Kebutuhan Pada Teologi Baru

Oleh Ahmad Gaus

Indonesia dikenal sebagai daerah pinggiran Islam, artinya sangat jauh dari Arab sebagai pusat Islam. Namun demikian, berbagai percobaan untuk mempraktekkan Islam yang dianggap otentik di tanah air ini tidak kalah dengan di negeri-negeri Islam lainnya. Salah satu percobaan itu misalnya adalah di bidang teologi. Boleh dibilang bahwa pengalaman kaum Muslim di sini dalam berteologi punya akar sejarah yang cukup jauh. Bahkan bisa diklaim bahwa trend kemunculan berbagai gerakan keagamaan di tanah air belakangan ini memiliki sangkut pangkut dengan pengalaman di masa lalu, disadari ataupun tidak. Misalnya saja yang paling populer belakang ini adalah gerakan jihad.

Seruan untuk berperang atau berjihad (dari mulai di Maluku, Poso, sampai ke Afghanistan dan Palestina sekarang ini) yang disuarakan oleh kalangan kaum Muslim tertentu akhir-akhir ini bukan saja dianggap merupakan solusi politik dalam merespon berbagai permasalahan yang ada tapi juga merupakan sikap teologis. Dengan kata lain, mereka berkeyakinan bahwa tindakannya tersebut memiliki landasan pembenaran dalam al-Quran maupun hadis. Dan oleh karena itu, mereka juga tidak perlu peduli dengan kaum Muslim lain yang tidak sepaham terhadap sikap mereka.

Perbedaan dalam teologi adalah sesuatu yang niscaya. Yang lebih penting lagi, seperti telah disinggung di atas, mereka bukan hanya punya legitimasi teologis tapi juga historis. Kita bisa menyebut beberapa contoh di sini. Syekh Abdus Shamad al-Palimbangi pada abad ke-18 misalnya pernah mengembangkan teologi jihad yang sasarannya tidak lain adalah penjajah Belanda yang kala itu dianggap telah mengancam eksistensi kaum Muslim. Begitu juga Pangeran Diponegoro yang menyerukan perang melawan Belanda, ia melakukannya dengan semangat jihad dengan mencari pembenaran pada al-Quran dan hadis.

Pendek kata, secara umum apa yang diperlihatkan kaum Muslim dalam mengusir penjajahan di masa lalu, dari Perang Aceh sampai Perang Surabaya, tidak lain merupakan pelaksanaan teologi jihad. Dan teologi jihad itu akan terus dikobarkan oleh kaum Muslim, sepanjang mereka melihat ada ancaman terhadap eksistensi Islam dan kaum Muslim. Itulah yang kita lihat dalam kasus Ambon [Maluku], Poso, sampai ke Afghanistan dan Palestina. Oleh karena itu akan sia-sia mengharapkan gerakan-gerakan jihad yang banyak bermunculan sekarang ini akan hilang selama akar-akar persoalan yang menjadi pemicu kemunculannya tidak berusaha dilenyapkan dari muka bumi.

***

Selain gerakan jihad, salah satu gerakan keagamaan yang juga cukup populer dan banyak digandrungi sekarang ini adalah gerakan spiritualitas Islam dalam bentuk tasawuf ataupun tarekat. Gerakan tarekat ataupun tasawuf kini sebenarnya belum bisa disebut sebagai “gerakan” dalam arti sebuah mobilisasi massa untuk tujuan sosial atau politik tertentu. Kendati diklaim bahwa para pengikut tasawuf atau tarekat kini terdiri dari lapisan orang-orang berada di kota, dan konon juga anak-anak muda terpelajar [mahasiswa], namun tidak ada bukti bahwa komunitas keagamaan ini terlibat dalam berbagai gerakan menumbangkan rezim otoriter Orde Baru, misalnya. Bahkan juga sulit didapatkan informasi bagaimana gerakan-gerakan keagaman seperti tasawuf yang kini telah menjadi trend keberagamaan orang-orang kaya ini akan ikut memecahkan persoalan kemiskinan, pengangguran, dan masalah-masalah sosial lainnya.

