Kerukunan dan Toleransi Itu Beda, Son

berkaca-dari-toleransi-lintas-agama-di-bali_m_124308 

Kerukunan dan Toleransi Itu Beda, Son

Pada momen lebaran tempo hari kita melihat banyak spanduk bertebaran yang bertuliskan ucapan selamat Idul Fitri dari umat non-Muslim. Ada yang dari lembaga atau ormas keagamaan, ada juga yang dari individu tokoh. Ada yang dipasang di pinggir jalan, ada juga yang dipasang di pintu gerbang gereja, vihara, lembaga keagamaan, dsb.

Sebaliknya, jarang sekali, atau mungkin tidak pernah ada ucapan serupa dari umat Islam terhadap umat lain pada momen perayaan hari besar mereka seperti Natal, Waisak, Galungan, dsb. Apalagi dipasang di masjid, misalnya, waahh.. bisa jadi masalah besar, Son. Padahal di negara-negara Islam di Timur-Tengah kaum muslim bikin spanduk ucapan seperti Selamat Natal itu sudah lumrah. Biasa saja. Tidak ribut haram, atau auto-murtad. Mungkin umat Islam di Indonesia lebih relijiyes kali ya, Son, hehe…

Bagaimana kaum muslim menunjukkan kerukunannya dengan umat lain? Ini ada sedikit cerita, Son. Masih seputar lebaran. Setiap hari raya Idul Fitri kita sering disuguhi foto atau video orang-orang Islam yang bersalaman dengan non-Muslim, atau orang non-Muslim bersilaturahmi ke rumah orang Islam, mencicipi ketupat lebaran dan opor ayam sambil mengobrol bersama. Lalu foto atau video itu diposting di media sosial dan diberi keterangan: “Inilah bukti toleransi agama di Indonesia”; atau, “Indahnya toleransi agama”; dan kalimat-kalimat sejenis itu yang melambungkan romantisme kehidupan beragama di negeri kita.

Padahal, senyatanya, hubungan antaragama di negeri kita tidak selezat ketupat lebaran dan opor ayam. Di depan mata kita masih ada orang gemar bikin keributan sambil meneriakan takbir, mengintimidasi orang yang berbeda pandangan, menutup rumah ibadah agama lain, mengusir orang satu kampung karena beda aliran agama — rumah mereka dibakar, harta mereka dijarah karena dianggap harta ghanimah, menyebarkan ujaran kebencian sambil mengutip ayat-ayat suci, dst.

banner--penolakan--alihfungsi-haris-gunawan-tirto-1

Alih-alih lezat seperti ketupat dan opor ayam, kehidupan beragama kita akhir-akhir ini justru sangat getir. Ada sebuah film anak (Naura & Genk Juara) yang dipaksa untuk ditarik dari peredaran hanya karena si penjahat dalam film itu berjenggot dan mengucap istigfar. Ada seruan pemerintah untuk beribadah di rumah saja selama Covid-19 dan jangan ke masjid. Larangan pemerintah itu dianggap anti-Islam, rezim sekular, antek Yahudi. Dalam skala yang lebih luas lagi, ada orang-orang yang menyebut pemilu dan pilpres yang lalu sebagai perang badar, perang antara orang Islam melawan kaum musyrik. Akibatnya suasana pemilu/pilpres waktu itu menjadi menjadi sangat panas karena diwarnai sentimen agama. 

nauradovwm7zu8aatri8

Orang-orang yang menunjukkan perilaku taat beragama akhir-akhir ini juga sangat mudah tersinggung dan gemar menggerakkan massa. Misalnya saja ada orang yang mengeluh soal berisiknya suara load speaker masjid. Langsung disikapi secara emosional, dianggap bahwa itu penodaan agama dan dimejahijaukan. Mengeluh menjadi tindakan pidana. Ada anjing dibawa masuk masjid, langsung dianggap penghinaan dan ajakan untuk perang. Padahal masalahnya bisa sangat sepele, misalnya si pembawa itu tidak tahu bahwa anjing oleh orang Islam dianggap binatang najis, walaupun pemiliknya mengganggap itu hewan kesayangan.

maxresdefault0

uJdB1rExoFQzb_GQ

Itulah senyatanya gambaran kehidupan beragama di tengah masyarakat kita akhir-akhir ini. Lalu kenyataan itu hendak ditutupi oleh foto orang Islam dan non-Islam makan ketupat lebaran bersama dan diberi keterangan “Indahnya toleransi agama di Indonesia.” Helooow…

Toleransi Membutuhkan Pengorbanan

Apa yang hendak dikatakan oleh foto/video semacam itu sebenarnya adalah gambaran kerukunan belaka. Bukan toleransi. Keduanya jelas berbeda. Sebab, toleransi men-syarat-kan anda untuk merelakan sesuatu yang anda tidak suka dilakukan oleh orang lain. Dan anda menerimanya dengan lapang dada. Itulah toleransi. Jadi misalnya di lingkungan anda mayoritas warganya Kristen, lalu ada warga Muslim yang mengadakan pengajian di rumahnya dengan memanggil banyak jamaah dan ustadz dari luar. Secara subjektif anda tidak suka, tapi anda merelakannya, anda mentolerir acara itu. Itulah toleransi. Coba aja periksa kamus, Cambridge, misalnya mendefinisikan toleransi sebagai:  Willingness to accept behavior and beliefs that are different from your own, although you might not agree with or approve of them: (https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/tolerance).   

Toleransi yang lebih tinggi lagi nilainya ketika anda bukan hanya mengizinkan acara-acara seperti di atas itu, tapi juga ikut mengamankannya, bahkan memberi sumbangan demi kelancaran acara tersebut. Itu kalau kamu punya uang, Son, hehe..

warga-muslim-di-desa-pakistan-ramai-ramai-iuran-bangun-gereja
Seorang muslim ikut membangun gereja di Pakistan. https://www.merdeka.com/dunia/warga-muslim-di-desa-pakistan-ramai-ramai-iuran-bangun-gereja.html

Begitulah persektif toleransi yang benar. Jadi memang berbeda dengan kerukunan. Makan ketupat bersama orang yang berbeda agama itu hanya kerukunan hidup biasa saja. Sama sekali tidak membutuhkan pengorbanan. Hal ini berbeda dengan toleransi yang membutuhkan pengorbanan. Kalau anda mengizinkan pendirian rumah ibadah yang berbeda agama di lingkungan anda, itu baru toleransi. Anda berkorban untuk itu. 

