Islam Peradaban versi Cak Nur

 
 
CAK NUR DAN ISLAM PERADABAN
 
 
Selamat ulang tahun ke-82 untuk Cak Nur (Nurcholish Madjid). Pemikir sejati tidak pernah mati !!
 
Cak Nur merupakan sosok yang fenomenal, sekaligus juga kontroversial, karena pikiran-pikirannya berbeda dari kebanyakan orang. Ia melawan arus, mengagetkan, dan membuat guncangan yang besar. Hal itu menunjukkan pengaruhnya yang penting. Kata cendekiawan Muhammadiyah, Dr. Moeslim Abdurrahman (alm), pikiran-pikiran keislaman yang berkembang di Indonesia sejak tahun 1970-an hanyalah catatan kaki dari pemikiran Nucholish Madjid.
 
Mengapa Cak Nur menempati posisi yang begitu penting dalam diskursus keislaman di Indonesia? Pertama, tentu saja masalah otoritas. Ia tumbuh di lingkungan pesantren, kuliah di IAIN, dan belajar kepada maha guru Islam Prof Fazlur Rahman di Universitas Chicago. Karya-karya intelektualnya memperlihatkan otoritas tersebut. Kedua, dia memikirkan hal-hal yang tidak dipikirkan/ tidak terpikirkan oleh orang lain. Dia pemikir sejati. Di antara tembok-tembok komunalisme yang menguat di kalangan Islam, Cak Nur mengetengahkan Islam sebagai ajaran fitrah, ajaran hanif, yang bersifat terbuka, dan lintas batas.
 
Itu yang sekarang hilang. Islam sekadar menjadi kategori sosiologis yang sempit, dan makin dibuat sempit oleh kecenderungan fanatik, fundamentalistik dan ototiter dalam memahami agama. Padahal kata Cak Nur, mengutip hadis Nabi, sebaik-baik agama di sisi Allah adalah al-hanifiyyat as-samhah, yakni upaya terus menerus mencari kebenaran dengan lapang dada, toleran, tanpa kefanatikan, dan tidak membelenggu jiwa.
 
Manusia tidak boleh terpenjara di dalam kotak-kotak yang sempit. Sebab Islam itu rahmatan lil alamin. Kebaikan untuk semua. Maka salah satu kritik Cak Nur yang paling keras ialah terhadap komunalisme (seperti partai Islam, negara Islam, ideologi Islam, dsb). Karena di dalam kotak komunalisme semacam itu Islam menjadi sempit. Padahal Islam adalah rahmatan lil alamin.
 
Gagasan sekularisasi Cak Nur terkait dengan pandangan ini. Jadi yang dimaksud sekularisasi oleh Cak Nur ialah tauhid tapi dalam bahasa sosiologi. Tauhid yang benar ialah menduniawikan hal-hal yang memang bersifat duniawi (seperti ideologi, negara, partai) dan tidak mensakralkannya.
 
Ketiga, Cak Nur berani mengangkat perkara-perkara yang tidak diangkat oleh orang lain, oleh ulama lain. Ia adalah pemikir Islam pertama di Indonesia yang berani “membunyikan” ayat-ayat toleransi. Selama ini ayat-ayat toleransi dalam al-Quran ditelantarkan, dianggap tidak ada, atau disembunyikan karena kepentingan-kepentingan tertentu. Banyak sekali ayat-ayat yang berhubungan dengan toleransi agama di dalam al-Quran, tapi orang tahunya cuma satu, yaitu lakum dinukum waliyadin.
 
Mengapa? Karena para mubaligh menyampaikannya hanya itu.
Padahal lakum dinukum itu bukan ayat toleransi. Itu ayat tentang menyembah Tuhan. Kalau Cak Nur berbicara mengenai toleransi maka ia mengutip al-Baqarah 62, al-Maidah 69, Ass-Syura 13, dsb.
 
Karena orang salah memilih dalil, maka setiap kali bicara toleransi, justru yang terjadi ialah menutup kemungkinan lahirnya sikap-sikap toleran. Akibatnya adalah lahirnya kesadaran palsu tentang toleransi. Toleransi menjadi ajaran pinggiran yang dianggap tidak penting. Cak Nur mengingatkan bahwa toleransi adalah ajaran pokok dalam Islam karena semangatnya bertebaran dalam al-Quran. Bahkan juga terkandung di dalam rukun iman yang enam. Jadi toleransi adalah bagian integral dari keimanan itu sendiri.
 
“Islam Peradaban”
 
Dengan pandangan toleransi semacam itu, maka di tangan Cak Nur Islam menjadi agama yang sangat humanis. Biarkan orang beriman atau tidak sesuai dengan pilihan bebas mereka (Q18:29). Sebab, iman hanya bermakna kalau lahir dari kebebasan, bukan dipaksa. Bukan wewenang manusia untuk menghukumi mereka sesat, itu urusan Tuhan. Urusan manusia adalah fastabiqul khairat, berlomba-lomba dalam kebaikan.
 
Ketika Cak Nur bicara toleransi maka yang ia bicarakan ialah kemungkinan mengembangkan doktrin toleransi itu sejauh yang dimungkinkan oleh al-Quran sehingga menjadi upaya emansipasi. Kata-katanya yang sering dikutip adalah: “Semakin dekat orang Islam pada al-Quran maka ia semakin toleran; semakin jauh dari al-Quran maka ia semakin tidak toleran.”
 
Islam yang dikembangkan oleh Cak Nur ialah Islam Peradaban yang agung, yang terbuka; bukan Islam syariah yang parsial dan tertutup, apalagi Islam politik yang partisan. Pikiran-pikiran Cak Nur saat ini tumbuh subur dan berkembang di kalangan kaum muda lintas agama. Sedangkan di kampus-kampus Islam saya kira kurang dieksplorasi sehingga tidak ada lagi semacam revolusi teologi ala Cak Nur.
 
Yang terjadi justru kampus-kampus sekarang semakin gandrung kembali ke syariah semata-mata karena “pasar”, tanpa visi keislaman yang jelas dan komprehensif karena tidak mengerti Islam ini mau dibawa ke mana, kecuali ke perkara halal dan haram. Alangkah jauhnya. Haihaata, haihaata.. !!
 
