Kerukunan dan Toleransi Itu Beda, Son

berkaca-dari-toleransi-lintas-agama-di-bali_m_124308 

Kerukunan dan Toleransi Itu Beda, Son

Pada momen lebaran tempo hari kita melihat banyak spanduk bertebaran yang bertuliskan ucapan selamat Idul Fitri dari umat non-Muslim. Ada yang dari lembaga atau ormas keagamaan, ada juga yang dari individu tokoh. Ada yang dipasang di pinggir jalan, ada juga yang dipasang di pintu gerbang gereja, vihara, lembaga keagamaan, dsb.

Sebaliknya, jarang sekali, atau mungkin tidak pernah ada ucapan serupa dari umat Islam terhadap umat lain pada momen perayaan hari besar mereka seperti Natal, Waisak, Galungan, dsb. Apalagi dipasang di masjid, misalnya, waahh.. bisa jadi masalah besar, Son. Padahal di negara-negara Islam di Timur-Tengah kaum muslim bikin spanduk ucapan seperti Selamat Natal itu sudah lumrah. Biasa saja. Tidak ribut haram, atau auto-murtad. Mungkin umat Islam di Indonesia lebih relijiyes kali ya, Son, hehe…

Bagaimana kaum muslim menunjukkan kerukunannya dengan umat lain? Ini ada sedikit cerita, Son. Masih seputar lebaran. Setiap hari raya Idul Fitri kita sering disuguhi foto atau video orang-orang Islam yang bersalaman dengan non-Muslim, atau orang non-Muslim bersilaturahmi ke rumah orang Islam, mencicipi ketupat lebaran dan opor ayam sambil mengobrol bersama. Lalu foto atau video itu diposting di media sosial dan diberi keterangan: “Inilah bukti toleransi agama di Indonesia”; atau, “Indahnya toleransi agama”; dan kalimat-kalimat sejenis itu yang melambungkan romantisme kehidupan beragama di negeri kita.

Padahal, senyatanya, hubungan antaragama di negeri kita tidak selezat ketupat lebaran dan opor ayam. Di depan mata kita masih ada orang gemar bikin keributan sambil meneriakan takbir, mengintimidasi orang yang berbeda pandangan, menutup rumah ibadah agama lain, mengusir orang satu kampung karena beda aliran agama — rumah mereka dibakar, harta mereka dijarah karena dianggap harta ghanimah, menyebarkan ujaran kebencian sambil mengutip ayat-ayat suci, dst.

banner--penolakan--alihfungsi-haris-gunawan-tirto-1

Alih-alih lezat seperti ketupat dan opor ayam, kehidupan beragama kita akhir-akhir ini justru sangat getir. Ada sebuah film anak (Naura & Genk Juara) yang dipaksa untuk ditarik dari peredaran hanya karena si penjahat dalam film itu berjenggot dan mengucap istigfar. Ada seruan pemerintah untuk beribadah di rumah saja selama Covid-19 dan jangan ke masjid. Larangan pemerintah itu dianggap anti-Islam, rezim sekular, antek Yahudi. Dalam skala yang lebih luas lagi, ada orang-orang yang menyebut pemilu dan pilpres yang lalu sebagai perang badar, perang antara orang Islam melawan kaum musyrik. Akibatnya suasana pemilu/pilpres waktu itu menjadi menjadi sangat panas karena diwarnai sentimen agama. 

nauradovwm7zu8aatri8

Orang-orang yang menunjukkan perilaku taat beragama akhir-akhir ini juga sangat mudah tersinggung dan gemar menggerakkan massa. Misalnya saja ada orang yang mengeluh soal berisiknya suara load speaker masjid. Langsung disikapi secara emosional, dianggap bahwa itu penodaan agama dan dimejahijaukan. Mengeluh menjadi tindakan pidana. Ada anjing dibawa masuk masjid, langsung dianggap penghinaan dan ajakan untuk perang. Padahal masalahnya bisa sangat sepele, misalnya si pembawa itu tidak tahu bahwa anjing oleh orang Islam dianggap binatang najis, walaupun pemiliknya mengganggap itu hewan kesayangan.

maxresdefault0

uJdB1rExoFQzb_GQ

Itulah senyatanya gambaran kehidupan beragama di tengah masyarakat kita akhir-akhir ini. Lalu kenyataan itu hendak ditutupi oleh foto orang Islam dan non-Islam makan ketupat lebaran bersama dan diberi keterangan “Indahnya toleransi agama di Indonesia.” Helooow…

Toleransi Membutuhkan Pengorbanan

Apa yang hendak dikatakan oleh foto/video semacam itu sebenarnya adalah gambaran kerukunan belaka. Bukan toleransi. Keduanya jelas berbeda. Sebab, toleransi men-syarat-kan anda untuk merelakan sesuatu yang anda tidak suka dilakukan oleh orang lain. Dan anda menerimanya dengan lapang dada. Itulah toleransi. Jadi misalnya di lingkungan anda mayoritas warganya Kristen, lalu ada warga Muslim yang mengadakan pengajian di rumahnya dengan memanggil banyak jamaah dan ustadz dari luar. Secara subjektif anda tidak suka, tapi anda merelakannya, anda mentolerir acara itu. Itulah toleransi. Coba aja periksa kamus, Cambridge, misalnya mendefinisikan toleransi sebagai:  Willingness to accept behavior and beliefs that are different from your own, although you might not agree with or approve of them: (https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/tolerance).   

