[Memoar] MENYANYIKAN NURCHOLISH MADJID

Islam Yes Partai Islam No

Menyanyikan Nurcholish Madjid
CATATAN berikut merupakan Pengantar Penulis untuk Biografi Nurcholish Madjid “API ISLAM”, terbitan Kompas 2010. Semoga bermanfaat sebagai renungan di tahun baru 1435 Hijriyah.

BUDAYAWAN Emha Ainun Nadjib bertanya kepada Omi Madjid, lagu apa yang paling disukai Cak Nur (Nurcholish Madjid). Istri almarhum Cak Nur itu menjawab, Umi Kulsum. Cahaya di atas panggung redup. Kelompok gamelan Kiai Kanjeng pimpinan Emha Ainun Nadjib mengalunkan lagu Ghannily shwayya shwayya dari Umi Kulsum, penyanyi legendaris asal Mesir, kemudian A’atiny naya wa ghanni dari Fairouz, penyanyi wanita Kristen Arab asal Libanon. Berkali-kali Emha mengumandangkan salawat dan doa, sambil bergumam, laka Cak Nur…, laka Cak Nur… (untukmu Cak Nur…, untukmu Cak Nur).

Para pengunjung yang memadati ruang teater TIM (Taman Ismail Marzuki) pada 28 Mei 2008 untuk menghadiri haul 1000 hari wafatnya almarhum Cak Nur itu sadar bahwa mereka tidak sedang berada dalam ruang diskusi pemikiran, di ruang mana Cak Nur biasa mereka temui. Emha membawa mereka ke ruang Cak Nur yang lain, yakni Cak Nur si anak Jombang yang gemar asyrakalan dan melantunkan salawat. (Tradisi salawatan ini, hingga sekarang, masih menjadi bagian dalam setiap acara wisuda di Universitas Paramadina yang didirikan Cak Nur). Cak Nur si pemikir, ujar Emha, sudah banyak yang tahu, tapi Cak Nur yang memiliki cita rasa seni, banyak yang belum tahu. Maka Emha membawa imajinasi hadirin untuk mengenal Cak Nur dari syair-syair Abu Nawas yang sering dilantunkannya sewaktu belajar di Pesantren Gontor.

Acara haul itu benar-benar menghadirkan suasana Jombang, kota santri, tempat kelahiran Cak Nur. Emha menyerasikan kesyahduan kota santri dengan kota Nabi (madinatun-nabiy) ketika ia melantunkan ayat-ayat suci dan pujian-pujian kepada Rasulullah Muhammad SAW. Kata Emha, Cak Nur adalah orang yang sangat mencintai Nabi. Ia tak pernah berhenti mengajak bangsa ini untuk meneladani akhlak Rasul. Di tengah kegalauan bangsa ia hadir seperti cahaya. Bahasa tubuhnya lembut, dan energinya menenangkan.

Sama-sama lahir di Jombang dan menimba ilmu agama di pesantren Gontor, Emha tampaknya sangat mengenal sosok Cak Nur. Ia menganggap Cak Nur sebagai kakaknya sendiri. Di antara mereka ada Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), juga dari Jombang. Gus Dur menyebut kedekatannya dengan Cak Nur seperti pinang dibelah dua. Jika kedua belahan pinang itu berkelahi, tutur Emha suatu ketika, tak pernah bisa lama. Biasanya salah satunya segera memanggil Emha untuk menjadi juru damai. Dan perkelahian pun berubah menjadi gerr-gerrran…!

Gus Dur dan Cak Nur
Gus Dur dan Cak Nur

Rasanya tidak ada yang bisa menggambarkan sosok Cak Nur sebaik Emha menggambarkannya. Demikian juga buku ini. Ditulis dengan perasaan was-was karena bisa saja terjerembab ke dalam reduksi dan penyederhanaan, buku ini pasti tidak lengkap. Buku ini ditulis sekadar untuk memenuhi dahaga kerinduan para sahabat, murid, dan masyarakat pada umumnya pada sosok Sang Begawan (pinjam istilah Kuntowijoyo) dan pikiran-pikirannya.