Salam Peradaban,
 
Ahmad Gaus
Penulis buku “Api Islam Nurcholish Madjid”, Peneliti CSRC UIN Jakarta, dosen Bahasa dan Budaya, Swiss German University (SGU), Tangerang.
 
Tulisan ini didedikasikan untuk mengenang almarhum Nurcholish Madjid yang lahir pada tanggal/hari ini (17 Maret).
 
Versi lengkap dari tulisan saya di atas dimuat pagi ini di Geotimes, berikut saya seratakan link-nya:
 
Apabila anda merasa tulisan ini bermanfaat, mohon di-share. Terima kasih
 
 
 
 

Kerukunan dan Toleransi Itu Beda, Son

berkaca-dari-toleransi-lintas-agama-di-bali_m_124308 

Kerukunan dan Toleransi Itu Beda, Son

Pada momen lebaran tempo hari kita melihat banyak spanduk bertebaran yang bertuliskan ucapan selamat Idul Fitri dari umat non-Muslim. Ada yang dari lembaga atau ormas keagamaan, ada juga yang dari individu tokoh. Ada yang dipasang di pinggir jalan, ada juga yang dipasang di pintu gerbang gereja, vihara, lembaga keagamaan, dsb.

Sebaliknya, jarang sekali, atau mungkin tidak pernah ada ucapan serupa dari umat Islam terhadap umat lain pada momen perayaan hari besar mereka seperti Natal, Waisak, Galungan, dsb. Apalagi dipasang di masjid, misalnya, waahh.. bisa jadi masalah besar, Son. Padahal di negara-negara Islam di Timur-Tengah kaum muslim bikin spanduk ucapan seperti Selamat Natal itu sudah lumrah. Biasa saja. Tidak ribut haram, atau auto-murtad. Mungkin umat Islam di Indonesia lebih relijiyes kali ya, Son, hehe…

Bagaimana kaum muslim menunjukkan kerukunannya dengan umat lain? Ini ada sedikit cerita, Son. Masih seputar lebaran. Setiap hari raya Idul Fitri kita sering disuguhi foto atau video orang-orang Islam yang bersalaman dengan non-Muslim, atau orang non-Muslim bersilaturahmi ke rumah orang Islam, mencicipi ketupat lebaran dan opor ayam sambil mengobrol bersama. Lalu foto atau video itu diposting di media sosial dan diberi keterangan: “Inilah bukti toleransi agama di Indonesia”; atau, “Indahnya toleransi agama”; dan kalimat-kalimat sejenis itu yang melambungkan romantisme kehidupan beragama di negeri kita.

Padahal, senyatanya, hubungan antaragama di negeri kita tidak selezat ketupat lebaran dan opor ayam. Di depan mata kita masih ada orang gemar bikin keributan sambil meneriakan takbir, mengintimidasi orang yang berbeda pandangan, menutup rumah ibadah agama lain, mengusir orang satu kampung karena beda aliran agama — rumah mereka dibakar, harta mereka dijarah karena dianggap harta ghanimah, menyebarkan ujaran kebencian sambil mengutip ayat-ayat suci, dst.

banner--penolakan--alihfungsi-haris-gunawan-tirto-1

Alih-alih lezat seperti ketupat dan opor ayam, kehidupan beragama kita akhir-akhir ini justru sangat getir. Ada sebuah film anak (Naura & Genk Juara) yang dipaksa untuk ditarik dari peredaran hanya karena si penjahat dalam film itu berjenggot dan mengucap istigfar. Ada seruan pemerintah untuk beribadah di rumah saja selama Covid-19 dan jangan ke masjid. Larangan pemerintah itu dianggap anti-Islam, rezim sekular, antek Yahudi. Dalam skala yang lebih luas lagi, ada orang-orang yang menyebut pemilu dan pilpres yang lalu sebagai perang badar, perang antara orang Islam melawan kaum musyrik. Akibatnya suasana pemilu/pilpres waktu itu menjadi menjadi sangat panas karena diwarnai sentimen agama. 

nauradovwm7zu8aatri8

Orang-orang yang menunjukkan perilaku taat beragama akhir-akhir ini juga sangat mudah tersinggung dan gemar menggerakkan massa. Misalnya saja ada orang yang mengeluh soal berisiknya suara load speaker masjid. Langsung disikapi secara emosional, dianggap bahwa itu penodaan agama dan dimejahijaukan. Mengeluh menjadi tindakan pidana. Ada anjing dibawa masuk masjid, langsung dianggap penghinaan dan ajakan untuk perang. Padahal masalahnya bisa sangat sepele, misalnya si pembawa itu tidak tahu bahwa anjing oleh orang Islam dianggap binatang najis, walaupun pemiliknya mengganggap itu hewan kesayangan.

maxresdefault0

uJdB1rExoFQzb_GQ

Itulah senyatanya gambaran kehidupan beragama di tengah masyarakat kita akhir-akhir ini. Lalu kenyataan itu hendak ditutupi oleh foto orang Islam dan non-Islam makan ketupat lebaran bersama dan diberi keterangan “Indahnya toleransi agama di Indonesia.” Helooow…

Toleransi Membutuhkan Pengorbanan

Apa yang hendak dikatakan oleh foto/video semacam itu sebenarnya adalah gambaran kerukunan belaka. Bukan toleransi. Keduanya jelas berbeda. Sebab, toleransi men-syarat-kan anda untuk merelakan sesuatu yang anda tidak suka dilakukan oleh orang lain. Dan anda menerimanya dengan lapang dada. Itulah toleransi. Jadi misalnya di lingkungan anda mayoritas warganya Kristen, lalu ada warga Muslim yang mengadakan pengajian di rumahnya dengan memanggil banyak jamaah dan ustadz dari luar. Secara subjektif anda tidak suka, tapi anda merelakannya, anda mentolerir acara itu. Itulah toleransi. Coba aja periksa kamus, Cambridge, misalnya mendefinisikan toleransi sebagai:  Willingness to accept behavior and beliefs that are different from your own, although you might not agree with or approve of them: (https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/tolerance).   

