Makhluk-makhluk itu muncul begitu saja dari bongkahan batu menjelma burung-burung yang lapar
terbang mengelilingi kota
mencari sisa-sisa makanan dan bangkai
untuk memenuhi kebutuhan
manusia
Di malam hari makhluk-makhluk itu kembali menjadi batu tapi batu-batu yang berekor api berlintasan bagai anak-anak panah yang dilepaskan
Maka banyak peristiwa di malam hari: bintang yang pecah berkeping-keping bidadari-bidadari yang menjerit dilemparkan dari surga kabut hitam yang masuk ke telinga mengubah dirinya menjadi serigala mengaumkan ancaman dan menghilang begitu saja di kegelapan
Bulan mengirimkan sinarnya masuk ke dalam kepala Tapi jangan salah, kepala adalah gudang
tempat penyimpanan senjata tempat penyanderaan musuh-musuh temboknya dipenuhi kawat berduri dan dijaga oleh makhluk-makhluk halus
Makhluk-makhluk itu mengambil batu untuk melempari bulan hingga bulan terluka dan menangis menjeritkan nyanyian-nyanyian gaib seperti lolongan anjing yang tersekap oleh ketakutannya sendiri
Batu-batu itu tertawa melengking memercikkan api dari ekor-ekornya seperti ingin membakar bumi memusnahkan masyarakat manusia
Begitu marahnya batu kepada manusia padahal, berabad-abad lamanya manusia dan batu hidup berdampingan secara damai sampai kemudian konflik tak terhindarkan saat manusia merenggut batu-batu itu dari tempat mereka bersemadi untuk melempari manusia lain sampai mati dan merampas kehormatannya
Batu akhirnya tahu tabiat buruk manusia yang gemar membunuh dan memakan bangkai saudaranya maka batu tidak pernah bermimpi menjadi manusia mereka hanya ingin kembali ke habitatnya berzikir menyucikan diri berdiam diri selamanya dalam meditasi abadi
Kata Pengantar Ahmad Gaus untuk Buku Puisi Heri Mulyadi, “Elegi Cinta, Cerita Kata.”
Puisi, Daun, dan Bunga di Musim Semi
ADA yang mengatakan bahwa setiap puisi adalah hasil proses kreatif. Pernyataan ini benar belaka. Tapi tidak cukup. Puisi ialah imajinasi, yaitu proses pra-kreasi. Keduanya tentu berkelindan, namun saya merasa perlu membedakannya beberapa saat setelah saya menyimak puisi-puisi penyair Heri Mulyadi dalam buku ini. Berekspresi dalam puisi artinya meletakkan atau menyusun bahan-bahan yang tersedia (ide, suasana, peristiwa, objek-objek) ke dalam bangunan puisi. Namun karena puisi ialah karya seni, maka berlakulah apa yang dipercayai para seniman bahwa “in art, we are doing morethan just putting materials or actions or combining ideas together.”
Karya seni, termasuk puisi, merefleksikan proses penciptaan yang rumit karena aktivitas semacam itu menuntut seniman untuk memiliki kemampuan melihat hal-hal yang tak terlihat, atau dalam kata-kata Nancy McCormick (2018), the ability to see objects in things not readily seen or observed. Nancy bahkan percaya bahwa sebuah karya seharusnya memang lahir dari hasil “melihat”, bukan lahir dari hasil kreativitas belaka. Itulah yang disebut imajinasi. Sedangkan kreativitas ialah the ability to produce an idea in a new way. Jadi memang berbeda.