Api Islam BB

Di luar visi-visi besarnya, Cak Nur adalah orang yang ajarannya sangat sederhana. Menjadi Muslim yang baik, katanya, adalah menjadi manusia yang baik. Ia sering mengajari bangsa ini untuk selalu bersabar, menunda kesenangan, dan mau berkorban untuk kepentingan orang banyak. Ia menggambarkan pengorbanan sebagai “jalan mendaki yang sulit” (aqabah) karena mempunyai efek peningkatan harkat dan martabat manusia.

Cak Nur tidak pernah membiarkan dirinya hanyut dalam keadaan tidak menentu dan pusaran kekacauan, karena ia menghayati Tuhan sebagai Yang Maha Hadir (Omnipresent), yang selalu memberi jalan keluar. Setiap perkara kehidupan selalu dicarikan jalan keluarnya secara baik, husnul khatimah. Cara itulah, misalnya, yang ia tempuh ketika menurunkan Pak Harto dari kursi kekuasaan yang telah didudukinya selama 32 tahun. Jika bukan dengan seruan husnul khatimah, manalah ada penguasa yang rela diturunkan sambil dinistakan. Cak Nur memberi contoh tentang berpolitik secara baik.

***

Cak Nur meninggal dunia pada 29 Agustus 2005. Ia pergi meninggalkan warisan ilmu pengetahuan kepada generasi sekarang dan mendatang. Buah pikirannya menjadi rujukan yang terus dibicarakan. Obsesinya untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa besar telah menginspirasi banyak kaum muda menempuh jalan yang dilaluinya, mencermati pemikirannya, serta mencontoh sikap dan tindakannya.

CakNurMeninggal

Sampai akhir hayatnya, Cak Nur adalah orang yang lurus (hanif). Ia hanya percaya pada kebenaran yang lapang (al-hanifiyah al-samhah), kebenaran yang tidak membelenggu jiwa, kebenaran yang berproses di dalam penghayatan akan Tuhan dan pengalaman iman yang berlangsung sepanjang hayat. Kebenaran seperti ini hanya mengakui kemutlakan Tuhan, namun relatif pada dirinya sendiri. Kebenaran seperti ini bersifat rendah hati, dan tidak memaksa orang lain. Cak Nur mengajarkan: Kalau kita berhenti mencari, dan merasa sudah sampai pada kebenaran, maka kita mudah menjadi sombong!

Kritik Cak Nur terhadap fundamentalisme agama terutama pada kesombongannya. Kaum fundamentalis ingin meringkus kebenaran dan memaksakannya kepada orang lain. Fundamentalisme kini telah menjelma menjadi kekerasan agama. Dewasa ini kita semakin sering melihat orang-orang yang marah meneriakkan asma Allah, mengancam orang yang berbeda pandangan, dan menyerang rumah-rumah ibadah orang yang berbeda keyakinan. Dulu masyarakat dunia mengenal Islam Indonesia dan Asia Tenggara sebagai Islam yang berwajah lembut. “Islam with a smiling face,” tulis majalah Time dan Newsweek pada 1996. Tapi kini wajah itu telah berubah menjadi brutal dan penuh kebencian. Di titik ini kita teringat Cak Nur yang selalu tersenyum, mendakwahkan Islam sebagai rahmat bagi semua.

Cak Nur adalah guru kebebasan. Kata Cak Nur, kebebasan adalah hal pertama yang diberikan Tuhan kepada manusia, bahkan kebebasan untuk beriman atau tidak beriman kepada-Nya (faman sya’a fal yu’min, wa man sya’a fal yakfur). Kalau Tuhan tidak memberi kebebasan kepada makhluknya untuk tidak beriman, bagaimana mungkin kita bisa beriman secara tulus? Keimanan yang sejati hanya bisa lahir dari kebebasan. Konstruksi kebebasan seperti ini mendorong tumbuhnya sikap keimanan yang terbuka. Yaitu, tidak merasa benar sendiri, dan mau menerima perbedaan sebagai konsekuensi dari kebebasan yang diberikan Tuhan. Wujud dari sikap keagamaan seperti ini adalah toleransi antar-sesama. Orang yang berbeda bukanlah musuh yang harus dimusnahkan. Ajaran tentang kebebasan dan toleransi telah menjadi dasar bagi perdamaian dan persahabatan antar-agama.