Itulah sebabnya selalu saja muncul pandangan yang kurang positif terhadap gerakan semacam ini. Misalnya saja dikatakan bahwa tasawuf—untuk kasus di perkotaan (urban sufism)—itu tidak lain hanya suatu bentuk pelarian spiritual orang-orang yang sudah mabuk materi. Sedangkan untuk kasus di pedesaan disinyalir bahwa tasawuf hanya semacam penawar dahaga bagi orang-orang Islam yang miskin yang tidak bisa meningkatkan harkat dan kesejahteraan hidupnya secara materil. Dengan bertasawuf mereka diajarkan untuk hidup sederhana dan tidak rakus pada dunia, karena hidup di dunia ini hanya sementara, kesenangan dan kebahagiaan yang abadi adalah nanti di akhirat. Harta atau pemilikan materi di dunia dinilai negatif, sebagai beban yang akan memberatkan kita di akhirat. Oleh karena itu hidup miskin tanpa harta benda akan lebih baik karena bebannya menjadi ringan.

***

Kritik terhadap tasawuf sebagaimana dilancarkan oleh Hassan Hanafi lebih terasa pedas lagi dikaitkan dengan doktrin Asy’ariyah. Sebagaimana diketahui teologi Asyariah merupakan teologi yang paling berpengaruh di Indonesia. Ia merupakan antitesa terhadap teologi Muktazilah yang lebih menekankan rasionalitas atau keunggulan nalar manusia, sementara itu teologi Asy’ariyah lebih mengedepankan dimensi takdir Tuhan yang mempengaruhi nasib dan hidup manusia di muka bumi. Manusia tidak dapat berbuat atau mendapatkan lebih dari yang telah digariskan oleh Tuhan. Pendeknya manusia harus tunduk pada kehendak Tuhan. Itulah sebabnya teologi Asyariyah ini dikenal dengan teologi predestinasi—predestination yang berarti takdir. Teologi inilah yang tumbuh subur di sini sejak agama Islam itu sendiri menyebar di nusantara ini pada abad ke-12. Kemudian semakin memapankan dirinya pada abad-abad 17 dan 18 dengan semakin banyaknya para ulama yang kembali dari menuntut ilmu di Makkah dan Madinah dan mengajarkan Islam versi Asy’ariyah ini.

Teologi Asyariyah yang cenderung fatalistik (menyerah pada nasib) yang berkolaborasi dengan doktrin sufisme yang menganjurkan uzlah (menarik diri dari kehidupan dunia) merupakan perpaduan yang sangat serasi. Artinya, jika seorang penganut Asy’ariyah adalah juga seorang praktisi tasawuf, maka ia adalah seorang fatalistik yang anti-dunia. Perpaduan inilah yang dikritik antara lain oleh Hassan Hanafi tadi. Tapi kritik yang lebih konstruktif barangkali berasal dari tokoh-tokoh seperti Hamka yang menganjurkan tasawuf modern, yakni tasawuf yang tetap terlibat dan tidak anti dengan urusan dunia, atau Fazlur Rahman yang mempopulerkan neosufisme. Seperti halnya tasawuf modern, neosufisme mengajurkan pola hidup bertasawuf yang tetap berpegang pada syariah. Disamping itu juga tetap terlibat dalam hidup bermasyarakat.

Sementara itu dari sisi teologinya, kritik terhadap teologi Asyariyah juga sudah banyak dilakukan. Langsung ataupun tidak, para pemrakarsa teologi pembangunan pada dekade 1970-an dan 80-an dulu adalah mereka yang risau dengan teologi fatalistik ala Asyariyah. Maka mereka—seperti Harun Nasution, Nurcholish madjid, dll—menganjurkan suatu jenis teologi yang mendorong kaum Muslim untuk bangkit dari keterpurukan dan menyadari bahwa agama mereka sebenarnya menginginkan mereka hidup sejahtera. Pembangunan atau modernisasi harus diterima sebagai keharusan sejarah, dan karena itu kaum Muslim tidak punya pilihan lain kecuali terlibat secara aktif di dalamnya. Dalam konteks ini Nurcholish Madjid terkenal dengan ide-idenya seperti pembaruan pemikiran Islam, sikap terbuka terhadap modernitas, gagasan kemajuan (the idea of progress), dan lain-lain. Sementara itu Harun Nasution terkenal dengan kritiknya bahwa teologi Asyariyah tidak cocok dengan pembangunan. Teologi yang cocok dengan semangat pembangunan menurutnya adalah teologi Muktazilah yang rasional.