Maka penggambaran makan ketupat lebaran beda agama sebagai potret toleransi adalah sebentuk kesalahan berpikir yang menyesatkan. Bahkan bisa berbahaya karena menutupi kenyataan yang sebenarnya. Tapi sebagai gambaran kerukunan itu benar. Karena memang sejatinya begitulah masyarakat kita. Beda agama, suku, budaya, tidak pernah menjadi masalah karena masyarakat kita sudah hidup dalam perbedaan semacam itu ratusan bahkan ribuan tahun lamanya.

Para-jemaah-muslim-yang-turut-membantu-membangun-gereja
– Umat Islam di Alor, NTT, membangun gereja – https://www.boombastis.com/umat-islam-bantu-bangun-gereja/255663

Masalahnya adalah, ada faktor-faktor yang menghalangi transformasi dari kerukunan ke toleransi, sehingga hubungan antaragama dalam masyarakat cenderung stagnan, dan hanya berputar-putar di wilayah permukaan.  Artinya, di permukaan umat beragama tampak rukun, ditandai dengan makan ketupat lebaran atau opor ayam bersama. Tapi begitu dihadapkan pada persoalan seperti pembangunan rumah ibadah, bangunan kerukunan itu bisa langsung roboh dalam sekejap.

GUuqCNqimzUYoUs-800x450-noPad

index3

Faktor-faktor yang saya maksud  di atas, yang menghalangi transformasi dari kerukunan ke toleransi, di antaranya adalah menguatnya kelompok-kelompok pengusung ideologi islamisme yang tidak menghendaki hubungan antaragama yang intim karena dianggap membahayakan akidah, karena yang lain dianggap kafir. Selain itu juga ada faksi-faksi keagamaan yang terus menerus memainkan isu agama untuk kepentingan politik kekuasaan.  Dengan menyulut sentimen kebencian dan permusuhan antaragama, kelompok dan faksi-faksi semacam ini terus eksis dan mendapat dukungan massa.

Percayalah bahwa sejatinya tanah air kita ini bukan lahan yang subur bagi intoleransi agama. Secara spiritual, radikalisme agama pun tidak akan mendapat tempat untuk tumbuh di negeri yang kaya sekali dengan tradisi spiritualitas ini. Tapi memang, seperti  buah naga  yang tidak bisa tumbuh di tanah dengan kadar keasaman  pH 4, maka pH nya dinaikkan menjadi 7. Begitu pula di negeri kita akhir-akhir ini, ada yang terus menerus berusaha menaikkan kadar pH tanahnya agar dapat menjadi lahan subur bagi tumbuhnya intoleransi dan radikalisme.

Perlu edukasi yang lebih luas dan massif kepada umat beragama bahwa mereka bisa hidup dalam suasana yang lebih dari sekadar rukun tapi juga toleran.  Kehidupan toleransi akan melahirkan suasana yang lebih kondusif bagi perdamaian. Dan toleransi yang dimaksud di sini bukan makan ketupat bersama beda agama di hari raya lebaran. Bukan itu. Paham ora kamu, Son? :)))

 

Baca juga:

Isu dan Kasus Toleransi Agama di Indonesia

Para Penjahat Atas Nama Tuhan

 

[Puisi] Jangan Lockdown Cintamu

warga-beraktivitas-menggunakan-masker-di-kawasan-bundaran-hi

JANGAN LOCKDOWN CINTAMU

Karena Corona kau menjaga jarak
denganku
Bukan satu meter, tapi berpuluh-puluh
kilometer
Karena Corona kau bermuram durja
Padahal biasanya engkau selalu penuh
tawa
Karena Corona kau tak mau lagi
kucumbu
Padahal engkau penuh hasrat
menggebu
Aku memahami bahasa cintamu,
walau lebih halus dari virus Corona
Bersabarlah cintaku, sampai Corona
berlalu
Biar saja pemerintah me-lockdown
kota
Asal jangan kau lockdown cintamu

Ciputat 27 Maret ’20

Wawancara bersama Ahmad Gaus AF

Kebudayaan Milenial Belum Terbentuk

Jakarta, Swakarya.Com. Pada 23 Januari 2020 lalu, redaksi Swakarya dalam lawatan ke Jakarta menemui Ahmad Gaus AF, seorang penulis, penyair, dan dosen sastra dan kebudayaan di Swiss German University (SGU), Tangerang, Banten. Pada pertemuan tersebut, ditemani kopi dan pisang goreng keju coklat di Java Bean Cafe di sebuah mal di Jakarta Selatan, redaksi swakarya.com menyinggung seputar masalah kebudayaan, politik, teknologi informasi, dan budaya milenial. Berikut petikannya:

Bagaimana anda melihat eksistensi kebudayaan kita di era digital yang diserbu oleh budaya milenial sekarang ini?

Kebudayaan kita sekarang ini tanpa kebudayaan. Jadi kita hidup di era hampa budaya. Mengapa, karena yang disebut kebudayaan itu sebenarnya adalah pergerakan yang dinamis dari satu titik ke titik lain. Nah, itu kan tidak ada. Kebudayaan kita terkungkung oleh asumsi-asumsinya sendiri yang melawan arus, khususnya arus kebebasan yang melekat pada perkembangan teknologi informasi seperti sekarang.

Mengapa poinnya harus kebebasan?

