Tag Archives: Poetry
Setiap Perempuan
Perempuan adalah Samudera
December Twist
PANGGILAN BENDERA
Panggilan Bendera
Puisi Ahmad Gaus
Bendera di halaman rumahku
berkibar ragu-ragu
mungkin karena ia tidak tahu
kenapa harus berkibar
dan untuk apa
untuk siapa
Bendera di halaman rumahku
berkibar malu-malu
mungkin karena ia merasa asing
berada di antara bendera lain
yang lebih tinggi darinya
bendera partai
bendera golongan
bendera isme
bendera sekte
Benderaku gamang
memandang ke bawah tanah
takut terjatuh
mendongak ke atas langit
terlalu jauh
sebab tanah tak lagi basah oleh darah
putra-putri ibu pertiwi yang mati
mempertahankan negeri
langit tak lagi hitam
oleh asap dentuman meriam
Sejarah telah pergi
benderaku ditinggal sendiri
anak-anak negeri mengibarkan
bendera mereka sendiri-sendiri
Akhirnya benderaku tak mau berkibar
hanya melambai-lambai
seperti memanggilku dan
berkata, “Turunkan aku segera
dan sembunyikan
dalam lemari!”
Bumi Pertiwi, 14/8/17
SEBUAH KAMAR
SEBUAH KAMAR
Akhirnya kau pergi juga
kulipat daun pintu dan diam-diam
kumasukkan ke dalam tasmu
suatu hari nanti kau akan teringat
sebuah kamar di kepalaku
yang pintunya selalu terbuka — menghadap ke laut
tempat kau biasa berbaring seperti turis asing
sambil menikmati suara ombak
burung-burung camar menarik-narik rambutmu
hingga kau tertidur dan bermimpi
sedang berada di salon kecantikan
kau berdandan begitu meriah
seperti kota yang tengah berulang tahun.
“Aku pergi sekarang,” Katamu melepas pelukan.
“Duniaku menunggu di sana.”
Kota telah bersiap menyambutmu
berhias dengan lampu dari kunang-kunang
jalan-jalannya terbuat dari lidah orang-orang
yang tak kau kenal
gedung-gedungnya menjulang tinggi
melebihi keangkuhanmu
masuklah ke sana melalui pintu yang kuletakkan
di dalam tasmu, dan carilah kamar kosong
yang menghadap ke laut.
Jakarta, Juli 2019
IG: ahmadgaus68
Novel terbaru saya, kisah tentang cinta segitiga di antara para sahabat.
Sila baca sinopsisnya di sini Hujan dalam Pelukan
[Warning: for adult only]
[Puisi] Ideologi dan Utopia
IDEOLOGI DAN UTOPIA
Setiap lelaki hidup dengan mimpi yang jatuh dari sebatang pohon. Mereka mengira itulah cinta paling agung yang disemaikan oleh semesta dan tumbuh di tubuh perempuan — dimana sungai-sungai mengalir deras, bukit-bukit berbaris, dan lahan perkebunan terbentang luas
Dunia adalah mimpi para lelaki dengan perempuan yang hanya terlihat bulu matanya di hutan cemara, dan betisnya yang menyala-nyala di cakrawala. Tapi itulah yang menggerakkan kaki-kaki mereka untuk berkelana membuka daerah-daerah baru pertanian, pertambangan, dan perdagangan.
Politik belum ada waktu itu, sehingga tidak ada ketentuan yang mengatur kapan matahari harus terbit, dan di mana harus terbenam. Satu-satunya simbol kehidupan ialah perempuan itu sendiri, karena tubuh mereka adalah bumi. Itu sebabnya para lelaki senang bertawaf mengelilingi bumi, mencari pintu masuk ke dalamnya melalui rahim perempuan.