Nilai-nilai yang diusung Cak Nur adalah nilai-nilai universal yang ada pada semua agama, bukan nilai sektarian, dari dan untuk kepentingan kelompok tertentu saja. Saat ini, di tengah menguatnya kembali intoleransi dan kekerasan atas nama agama, pikiran-pikiran Cak Nur kembali relevan untuk diingat dan disemaikan. Cita-cita Cak Nur untuk menjadikan umat Islam Indonesia lebih toleran, moderat, dan bersahabat, belum selesai dan harus terus dikerjakan. Buku ini adalah upaya kecil untuk menyambung cita-cita Cak Nur tersebut.

***

Dalam menyusun buku ini penulis berutang budi kepada banyak orang. Pertama-tama, saya ingin menyampaikan terima kasih kepada Ibu Omi Madjid, istri almarhum Cak Nur dan putra-putri mereka, Nadia dan Mikail. Saya mohon maaf jika banyak kekurangan dalam buku ini.

Putri alm Cak Nur, Nadia Madjid menyampaikan sambutan dalam acara Sewindu Haul Cak Nur
Putri alm Cak Nur, Nadia Madjid menyampaikan sambutan dalam acara Sewindu Haul Cak Nur

Kemudian kepada Mas Tom (pendiri Paramadina), yang selalu bertanya, “Mana biografi Cak Nur itu?” Maka, buku ini juga saya hadiahkan untuk Mas Tom, disertai doa dari saya, istri, dan anak-anak kami, Fya dan Echa, agar ‘Apa Tom’ sehat, panjang umur, dan tetap beramal saleh.

Mas Tom (Utomo Dananjaya)
Mas Tom (Utomo Dananjaya)
Yudi Latif
Yudi Latif

Saya juga menerima dorongan yang positif dan tulus dari dua sahabat saya, Budhy Munawar-Rachman dan Yudi Latif yang menorehkan catatan mereka untuk buku ini. Perhatian mereka terhadap proses penulisan buku ini sangat membesarkan hati. Semua jalan mereka usahakan agar buku ini bisa terbit. Menurut saya, Cak Nur tidak bisa digantikan oleh salah satu muridnya yang paling pintar sekalipun. Tapi kalau orang seperti Budhy dan Yudi berkolaborasi, ditambah beberapa yang lain, akan lahir “Cak Nur edisi baru”. Bentuknya mungkin post-Nurcholish, semacam rekonstruksi atas wacana-wacana Nurcholishian untuk menjawab tantangan zaman yang sudah berubah dan berbeda dengan zaman Cak Nur dulu.

Budhy Munawar-Rachman
Budhy Munawar-Rachman

Beberapa teman di JIL (Jaringan Islam Liberal), murid intelektual Cak Nur ataupun bukan, telah melakukan itu, seperti tampak dalam berbagai pernyataan dan tulisan mereka yang berusaha merevisi sejumlah bangunan epistemologi Nurcholishian yang pernah menjadi paradigma dalam diskursus keislaman di Tanah Air. Sementara itu, murid-murid Cak Nur yang lain masih senang dengan wacana-wacana seperti “inklusivisme” dan “titik temu” (Cak Nur tahun 80-an). Ketika Cak Nur telah melesat jauh, para pengeritiknya dari sayap kanan Islam masih terus mempersoalkan gagasan sekularisasi (Cak Nur tahun 70-an).

Yang agak lumayan adalah para pengeritik Cak Nur dari sayap kiri Islam, seperti beberapa anak muda NU. Mereka bisa menangkap ide-ide Cak Nur sejak edisi pertama hingga terakhir. Sehingga sosok Cak Nur muncul seperti gambar hidup, bukan potret yang mati. Sayangnya, argumen-argumen mereka terlampau pekat dengan kecurigaan. Akhirnya posisi mereka pun nyaris serupa dengan para kritikus sayap kanan, yakni sama-sama menciptakan halusinasi tentang sosok Cak Nur “yang mengancam”.