Lho, logika dari teknologi informasi itu kebebasan. Walaupun itu bukan barang yang baru sebenarnya, karena sudah ada sejak Revolusi Perancis dan zaman Pencerahan, tapi kebebasan yang dibawa oleh teknologi informasi tidak bersifat politis melainkan kultural. Karena itu kalau bisa dikelola dengan tepat akan melahirkan kebudayaan baru yang sangat besar. Tapi ‘kan kita belum siap dengan konsekuensi itu, maka kita selalu melihat ada upaya untuk membuat pembatasan, bahkan pelarangan. Selain karena kebebasan masih dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya, juga karena orang tidak mengerti bagaimana menggunakan kebebasan. Dikiranya kebebasan itu bebas menyebarkan hoax, ujaran kebencian, dsb. Padahal kalau logika teknologi informasi berupa kebebasan itu diapresiasi dengan benar pasti akan mendorong perubahan yang besar sekali dalam banyak aspek kehidupan kita. Sebab sebelumnya kita memang tidak memiliki tradisi kebebasan. Padahal itulah yang membuat bangsa-bangsa Barat maju dan modern. Kan itu yang dulu dibilang oleh Sutan Takdir Alisjahbana dalam Polemik Kebudayaan.

Kalau begitu masalahnya ada di mana sebetulnya?

Masalahnya ada pada proses dialektika yang tidak selesai dalam transfer budaya teknologis. Konkretnya begini. Orang mungkin beradaptasi dengan teknologi modern, dan berinteraksi dengan lingkungan kultural yang dibentuknya. Tapi itu belum cukup. Untuk bisa melahirkan kebudayaan yang baru, orang harus melakukan identifikasi diri di dalam lingkungan sosio-kulturalnya. Sehingga ia menjadi bagian yang positif dari kebudayaan itu. Dengan cara seperti itu maka akan ada pelembagaan melalui tindakan, pembentukan narasi, produksi pengetahuan-pengetahuan baru, dsb, yang akan mendorong terbentuknya kebudayaan baru.

Apa itu juga yang menjadi problem kebudayaan milenial?

Ya sama. Kebudayaan milenial yang didasarkan pada teknologi internet itu tidak atau belum terbentuk karena proses dialektikanya yang tadi itu tidak selesai. Juga kerangka dasarnya belum terrumuskan sehingga belum mampu merumuskan pandangan dunia atau world view. Pada sebagian orang mungkin sudah. Sebagian lagi terbentuk secara sporadis. Sebagian lagi masih bingung mau mencari tempat di mana harus berdiri dalam arus perubahan ini.

Jadi maksudnya budaya milenial itu belum ada?

Belum. Karena budaya itu terbentuk ketika kerangka dasarnya sudah terrumuskan, baik melalui konvensi maupun narasi yang relatif stabil. Sehingga dari sudut sosiologi pengetahuan kita bisa melihat realitas sosial seperti apa yang dibayangkan. Sebab kebudayaan itu mula-mula memang imajinasi, yaitu imajinasi tentang masa kini dan masa depan. Kalau sekarang kan belum. Bagaimana budaya milenial mendefinisikan kehidupan, itu saja belum ada. Yang ada sekarang ini realitas semu tentang kebudayaan milenial sebagai produk dari revolusi teknologi informasi sejak awal milenium ketiga. Tapi sebenarnya tidak terjadi apa-apa, kecuali pergerakan di pasar mode dan gaya hidup karena istilah milenial saat ini lebih merupakan derivat dari kapitalisme juga. Jadi yang paling menonjol ya budaya konsumerisme juga.

Kebudayaan milenial itu idealnya seperti apa sih?

Saya tidak berbicara yang ideal. Tapi saya membayangkan kebudayaan milenial itu melahirkan sebuah paradigma baru yang membedakannya dengan kebudayaan-kebudayaan sebelumnya. Sebagai paradigma dia muncul dengan karakter yang sangat kuat dengan pemikiran-pemikiran tertentu yang memengaruhi orang yang hidup pada zamannya. Kalau semata-mata teknologi informasi itu membawa perubahan pada kehidupan manusia, itu jelas. Tapi perubahan ‘kan juga ada gradasinya. Pergeseran dari telpon rumah ke telpon genggam itu perubahan. Dari SMS ke BBM lalu ke WA itu semua perubahan. Tapi apakah perubahan-perubahan itu memberi dampak pada cara orang berpikir, sehingga secara kolektif melahirkan kebudayaan yang baru, ternyata kan tidak.

Berarti teknologi informasi gagal melahirkan perubahan budaya?

Mungkin kita tidak bicara soal gagal atau berhasilnya, sebab teknologi itu sendiri ‘kan produk budaya. Tapi kenyataan bahwa kita hidup di era teknologi informasi sekarang ini ternyata sama saja dengan ketika orang hidup di era teknologi pertanian. Pikiran kita belum banyak berubah. Teknologi informasi yang membawa kebebasan tidak lantas membuat orang mampu menghargai kebebasan. Karena itu kita masih menyaksikan orang dipersekusi karena memiliki pandangan politik yang berbeda, misalnya. Masih ada kelompok masyarakat yang menolak pendirian rumah ibadah agama lain, dsb. Itu contoh yang sangat telanjang bahwa teknologi informasi yang membawa nilai-nilai kebebasan, tidak menghalangi orang untuk berpikir sektarian dan bersikap primitif.

Apakah itu menunjukkan adanya kesenjangan antara produk teknologi modern dengan mindset masyarakatnya?

Bisa begitu. Sebab teknologi modern itu bukan kita yang buat, kita hanya konsumen. Jadi kesenjangan itu sudah tercipta secara apriori. Beda dengan ketupat, karena kita yang buat, lahir dari budaya kita, maka kita bisa menyatu dengan ketupat. Buktinya lebaran tanpa ketupat itu jadi nggak afdol ‘kan hehehe. Nah, jadi itulah yang membuat kita tidak bisa banyak berharap bahwa teknologi modern seperti internet dsb itu dengan sendirinya akan melahirkan suatu kebudayaan baru dalam masyarakat kita. Termasuk kebudayaan milenial itu.

Kalau begitu istilah kebudayaan milenial itu salah kaprah, dong?