Toleransi yang lebih tinggi lagi nilainya ketika anda bukan hanya mengizinkan acara-acara seperti di atas itu, tapi juga ikut mengamankannya, bahkan memberi sumbangan demi kelancaran acara tersebut. Itu kalau kamu punya uang, Son, hehe..

warga-muslim-di-desa-pakistan-ramai-ramai-iuran-bangun-gereja
Seorang muslim ikut membangun gereja di Pakistan. https://www.merdeka.com/dunia/warga-muslim-di-desa-pakistan-ramai-ramai-iuran-bangun-gereja.html

Begitulah persektif toleransi yang benar. Jadi memang berbeda dengan kerukunan. Makan ketupat bersama orang yang berbeda agama itu hanya kerukunan hidup biasa saja. Sama sekali tidak membutuhkan pengorbanan. Hal ini berbeda dengan toleransi yang membutuhkan pengorbanan. Kalau anda mengizinkan pendirian rumah ibadah yang berbeda agama di lingkungan anda, itu baru toleransi. Anda berkorban untuk itu. 

Maka penggambaran makan ketupat lebaran beda agama sebagai potret toleransi adalah sebentuk kesalahan berpikir yang menyesatkan. Bahkan bisa berbahaya karena menutupi kenyataan yang sebenarnya. Tapi sebagai gambaran kerukunan itu benar. Karena memang sejatinya begitulah masyarakat kita. Beda agama, suku, budaya, tidak pernah menjadi masalah karena masyarakat kita sudah hidup dalam perbedaan semacam itu ratusan bahkan ribuan tahun lamanya.

Para-jemaah-muslim-yang-turut-membantu-membangun-gereja
– Umat Islam di Alor, NTT, membangun gereja – https://www.boombastis.com/umat-islam-bantu-bangun-gereja/255663

Masalahnya adalah, ada faktor-faktor yang menghalangi transformasi dari kerukunan ke toleransi, sehingga hubungan antaragama dalam masyarakat cenderung stagnan, dan hanya berputar-putar di wilayah permukaan.  Artinya, di permukaan umat beragama tampak rukun, ditandai dengan makan ketupat lebaran atau opor ayam bersama. Tapi begitu dihadapkan pada persoalan seperti pembangunan rumah ibadah, bangunan kerukunan itu bisa langsung roboh dalam sekejap.

GUuqCNqimzUYoUs-800x450-noPad

index3

Faktor-faktor yang saya maksud  di atas, yang menghalangi transformasi dari kerukunan ke toleransi, di antaranya adalah menguatnya kelompok-kelompok pengusung ideologi islamisme yang tidak menghendaki hubungan antaragama yang intim karena dianggap membahayakan akidah, karena yang lain dianggap kafir. Selain itu juga ada faksi-faksi keagamaan yang terus menerus memainkan isu agama untuk kepentingan politik kekuasaan.  Dengan menyulut sentimen kebencian dan permusuhan antaragama, kelompok dan faksi-faksi semacam ini terus eksis dan mendapat dukungan massa.

Percayalah bahwa sejatinya tanah air kita ini bukan lahan yang subur bagi intoleransi agama. Secara spiritual, radikalisme agama pun tidak akan mendapat tempat untuk tumbuh di negeri yang kaya sekali dengan tradisi spiritualitas ini. Tapi memang, seperti  buah naga  yang tidak bisa tumbuh di tanah dengan kadar keasaman  pH 4, maka pH nya dinaikkan menjadi 7. Begitu pula di negeri kita akhir-akhir ini, ada yang terus menerus berusaha menaikkan kadar pH tanahnya agar dapat menjadi lahan subur bagi tumbuhnya intoleransi dan radikalisme.

Perlu edukasi yang lebih luas dan massif kepada umat beragama bahwa mereka bisa hidup dalam suasana yang lebih dari sekadar rukun tapi juga toleran.  Kehidupan toleransi akan melahirkan suasana yang lebih kondusif bagi perdamaian. Dan toleransi yang dimaksud di sini bukan makan ketupat bersama beda agama di hari raya lebaran. Bukan itu. Paham ora kamu, Son? :)))

 

Baca juga:

Isu dan Kasus Toleransi Agama di Indonesia

Para Penjahat Atas Nama Tuhan

 

Ambon Manise, Waktu Hujan Sore-Sore  

 

ambonmaniz

Ambon Manise, Waktu Hujan Sore-Sore

Oleh Ahmad Gaus AF

 

Bicara tentang Ambon adalah bicara tentang kebesaran masa lalu dan kegelisahan menatap masa depan. Di antara bangunan-bangunan tua, anak-anak muda berdiri menyaksikan sebuah kota peradaban gemilang. Ambon manise, mutiara yang berkilauan di timur Indonesia dengan sejarah yang agung dan heroik serta hari esok yang tengah didefinisikan kembali. Ambon manise, tempat lahirnya musisi-musisi papan atas negeri ini dari mulai Opa Zeth Lekatompessy, Bob Tutupoly, Broery Marantika, Melky Goeslow, Harvey Malaiholo, Utha Likumahua, hingga Glenn Fredly, dll.

Glenn
Bersama Glenn Fredly, salah satu musisi papan atas asal Ambon. Foto ini diambil di salah satu kedai kopi di Ambon pada Januari 2018, dalam perbincangan mengenai acara “Musik untuk Perdamaian.” Glenn meninggal dunia pada 8 April 2020 di Jakarta karena meningitis. Selamat jalan, kawan. Damailah di sisi-Nya.

Ambon manise, kota teluk yang tak pernah gagal menampilkan keindahan senja dalam panorama laut, burung camar, dan perahu nelayan; kota penghasil rempah-rempah terbaik di dunia, yang dibangun oleh patriotisme para pejuang dan dikenang oleh airmata anak-anak rantau dalam alunan lagu Sio Mama.

Dahulu kala, kota ini merupakan tujuan para pengembara Eropa yang membawa misi suci untuk memancangkan hasrat akan kemegahan (gold), kejayaan (glory), dan ketuhanan (gospel). Dari aspek tradisi dan sumber daya alam, Ambon memiliki segalanya. Sampai sekarang, tradisi pela-gandong masih menjadi rujukan utama bagi siapapun manakala orang berbicara tentang toleransi agama dengan basis kearifan lokal.