Bangsa-bangsa baru didirikan belakangan, setelah kaum perempuan mau membuka rahim mereka dan melahirkan konstitusi. Pasal-pasal perang dan perdamaian ditulis dengan huruf-huruf tebal di mulut rahim. Agar para lelaki tahu di mana mereka harus mati, jika politik tidak mampu memberi cinta dan kebahagiaan.
Harris Hotel, Sentul, Bogor
23 Februari 2019
IG: ahmadgaus68
[Puisi] Elegi untuk Ibu Omi
ELEGI UNTUK IBU OMI *)
Suatu hari nanti kita akan sendiri
Duduk di sisi jendela
Di tepi pagi yang sunyi
Memandangi bunga-bunga di taman
Tumbuh, merekah, kemudian layu dan jatuh ke bumi
Menikmati kicau burung-burung di halaman
Sebelum mereka terbang satu persatu menuju cakrawala
Seperti itu pula orang-orang yang kita cintai
Keluarga, sahabat, handai taulan
Satu demi satu mereka pergi meninggalkan kita
Sebagian telah berpulang menuju keabadian
Sebagian lagi masih menunggu antrian
Di simpang jalan kehidupan
Mereka yang pergi bukan tidak mencintai kita
Tapi masing-masing punya dunia sendiri
Dunia yang tidak bisa kita kunjungi sekalipun hanya dalam mimpi (begitu kata penyair Libanon-Amerika, Khalil Gibran, dalam puisi “On Children”)
Dunia yang dibangun untuk masa depan mereka yang lebih baik
Agar kelak, mereka pun dapat menikmati hidup bahagia seperti kita
Duduk dekat jendela
Ditemani secangkir teh di sore hari yang sunyi
Kesunyian bukanlah tragedi
Seperti ranting tua yang jatuh ke jalan
Dilindas roda kendaraan
Bukan!
Kesunyian itu seperti tsunami yang berdiam di dalam botol
Menunggu tangan-tangan malaikat menumpahkannya di kanvas kehidupan
Dari kesunyian lahir bayi-bayi mungil bernama kearifan, kebijakan, dan peradaban
Kesunyian adalah sahabat lama yang kita nantikan
Sebab dialah yang akan menemani kita
Mengumpulkan serpihan jiwa yang berserakan
Di sepanjang perjalanan
Kesunyian menguji kesabaran kita hingga batas terjauh
Untuk menghubungkan dua dunia
Yang fana dan yang baqa
Kesunyian bukanlah alasan untuk merasa sunyi
Sebab seluruh semesta ini, kata penyair sufi Jalaluddin Rumi, ada di dalam diri
Mengapa kita harus merasa sunyi
Suatu hari nanti kita akan sendiri
Duduk di tepi jendela, di ujung senja yang sunyi
Tapi kita semua membutuhkan kesunyian
Sebab pada dasarnya kita memang harus belajar mempersiapkan diri
Menuju kesunyian yang abadi.
PIM 3 Jakarta, 26/01/2019
*) Ibu Omi Komaria Madjid adalah istri almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur), cendekiawan, guru bangsa, dan pemimpin besar revolusi pemikiran yang pernah dimiliki bangsa ini.
Note:
Puisi ini dibacakan di acara pertemuan Caknurian II dan tasyakuran ulang tahun ke-70 Ibu Omi Madjid di Pondok Indah Mal 3, Jakarta. Terima kasih kepada Prof Komaruddin Hidayat sebagai host acara, dan Kiai Ulil Abshar Abdalla yang menginspirasi lahirnya puisi ini. Terima kasih juga untuk teman-teman yang hadir di acara ini. Ingatlah: Semua akan berpuisi pada waktunya. 😂
Sarah Mae
SARAH MAE
Sarah Mae sudah pergi dari rumah ini sejak kemarin lusa. Ia hanya berpamitan pada daun pintu yang selalu terbuka — walaupun tidak pernah tahu siapa yang ditunggu; dan pada seekor burung piaran yang tidak berhenti bernyanyi karena selalu kesepian. Tidak ada yang tahu mengapa Sarah pergi, dan ke mana. Jejak kakinya pun hanya mengantar dia sampai halaman.