Jelas. Malah saya menduga yang disebut budaya milenial itu tidak lain dari budaya pop, yang telah berkembang sejak dekade 1960-an. Hanya saja ini budaya pop tahap lanjut yang ditumbuhkan oleh internet dan media sosial, kalau budaya pop awal hanya oleh media massa konvensional.

Perkembangan dari media konvensional ke internet lalu melahirkan era digital, apakah itu bukan perubahan penting dalam kebudayaan?

Perubahan penting dalam industri belum tentu perubahan penting dalam kebudayaan. Sebab yang disebut era digital itu ‘kan industri 4.0 dan itu hanya kelanjutan belaka dari era industri gelombang pertama, kedua, dan ketiga. Tapi masalahnya apakah era teknologi informasi ini memperlihatkan sebuah retakan atau epistem atau diskontinuitas dari era sebelumnya sehingga bisa disebut sebagai lahirnya kebudayaan baru. Jadi epistem itulah yang menentukan apakah sebuah zaman bisa disebut zaman baru atau bukan.

Sekarang bagaimana anda melihat hubungan kebudayaan dengan politik?

Politik harus menjadi bagian dari kerangka besar kebudayaan. Ia harus dihidupi oleh nafas budaya, dan lahir sebagai anak budaya. Tapi yang terjadi di kita justru sebaliknya. Kebudayaan menjadi subordinat dari politik. Maka yang terjadi kebudayaan kita remuk redam dicengkram oleh tangan-tangan politik kekuasaan yang sama sekali tidak memiliki mata hati untuk melihat jauh ke depan. Politik menjadi anak durhaka kebudayaan.

Apa memang politik kita sudah separah itu?

Lho, kalau tidak percaya lihat saja bagaimana politik dengan leluasa membelah masyarakat berdasarkan identitas primordial seperti dalam Pilkada dan Pilpres tempo hari. Ini bukan saja berbahaya bagi perkembangan demokrasi tapi juga berbahaya bagi kebudayaan karena merobohkan bangunan besar kita sebagai bangsa. Imajinasi orang tentang budaya kita yang luhur itu luluh lantak. Dan itu sulit sekali dipulihkan karena residunya tertanam dalam pikiran yang sudah terkontaminasi oleh kebencian sektarian.

Kenapa itu bisa terjadi? Bukankah kebudayaan memiliki mekanisme recovery untuk memulihkan dirinya sendiri?

Logikanya begini. Kalau orang sehat dia punya antibodi untuk menangkal bakteri  yang menyerangnya. Tapi kalau dia sudah sakit, maka dia butuh antibiotik.

Jadi maksudnya kebudayaan kita sudah sakit?

Persisnya sudah tidak terurus. Karena kebudayaan kita memang sudah lama tidak dikerjakan dengan serius. Kebudayaan kita dibiarkan terombang-ambing di lautan globalisasi yang ganas. Paling jauh yang kita lakukan adalah penyelamatan budaya-budaya kita sendiri melalui apa yang disebut revitalisasi, kongres kebudayaan, dsb.  Tapi kegiatan-kegiatan semacam itu kalau tidak berhasil merumuskan masa depan Indonesia dengan jelas ya hanya berhenti sebagai proyek saja.

Terakhir, kapan kira-kira kebudayaan milenial itu akan benar-benar hadir di hadapan kita?

Kebudayaan milenial baru terbentuk dengan mapan kalau ia mampu membuat dirinya berbeda secara epistemik dengan kebudayaan-kebudayaan sebelumnya. Jadi kalau sudah ada diskontinuitas yang menampilkan karakter-karakter khusus, di situlah baru kita bisa bicara tentang budaya milenial. Kalau belum, ya nanti saja, hehee…

 

Biodata singkat:
Ahmad Gaus AF lahir di Tangerang, 10 Agustus 1968, dikenal sebagai penulis biografi, esais, dan penyair. Alumnus S1 Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP), Jakarta, dan S2 Universitas Paramadina, Jakarta, ini sehari-hari bekerja di Lembaga Sensor Film (LSF) RI. Ia pernah menjadi Pemimpin Redaksi Penerbit Paramadina, dan hingga sekarang masih mengampu mata kuliah bahasa dan kebudayaan di Swiss German University (SGU), Tangerang, Banten. Ia menulis biografi tokoh-tokoh pluralisme seperti Nurcholish Madjid dan Djohan Effendi. Selain itu ia juga menulis puisi. Buku puisinya yang sudah terbit adalah: Kutunggu Kamu Di Cisadane: Antologi Puisi Esai (2013) dan Senja di Jakarta (2017). Kini ia tengah menempuh program doktor ilmu politik di Universitas Nasional, Jakarta.***

Pewawancara: Tahir, swakarya.com

Sumber: https://swakarya.com/ahmad-gaus-af-kebudayaan-milenial-belum-terbentuk/

 

 

PANGGILAN BENDERA

bendera3

Panggilan Bendera

Puisi Ahmad Gaus

Bendera di halaman rumahku
berkibar ragu-ragu
mungkin karena ia tidak tahu
kenapa harus berkibar
dan untuk apa
untuk siapa

Bendera di halaman rumahku
berkibar malu-malu
mungkin karena ia merasa asing
berada di antara bendera lain
yang lebih tinggi darinya
bendera partai
bendera golongan
bendera isme
bendera sekte

Benderaku gamang
memandang ke bawah tanah
takut terjatuh
mendongak ke atas langit
terlalu jauh
sebab tanah tak lagi basah oleh darah
putra-putri ibu pertiwi yang mati
mempertahankan negeri
langit tak lagi hitam
oleh asap dentuman meriam

Sejarah telah pergi
benderaku ditinggal sendiri
anak-anak negeri mengibarkan
bendera mereka sendiri-sendiri

Akhirnya benderaku tak mau berkibar
hanya melambai-lambai
seperti memanggilku dan
berkata, “Turunkan aku segera
dan sembunyikan
dalam lemari!”