Dua kekuatan kolonial yang berekspansi ke timur saat itu, Portugis dan Belanda, menjadikan Ambon sebagai pusat aktivitas dan pertahanan mereka. Pada mulanya, jual-beli rempah-rempah menjadi alasan utama kedatangan mereka. Namun melihat eksotisme alam dan kelimpahan sumber daya mengubah motiv komersial menjadi penguasaan. Pada tahun 1522 Portugis membuat monopoli perdagangan cengkeh dan pala dan menentukan harga yang sangat rendah sehingga amat merugikan rakyat. Dalam usahanya menguasai suatu wilayah, mereka juga tak segan-segan bertindak sewenang-wenang dan kejam terhadap rakyat yang tidak berdaya. Hal ini membuat rakyat bersikap antipati.

Jasa terbesar Portugis adalah pembangunan benteng kota Laha pada tahun 1575. Tahun itulah yang kemudian ditetapkan sebagai momen berdirinya kota Ambon. Namun 30 tahun kemudian, pada 23 Maret 1605, Belanda datang dan berhasil merebut benteng kota Laha dari Portugis sehingga Ambon jatuh ke tangan pendatang baru tersebut. Pada mulanya Belanda datang dengan niat yang sama: perdagangan. Namun niat itu pun segera berubah dengan dibentuknya VOC atau Vereenigde Oostindische Compagnie (Perusahaan Perdagangan Hindia Timur) pada 1605 dengan tujuan utamanya memonopoli perdagangan rempah-rempah. Rakyat kembali menjadi korban. Periode selanjutnya ialah penindasan demi penindasan sampai kemudian muncul gelombang perlawanan rakyat terhadap pemerintah kolonial Belanda yang dipimpin oleh Kapitan Pattimura, Anthony Ribok, Paulus Tiahahu, Martha Christina Tiahahu, Latumahina, Said Perintah, dan Thomas Pattiwael.

patung-martha christina tiahahu barry kusuma

Patung Martha Christina Tiahahu, Salah Satu Pahlawan Ambon

       Dalam sebuah penyerbuan besar-besaran yang dilakukan tentara Belanda terhadap rakyat, Kapitan Pattimura ditangkap dan kemudian dihukum mati oleh Belanda pada tanggal 15 Mei 1817. Di depan tiang gantung, alih-alih menyerah kepada Belanda, Pattimura justru kembali mengobarkan semangat rakyat untuk terus berjuang melawan Belanda dengan kata-katanya yang sangat terkenal: “Pattimura tua boleh mati, tetapi akan muncul Pattimura-Pattimura muda.”

Sampai sekarang, hari wafatnya Kapitan Pattimura itu selalu diperingati setiap tahun dengan pawai obor, untuk menghormati jasa-jasa beliau dalam memimpin perlawanan rakyat menghadapi kekuatan militer Belanda yang sangat besar dan kuat. Perang Pattimura adalah perang nasional dimana Pattimura berhasil menggalang dukungan dari Bali, Sulawesi, dan Jawa, selain dari kerajaan Ternate dan Tidore. Tentu akan sulit memetakan sejarah kemerdekaan Indonesia seandainya tidak pernah ada perlawanan rakyat Ambon terhadap kolonial Belanda. Dan mereka bisa dikalahkan hanya karena politik adu domba, tipu muslihat, dan bumi hangus oleh pihak Belanda.

Lanskap sejarah ini memberi landasan yang kuat bagi masyarakat Ambon — dan Maluku pada umumnya — untuk menjadi bagian penting dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagai daerah yang pertamakali mengobarkan perang terhadap penjajah, Ambon berada di baris pertama dalam perkara menegakkan martabat bangsa. Tanpa Ambon dan sejarah patriotismenya, NKRI tidak akan pernah ada.

***

       Ambon kini tengah mematut diri di depan cermin sejarah yang berbeda — sejarah konflik saudara yang baru saja usai kemarin petang, yang belum seratus persen pulih dari trauma. Kondisi ini kadang menyulitkan warga dan para pembuat kebijakan untuk membuat peta jalan (road map) baru bagi sejumput harapan akan kehidupan hari esok yang lebih cerah. Konflik dan perdamaian sama-sama memiliki peluang untuk tumbuh di atas reruntuhan gedung-gedung yang terbakar. Di sudut-sudut jalan, dimana bangunan-bangunan yang rusak akibat kerusuhan massal masih terlihat, anak-anak muda berkumpul, bermain gitar, dan bernyanyi bersama, seakan sedang mengubur memori kelam tentang konflik yang mengerikan itu. Tapi ingatan bukanlah ruang kedap suara. Jerit pilu sanak famili dan kerabat yang menjadi korban konflik kerap masih terngiang di seantero kota yang belakangan menjadi habitat yang keras bagi anak-anak muda.

Seorang aktivis perdamaian, Elsye Syauta Latuheru, yang saya temui di kantornya di kota Ambon di penghujung bulan Agustus 2013 menuturkan hal yang amat pedih tentang anak-anak yang tumbuh di lingkungan yang keras sebagai dampak ikutan (by-product) dari konflik besar Muslim-Kristen tahun 1999 dan seterusnya. Konflik itu menggoncangkan seluruh sendi kehidupan masyarakat, meluluh-lantakkan perekonomian, dan menghancur-leburkan harapan. Anak-anak ini, ujar Elsye, mewarisi lingkungan sosial yang terbelah antara “kami” dan “mereka”. Kaum Muslim dan Kristen memahami posisi mereka dalam batas yang tegas: di luar kami tidak ada yang lain selain musuh. Bahasa yang dibangun adalah bahasa kekerasan. Bahkan, kekerasan cenderung menjadi pola anak-anak muda dalam menyelesaikan berbagai masalah.