Tapi memang, rumah yang ditinggali Sarah akhir-akhir ini sudah hampir meleleh karena hawa panas dari tubuh para penghuninya. Setiap hari ada saja suara jeritan dari alat -alat rumah tangga yang dilemparkan ke muka orang. Dan sebenarnya rumah ini pun sudah penuh, tapi para penghuninya masih saja mengajak orang lain untuk masuk.
Sarah tidak bisa tinggal di rumah yang membayangkan dirinya taman surga, tapi setiap hari disirami air kencing. Ia marah ketika ruang perpustakaannya difungsikan sebagai toilet; buku-buku koleksinya dipakai untuk melempar anjing — hanya karena anjing itu mengajari mereka cara hidup bertetangga.
Orang-orang di rumah ini memang lebih sering kesurupan daripada membaca. Lebih suka berteriak-teriak daripada berusaha mencari akalnya yang hilang.
Sarah Mae pergi karena tidak tahan melihat rumahnya terus-menerus dirusak oleh para penghuninya sendiri. Besok atau lusa mungkin orang-orang akan menyusulnya.
[[[]]]
Baca juga: Cerita Natal Seorang Gadis Kecil
Puisi di atas dimuat dalam buku SENJA DI JAKARTA (Ahmad Gaus, 2017)
[Puisi] MATA IBU
Mata Ibu
Dari apakah Tuhan menciptakan mata ibu
Begitu luas hingga mampu menampung isi semesta
Tempat matahari beredar
Dan bulan yang selalu purnama
Bintang-bintang bertaburan di sana
Di dalam mata ibu ada lautan
Tempat aku berlayar menuju pulau tujuan
Kota-kota yang pernah aku kunjungi
Ada di dalamnya
Setiapkali kutatap mata ibu
Aku menemukan potret diriku
Dari bayi hingga tumbuh dewasa
Aku tetaplah kanak-kanak di matanya
Mata ibu tidak pernah terpejam
Walaupun sedang tertidur ia tahu
Ke mana aku berjalan
Mata ibu terbit sebelum fajar
Dan tidak pernah terbenam
Sepanjang siang
Sepanjang malam
Mata ibu lebih terang dari matahari
Karena mata ibu tidak menciptakan bayangan
Sehingga aku tidak bisa bersembunyi dari pandangannya
Mata ibu lebih tajam dari mata pedang
Setiap kali menatapku
Aku tersungkur dengan darah bercucuran
Dan luka-luka yang tak ingin kusembuhkan
Kelak bila tiba masanya
Aku ingin mati dalam tatapan matanya
Gedung Film, 14/01/19
[Puisi] “Meninggalkan Tubuh”
Pembacaan Puisi oleh Ira Diana (penyair, novelis)
MENINGGALKAN TUBUH
— puisi ahmad gaus
Aku berjalan ke timur
Bertanya pada semua yang kutemui
Benarkah jalan yang kutuju
untuk mencari diriku
Semua membisu, tidak ada yang tahu
Dalam terang cahaya, aku seperti buta
Dalam terik siang, yang kutemukan
hanya bayang-bayang
Aku berjalan ke barat dengan tergesa
Saat matahari masih menyala
Kutemukan semua keindahan
panorama senja
Tapi sayang, yang kucari tidak ada
Aku berjalan ke setiap penjuru angin
Tapi perjalananku hanya melelahkan batin
Sedang tujuan yang ingin kucapai
makin tak tergapai
Orang yang kucari, tak juga
menampakkan diri
Seseorang mengetuk pintu malamku
dan berkata; bagaimana engkau akan
menjumpai Tuhanmu
sedangkan menuju dirimu sendiri saja
engkau tak pernah sampai
Perjalananmu berat karena engkau
membawa tubuhmu