Di mana istimewanya puisi-puisi Heri Mulyadi bila dilihat dari kacamata itu? Sebagian puisi yang dimuat dalam buku ini merupakan hasil “penglihatan” Heri yang mampu menerobos alam fenomena yang kasat mata, menyingkap rahasia-rahasia di balik kenyataan keras, dan meletakkan imajinasinya dalam horison pandangan mata yang berlapis-lapis. Sebagian lainnya adalah puisi-puisi yang lahir dari proses pengendapan pikiran dan perasaan yang diekspresikan dalam bait-bait puisi yang terkesan “komunikatif”. Pikiran dan perasaan ada pada setiap orang, namun tidak setiap orang mampu mengekspresikan dengan cara seorang penyair menyampaikannya. Orang-orang memilih jalan lurus dan verbal, penyair memilih jalan menikung dan terjal. Heri lebih sering memilih jalan yang kedua.
Mari kita simak puisi Heri di bawah ini:
Mengejar Tuhan
Di jalan zonder debu ini, angin berkesiut
menyesaki ruang, mengembara
membekap buana, meniupkan
selendang pelangi, berselimut
malam, berpayung hujan
Kisahkanlah: jika sejumput rindu datang,
orang ramai berteriak atas nama tuhan,
masihkah zikir, doa-doa kasih
bagi gembala tersesat, dewa dewi yang
bersemayam di nirwana,
tapa brata pengendali jiwa,
meredam amarah,
benci dan dendam?
Di deru angin kutemui wajah
rupa-rupa tuhan, aku tersungkur:
sujudku belum lagi sampai
kutanya adam, ibrahim, musa dan isa:
pulanglah, katanya, usah engkau berebut
mengejar tuhan
lalu torehkan luka
budha melambai di kejauhan, kidungkan
bhagawat para pariah: jangan kau mati
sebelum mati
muhammad berbisik, jangan buat kedustaan!
Padang-Palembang, 27 Februari 2018
Puisi di atas merefleksikan pengembaraan imajinasi yang konsisten pada objek yang bisu, jauh, dan gaib. Nama-nama dan diksi yang dipilih adalah nomenklatur religius (sebagai representasi kesucian, keagungan) yang dibenturkan dengan fenomena kemanusiaan yang profan dengan hasrat-hasrat manusiawinya seperti amarah, benci dan dendam. Adalah sifat manusia memiliki ambisi untuk mengejar kekuasaan, kedudukan, harta, dan sejenisnya. Juga, manusia sangat bernafsu menguasai kebenaran (yang direpresentasikan oleh judul puisi ini: Mengejar Tuhan). Masalahnya, jika setiap orang/kelompok berebut kebenaran sambil menghalau yang lain, maka yang akan terjadi ialah luka-luka, dan bahkan kebenaran itu sendiri menjauh: … usah engkau berebut/ mengejar tuhan / lalu torehkan luka.. / budha melambai di kejauhan.
Heri melakukan dialog imajiner dengan para nabi dan orang-orang suci sebagai upaya mencari jawaban atas apa yang ia lihat di alam fenomena yang boleh jadi tak nampak pada pandangan mata orang lain. Ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan lirih dan retoris. Realitas yang keras ditransendensikan. Dan ia mampu mengekspresikannya dalam bait-bait puisi yang sublim tanpa harus menggunakan metafora yang sulit dijangkau jejaknya. Namun jelas bahwa ia berada cukup lama di alam imajinasi pra-kreasi sebelum menemukan bentuk pengungkapan dalam bait-bait puisi yang indah dan sublim. Puisi-puisi Heri yang bercorak seperti ini adalah: Nyanyian Senja Jeselton Point, Elegi Cinta, Mencari, Semburat, Penjahat Cinta, Malappuram Suatu Malam, Kidung Petang Bharata Pura, dan yang lainnya.
***
Sampai saat ini orang percaya bahwa puisi ialah ekspresi pikiran dan perasaan penulisnya. Dalam arti ini, puisi menjadi sosok kembar sang pengarang. Namun saya ingin menegaskan bahwa kompleksitas sebuah puisi tidak mungkin dirujuk sepenuhnya pada biografi sang pengarang yang tengah dilanda perasaan tertentu (jatuh cinta, bahagia, kecewa, marah, rindu, dan sebagainya). Juga tidak pada pikirannya yang tengah disusupi aneka problem, misalnya. Banyak puisi yang lahir begitu saja dari pohon imajinasi, muncul seperti daun dan bunga di musim semi.
