisme adalah sikap absolutisme mereka itu. Mereka berupaya menerapkan hasil pembacaan harfiah atas teks-teks agama itu ke dalam seluruh aspek kehidupan dan menjadikan teks agama itu sebagai satu-satunya parameter fundamental bagi seluruh perilaku sosial, budaya, hukum, nilai, dan sebagainya tanpa mempertimbangkan konteks kekinian. Lebih dari itu, mereka juga menolak pandangan-pandangan lain di luar pemahaman mereka atas teks agama. Singkatnya, bagi mereka tidak ada pendapat si A, si B, dst, yang ada hanya “Allah berfirman” atau “Rasul bersabda”.

 

Identifikasi dengan Islam

 

Dalam konteks sejarah modern, gerakan fundamentalisme muncul kembali di Amerika Serikat setelah Perang Dunia I. Dan kaum Muslim, menurut Amstrong, merupakan kelompok terakhir dari ketiga agama Semitik (dua yang lainnya Kristen dan Yahudi) yang mengembangkan kesalihan fundamentalis, yakni pada dasawarsa 1960-an. Meskipun demikian, karena kaum Muslim di seluruh dunia jauh tertinggal dari segi penguasaan teknologi informasi oleh negara-negara Barat, maka citra kaum fundamentalis yang negatif lebih banyak diproyeksikan media massa Barat ke tubuh umat Islam. Akibatnya, fundamentalisme kini identik dengan Islam.

Celakanya lagi, fundamentalisme kini bukan lagi sekadar punya konotasi sebagai kesalehan yang militan sebagaimana menonjol pada abad 20 lalu. Tapi, lebih dari itu, fundamentalisme juga diidentikan dengan teror dan kekerasan. Alhasil, peristiwa seperti serangan terhadap gedung kembar WTC di New York dan Markas Pentagon di Washington DC pada 11 September 2001 lalu, yang meminta korban lebih dari 5000 nyawa manusia, langsung saja dialamatkan kepada fundamentalisme Islam. Maka beberapa saat setelah dunia menyaksikan kehancuran dua simbol adidaya Amerika tersebut, pers dan pemerintah Amerika langsung me-release nama-nama yang diduga kuat terlibat dalam serangan itu, yang semuanya adalah nama-nama Timur-Tengah dan Arab Muslim. Kaum fundamentalis Islam, demikian kalangan Barat menyebut, ingin menghancurkan Amerika dan Barat dengan menghalalkan segala cara.

Kebencian dan dendam klasik terhadap Islam pun kembali meruyak. Di berbagai wilayah Amerika Serikat orang-orang Islam menjadi korban serangan fisik dan teror. Di Australia, masjid-masjid orang Islam dilempari kotoran dan batu. Kaum Muslimah yang berjilbab mulai cemas untuk keluar rumah. Untungnya sikap antipati dan kebencian itu bukan sikap resmi pemerintah yang bersangkutan. George W. Bush,  misalnya, meskipun sempat keseleo lidah menyebut-nyebut istilah crusade (Perang Salib), mengatakan di depan kaum Muslim Amerika bahwa Islam bukanlah agama teror, melainkan agama perdamaian. Karena itu para teroris itu adalah para pembajak agama.

Episode berikutnya adalah kampanye Amerika Serikat memerangi terorisme. Korban pertama adalah rezim Taliban di Afganistan yang diserang AS karena dianggap melindungi Usamah bin Ladin. Dan lagi-lagi kaum fundamentalis Islam menjadi sorotan. Tuduhan terhadap organisasi al-Qaidah dan Usamah bin Ladin sebagai pelaku penyerangan berkembang menjadi tuduhan terhadap seluruh kaum Muslim yang mengeksperesikan sentimen anti-Amerika dan Barat yang dicap sebagai kaum fundamentalis yang harus diperangi. Bahkan kaum Muslim moderat yang mengutuk serangan AS ke Afganistan pun dituduh sebagai kaum fundamentalis.

Kutukan dan pencitraan negatif oleh kalangan Barat terhadap “Islam fundamentalis” tentu saja bukan hal baru, tapi telah berlangsung sangat lama. Bibit-bibitnya diwarisi dari Perang Salib. Kemudian pada masa modern dipupuk dan dikembangkan oleh kolonialisme Barat terhadap dunia Islam. Dunia Barat berobsesi menundukkan seluruh dunia Muslim untuk mendiktekan berbagai kepentingannya. Dan negara-negara Muslim yang menolak tunduk kepada mereka dianggap mengancam kepentingan Barat dan disebut kaum fundamentalis.

Fakta Pertahanan Atlantik Utara (Nato) pada tahun 1992 mensponsori suatu konferensi di Munich Jerman untuk menyorot gerakan fundamentalis Islam. Konferensi menghasilkan semacam kesepakatan bahwa Islam fundamentalis telah menjadi ancaman baru bagi Barat setelah ambruknya komunisme di bekas Uni Soviet dan negara-negara Eropa Timur. Konferensi itu sendiri diinspirasi oleh kemenangan partai fundamentalis FIS (Front Penyelamatan Islam) di Aljazair pada pemilu bebas putaran pertama untuk parlemen tahun 1991.

Kemenangan partai fundamentalis FIS itu rupanya sangat menghentakkan dunia Barat, betapa kekuatan Islam militan itu begitu nyata. Itulah sebabnya, pemerintah militer atas dorongan Barat (terutama dalam hal ini Prancis dan Amerika Serikat) kemudian membubarkan FIS. Padahal dunia menyaksikan bahwa pemilu itu berlangsung secara demokratis. Tapi begitulah. Yang menjadi tujuan utama kalangan Barat sebenarnya bukanlah demokrasi, melainkan apakah kepentingan mereka di Timur Tengah khususnya dan Dunia Islam umumnya aman ataukah terancam. Dalam pandangan mereka, kelompok fundamentalis semacam FIS ini akan membahayakan kepentingan mereka. Karena itu berbagai cara dilakukan untuk menyudutkan dan menghadangnya.

