Baca juga –> Diagram Air Mata
Follow my IG: @gauspoem
Aku menulis, maka aku ada
Baca juga –> Diagram Air Mata
Follow my IG: @gauspoem
Ada juga yang bacakan puisi ini di Youtube:
If you like this poem please share, thanks
Cinta Segitiga Berakhir Bahagia
Read another poem:
Happy birthday brother Jon. Wish you all the best.
[ahmadgaus]
“Aku ingin berjalan bersamamu
Dalam hujan dan malam gelap
Tapi aku tak bisa melihat matamu.”
(“Resah”, oleh Payung Teduh)
MATA YANG INDAH
Mata yang indah
adalah seribu kunang-kunang
yang berpindah dari lembah
ke taman pedestrian
dan membawaku kembali duduk
di sana — sudut kota yang memulakan segalanya dari keraguan.
Walau langit gelap
mata itu tetap purnama
tapi aku tak ingin menatapnya
karena aku akan tersiksa
maka kubiarkan kaki berjalan
dalam kegelapan.
Mata yang indah adalah muara
pelabuhan bagi biduk-biduk
resah dan kebahagiaan
dalam mata yang indah
kehidupan selalu basah
karena di kelopaknya yang rawan
hanya ada musim penghujan.
03/09/17
Rumah Budaya Nusantara
PUSPO BUDOYO, Tangsel.
Baca juga: [Puisi] Z
KETUPAT LEBARAN
Anak-anak membakar petasan di ujung gang dan dilemparkan begitu saja ke arahku
Senyampang ledakan persis di wajahku, aku terlempar jauh sekali
Ke masa kanak-kanak, di bawah pohon kelapa
Ketika nenekku mengajari menganyam ketupat.
“Nanti malam malaikat-malaikat akan turun,” katanya. “Kita beri mereka makanan enak supaya nanti kita ditunjuki jalan ke surga.”
Malam hari kulihat banyak sekali ketupat di mushalla tempat kami salat tarawih
Tapi usai qunut dan witir para jamaah melahap ketupat-ketupat itu dan sebagian dibawa pulang hingga tidak ada yang tersisa.
“Aku tidak melihat para malaikat makan ketupat, ke mana mereka?” Tanyaku.
Imam tarawih, yang tidak lain adalah kakekku, menjelaskan bahwa para malaikat akan datang di sepertiga malam. Maka malam itu aku dan teman-teman berjaga di mushalla. Sebagian memukul bedug dan yang lain saling memijat bergantian dengan cara menginjak badan. Tidak ada satu pun yang mengaji karena kami khawatir malaikat datang tanpa diketahui.
Lewat tengah malam listrik padam. Tapi langit begitu terang. Para malaikat beriringan membawa obor yang dibuat oleh nenekku. Menyebrangi sungai yang masih jernih dan luas di kampungku.
Penduduk mengikuti para malaikat itu dari belakang. Kakekku menyerukan agar semua berbaris rapi menuju sebuah bukit. Itulah tempat keutamaan, katanya, di mana para nabi telah menunggu ribuan tahun lamanya.
“Terus berjalan, terus!” Kakekku berseru lagi. Semua mengikuti perintahnya, menembus malam yang diterangi cahaya obor. Makin jauh kami berjalan suasana makin sunyi. Sampai ke lereng bukit. Kami mendengar rumputan dan batu-batu bertakbir.
Dari kejauhan aku mendengar sayup-sayup bunyi petasan berubah perlahan-lahan menjadi suara takbir. Melesap masuk ke lorong waktu yang sangat panjang, yang menghubungkan ruh dan jasadku.
Malam ini aku melihat almarhum kakek dan nenekku turun dari bukit membawa ketupat.
Ciputat, 04-06-2019
Ahmad Gaus
MENJARING BAYANG-BAYANG
Aku dan bayang-bayangku adalah satu kesatuan
Ke timur atau ke barat, ke utara atau ke selatan
Kami selalu pergi bersama-sama
Tidak ada yang bisa memisahkan kami kecuali kegelapan
Di dalam gelap aku tidak pernah bertanya ke mana bayang-bayangku pergi
Dan dia tidak pernah peduli apa yang aku lakukan
Aku membutuhkan bayang-bayangku
Karena dia memberitahu aku tentang cahaya
Tapi aku juga takut dengan bayang-bayangku sendiri
Karena dia menjelmakan sisi yang paling gelap dari diriku
Aku dan bayang-bayang tidak pernah saling mengejar
Karena kami memahami posisi masing-masing
Kadang dia ada di belakang mengikutiku
Kadang dia di depan dan aku yang mengikutinya
Bayang-bayang selalu melekat padaku
Tapi aku tidak memilikinya
Dia adalah milik cahaya
Bahkan aku tidak mengenalinya
Hanya kegelapan yang mengenalinya dengan baik
Karena dia adalah anak kandung kegelapan
Cahaya dan kegelapan bersaing menjaring bayang-bayangku
Hasilnya adalah gambaran diriku dalam satu dimensi… gelap dan tidak utuh!
Itulah sebabnya aku tidak percaya pada bayang-bayangku sendiri
Walaupun aku tahu dia akan terus bersamaku
Sampai nanti aku mati
Catatan:
Puisi dibacakan dalam workshop Lembaga Sensor Film (LSF) “Menjaring Bayang-Bayang Zaman Now” di Ibis Styles, Bogor, 1 September 2018