Bagi kritikus sayap kanan, Cak Nur adalah agen zionis dan orientalis yang mengancam Islam yang mereka pahami. Bagi kritikus sayap kiri, Cak Nur adalah advokat ideologi modernisme yang mengancam basis pengetahuan dan praksis politik kelompok tradisionalis. Cara pandang seperti ini telah menghidupkan kembali politik aliran. Bentuk serangan mereka terhadap Cak Nur dikesankan seolah-olah wacana ilmiah, padahal hanya propaganda ideologi, yang membangkitkan kebencian antar-kelompok.

Terlepas dari itu, saya ingin berterima kasih kepada mereka semua. Sebab buku ini pun, mau tidak mau, berutang kepada berbagai pandangan yang pernah muncul, baik pro maupun kontra, terhadap pemikiran Cak Nur. Entah buku ini ada di posisi mana. Sebisa mungkin saya berusaha untuk objektif. Tapi bagaimanapun, Cak Nur adalah guru saya, sehingga tidak sepenuhnya saya bisa melepaskan unsur subjektivitas. Saya teringat pesan Ahmad Sumargono ketika berbicara melalui telepon, “Jangan mengatakan hal-hal yang buruk tentang orang yang sudah wafat.” Luar biasa. Kata-kata itu diucapkan oleh Ahmad Sumargono, penentang Cak Nur yang paling serius. Terima kasih, Mas Gogon. Saya berharap kritik-kritik yang saya rangkum dalam buku ini bukan hal yang buruk.

Beberapa bagian buku ini merujuk pada manuskrip yang ditulis oleh Ihsan Ali-Fauzi, yang semula direncanakan sebagai otobiografi Cak Nur. Tapi entah kenapa, sudah lebih sepuluh tahun, tak juga terbit. Sebagian bahan itu telah dimuat dalam Ensiklopedi Nurcholish Madjid. Saya memanfaatkan beberapa bagian yang saya anggap penting, terutama untuk tulisan mengenai Gontor, IAIN, dan HMI. Terima kasih kepada Ihsan.

Saya juga ingin berterima kasih kepada teman-teman saya di CSL (Center for Spirituality and Leadership). Pertama-tama kepada para senior saya: Pak Hario Soeprobo, Pak Mahdi Syahbuddin, dan Pak Hendro Martowardojo. Kemudian teman-teman seperjuangan: Bang Dame, Mas Eko, Jhody, Vita, Zaki, Ali, Dwi, dan Pepen. Dalam kegiatan wawancara dengan para narasumber, saya dibantu oleh Ade Buchori dan Abdul Halim (keduanya dari Universitas Paramadina), dan Asnawi (IAIN Jakarta). Mereka juga mentranskripsikan hasil wawancara di Jombang, Surabaya, Bandung, dan Jakarta.

Draft awal artikel mengenai ICMI disiapkan oleh Muhamad Nabil (IAIN Jakarta). Rifki (Paramadina) dan Afif (HMI Cirebon) juga saya minta bantuannya untuk melihat Cak Nur dalam perspektif kaum muda. Sedangkan dari perspektif kaum tua, saya berutang budi kepada Bapak Arifin Pakih, peserta awal kegiatan-kegiatan Paramadina, yang memberi banyak masukan. Beliau juga meminjamkan beberapa catatan reflektifnya mengenai Cak Nur dan Paramadina, termasuk catatan keributannya dengan seorang ustadz di masjid lingkungan tempat tinggalnya di Cirendeu, gara-gara sang ustadz berceramah menuding-nuding Cak Nur dan Paramadina sebagai sesat. “Saya tidak rela masjid digunakan untuk menghujat-hujat orang,” ujarnya.
Maulana Muladi (Tabloid Jumat), Deden Ridwan dan Taufik MR (keduanya dari Mizan) telah meminjamkan bahan-bahan yang sangat penting untuk penulisan buku ini. Begitu juga teman-teman di Paramadina, terutama Kang Muslih, Rahmat, dan Indah. Teman lain yang fanatik dengan Paramadina, tapi tidak pernah mengaji di Paramadina, ialah Chaider S. Bamualim. Beberapa bagian buku ini saya tulis dalam perjalanan riset dengan dia di Bandung, Cianjur, Tasikmalaya, dan Kuningan selama dua bulan pada 2009. Anak keturunan Arab dari Sumba, NTT, ini sangat ngefans kepada Cak Nur, dan menulis tesis di Universitas Leiden, Belanda, seputar konsep Cak Nur mengenai al-hanifiyat al-samhah. Atas dukungan mereka semua buku ini bisa selesai.