Runtuhnya perekonomian masyarakat, sempitnya lapangan kerja, dan menguatnya segregasi atau pemisahan total antara Muslim dan Kristen di ruang-ruang publik, ikut memperumit pemulihan rasa aman dan integrasi sosial pasca konflik. Ditambah lagi stereotip yang terus dibangun di antara dua komunitas yang bertikai, seakan ingin mewariskan dendam kepada generasi penerus. Elsye menuturkan, anak-anak Ambon kini cenderung pesimistik menatap masa depan, sebab apapun yang mereka bangun akan porak-poranda manakala konflik kembali pecah. “Itu sangat berbahaya dan kita ingin menghentikan semuanya,” tandas Elsye yang aktif mengunjungi daerah-daerah rawan konflik untuk meyakinkan warga bahwa perdamaian masih bisa dirajut dengan kebersamaan, bahwa dendam dan permusuhan hanya memperparah keadaan serta mempersuram masa depan Ambon.

Tentu saja Elsye tidak sendirian. Dalam 10 tahun terakhir banyak kalangan di Ambon yang menyadari betapa konflik berkepanjangan telah membuat mereka terisolasi dari dunia luar; orang takut datang ke Ambon; biro-biro perjalanan menutup agen; investor angkat kaki; reputasi Ambon sebagai kota teladan toleransi terancam pudar. Maka, ibarat sebuah pendulum yang mulai bergerak ke arah berlawanan, kini kesadaran tentang perdamaian menjadi matra baru bagi warga yang merindukan masa-masa indah hidup bersama walaupun berbeda agama. Saling berbagi kebahagiaan di hari-hari besar seperti Natal dan Idul Fitri mulai dihidupkan kembali. Konser-konser seni dan festival musik yang melibatkan anak-anak muda dari dua komunitas agama gencar dilakukan, tidak hanya di ballroom hotel dan ruang-ruang pertunjukan namun juga di alun-alun kota, bahkan di trotoar jalan.

Di antara para pegiat perdamaian, peran kalangan pendidik atau guru jelas tidak bisa diabaikan. Tatkala segregasi sosial menguat, ada kebijakan anak-anak Muslim hanya boleh bersekolah di wilayah Muslim, dan sebaliknya anak-anak Kristen hanya boleh bersekolah di wilayah Kristen. Kebijakan yang disebut “rayonisasi” ini dibuat dalam jangka pendek untuk mengantisipasi kemungkinan konflik terulang jika dua komunitas bercampur. Namun dalam jangka panjang dalam rangka pembangunan perdamaian yang permanen, kebijakan ini justru kontraproduktif. Para guru sadar benar akan hal itu. Maka, berbagai upaya mereka lakukan untuk mempertemukan dua komunitas remaja Muslim dan Kristen dalam berbagai event yang mereka buat, seperti perkemahan lintas agama dan festival seni dan olahraga. Untuk para guru dibuat program live-in dimana guru Muslim akan menginap di rumah atau wilayah Kristen dan begitu pula sebaliknya guru Kristen menginap di rumah seorang Muslim di wilayah Muslim. Semua itu adalah proses belajar kembali untuk hidup bersama dan berbaur — sesuatu yang sesungguhnya sangat lumrah dalam masyarakat Ambon sebelum konflik 1999 pecah.

Bagaimanapun, segregasi di dunia pendidikan harus segera diakhiri karena di sanalah anak-anak belajar mengenal lingkungan mereka. Lingkungan sekolah sangat menentukan bagaimana pola pikir anak-anak dibentuk. Jika lingkungan sekolah dibuat homogen (Islam saja atau Kristen saja) sementara masyarakat bercorak heterogen, maka sekolah sebenarnya tengah mengasingkan anak-anak dari realitas sosial mereka sendiri; sekolah menjadi ruang isolasi yang memperkokoh tembok-tembok perbedaan. Dalam upaya mempercepat pembauran dan integrasi sosial seperti yang terus diupayakan dalam 10 tahun terakhir, sekolah justru harus menjadi pelopor. Sayangnya, pemerintah tampaknya belum berani mengambil langkah peleburan kembali secara total sekolah-sekolah yang tersegregasi selama bertahun-tahun, padahal tokoh-tokoh masyarakat dan para aktivis perdamaian telah bersuara keras mengeritik kebijakan pemerintah tersebut. Beruntunglah mereka tidak berputus ada dan kehilangan semangat. Para tokoh dan aktivis perdamaian ini terus bergerilya menebarkan benih-benih perdamaian di kalangan akar rumput, termasuk di lingkungan sekolah dengan melibatkan para pendidik (guru).

Buku berjudul Cerita dari Ambon ini mendokumentasikan kerja-kerja bina damai yang dilakukan kalangan LSM (lembaga swadaya masyarakat) dengan melibatkan para pemangku kepentingan di dunia pendidikan. Banyak cerita mengharukan tentang bagaimana para pendidik berjuang menyambungkan kembali tali-tali persaudaraan yang sempat terputus di antara generasi muda berbeda agama sebagai akibat dari konflik sosial orang-orang tua mereka di masa lalu. Benih-benih perdamaian disebarkan melalui berbagai aktivitas di lingkungan sekolah, antara guru dengan guru, guru dengan murid, dalam berbagai event pertemuan antar-sekolah, dan sebagainya. Selain itu, nilai-nilai perdamaian juga diintegrasikan ke dalam materi-materi pengajaran. Tujuannya agar anak-anak didik menghirup udara damai kapan pun dan di mana pun mereka berada, menumbuhkan rasa aman, dan menatap masa depan bersama dengan perasaan optimis.

Ada 31 guru SMP/Tsanawiyah dan SMA/Aliyah yang menuturkan pengalamannya dalam buku ini. Mereka pada mulanya adalah para peserta (seluruhnya berjumlah 40 guru) pada workshop “Program Bina Damai Ambon Melalui Pembangunan Kapasitas Civil Society” atau Enhancing Protection and Respect for Religious Freedom and Human Rights in Indonesia” yang selenggarakan oleh Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Ambon Reconciliation and Mediation Center (ARMC) IAIN Ambon, dengan dukungan dari The Asia Foundation (TAF).