***

Dapat dikatakan bahwa pergulatan teologi bukanlah sesuatu yang asing bagi kaum Muslim di Indonesia. Terutama sejak dicapainya kemerdekaan pada 1945, umat Islam Indonesia termasuk yang paling produktif dalam hal pengalaman teologi. Persoalan pasca kemerdekaan sudah jauh berubah dengan masa sebelumnya, masa perang yang lebih menguras semangat bertempur (teologi jihad). Persoalan kini adalah masalah bagaimana membangun bangsa dan rakyat Indonesia. Dari sinilah kalangan agamamawan terlibat dalam menyodorkan nilai-nilai keagamaan yang kompatibel bagi cita-cita kemajuan bersama itu. Maka, teologi pun senantiasa diberi konteks yang baru.

Bahkan di masa-masa awal kemerdekaan, kaum Muslim harus berjuang untuk merumuskan suatu teologi yang bisa diterima semua kalangan. Keharusan untuk menerima keragaman atau pluralitas sebagai kenyataan bangsa ini menyebabkan kaum Muslim menghentikan hasrat membentuk negara Islam. Bahkan mereka juga rela menghapuskan tujuh kata dalam klausul Piagam Jakarta yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban melaksanakan ajaran Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Hal itu dilakukan untuk menjaga keutuhan republik Indonesia yang baru saja diproklamirkan.

Dengan kata lain, kaum Muslim ternyata lebih mendahulukan kepentingan bangsa dan negara ketimbang mendahulukan kepentingan golongan Islam. Inilah teologi kebangsaan yang disumbangkan kaum Muslim untuk bangsa ini. karena itu sekarang ini, setiap kali kita mendengar kontroversi mengenai negara Islam atau Piagam Jakarta, maka teologi kebangsaan itu senantiasa dijadikan rujukan.

Melompat agak jauh, dasawarsa 1970-an merupakan masa-masa yang paling produktif dalam berteologi. Selain teologi pembangunan atau modernisasi seperti yang telah disebutkan, ada banyak jenis teologi yang dkembangkan oleh kaum Muslim dalam merespon pembangunan sebagai arus utama pada dasawarsa tersebut. Salah satu yang cukup menonjol adalah teologi yang kemudian menjadi gerakan, yakni fundamentalisme. Inilah gerakan teologi dan kritik yang paling keras terhadap ideologi dan praktek pembangunan yang dianggap menggerogoti nilai-nilai Islam.

Seruan utama teologi ini adalah kembali kepada Islam murni yakni Islam sebagaimana dipraktekkan pada zaman Nabi dan para sahabat. Bertolakbelakang dengan ide-ide sekularisasi yang didengungkan oleh para protagonis teologi pembangunan, para pendukung teologi fundamentalisme justru menyerukan Islamisasi. Teologi dan gerakan fundamentalisme ini memperolah sokongan dari kalangan mahasiswa terutama di kampus-kampus “sekuler”.

Hampir menyerupai teologi fundamentalisme, teologi neotradisionalisme juga mengangkat isu dan keprihatinan yang sama. Yakni, bahwa proses pembangunan atau modernisasi telah menelantarkan sisi spiritualitas manusia dan masyarakat, untuk sekadar menjadi hamba-hamba kapitalisme. Karena itu, seruan mereka adalah kembali kepada warisan spiritual Islam, terutama dalam hal ini, tasawuf. Teologi ini menerima dan sangat menghargai seluruh warisan tradisinal Islam. Tokoh utama teologi ini adalah Seyyed Hosein Nasr.

Tentu, selain yang telah disebutkan itu, masih banyak varian teologi yang berkembang atau dikembangkan dan dianut komunitas-komunitas kecil maupun besar. Tidak mungkin semuanya kita kemukakan di sini. Yang jelas, teologi lahir dari situasi tertentu, tantangan tertentu, atau kebutuhan tertentu. Karena itu tugas berteologi sesungguhnya tidak pernah selesai. Kini ketika bangsa kita menapaki abad baru, abad 21, kita berhadapan dengan masalah baru dan tantangan-tantangan baru.

Oleh karena itu kaum Muslim sebagai penduduk terbesar di negeri ini kembali dituntut untuk menyumbangkan pikiran-pikiran terbaiknya dalam berbagai bidang. Kita memerlukan lahirnya teologi baru yang akan menghentakkan kesadaran kita tentang tugas masa depan. Seperti apa teologi baru itu? Mari kita pikirkan bersama!!

Panjimas, Maret 2001

Leave a Comment

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s