Dalam pemahaman seperti ini, tidak setiap puisi memiliki hubungan dengan kenyataan yang terasakan atau terpikirkan, yang di dalamnya telah mengandung makna secara inhern. Justru tugas puisi ialah, dalam bahasa Riffaterre, creating of meaning (menciptakan makna). Dan tidak ada makna yang lebih agung dari sesuatu yang berada di luar pikiran dan perasaan manusia yang nisbi. Maka kehadiran Sang Penyair menjadi syarat bagi sebuah puisi agung. DIA -lah yang menulis, sedangkan si penyair hanya perantara, media yang mengantarkan suara Sang Pemilik makna. Dalam buku ini banyak puisi Heri yang merupakan ungkapan ketundukan seorang hamba kepada Sang Khaliq, kepasrahan hidup yang fana pada keabadian. Salah satu contoh puisi seperti itu ialah Perjalanan ke Mihrab 45.
Para teoritikus sastra pada umumnya bicara soal makna, tapi melupakan potensi makna, yang mengelilingi sebuah puisi. Maksud saya, makna terdapat dalam lipatan-lipatan teks, sementara potensi makna berada di luar teks. Kalau bukan dengan pemahaman seperti ini niscaya kita akan kesulitan membaca bait terakhir puisi Heri yang berjudul Perjalanan tersebut karena pesan yang terlahir lebih dari apa yang disampaikan. Berikut penggalan puisi tersebut:
Tak ada perayaan untukmu
karena jalan masihlah panjang
terus dan teruslah
beribu mihrab menunggu di ujung sajadah
Atau bait pertama dari puisi berjudul Kidung Petang Bharata Pura ini:
Bernyanyilah petang di jalan sunyi
hening melukis langit bermandi tembaga
seekor belibis rindu sarang
dan burung-burung kuntul tak lelah
mematuk paruh di kemilau Bharata Pura yang bisu
Sebagian puisi Heri dapat dibaca secara normatif, namun sebagian lagi mengajak kita bertamasya dalam labirin semiotika dimana tanda jejaknya harus ditafsir secara hati-hati. Setiap objek, ide, situasi, merepresentasikan makna tersendiri yang bekerja dalam jalinan teks puisi. Tujuannya menciptakan kejutan, paradoks, penajaman makna, atau pemerkayaan pesan yang hendak disampaikan.
Karena tanda tidak berdiri sendiri, melainkan bagian dari tanda-tanda lainnya, maka sebuah puisi kadang menjadi jebakan bukan saja bagi pembaca yang menafsir namun juga bagi sang penyair. Penyair yang tidak hati-hati dalam menjalin tanda akan menyajikan puisi yang retak, cacat, bahkan anarkis. Pembaca sendiri akan terjerumus ke dalam lorong gelap tanpa pintu. Sebagian besar puisi Heri berhasil keluar dari jebakan ini. Namun pada beberapa puisi ia tampaknya, entah sengaja atau tidak, lebih menampakkan subjektivitas yang sebenarnya cukup berbahaya bagi pembacaan umum. Puisi yang bernada politik niscaya kurang mampu melejitkan cakrawala imajinasi dan menampung keragaman sudut pandang.
Puisi sebenarnya adalah campuran antara yang bukan puisi dan puisi itu sendiri. Gagasan yang kita sampaikan, posisi kita dalam sebuah peristiwa atau isu, intensi atau niat kita menyampaikannya — semua itu berada di luar puisi, bukan puisi, atau istilah resminya ekstra estetika. Sedangkan “yang puisi” itu sendiri, atau lingkaran estetika, mencakup semua unsur lahir-batin yang membentuk puisi seperti penyusunan larik dan bait, pemilihan diksi, gaya bahasa, rima, irama, alur, daya gugah, daya pikat, daya cekam, keharuan, imajinasi, dan unsur inovasi.