Workshop ini merupakan upaya melakukan intervensi program pendidikan berperspektif perdamaian di Ambon sebagai hasil dari kegiatan needs assessment atau riset pendahuluan yang telah dilaksanakan pada Agustus hingga September 2013. Kegiatan needs assessment yang dimaksud dilakukan oleh tiga orang peneliti CSRC yakni Chaider S. Bamualim, Muchtadlirin, dan saya sendiri (Ahmad Gaus AF). Awalnya, ketiga peneliti melakukan observasi dan wawancara mendalam dengan kalangan stake holders perdamaian di Ambon, yakni para tokoh adat, pemuka agama, aktivis perdamaian, tokoh pemuda, tokoh LSM, dan para pendidik (guru). Akhirnya, hasil temuan needs assessment mengerucut pada rekomendasi melakukan intervensi program perdamaian di dunia pendidikan.

Kami memandang penting dunia pendidikan dalam membangun perdamaian karena masa depan Ambon terletak di pundak generasi muda yang kini tengah mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Dan hitam-putihnya cara berpikir mereka sangat ditentukan oleh para pendidik. Untuk itu CSRC UIN Jakarta, ARMC IAIN Ambon, dan TAF mengundang para guru untuk urun rembuk mengenai pembinaan perdamaian di kalangan generasi muda. Dari lingkungan pendidikan, suara perdamaian akan teresonansi ke ruang publik sehingga tercipta suasana dialog, komunikasi, dan kerjasama yang produktif di antara kelompok-kelompok lintas agama dan etnik.

Rekomendasi dari kegiatan needs assessment itu kemudian menelurkan workshop yang dilakukan sebanyak 4 kali, yaitu: “Workshop Format Ideal Pendidikan Perdamaian di Ambon” dan “Workshop Integrasi Nilai-nilai Perdamaian ke dalam Sistem Pembelajaran Sekolah”, yang diselenggarakan pada 16-20 Juni 2014. Menyusul kemudian “Workshop Strategi Pembelajaran Nilai-nilai Perdamaian di Ambon” pada tanggal 19-21 Agustus 2014, dan “Workshop Advokasi Pendidikan Perdamaian di Ambon” yang dilaksanakan 22-23 Agustus 2014.

Untuk melihat sejauh mana program tersebut berhasil memengaruhi para guru dalam mengambil inisiatif perdamaian di lingkungan sekolah masing-masing, CSRC merasa perlu membuat evaluasi dengan melakukan pengamatan lapangan dan wawancara mendalam dengan para alumni program. Dalam hal ini CSRC menurunkan 3 (tiga) orang peneliti yakni Idris Hemay, Hidayat al-Fannanie, dan Tutur Ahsanul Mustofa, untuk menemui mereka secara terpisah dimana setiap peserta program menuturkan pengalamannya mempraktikkan materi-materi yang mereka peroleh selama mengikuti workshop dalam aktivitas di sekolah masing-masing. Kisah-kisah mereka yang diturunkan dalam buku ini merupakan cerita yang mengandung the most significant change (MSC), yakni cerita yang berhubungan dengan perubahan-perubahan paling penting yang terjadi di lapangan pasca program workshop “Bina Damai di Ambon Melalui Pembangunan Kapasitas Masyarakat Sipil”.

Sebagian besar guru yang menjadi peserta workshop adalah mereka yang mengajar di lingkungan sekolah yang nyaris homogen, kalau ia seorang Muslim mengajar di sekolah yang hampir seratus persen murid dan gurunya beragama Islam, begitu juga sebaliknya seorang guru Kristen mengajar di sekolah yang mayoritas murid dan gurunya beragama Kristen. Kondisi inilah yang dideteksi sebagai bom waktu di masa depan, sehingga perlu segera dilakukan antisipasi dengan menanamkan benih-benih perdamaian di kalangan para peserta didik agar mereka siap untuk hidup berdampingan secara damai di tengah masyarakat plural.

Beragam cara dilakukan para guru untuk menyampaikan pesan-pesan damai di sekolah sehingga kelak terbawa ke lingkungan yang lebih besar: masyarakat. Beberapa kisah yang mengandung the most significant change (MSC) atau cerita tentang perubahan-perubahan penting yang dilakukan para guru di antaranya menyangkut aktivitas bagaimana mereka mengubah mindset siswa dengan cara:

  • Memasukan nilai-nilai perdamaian ke dalam indikator penilaian sikap siswa;
  • Menyampaikan materi tentang toleransi;
  • Mengadakan outbound agar siswa bisa berbaur dengan yang lainnya;
  • Memutarkan film-film yang berisi pesan bagaimana hidup harmonis di tengah keberagaman tanpa rasa benci dan curiga.

Beberapa indikator lain tentang adanya perubahan penting dapat dilihat dari metode yang dipraktikkan secara berbeda-beda oleh setiap guru. Rasanya editor tidak perlu mengupas satu persatu atau bagian per bagian dari cerita MSC dalam buku ini. Silakan pembaca menikmati sendiri alur kisah mereka supaya dapat langsung merasakan pergulatan para pendidik dalam menegakkan nilai-nilai perdamaian di kalangan siswa/remaja.

Dalam praktiknya, kegiatan ini dari mulai needs assessment sampai workshop dan evaluasi, tidak hanya melibatkan kalangan pendidikan, namun juga tokoh-tokoh masyarakat dan pemerintah. Sebab kami sadar bahwa proses bina damai sendiri — walaupun dimulai di sekolah — tidak mungkin dilakukan tanpa melibatkan seluruh elemen masyarakat. Pada kegiatan workhsop keempat yang diselenggarakan pada 22-23 Agustus 2014, misalnya, kami mengundang kalangan agamawan, tokoh pemuda, pejabat kementerian agama propinsi Maluku, kepala sekolah, pengelola yayasan-yayasan pendidikan, para guru, aktivis LSM, dan kalangan pers. Pada kesempatan itu pula mereka membentuk “Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Perdamaian di Maluku” yang secara bersama-sama dideklarasikan demi terlaksananya konsep pendidikan perdamaian di Ambon. Aliansi ini berada di bawah koordinasi Abidin Wakano dengan 3 ketua, yaitu Theo Latumahina, Embong Salampessy, dan Heny L. Likliwatil. Aliansi ini akan mensosialisasikan deklarasi tersebut kepada masyarakat luas, pemerintah dan DPRD, yang diharapkan akan mengeluarkan peraturan daerah (Perda) untuk menjadi payung bagi terimplementasinya pendidikan perdamaian di Ambon.