Bumi Pertiwi, 14/8/17

Ucapan Natal dalam al-Quran

Mengucapkan Selamat Natal itu tidak merusak akidah. Malah ucapan Natal itu ada dalam al-Quran sendiri. Masalah ini diributkan hanya oleh kaum Muslim di Asia Tenggara. Sementara di negara-negara Arab para ulama sudah terbiasa mengunjungi orang-orang Nasrani untuk mengucapkan Natal. Mereka ikut bergembira. Larangan mengucapkan Natal itu lahir dari pikiran yang sempit. Demikian cuplikan pernyataan ahli tafsir Prof. Dr.H.M. Quraish Shihab. Simak videonya di sini:

 

 

 

 

[Puisi] “Meninggalkan Tubuh”

ruh

 

 

Pembacaan Puisi oleh Ira Diana (penyair, novelis)

MENINGGALKAN TUBUH
  — puisi ahmad gaus

Aku berjalan ke timur

Bertanya pada semua yang kutemui

Benarkah jalan yang kutuju

           untuk mencari diriku

Semua membisu, tidak  ada yang tahu

Dalam terang cahaya, aku seperti buta

Dalam terik siang, yang kutemukan

                      hanya bayang-bayang

Aku berjalan ke barat dengan tergesa

Saat matahari masih menyala

Kutemukan semua keindahan

                                 panorama senja

Tapi sayang,  yang kucari  tidak ada

Aku berjalan ke setiap penjuru angin

Tapi perjalananku hanya melelahkan batin

Sedang  tujuan yang ingin kucapai

                                      makin tak tergapai

Orang yang kucari, tak juga

                                      menampakkan diri

Seseorang mengetuk pintu malamku

dan berkata; bagaimana engkau akan

                                 menjumpai Tuhanmu

sedangkan menuju dirimu sendiri saja

engkau tak pernah sampai

Perjalananmu berat karena engkau

                                    membawa tubuhmu

Berpuasalah, tinggalkanlah tubuhmu

Hanya dengan berada di luar tubuh

engkau akan menemukan dirimu

Menjumpai Tuhanmu

 

Dimuat dalam buku puisi Ahmad Gaus, Senja di Jakarta (2017)

Mekah

 

 

 

Follow my IG: @gauspoem and get interesting prizes every weekend

[Poem] December Rain

 

HUJAN BULAN DESEMBER

Kalau tidak ada aral melintang, nanti sore aku akan menemuimu
Untuk menyatakan cinta
Bukankah kau telah menunggu masa itu
Dalam kesunyian ratusan tahun bunga mawar
Maka berdirilah di pintu masa kanak-kanakmu
Sambut aku dengan mata coklatmu
Atau tikam aku dengan nyanyian masa lalu
Yang kau tirukan dari suara burung hantu

Masa lalu berjalan seperti awan yang bersembunyi di ranting malam
Sekali waktu menyusup ke balik gaunmu dan membuat aku cemburu
Mengalun lirih seperti suara gerimis diterpa angin petang
Tapi tiba-tiba engkau menangis ketika gerimis menjelma 
Hujan lebat yang mengoyak-ngoyak rambutmu

Bulan Desember memang bukan saat yang tepat untuk menyatakan cinta
Sebab angin bulan ini terlalu kencang
Menerbangkan atap gedung dan merobohkan pohon angsana
Apatah lagi cuma sekuntum bunga mawar di tanganku
Sekali hentak saja cintaku bisa hancur berkeping-keping

Harusnya memang aku bersabar menunggu bulan Juni 
Ketika rintik hujan turun begitu pelan dan pedih
Seperti dilukiskan dalam puisi Hujan Bulan Juni oleh penyair Sapardi Djoko Damono
Kerinduan dibiarkan menjadi rahasia alam yang tak pernah terucapkan
Kerinduan begitu arif, begitu bijak

Tapi aku tidak akan setabah hujan bulan Juni
Bahkan diam-diam aku berharap hujan turun lebih deras dari biasanya
Supaya ada alasan untuk tidak menyatakan cinta
Yang kutunggu hanyalah waktu yang tepat
Untuk menyelipkan cinta pada pita rambut kanak-kanakmu
Agar dengan begitu engkau tetap abadi dalam waktu.

Jakarta, 13/12/2018
IG: gauspoem

[Memoar] Api Yang Membakar Jiwa

Puslitbang

API YANG MEMBAKAR JIWA

Pagi sampai siang ini (11/12/2018) berlangsung diskusi buku “Djohan Effendi, Sang Pelintas Batas” oleh Puslitbang Kemenag RI. Djohan Effendi pernah menjadi Kepala Litbang Depag, kemudian menjadi Menteri Sekretaris Negara di masa Presiden Abdurrahman Wahid. Tapi orang lebih mengenal Djohan sebagai intelektual dan aktivis gerakan Islam. Saya diundang ke acara ini sebagai penulis biografi Djohan Effendi, dan Dr. Neng Dara Affiah, M.Hum hadir sebagai pembahas.

Dua tema kunci dalam pemikiran Djohan Effendi adalah pluralisme dan kebebasan beragama. Itu juga yang menjadi titik temu dari para tokoh pergerakan pada masa itu dgn nama-nama yang menonjol spt Cak Nur, Gus Dur, Dawam, Wahib, dll. Walaupun begitu masing-masing tokoh punya ciri tersendiri dalam membawa pemikiran mereka ke publik.

Berbeda dengan rekan-rekannya spt Cak Nur dan Gus Dur yang cenderung menggebu-gebu, Djohan cenderung pendiam dan mengambil tempat di belakang layar: merajut solidaritas antar-kelompok dan menggerakkan aksi. Berbeda dengan mereka yang lazim berbicara mengenai hal-hal besar semisal peradaban, umat, bahkan masa depan Islam. Djohan lebih tertarik pada hal-hal sederhana seperti iman yang bersifat pribadi, kehidupan spiritual, puisi sufistik, hingga nasib kelompok sempalan alias aliran sesat. Djohan bahkan memposisikan dirinya sebagai pembela “aliran sesat”.