Tidak semua orang berhasil masuk ke dalam lingkaran estetika ini dengan gemilang. Bahkan mereka yang sudah terbiasa menulis puisi, atau penyair, kadang masih termangu-mangu di beranda depan lingkaran estetika. Lihat saja bagaimana beberapa waktu lalu banyak orang yang tiba-tiba menjadi penyair yang menulis puisi tandingan untuk puisi berjudul Ibu Indonesia karya Sukmawati Sukarnoputri yang menghebohkan itu. Ramai-ramai menulis puisi untuk sekadar menghujat. Jadilah puisi seperti slogan-slogan kampanye yang dijejali banyak narasi di luar daya tampung puisi itu sendiri. Jadilah puisi seperti retorika atau propaganda yang dipenuhi semua hal, kecuali puisi itu sendiri.
Sebagai seorang penyair yang telah melahirkan banyak karya, saya melihat Heri Mulyadi cukup piawai dalam menjalin kata, mencipta makna, merangkai pesan, membawa masuk unsur-unsur ekstra-estetika ke dalam tubuh puisi dengan halus dan cermat. Walhasil, sebagai seorang seniman yang menyerukan keindahan, Heri tampaknya tetap setia berada di dalam lingkaran estetika puisi sebagaimana saya maksudkan di atas. Selamat menikmati puisi-puisi sang penyair kelahiran Tanjungkarang, Lampung, ini.[]
Gedung Film, Oktober 2018
Ahmad Gaus AF, Dosen Sastra dan Budaya, Swiss German University (SGU) – Tangerang
Follow my IG: @gauspoem and get interesting prizes every weekend
Jika Anda berminat membeli buku ini sila hubungi penerbitnya: 082178522158
Zombies build cities from the ground up in the holy human soil. After such a great war, in which they undoubtedly trounce over humans, authority has changed hands. New rules are born. Laws are enforced way above zombie values. Values pouring from the fresh blood of corpses that roam; from the dead who sought revenge.
Who is responsible for all this? Where earth must be rescued from the breeding of new zombies; from an energy so bleak vandalism, terrorism, fanaticism all interwoven in their nature.
Humans have nowhere to evacuate but to prepare for the next war. We are to reclaim the ancestral land back from them. The land they so disgustingly set foot on is now enclosed by the unwanted debris of zombies who roamed into human bodies.
While new buildings are erected from piles of decapitated heads, the streets are made from loose hands. And the lights were removed from the eyes hung on the roadside poles.
The whole city is now under their control. We are to transform ourselves into super-zombies to defeat them. Or else, we shall require help from the almighty extraterrestrials They who can attract all religious doctrines Doctrines which have turned humans into zombies in the first place.
— a poem by ahmad gaus
****
“Di dunia ini ada kekuatan hitam, ada kekuatan putih. Kamu pilih yang mana untuk membantu mewujudkan impian-impianmu? Tapi ingat, setiap pilihan akan membawa akibat pada kehidupanmu.”
Perbenturan dua kekuatan hitam dan putih itu diwakili oleh dua karakter perempuan muda dalam novel Laura dan Burung Hantu, baca selengkapnya di sini: https://h5.novelme.com/bookinfo/18126
My body is a book — full of scribbles my friends write down all the events there with pencils, river water, gadgets, coffee shops social media, cinemas, and many more I don’t even have a slit to write my life story on my own body but yea, never mind after all, people won’t care except what they want to write on my body once upon a time I just followed a bird’s invitation fly and sing at the top of the tree here is more free, he said from a distance I get goose bumps watching my body get blackened full of scribbles.
My body is a book — full of scribbles my friends write down all the events there with pencils, river water, gadgets, coffee shops social media, cinemas, and many more I don’t even have a slit to write my life story on my own body but yea, never mind after all, people won’t care except what they want to write on my body once upon a time I just followed a bird’s calling to fly and sing at the top of the tree here is more free, he said away from a distance I get goose bump watching my body get filled full of scribbles.