workshop-advokasi5

“Deklarasi Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Perdamaian di Maluku”

       Kisah-kisah yang tertuang dalam buku ini menjadi bukti kuatnya kehendak para pendidik di Ambon untuk mewariskan masa depan Ambon yang damai kepada generasi penerus. “Konflik telah menjadi masa lalu, dan tidak seorang pun yang ingin memutar kembali jarum waktu,” tandas Heny L. Liklikwatil, guru agama Kristen di SMPN 9 dalam sebuah percakapan sore hari dengan penulis dan seorang aktivis perdamaian Ambon, di kediamannya di desa Halong (kini negeri adat), 1 September 2013. Saat percakapan berlangsung hujan turun begitu deras. Sambil menyeruput teh panas di tengah obrolan yang kian seru, teman saya menyenandungkan lagu Waktu Hujan Sore-Sore, lagu yang sangat terkenal dari Ambon sehingga sudah seperti lagu nasional karena setiap anak sekolah di negeri ini mengenal lagu tersebut. Menurut kawan saya, lagu itu menceritakan keceriaan orang-orang Ambon dalam menjadikan momen hujan sebagai momen kebersamaan: tua-muda, laki-perempuan, Muslim-Kristen berbaur, bernyanyi, dan berdansa bersama.

Waktu hujan sore-sore kilat sambar pohon kenari
E jojaro deng mongare mari dansa dan menari
Pukul tifa toto buang kata balimbing di kereta
Nona dansa dengan tuan jangan sindir nama beta
E menari sambil goyang badanee
Menari lombo pegang lenso manisee
Rasa ramai jangan pulang duluee

E menari sambil goyang badanee
Menari lombo pegang lenso manisee
Rasa ramai jangan pulang duluee

       Kini inisiatif perdamaian telah diambil, aksi telah dilakukan, gema takbir dan nyanyian kudus telah dikumandangkan bersama, Salam-Sarane karja rame-rame atau Muslim-Kristen bekerja bersama-sama karena telah disatukan dalam semangat kearifan lokal orang basudara. Semoga semuanya menjadi bola salju yang terus bergulir dan membesar, membentuk kekuatan baru dalam menancapkan kembali fondasi sosial yang lebih kokoh, menjadikan Ambon manise sebagai baileo (rumah adat) bersama bagi warga Muslim dan Kristen.[]

Wassalam, Editor

Ahmad Gaus AF

Catatan: Esai ini adalah ‘Kata Pengantar’ saya selaku editor untuk buku Cerita dari Ambon, terbitan CSRC-UIN Jakarta dan The Asia Foundation, 2015.

Esai ini diperbarui pada tanggal 10 April 2020, dan didedikasikan untuk musisi Ambon, Glenn Fredly yang wafat pada 08 April 2020. RIP, kawan.

Glenn2

Glenn-Pela
Bersama Glenn di acara Pela Panas Pendidikan, Ambon, 25 Januari 2018

 

 

 

 

 

 

Para Penjahat Atas Nama Tuhan

syiah2

Dalam rangka memperingati Hari Toleransi Internasional yang jatuh pada hari ini (16/11/2013), saya menulis sebuah puisi terkait dengan kondisi kehidupan beragama di tanah air dewasa ini.

Para Penjahat Atas Nama Tuhan
Puisi Ahmad Gaus

Di manakah Tuhan
ketika rumah-Nya diserang
dan dihancurkan?

Engkau tidak akan tahu arti sedih
sebelum kakimu tergelincir dan berdarah
ketika menyeru Tuhan di tengah jerit kesakitan
dalam kobaran api yang membakar
rumah-rumah ibadah.

Engkau tidak akan mengerti
apa artinya terbuang
sampai merasakan sendiri bagaimana
iman direndahkan.

Anak-anak dan perempuan lari ketakutan
menunggu malaikat datang
membawa mereka terbang ke angkasa
bertemu dengan Tuhan yang bersemayam
di atas ‘aras.

Orang-orang tua bertanya
apakah Tuhan mereka telah binasa
dijebloskan ke dalam penjara?

Burung-burung gemetar
melihat orang-orang mengamuk
membawa senjata
batu dan parang.

Di manakah Tuhan
Ketika rumah-Nya disegel
dan dipagari kawat berduri?

Di negeri ini
iman dicurigai bagai sindikat
orang mau beribadah disamakan
dengan penjahat.

Di negeri ini
lebih mudah membuka panti pijat
daripada membuka rumah ibadat
orang mabuk difasilitasi
menyembah Tuhan dihalang-halangi.

Di negeri ini
orang mau beribadah dianggap
mengganggu ketertiban umum
sementara para penjahat yang mengatasnamakan Tuhan
bebas berkeliaran sambil berteriak
Allahu akbar
serang! kejar! bunuh!
Allahu akbar

Setiap hari para pemimpin berpidato
tentang Konstitusi
tapi di mana mereka bersembunyi
ketika orang yang berbeda keyakinan diteror
diinjak-injak?

Orang-orang dibiarkan
dianiaya di kampung mereka
menjadi pengungsi di negeri sendiri
hak hidup mereka direnggut
di hadapan para petinggi negeri.
Kemajemukan diancam
kebebasan disandera
orang-orang dengan pongahnya meringkus kebenaran
memaksakan kehendak dengan kekerasan.

Apakah Tuhan berduka
ketika umat-Nya terlunta-lunta?
Apakah Tuhan merasakan luka
melihat umat-Nya bertaburan isak tangis
dilempari genting dan pecahan kaca?

Jakarta, Hari Toleransi Internasional, 16/11/2013

Note:

Puisi ini dimuat di: http://www.satuharapan.com/read-detail/read/puisi-ahmad-gaus-para-penjahat-atas-nama-tuhan/pbb-toleransi-untuk-perdamaian-dan-masa-depan-berkelanjutan

Puisi ini juga dibacakan di berbagai forum pertemuan lintas agama.