Berpuasalah, tinggalkanlah tubuhmu
Hanya dengan berada di luar tubuh
engkau akan menemukan dirimu
Menjumpai Tuhanmu
Dimuat dalam buku puisi Ahmad Gaus, Senja di Jakarta (2017)
Lomba Menulis Puisi Natal
UNTUK ANDA YANG MENYUKAI PUISI, saya punya tawaran menarik: Tulislah sebuah puisi yang berhubungan dengan Natal. Hadiahnya sudah saya siapkan tiga buku puisi saya yang berjudul SENJA DI JAKARTA untuk tiga penulis puisi terbaik (masing-masing satu ya, hehe). Buku ini terbit tahun 2017, sudah diluncurkan di Singapura (November 2017) dan didiskusikan di Malaysia (Desember 2017). Kirimkan puisi anda ke alamat email saya: gaus.poem@gmail.com Saya terima paling lambat tanggal 24 Desember 2018, supaya saya bisa posting di blog saya tepat pada hari Natal. Ok gaeess… selamat menulis puisi dan mendapatkan hadiah buku plus tanda tangan penulis.. 🙂
Berikut contoh 2 puisi saya yang berhubungan dengan Natal:
CERITA NATAL SEORANG GADIS KECIL
Aku berdiri di halaman gereja
Anak-anak bergaun palma
Menghias pohon Natal dengan lampu aneka warna
Bunga-bunga gladiola, langit merah saga.
Saat lonceng dibunyikan, mereka berlarian
Kemudian larut dalam doa yang dilantunkan
Damai dalam pelukan kasih Tuhan.
Dari kejauhan aku mendengar suara azan
Dibawa angin senja berteluk awan
Azan dan kidung Tuhan saling bersahutan
Menjalin nada, orkestra kehidupan.
Seorang gadis kecil menghampiriku
“Pakailah ini,” katanya menyodorkan topi santa
Aku terdiam. Lama. Kemudian dengan halus aku menolaknya
Ia nampak kecewa. Matanya berkaca-kaca
Aku membungkukkan badan dan berbisik ke telinganya
“Sayang, bukannya aku tidak mau, tapi topi itu terlalu kecil buat kepalaku!”
Ia tersenyum mengerti
“Kalau begitu ambillah ini,” ujarnya menyodorkan replika pohon Natal, “Tanamlah di tubuhmu!”
“Maaf sayang, ini pun aku tidak bisa menerimanya.”
“Kenapa?”
“Karena aku tidak punya lahan untuk menanamnya,
seluruh tubuhku sudah dipenuhi masjid!”
Ia terdiam. Aku yakin dia tidak mengerti apa yang kukatakan.
Tapi ia bertanya lagi, “Apakah di halaman masjid tidak boleh ditanami pepohonan?”
Aku tersentak. Akhirnya kuraih dia dalam pelukan
Kujelaskan bahwa halaman masjid sekarang penuh oleh kendaraan yang parkir. Tidak ada tempat untuk menanam pohon lagi.
Dia tertunduk. Sedih.
“Jangan kuatir, sayang, pohon Natal ini akan kutanam di samping masjid, dan akan kurawat, setuju?”
Dia mengangguk.
“Terima kasih, Om, Natal itu untuk anak-anak!” ucapnya tersenyum.
Aku pun tersenyum, walaupun tidak mengerti maksud ucapannya.
***
Tangerang Selatan, 24 Desember 2016
Ahmad Gaus
Ini hadiah buku untuk penulis puisi terbaik:
N O V E L
“Di dunia ini ada kekuatan hitam, ada kekuatan putih. Kamu pilih yang mana untuk membantu mewujudkan impian-impianmu? Tapi ingat, setiap pilihan akan membawa akibat pada kehidupanmu.”
Kisah pertempuran abadi dua kekuatan yang diwakili oleh dua karakter perempuan muda, baca di sini: https://h5.novelme.com/bookinfo/18126