Dari Djohan kita belajar pentingnya dialog agama sebagai aktivitas yang dapat menjembatani perbedaan dan mereduksi sikap saling curiga. Kesediaan untuk berdialog membutuhkan kesadaran agama yang bersifat terbuka (teologi inklusif).

Dari dialog agama Djohan melangkah lebih jauh ke dialog antariman. Praksis dialog agama selama ini hanya melahirkan toleransi sosial. Dan toleransi jenis ini masih rapuh dan mudah terjatuh pada sikap saling curiga. Dialog antariman menukik lebih jauh ke dasar keyakinan, namun dilakukan dengan hati yang tulus untuk saling memahami, bukan menghakimi.

Dialog antariman inilah yang kini berkembang menjadi semacam trend di kalangan anak-anak muda yang memiliki keberanian untuk melintas (pass over) di antara agama-agama. Dari dialog semacam ini lahir sikap saling menghargai yang otentik dan sejati di antara para pemeluk agama. Bukan sekadar basa-basi sosial.

Posisi Djohan di antara tokoh-tokoh di atas menjadi unik. Dia terlibat aktif dalam gerakan pembaruan, tapi Bapak Pembaruan ialah Cak Nur; dia juga tidak diragukan lagi perannya dalam wacana dan aksi toleransi, tapi Bapak Toleransi telah disematkan orang kepada Gus Dur. Lalu di mana posisi Djohan Effendi?

Djohan adalah perintis solidaritas lintas batas. Djohan adalah BAPAK DIALOG ANTARIMAN. Inilah posisinya yang paling tepat. Posisi ini tidak ditempati oleh dua raksasa lainnya: Cak Nur dan Gus Dur.

Berbeda dengan Cak Nur dan Gus Dur yang datang dengan seruan massif, ideologis, dan intelektual, Djohan hadir di lubuk hati dengan seruan personal dan emosional. Dalam ungkapan teman saya, Budhy Munawar Rachman,  Djohan itu “api yang membakar jiwa”. Mungkin maksudnya berbeda dengan Gus Dur dan Cak Nur sebagai “api yang membakar kota”. 😃😃.

Demikian ringkasan presentasi saya.

 

Takes Mansion & Hotel, Jakarta, 11/12/18
Ahmad Gaus AF

(Dari laman Facebook Gaus Ahmad, 11.12.2018)

 

 

 

SENJA DI JAKARTA

Pembacaan puisi  SENJA DI JAKARTA oleh Abdullah Sajad. Silakan dinikmati sambil nyeruput kopi dan membayangkan seorang kekasih duduk di sampingmu 🙂

 

SENJA DI JAKARTA

tubuhku berulang kali menjadi dinding, kekasihku

menahan rasa sakit dan gemuruh angin yang dikirim

dari gedung-gedung yang selalu berisik

di jantung kota

kisah-kisah konspirasi menjerat mimpiku

di kursi-kursi tua yang lelah menunggumu

untuk menghapus peluh dari tanganku

yang tidak berhenti berderak

di sudut kota matahari sore menerobos

jendela apartemen yang tidak pernah dibuka

burung gereja menyanyikan mars perjuangan

awan hitam berbaris seperti pasukan demonstran

yang marah, ingin merubuhkan pagar istana

intrik, makar, konspirasi, apalagi

semua huru-hara ini, kekasihku,

masih akan berlangsung

memekakan telingaku yang sudah rata

dengan jalanan

pandanganku yang selalu nanar

kehilangan taman bunga

duduklah, aku ingin menikmati lagi

bibir senja, rambutmu yang berkilau langit sutra

matamu yang bening bagai air telaga

aku ingin mereguk lagi segelas teh

dan ciuman hangat

sebelum senja berlalu

memetik bunga mawar di kelopak matamu

Jakarta, 26 Juli 2017

Senja di Jakarta

SDD

Bersama sastrawan senior Indonesia, Sapardi Djoko Damono (SDD), usai seminar sastra Melayu di Selangor, Malaysia, Desember 2017

*************

Novel terbaru saya, Hujan dalam Pelukan, dapat dibaca di platform NovelMe, ini link-nya: https://h5.novelme.com/bookinfo/22983

Selamat menikmati, jangan lupa kasih star vote dan subscribe ya, terima kasih

 [warning: only for adult]

[Puisi] Daun dan Bunga di Musim Semi

Buku Puisi Heri2

Kata Pengantar Ahmad Gaus untuk Buku Puisi Heri Mulyadi, “Elegi Cinta, Cerita Kata.”

Puisi, Daun, dan Bunga di Musim Semi

ADA yang mengatakan bahwa setiap puisi adalah hasil proses kreatif. Pernyataan ini benar belaka. Tapi tidak cukup. Puisi ialah imajinasi, yaitu proses pra-kreasi. Keduanya tentu berkelindan, namun saya merasa perlu membedakannya beberapa saat setelah saya menyimak puisi-puisi penyair Heri Mulyadi dalam buku ini. Berekspresi dalam puisi artinya meletakkan atau menyusun bahan-bahan yang tersedia (ide, suasana, peristiwa, objek-objek) ke dalam bangunan puisi. Namun karena puisi ialah karya seni, maka berlakulah apa yang dipercayai para seniman bahwa “in art, we are doing more than just putting materials or actions or combining ideas together.”

Karya seni, termasuk puisi, merefleksikan proses penciptaan yang rumit karena aktivitas semacam itu menuntut seniman untuk memiliki kemampuan melihat hal-hal yang tak terlihat, atau dalam kata-kata Nancy McCormick (2018), the ability to see objects in things not readily seen or observed. Nancy bahkan percaya bahwa sebuah karya seharusnya memang lahir dari hasil “melihat”, bukan lahir dari hasil kreativitas belaka. Itulah yang disebut imajinasi. Sedangkan kreativitas ialah the ability to produce an idea in a new way. Jadi memang berbeda.

