NOBEL SASTRA UNTUK DENNY JA ?

Kawan saya, Denny JA sudah resmi menjadi salah satu kanditat dalam ajang penghargaan sastra paling bergengsi di dunia yakni Penghargaan Nobel (Nobel Prize) yang bermarkas di Swedia. Para pemenang biasanya diumumkan di akhir tahun.

Adalah Komunitas Puisi Esai Asean (KPEA) yang mendaftarkan nama Denny JA ke Swedish Academy, panitia Nobel bidang sastra. KPEA adalah komunitas sastra terbesar di dunia. Karena itu, wajar saja kalau mereka berkepentijngan akan lahirnya pemenang penghargaan Nobel Sastra dari kawasan Asia Tenggara, yang sejauh ini memang belum pernah ada. Padahal penghargaan Nobel sudah berusia 120 tahun.

Salah satu kriteria Nobel ialah bahwa kandidat haruslah seorang inovator atau pembaharu di bidangnya. Dalam hal ini saya kira Denny JA sudah cukup mumpuni. Ia merintis apa yang disebut Puisi Esai. Berbeda dengan puisi lain, puisi esai ditulis berdasarkan fakta yang berdenyut dalam dinamika sosial dan sejarah. Ditulis panjang berbabak, tokoh-tokoh dalam puisi esai adalah manusia kongkret. Di tangan Denny JA, puisi menjadi media untuk menyuarakan isu-isu kemanusiaan seperti diskriminasi dan hak asasi manusia. Visinya ialah kesetaraan umat manusia. Puisi esai juga menjadi sastra diplomasi yang melibatkan sastrawan-sastrawan besar dari negeri-negeri jiran Malaysia, Singapura, Brunei, dan Thailand. Di kalangan mereka, Denny JA disebut sebagai Bapak Puisi Esai. Dalam sepuluh tahun terakhir sudah terbit 150 buku puisi esai yang merekam dinamika dan isu-isu sosial dari 34 provinsi, termasuk buku-buku puisi esai dari negeri-negeri jiran di atas.

Beberapa tahun lalu, sebelum pandemi, saya sempat bertemu dan mengobrol dengan Denny, Elza, Jonminofri, Satrio, dll, di acara ulang tahun seorang teman. Di situ Denny sempat menanyakan perihal kriteria penghargaan Nobel Sastra. Jonminofri selaku wartawan senior menjelaskan prosedurnya, antara lain mendaftarkan atau didaftarkan oleh pihak lain. Karena tidak mungkin panitia mencari sendiri kandidat dari ribuan sastrawan di muka bumi.

Elza dan Satrio menambahkan bahwa karya-karya yang diajukan harus sudah dalam bahasa Inggris. Saya, karena awam dalam soal tersebut, hanya bilang bahwa kalau ingin mencapai kejayaan maka harus sering-sering puasa Nabi Daud. 😄

Setelah itu saya tidak pernah bertemu dia lagi. Tiba-tiba, akhir tahun lalu, ramai pemberitaan mengenai Denny JA kandidat Nobel Sastra. Saya pun mengecek. Ternyata benar, karya-karyanya sekitar 300-an sudah tersedia dalam bahasa Inggris. Dan nama Denny JA sudah didaftarkan oleh KPEA.
Kontroversi pun merebak, disertai sinisme dan caci maki.

Tapi saya sudah lama mengenal Denny. Dia bukan tipe orang yang gentar dengan polemik dan kritik. Dia putra Palembang yang mewarisi darah Sriwijaya yang bergolak di laut Karimata dan Melaka. Dia hanya fokus pada tujuan besarnya. Bahkan ada kesan, dia menikmati hujatan dan sumpah serapah yang ditujukan pada dirinya. Semakin dicecar semakin berkibar. Dia berpegang pada kata-kata “To avoid criticism say nothing, do nothing, and be nothing”. Dan dia menolak menjadi nothing.

Lagi pula, dalam kasus Nobel Sastra, banyak pemenangnya yang dihujat dan dianggap tidak pantas seperti belum lama ini dialami oleh Bob Dylan (Amerika Serikat), Abdulrazak Gumah (Tanzania), dll. Tokh mereka jalan saja. Dan dunia tetap berputar..

Saya senang mendengar cerita dari Elza bahwa Denny belakangan rajin melakoni puasa Nabi Daud. Alhamdulillah. Usaha sudah dilakukan, doa dipanjatkan, dan nama sudah didaftarkan. Soal kalah menang itu urusan belakangan. Yang penting ikut berlomba dulu. Sebab, hidup yang berguna memang harus diperjuangkan. Tidak ada makan siang yang gratis, bukan?

Hari ini Denny JA berulang tahun. Sebagai kawan saya berdoa semoga ia selalu dianugerahi kesehatan, keberkahan, dan panjang umur. Dan semoga apa yang dicita-citakan tercatat di lauhil mahfudz dan beroleh ridho dari Allah SWT. Puisi ultahnya saya posting ulang dari tahun lalu karena masih relevan. 😆

Jakarta, 4 Januari 2022
Ahmad Gaus

 

 

Leave a Comment