Saya juga ingin berterima kasih kepada semua narasumber yang kami wawancarai dalam rangka mengumpulkan bahan-bahan untuk penulisan buku ini. Meski tidak semua hasil wawancara dikutip secara langsung, tapi apa yang mereka sampaikan menjadi referensi pikiran dalam membentuk keseluruhan alur cerita dalam buku ini. Nama-nama narasumber saya lampirkan di halaman belakang.

Akhirnya, saya harus katakan bahwa tanpa kebaikan dan peran Mas St. Sularto di Kompas, pasti penyelesaian buku ini akan memakan waktu lebih lama lagi. Ucapan terima kasih kepada beliau dan juga teman-teman di Penerbit Buku Kompas. Semoga kerjasama yang baik menetaskan inspirasi untuk menulis karya-karya lain yang berguna bagi masyarakat.

Pernyataan para tokoh yang dikutip pada sampul belakang buku ini diambil dari kesaksian mereka dalam acara haul 1000 hari wafatnya Cak Nur di TIM pada 28 Mei 2008 lalu. Untuk itu, saya mohon keikhlasan mereka, karena komentar mereka saya munculkan tanpa izin (kecuali Neng Dara Affiah, yang saya minta komentarnya secara khusus tentang Cak Nur). Saya menganggap bahwa itu pernyataan publikasi, sehingga bisa diklaim milik umum.

Emha Ainun Nadjib yang memimpin acara haul itu menuturkan bahwa Kiai Kanjeng tidak akan bisa “menyanyikan Nurcholish Madjid” secara sempurna kecuali semua alat musiknya dimainkan. Itu juga berlaku untuk buku ini. Berbagai pandangan pro dan kontra, atau “netral”, yang berhasil dirangkum sebisa mungkin dimunculkan sebagai “alat musik” untuk menyanyikan lagu-lagu tentang Cak Nur.

Sebagai penutup, izinkan saya mengutip doa persembahan yang dibawakan oleh Kang Jalal (Prof Dr KH Jalaluddin Rakhmat) pada acara haul 1000 hari wafatnya Cak Nur sebagai berikut: “Saudara kami Nurcholish Madjid telah meninggalkan kenangan indah bagi kami. Ia telah mengajari kami Islam yang penuh kasih kepada seluruh alam. Ia telah menanamkan pada hati kami Islam Qurani yang dengan amal menilai kemuliaan orang, apapun mazhabnya; Islam Muhammadi yang dari cintanya kepada sesama manusia menghormati semua pecinta Tuhan, apapun agamanya; Islam ilmi yang dari bukti-bukti ilmiah menghargai perbedaan pendapat, apapun alirannya.”

Demikian. Selamat membaca buku ini dan semoga bermanfaat.

Ciputat, Juli 2010
Salam Penulis
Ahmad Gaus AF

2 Comments

  1. basyrah says:

    Terima kasih mas. Saya akan beli dan baca buku ini. Mas, saya pasien gagal ginjal 2 kali dan sdh 2 kali cangkok ginjal. Rasanya setelah cangkok terakhir ini saya tdk bisa lagi kerja di proyek. Dan mau belajar menulis saja. Apa mas berkenan membantu saya memberikan tip sederhana mengenai tulis menulis. Terima kasih sebelumnya.

    Like

    1. gausaf says:

      Terima kasih atas apreasiasinya. Semoga buku itu masih ada di Gramedia, tapi kalau tidak ada bisa kontak orang di Penerbit Buku Kompas: 08158925350 (Patris). Soal belajar menulis kami ada kelas, sila hubungi Sylvi: 081310954010. Salam

      Like

Leave a Comment