Salah satu cara untuk “menghabisi” kaum fundamentalis Islam adalah membuat buruk citra kaum fundamentalis, antara lain dengan perang opini di media massa. Simaklah berita dari kantor berita resmi Aljazair, APS menyangkut kekerasan yang dilakukan FIS, sbb: “ Dua wanita Aljazair digorok lehernya hingga putus setelah menolak lamaran dua pemuda fundamentalis untuk melakukan kawin kontrak.”

Masih sekitar FIS simak pula sajian berita ini: “Kebanyakan pembunuhan dalam 24 bulan terakhir dilakukan oleh kaum fundamentalis dan diarahkan terhadap golongan intelektual dan pejabat. Tindak kekerasan sudah melampaui tindak pembunuhan kaum intelektual dan sekular yang dianggap musuh fundamentalis, yang sudah merupakan tindakan rutin. Sekarang kekerasan itu sudah memilih sasaran lain seperti kereta api yang dibakar, bus, perusahaan pertanian, sekolah, hutan dan pembunuhan terhadap wanita terutama wanita yang tampil di depan umum tanpa kerudung”. (Dikutip dari Suara Pembaruan, 16 April 1994).

Begitulah citra yang dikembangkan media massa terhadap kaum fundamentalis. Apakah faktanya memang seperti itu, jelas tidak mudah untuk membuktikannya. Dan memang yang diinginkan oleh media dan kalangan Barat pun tampaknya bukan kebenaran faktanya melainkan citra yang ingin dikembangkannya. Itulah sebabnya studi Amstrong mengenai fundamentalisme cukup menyentak, lantaran dia mengambil posisi yang bersebrangan dengan kalangan Barat pada umumnya. Amstrong menggunakan pendekatan empati. Baginya, gejala fundamentalisme jauh lebih kompleks dari yang bisa digambarkan media dan kalangan Barat secara sepihak. Amstrong tampaknya ingin melihat gejala fundamentalisme secara apa adanya dan fakta-fakta berbicara sendiri tanpa dicampuri oleh prakonsepsi dan praasumsi subyektif.

 

Islam Liberal dan Fundamentalisme

 

Adakah fundamentalisme keagamaan (dan khususnya Islam) di Indonesia? Dr. Jalaluddin Rakhmat dalam diskusi di Paramadina akhir bulan Mei lalu menjawab positif pertanyaan itu. Katanya, Islam Fundamentalis di Indonesia berhadapan Islam Liberal. Dulu para sarjana membagi Islam di Indonesia secara politis ke dalam dua kategori, yaitu Islam tradisionalis dan Islam modernis. Saat ini menurut Kang Jalal (sapaan akrab Jalaluddin Rakhmat) pembagian seperti itu tidak fungsional lagi. Kini Islam fundamentalis berhadapan dengan Islam liberal. Di dalam kelompok Islam tradisionalis ada unsur-unsur liberal dan kaum fundamentalis sekaligus. Begitu juga di dalam kelompok Islam modernis terdapat baik unsur fundamentalis maupun liberalis.

Kaum fundamentalis mendefinisikan sistem politik Islam sebagai sistem politik yang ditegakkan di atas pelaksanaan syariat Islam, sementara itu kelompok Islam liberal menentang pemberlakuan secara resmi syariat Islam di tingkat negara mengingat komposisi masyarakat Indonesia yang plural. Kelompok Islam fundamentalis, menurut Kang Jalal, cenderung “syariah minded”, sementara kelompok Islam liberal tidak melihat Islam dari segi syariat melainkan dari nilai-nilai universal.

Kaum fundamentalis membagi dunia menjadi dua: yang ikut bersama kita termasuk kaum Mukmin dan yang menentang kita yang disebut kaum kafirin. Sementara itu bagi kelompok liberal, dunia ini tidak hanya terbagi dua tapi banyak. Dan semuanya harus diakui eksistensinya. Mereka [kaum liberalis] sangat mendukung demokrasi, yang salah satu pondasi utamanya adalah pengakuan terhadap pluralisme.

Menurut Amstrong, fundamentalisme lahir dari proses sosiologis dan historis yang sangat kompleks. Karena itu kelahirannya merupakan sesuatu yang wajar dan harus diterima. Mereka mempunyai andil yang tidak kecil dalam mempertahankan eksistensi agama. Mereka ingin mengembalikan agama dari posisi pinggiran—karena terdesak oleh arus modernisasi dan sekularisasi—ke posisi sentral.

Kita setuju dengan Amstrong bahwa fundamentalisme hanya merupakan salah satu dari pengalaman agama modern. Di dunia yang semakin plural seperti sekarang ini tidak ada alasan bagi kita untuk menolak kehadiran warga dunia yang berbeda dengan kita. Begitu juga “warga dunia” yang bernama kaum fundamentalis maupun kaum liberalis. Yang perlu kita upayakan bersama adalah menumbuhkan iklim dialogis sehingga wacana-wacana bisa berkembang secara wajar. Demokrasi merupakan tempat dimana berbagai aliran, kelompok, golongan, kaum, suku, dan sebagainya, bisa hidup bersama secara damai, saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Tidak ada satu kelompok pun di dunia ini yang paling berhak mengklaim merekalah yang paling benar. Mudah-mudahan itulah yang terjadi di negeri kita.