Baca juga:

Beberapa Persoalan dalam Isu dan Kasus Toleransi Agama di Indonesia

Beberapa Persoalan dalam Isu dan Kasus Toleransi Agama di Indonesia

Oleh Ahmad Gaus

Toleransi Agama di Indonesia

Tanggal 16 Nopember ditetapkan sebagai Hari Toleransi Internasional. Ditetapkan sejak 16 Nopember 1995 oleh UNESCO – United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) – PBB. UNESCO mengadopsi Declaration of Principles on Tolerance – sebuah deklarasi yang menegaskan kembali pentingnya mempromosikan dan menjamin toleransi.

Tujuan Toleransi:

Untuk menangkal prasangka dan kebencian (Ban Ki-Moon, Sekretaris Jenderal PBB, pada pesan Perayaan Hari Toleransi 2011). Prasangka dan kebencian selalu disulut oleh ketidakmampuan kita menerima fakta sosiologis kemajemukan yang ada di sekitar kita.

Banyak aspek di sekitar kita yang memang secara given adalah beragam dan berbeda: suku, agama, ras, orientasi politik, orientasi seksual, dan lainnya. Terhadap berbagai keberagaman itu, tugas kita adalah mengakui dan menyantuninya.

Dengan mengakui dan menyantuni maka perbedaan bukanlah alat pembedaan yang melahirkan peminggiran bagi yang lain, hanya karena alasan berbeda.

Prinsip toleransi:
• Menghargai keberagaman
• Mengakui hak-hak asasi manusia

Keberagaman bukan hanya fakta tapi juga kebutuhan. Dengan meletakkan keberagaman sebagai kebutuhan, maka kita akan terus menerus mengupayakannya untuk tetap berbeda.

Cara Hidup
Toleransi hendaknya menjadi salah satu landasan dan cara kita hidup bersama.

Mengukur Kondisi Toleransi di Indonesia
Apakah toleransi beragama di Indonesia saat ini sudah cukup baik, sangat baik, buruk atau sangat buruk? Apa indikasinya?

Ciri terpenting dari kondisi toleransi di tanah air saat ini ialah toleransi yang pasif, atau biasa disebut ko-eksistensi (lazy tolerance). Hidup berdampingan secara damai. Tapi satu sama lain tidak saling peduli. Karena menganggap “masalahmu adalah masalahmu”, “masalahku adalah masalahku”.

Toleransi semacam ini nyaris tidak menyumbangkan energi bagi penguatan kohesi sosial. Kalau mau menciptakan toleransi yang kokoh, maka toleransi yang pasif itu harus ditingkatkan menjadi toleransi yang aktif-progresif, atau biasa disebut pro-eksistensi. Dalam kondisi ini, setiap elemen sosial yang berbeda (suku, agama), saling menguatkan dan memberdayakan satu sama lain. Contoh: Partisipasi dalam perayaan hari-hari besar keagamaan. Saling membantu dalam mendirikan rumah ibadah, dsb.

Persoalan dalam Toleransi Beragama

Toleransi antar umat beragama hingga kini masih diselimuti persoalan. Klaim kebenaran suatu agama terhadap agama lainnya mendorong penganutnya untuk memaksakan kebenaran itu dan bersifat sangat fanatik terhadap terhadap kelompok agama lain. Lebih tragis lagi ketika penyebaran kebenaran itu disertai aksi kekerasan yang merugikan korban harta benda dan jiwa. Fenomena kekerasan antar pemeluk agama hampir terjadi di seluruh belahan dunia.

Masalah Paradigma

Paradigma lama: Kompetisi misi agama dilakukan untuk mencari pengikut sebanyak-banyaknya. Dilakukan secara tidak sehat. Melanggar etika sosial bersama.

Paradigma baru: Kompetisi misi agama harus berjalan secara sehat dan menaati hukum yang disepakati. Kompetisi atau berlomba-lomba menjalankan kebaikan (fastabiqul khairat).
Jadi, orientasinya adalah pengembangan internal umat.

Paradigma lama: Misi agama seringkali mengundang pertentangan yang membawa kekerasan dan membangkitkan jihad atau perang antarpemeluk agama.

Paradigma baru: Kegiatan misi agama harus membawa persaudaraan universal (human brotherhood, ukhuwah basyariah). Dalam paradigma baru, ajakan agama-agama lebih mengacu kepada wacana etika kemanusiaan global, untuk menjawab isu-isu global dan lintas agama, seperti masalah kemiskinan, ketidakadilan, krisis lingkungan, pelanggaran HAM, dan sebagainya.

Paradigma lama: Mempersoalkan perbedaan dan menganggapnya sebagai ancaman. Tak jarang berujung dengan kekerasan, intimidasi, persekusi, dsb, yang dilakukan oleh kaum intoleran. (Baca: Para Penjahat Atas Nama Tuhan)

Paradigma baru: Mengacu pada platform bersama (common platform, kalimatun sawa), menganggap perbedaan sebagai kekuatan. Indonesia dipersatukan oleh perbedaan-perbedaan.

Para pendukung paradigma baru terus berupaya mengembangkan theology of religions, yaitu teologi yang tidak hanya milik satu agama, tetapi semua agama, atau teologi pluralis.

Peranan Para Tokoh

Dalam mengatasi krisis toleransi, peranan para pemuka agama, tokoh adat, pemerintahan dsb, sangat diperlukan.

• Pemuka agama: pendekatan religius (khutbah yang bersifat positif)
• Pemuka adat: pendekatan budaya
• Pemerintah: mengayomi dan berdiri di atas semua golongan. Menegakkan hukum.

Artikel di atas adalah materi “Workshop dan Pelatihan Penguatan Moderatisme di Kalangan Kaum Muda Lintas Agama di Papua (18 Januari 2012)” oleh Narasumber: Ahmad Gaus AF.

Materi tersebut sudah saya revisi dan kembangkan untuk kebutuhan diskusi dan seminar lintas agama. Silakan kalau mau mengundang saya untuk acara  sejenis itu, via email saya: gaus.unas@gmail.com

Pendekatan saya adalah teologis dan historis, dengan perspektif kebebasan beragama.  Bahan-bahan diambil dari buku di bawah ini, yang merupakan buku pertama di Indonesia yang mengangkat isu dialog agama dalam kacamata passing over.

IMG-20200517-WA0062

Baca juga: Kerukunan dan Toleransi Itu Beda, Son