





Aku menulis, maka aku ada
Dalam irama puisi, getaran jiwa kami menyatu, tak terucap namun dipahami. Diungkap lewat puisi ulang tahun, Mas Gaus membalut perjalanan di Dieng menjadi inspirasi yang abadi.
Terima kasih untuk puisi indahnya, Mas Gaus Ahmad
FB Pamela Cardinale
Pada hari Rabu, 29 Maret 2023, buku terbaru saya “Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Bersama” didiskusikan di Rumi Cafe, Melawai, Jakarta Selatan. Acara diramaikan dengan pembacaan puisi dan tarian Sufi.
Kalau anda mau punya bukunya versi Pdf silakan isi kolom reply ya, for FREE
TASYAKURAN NATAL LINTAS AGAMA
Akhirnya, pecah juga telur itu. Jika selama ini terdapat pandangan umum bahwa umat Islam tidak boleh merayakan Natal, dan dalam kenyataannya memang belum pernah terjadi. Maka pada Senin 26 Desember 2022 lalu, pandangan itu GUGUR.
Ya, pada hari itu, para sahabat Caknurian mengadakan Tasyakuran Natal Lintas Agama di kediaman Ibu Omi Komaria Madjid (istri alm. Nurcholish Madjid atau Cak Nur).
Selaku Ketua Panitia, saya mengundang berbagai kalangan untuk hadir di acara ini. Bukan hanya teman-teman Katolik dan Protestan tapi juga Hindu, Konghucu, Bahai, Penghayat, dll. Saat sambutan, saya membuka acara dengan menyanyikan beberapa lagu rohani seperti Mari Berhimpun, Dari Pulau dan Benua (In Excelsis Deo). Teman-teman Kristiani langsung menyambut dengan menyanyikan bersama lagu-lagu itu. Tapi, yang saya takjub, kawan-kawan Muslim juga ikut menyanyikan lagu itu dan hapal pula liriknya.
Bagi saya ini adalah satu petunjuk bahwa jauh di lubuk hati kita, walaupun kita beda agama, sesungguhnya kita mudah tersentuh dengan hal-hal yang bersifat keruhanian. Agama kita berbeda, tapi kita bersama dalam dimensi spiritual, yakni bahwa Tuhan kita satu dan sama. Agama-agama hanya jalan, Tuhanlah yang menjadi tujuannya. Saya ingat kata-kata Cak Nur bahwa, agama-agama adalah satu, tapi namanya berbeda-beda, sebab semua agama berasal dari Tuhan yang Esa.
Berikut adalah kesaksian Pdt Rainy Hutabarat mengenai acara tsb, dan kebetulan beliau juga yang menyampaikan tausiyah hikmah Natal di hadapan kami, sekitar 70-an orang dari berbagai agama dan kepercayaan.
Selamat Natal untuk Langit dan Bumi, dan seluruh penghuninya…
Sumber FB saya:
https://www.facebook.com/photo/?fbid=10159606722922599&set=a.375767877598
Sahabat saya, Mohammad Shofan, hari ini berulang tahun. Saya mau memberi kado spesial berupa puisi. Tapi saya mau cerita dulu mengenai manusia unik ini.
Saya teringat pertama kali bertemu Shofan tahun 2007 di kantor Mas Dawam (alm. Prof Dawam Rahardjo), di Empang Tiga, Ps Minggu. Waktu itu Shofan baru saja dipecat dari pekerjaannya sebagai dosen di sebuah universitas Islam di Jawa Timur. Itu gara-gara Shofan menulis artikel di media massa tentang bolehnya kaum Muslim mengucapkan selamat Natal.
Otoritas kampus tidak bisa menerima pandangan semacam itu. Mengucapkan selamat Natal itu haram. Titik. Akibatnya, Shofan kehilangan pekerjaan, sedangkan dia harus menafkahi keluarganya. Berita itu tersebar luas, dan artikelnya sendiri menjadi kontroversi. Bahkan menjadi topik bahasan oleh intelektual muda Muhammadiyah, Pradana Boy dalam tesis yang berjudul “In Defence of Pure Islam: The Conservative-Progressive Debate Within Muhammadiyah.”
Mendengar berita pemecatan itu, seorang aktivis dialog antariman, Dr. Budhy Munawar Rachman , membawa Shofan ke Jakarta bertemu Mas Dawam, seorang pembela kebebasan beragama yang sangat militan. Budhy dan Mas Dawam mencarikan pekerjaan baru untuk Shofan di Jakarta. Bukan hanya itu, Mas Dawam juga menulis sebuah artikel panjang sebagai pembelaan terhadap Shofan dengan judul: Membaca Shofan, Membaca Masa Depan Muhammadiyah.