Di mana istimewanya puisi-puisi Heri Mulyadi bila dilihat dari kacamata itu? Sebagian puisi yang dimuat dalam buku ini merupakan hasil “penglihatan” Heri yang mampu menerobos alam fenomena yang kasat mata, menyingkap rahasia-rahasia di balik kenyataan keras, dan meletakkan imajinasinya dalam horison pandangan mata yang berlapis-lapis. Sebagian lainnya adalah puisi-puisi yang lahir dari proses pengendapan pikiran dan perasaan yang diekspresikan dalam bait-bait puisi yang terkesan “komunikatif”. Pikiran dan perasaan ada pada setiap orang, namun tidak setiap orang mampu mengekspresikan dengan cara seorang penyair menyampaikannya. Orang-orang memilih jalan lurus dan verbal, penyair memilih jalan menikung dan terjal. Heri lebih sering memilih jalan yang kedua.

Mari kita simak puisi Heri di bawah ini:

Mengejar Tuhan

Di jalan zonder debu ini,  angin berkesiut

menyesaki ruang, mengembara

membekap buana, meniupkan

selendang pelangi, berselimut

malam, berpayung hujan

Kisahkanlah: jika sejumput rindu datang,

orang ramai berteriak atas nama tuhan,

masihkah zikir, doa-doa kasih

bagi gembala tersesat, dewa dewi yang

bersemayam di nirwana,

tapa brata pengendali jiwa,

meredam amarah,

benci dan dendam?

Di deru angin kutemui wajah

rupa-rupa tuhan, aku tersungkur:

sujudku belum lagi sampai

kutanya adam,  ibrahim,  musa dan isa:

pulanglah, katanya, usah engkau berebut

mengejar tuhan

lalu torehkan luka

budha melambai di kejauhan, kidungkan

bhagawat para pariah: jangan kau mati

sebelum mati

muhammad berbisik, jangan buat kedustaan!

Padang-Palembang,  27 Februari 2018

Puisi di atas merefleksikan pengembaraan imajinasi yang konsisten pada objek yang bisu, jauh, dan gaib. Nama-nama dan diksi yang dipilih adalah nomenklatur religius (sebagai representasi kesucian, keagungan) yang dibenturkan dengan fenomena kemanusiaan yang profan dengan hasrat-hasrat manusiawinya seperti amarah, benci dan dendam. Adalah sifat manusia memiliki ambisi untuk mengejar kekuasaan, kedudukan, harta, dan sejenisnya. Juga, manusia sangat bernafsu menguasai kebenaran (yang direpresentasikan oleh judul puisi ini: Mengejar Tuhan). Masalahnya, jika setiap orang/kelompok berebut kebenaran sambil menghalau yang lain, maka yang akan terjadi ialah luka-luka, dan bahkan kebenaran itu sendiri menjauh: … usah engkau berebut/ mengejar tuhan / lalu torehkan luka.. / budha melambai di kejauhan.

Heri melakukan dialog imajiner dengan para nabi dan orang-orang suci sebagai upaya mencari jawaban atas apa yang ia lihat di alam fenomena yang boleh jadi tak nampak pada pandangan mata orang lain. Ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan lirih dan retoris. Realitas yang keras ditransendensikan. Dan ia mampu mengekspresikannya dalam bait-bait puisi yang sublim tanpa harus menggunakan metafora yang sulit dijangkau jejaknya. Namun  jelas bahwa ia berada cukup lama di alam imajinasi pra-kreasi sebelum menemukan bentuk pengungkapan dalam bait-bait puisi yang indah dan sublim. Puisi-puisi Heri yang bercorak seperti ini adalah: Nyanyian Senja Jeselton Point, Elegi Cinta, Mencari, Semburat, Penjahat Cinta, Malappuram Suatu Malam, Kidung Petang Bharata Pura, dan yang lainnya.

***

Sampai saat ini orang percaya bahwa puisi ialah ekspresi pikiran dan perasaan penulisnya. Dalam arti ini, puisi menjadi sosok kembar sang pengarang. Namun saya ingin menegaskan bahwa kompleksitas sebuah puisi tidak mungkin dirujuk sepenuhnya pada biografi sang pengarang yang tengah dilanda perasaan tertentu (jatuh cinta, bahagia, kecewa, marah, rindu, dan sebagainya). Juga tidak pada pikirannya yang tengah disusupi aneka problem, misalnya. Banyak puisi yang lahir begitu saja dari pohon imajinasi, muncul seperti daun dan bunga di musim semi.

Dalam pemahaman seperti ini, tidak setiap puisi memiliki hubungan dengan kenyataan yang terasakan atau terpikirkan, yang di dalamnya telah mengandung makna secara inhern. Justru tugas puisi ialah, dalam bahasa Riffaterre, creating of meaning (menciptakan makna). Dan tidak ada makna yang lebih agung dari sesuatu yang berada di luar pikiran dan perasaan manusia yang nisbi. Maka kehadiran Sang Penyair menjadi syarat bagi sebuah puisi agung. DIA -lah yang menulis, sedangkan si penyair hanya perantara, media yang mengantarkan suara Sang Pemilik makna. Dalam buku ini banyak puisi Heri yang merupakan ungkapan ketundukan seorang hamba kepada Sang Khaliq, kepasrahan hidup yang fana pada keabadian. Salah satu contoh puisi seperti itu ialah Perjalanan ke Mihrab 45.

Para teoritikus sastra pada umumnya bicara soal makna, tapi melupakan potensi makna, yang mengelilingi sebuah puisi. Maksud saya, makna terdapat dalam lipatan-lipatan teks, sementara potensi makna berada di luar teks. Kalau bukan dengan pemahaman seperti ini niscaya kita akan kesulitan membaca bait terakhir puisi Heri yang berjudul Perjalanan tersebut karena pesan yang terlahir lebih dari apa yang disampaikan. Berikut penggalan puisi tersebut:

Tak ada perayaan untukmu

karena jalan masihlah panjang

terus dan teruslah

beribu mihrab menunggu di ujung sajadah

Atau bait pertama dari puisi berjudul Kidung Petang Bharata Pura ini:

Bernyanyilah petang di jalan sunyi

hening melukis langit bermandi tembaga

seekor belibis rindu sarang

dan burung-burung kuntul tak lelah

mematuk paruh di kemilau Bharata Pura yang bisu

Sebagian puisi Heri dapat dibaca secara normatif, namun sebagian lagi mengajak kita bertamasya dalam labirin semiotika dimana tanda jejaknya harus ditafsir secara hati-hati. Setiap objek, ide, situasi, merepresentasikan makna tersendiri yang bekerja dalam jalinan teks puisi. Tujuannya menciptakan kejutan, paradoks, penajaman makna, atau pemerkayaan pesan yang hendak disampaikan.