Toleransi yang lebih tinggi lagi nilainya ketika anda bukan hanya mengizinkan acara-acara seperti di atas itu, tapi juga ikut mengamankannya, bahkan memberi sumbangan demi kelancaran acara tersebut. Itu kalau kamu punya uang, Son, hehe..

warga-muslim-di-desa-pakistan-ramai-ramai-iuran-bangun-gereja
Seorang muslim ikut membangun gereja di Pakistan. https://www.merdeka.com/dunia/warga-muslim-di-desa-pakistan-ramai-ramai-iuran-bangun-gereja.html

Begitulah persektif toleransi yang benar. Jadi memang berbeda dengan kerukunan. Makan ketupat bersama orang yang berbeda agama itu hanya kerukunan hidup biasa saja. Sama sekali tidak membutuhkan pengorbanan. Hal ini berbeda dengan toleransi yang membutuhkan pengorbanan. Kalau anda mengizinkan pendirian rumah ibadah yang berbeda agama di lingkungan anda, itu baru toleransi. Anda berkorban untuk itu. 

Maka penggambaran makan ketupat lebaran beda agama sebagai potret toleransi adalah sebentuk kesalahan berpikir yang menyesatkan. Bahkan bisa berbahaya karena menutupi kenyataan yang sebenarnya. Tapi sebagai gambaran kerukunan itu benar. Karena memang sejatinya begitulah masyarakat kita. Beda agama, suku, budaya, tidak pernah menjadi masalah karena masyarakat kita sudah hidup dalam perbedaan semacam itu ratusan bahkan ribuan tahun lamanya.

Para-jemaah-muslim-yang-turut-membantu-membangun-gereja
– Umat Islam di Alor, NTT, membangun gereja – https://www.boombastis.com/umat-islam-bantu-bangun-gereja/255663

Masalahnya adalah, ada faktor-faktor yang menghalangi transformasi dari kerukunan ke toleransi, sehingga hubungan antaragama dalam masyarakat cenderung stagnan, dan hanya berputar-putar di wilayah permukaan.  Artinya, di permukaan umat beragama tampak rukun, ditandai dengan makan ketupat lebaran atau opor ayam bersama. Tapi begitu dihadapkan pada persoalan seperti pembangunan rumah ibadah, bangunan kerukunan itu bisa langsung roboh dalam sekejap.

GUuqCNqimzUYoUs-800x450-noPad

index3

Faktor-faktor yang saya maksud  di atas, yang menghalangi transformasi dari kerukunan ke toleransi, di antaranya adalah menguatnya kelompok-kelompok pengusung ideologi islamisme yang tidak menghendaki hubungan antaragama yang intim karena dianggap membahayakan akidah, karena yang lain dianggap kafir. Selain itu juga ada faksi-faksi keagamaan yang terus menerus memainkan isu agama untuk kepentingan politik kekuasaan.  Dengan menyulut sentimen kebencian dan permusuhan antaragama, kelompok dan faksi-faksi semacam ini terus eksis dan mendapat dukungan massa.

Percayalah bahwa sejatinya tanah air kita ini bukan lahan yang subur bagi intoleransi agama. Secara spiritual, radikalisme agama pun tidak akan mendapat tempat untuk tumbuh di negeri yang kaya sekali dengan tradisi spiritualitas ini. Tapi memang, seperti  buah naga  yang tidak bisa tumbuh di tanah dengan kadar keasaman  pH 4, maka pH nya dinaikkan menjadi 7. Begitu pula di negeri kita akhir-akhir ini, ada yang terus menerus berusaha menaikkan kadar pH tanahnya agar dapat menjadi lahan subur bagi tumbuhnya intoleransi dan radikalisme.

Perlu edukasi yang lebih luas dan massif kepada umat beragama bahwa mereka bisa hidup dalam suasana yang lebih dari sekadar rukun tapi juga toleran.  Kehidupan toleransi akan melahirkan suasana yang lebih kondusif bagi perdamaian. Dan toleransi yang dimaksud di sini bukan makan ketupat bersama beda agama di hari raya lebaran. Bukan itu. Paham ora kamu, Son? :)))

 

Baca juga:

Isu dan Kasus Toleransi Agama di Indonesia

Para Penjahat Atas Nama Tuhan

 

Leave a Comment