Di bawah asuhan Mas Dawam, Shofan semakin percaya diri mengembangkan pandangan-pandangannya seputar pluralisme dan kebebasan beragama yang dipublikasikan di media massa seperti Kompas, Tempo, Jakarta Post, dll. Salah satu bukunya Pluralisme Menyelamatkan Agama-Agama, termasuk karya yang dianggap sesat oleh banyak kalangan. Dia pun dicekal di banyak forum. Tapi dia santai saja. Dia belajar dari orang-orang yang dianggap sebagai gurunya seperti Buya Syafii, Gus Dur, Cak Nur, dan Dawam sendiri. Mereka ini sudah kenyang dengan tuduhan-tuduhan semacam itu. Tapi rileks saja.
Saat ini Shofan menjabat sebagai direktur program Maarif Institute, sebuah lembaga prestisius di lingkungan Muhammadiyah, yang didirikan oleh alm Buya Syafii Maarif.
Kegiatannya akhir-akhir ini antara lain membuat podcast mengenai isu-isu kontemporer dengan narasumber tokoh-tokoh pluralis-humanis seperti Najib Burhani , Ulil Abshar Abdalla , Mediaa Zainul Bahri , Martin L Sinaga , Luthfi Idetopia Albertus Patty , Siti Ruhaini, dan lain-lain termasuk saya sendiri. Shofan kini juga kandidat doktor bidang pemikiran Islam di UIN Jakarta. Semoga cepat selesai.
Itu satu cerita. Cerita lainnya soal musik. Saya baru tahu belakangan bahwa Shofan adalah penggemar fanatik Rhoma Irama. Bahkan ia juga yang menulis biografi Rhoma Irama. Dia sering diomeli bang Rhoma karena dianggap liberal. Tapi mereka berteman baik.
Suatu hari kami berada di Ambon untuk pertemuan lintas agama. Pada sore hari di sela-sela acara kami dibawa oleh Dr. Abidin Wakano ke Kafe Hatukau di pinggir pantai. Sambil menunggu matahari terbenam di teluk Ambon, kami menikmati kopi dan pisang keju. Malam harinya ada live music yang saat itu hanya menyajikan lagu-lagu dangdut. Tiba-tiba saja Shofan naik ke panggung dan membawakan lagu Rhoma Irama, saya lupa judulnya. Para pengunjung berdecak kagum karena suara dan gayanya benar-benar mirip Rhoma Irama. Tepuk tangan pun bergemuruh.
Tidak mau kalah, Dr. Abidin Wakano naik ke pentas juga menyanyikan lagu, kalau tidak salah judulnya Hilang Tak Berkesan, dari Mashabi. Tapi suaranya lebih mirip suara Broery Marantika. Teman saya yang lain, Irfan Abubakar tidak bisa menyanyi dangdut, padahal dia pengagum berat Nita Talia dan Lilis Karlina. Tapi karena dipaksa akhirnya dia menyanyi juga, membawakan lagu Judika.
Saya sendiri waktu diminta tampil untuk menyanyi lagu dangdut sempat ragu, maklum saya hanya terbiasa dengan lagu-lagu Metallica, Scorpions, Nirvana, dan Nining Meida. Tapi karena dipaksa akhirnya saya nyanyi juga membawakan lagu Tanamor dari Muchsin Alatas. Irfan terkejut melihat saya bisa menyanyi, apalagi saya hapal lagu itu. Teman- teman yang lain seperti Kee Enal dan Muchtadlirin seingat saya hanya jadi penonton
Kembali ke Shofan. Saya bilang kepada dia bahwa sebelum diislamkan oleh Rhoma Irama, musik dangdut dinikmati oleh semua orang. Setelah diberi label, ia menjadi terbatas. Bagaimana penjelasanmu? Tanya saya. Sampai sekarang Shofan belum menjawab pertanyaan saya itu.
Selamat ulang tahun, Shofan.
Ciputat, 23 November 2022
Ahmad Gaus
Perayaan ulang tahun Prof Komaruddin Hidayat, Rektor UIII, di kediamannya di Ciputat, Tangsel, 23 Oktober 2022. Dan seperti biasa, saya kebagian tugas menulis dan membaca puisi 🙂
Kali ini saya membaca puisi berduet dengan Ibu dr. CSP Wekadigunawan, PhD.
Menjenguk Budhy Munawar-Rachman
Bersama kawan-kawan dari berbagai kampus dan LSM menjenguk Dr. Budhy Munawar-Rachman, dosen filsafat STF Driyarkara, Jakarta, dan pegiat dialog antariman. Budhy terjatuh di satu ruas jalan di Kupang pekan lalu. Ia mengalami patah tulang belakang, dan sudah menjalani operasi, Saat ini sudah ada di rumah, di kawasan Bintaro, Tangsel.
Untuk menghibur Budhy, saya menulis puisi dan dibacakan oleh Ibu dokter CSP Wekadigunawan, PhD.
Berikut puisinya:
|