Karena tanda tidak berdiri sendiri, melainkan bagian dari tanda-tanda lainnya, maka sebuah puisi kadang menjadi jebakan bukan saja bagi pembaca yang menafsir namun juga bagi sang penyair. Penyair yang tidak hati-hati dalam menjalin tanda akan menyajikan puisi yang retak, cacat, bahkan anarkis. Pembaca sendiri akan terjerumus ke dalam lorong gelap tanpa pintu. Sebagian besar puisi Heri berhasil keluar dari jebakan ini. Namun pada beberapa puisi ia tampaknya, entah sengaja atau tidak, lebih menampakkan subjektivitas yang sebenarnya cukup berbahaya bagi pembacaan umum. Puisi yang bernada politik niscaya kurang mampu melejitkan cakrawala imajinasi dan menampung keragaman sudut pandang.

Puisi sebenarnya adalah campuran antara yang bukan puisi dan puisi itu sendiri. Gagasan yang kita sampaikan, posisi kita dalam sebuah peristiwa atau isu, intensi atau niat kita menyampaikannya — semua itu berada di luar puisi, bukan puisi, atau istilah resminya ekstra estetika. Sedangkan “yang puisi” itu sendiri, atau lingkaran estetika, mencakup semua unsur lahir-batin yang membentuk puisi seperti penyusunan larik dan bait, pemilihan diksi, gaya bahasa, rima, irama, alur, daya gugah, daya pikat, daya cekam, keharuan, imajinasi, dan unsur inovasi.

Tidak semua orang berhasil masuk ke dalam lingkaran estetika ini dengan gemilang. Bahkan mereka yang sudah terbiasa menulis puisi, atau penyair, kadang masih termangu-mangu di beranda depan lingkaran estetika. Lihat saja bagaimana beberapa waktu lalu banyak orang yang tiba-tiba menjadi penyair yang menulis puisi tandingan untuk puisi berjudul Ibu Indonesia karya Sukmawati Sukarnoputri yang menghebohkan itu. Ramai-ramai menulis puisi untuk sekadar menghujat. Jadilah puisi seperti slogan-slogan kampanye yang dijejali banyak narasi di luar daya tampung puisi itu sendiri. Jadilah puisi seperti retorika atau propaganda yang dipenuhi semua hal, kecuali puisi itu sendiri.

Sebagai seorang penyair yang telah melahirkan banyak karya, saya melihat Heri Mulyadi cukup piawai dalam menjalin kata, mencipta makna, merangkai pesan, membawa masuk unsur-unsur ekstra-estetika ke dalam tubuh puisi dengan halus dan cermat. Walhasil, sebagai seorang seniman yang menyerukan keindahan, Heri tampaknya tetap setia berada di dalam lingkaran estetika puisi sebagaimana saya maksudkan di atas. Selamat menikmati puisi-puisi sang penyair kelahiran Tanjungkarang, Lampung, ini.[]

Gedung Film, Oktober 2018

Ahmad Gaus AF, Dosen Sastra dan Budaya, Swiss German University (SGU) – Tangerang

Follow my IG: @gauspoem and get interesting prizes every weekend

Buku Puisi Heri
Jika Anda berminat membeli buku ini sila hubungi penerbitnya: 082178522158

Tulisan bermanfaat lainnya:

Menulis itu Gampang dan Mendatangkan Uang

[Puisi] O CLARA, MANGE WISA KO

jemb sukarno
Jembatan Sukarno, Manado

O CLARA, MANGE WISA KO

Selamat malam, Clara
maukah kau temani aku sejenak saja
menyusuri tepian pantai di sana
atau sekadar bercengkrama di dermaga
menunggu saat purnama tiba
di seberang jembatan Sukarno

Aku ingin mendengar sekali lagi
deru nafasmu yang terengah
seperti isyarat bahwa ada sesuatu
yang tengah berubah

Di lorong-lorong kota
seribu gereja menunggu
sebuah lilin yang masih menyala
lonceng-lonceng makin keras dibunyikan
ayat-ayat suci makin keras dibacakan
udara kota berhimpitan

Maka kau harus terus menjaga
agar api itu tetap menyala
sebab kalau sampai padam
seluruh kota ini akan gelap gulita
lalu kau mau ke mana
mange wisa ko, Clara?

Manado, 28 Oktober 2018
Ahmad Gaus
penulis, aktivis

 

Deklarasi manado
Deklarasi Sumpah Pemuda Milenial oleh Jaringan Komunitas Bela Indonesia (KBI), di Jembatan Sukarno, Manado, 28 Oktober 2018

IMG-20200922-WA0052

 

[Poem] GOD IS NOT HERE

is

GOD IS NOT HERE

There is another who incites the wall

Hiding in an old microphone

His words scattered in the air

Splitting the city in two

And suddenly I lost you

Every time I call, you infiltrate the rock

Closing all doors from the sound of the wind

Waves

Chirping birds in open fields

Even the sun is now halved

One you take home

The rest is the darkness that you put on my face

Likewise highways, residential areas, art buildings, houses of worship.

Everyone stepped on someone else’s body to fly the flag

Faith resides above the head that ignites fire

People shout to God

But God isn’t here

In a split

I vaguely saw His face there

At the end of the road

Waving hands

—————

Oct 04 2018

Ahmad Gaus AF

10-Rindu