Category Archives: Esai
Islam Progresif di Singapura

Rayap dan Laron
Selamat ulang tahun untuk maestro puisi sufistik:
Prof Dr Abdul Hadi WM.
Semoga selalu sehat dan terus berkarya. Sesuai janji saya kemarin, saya buatkan catatan kecil yang tayang di Geotimes.id, hari ini dan setangkai puisi yang dirangkum dari pikiran-pikiran Pak Hadi, sebagai kado ultah. Semoga berkenan.
Yang Pergi di Hari Rabu
Sementara Kita Saling Berbisik: Mengenang SDD
Pagi tadi saya membuka twitter dan mata saya tertumbuk ke trending topic di posisi paling atas: #PakSapardi. Saya curiga ada apa-apa, karena beberapa hari sebelumnya beliau masuk rumah sakit. Tidak berapa lama kemudian, muncul lagi trending topic #EyangSapardi. Dengan tangan bergetar saya membuka trending topic tersebut, daaan… “kecurigaan” saya terbukti. Pak Sapardi Djoko Damono, sastrawan besar Indonesia yang akrab disapa SDD itu, meninggal dunia di Eka Hospital, BSD, Tangerang Selatan, pada hari Minggu, 19 Juli 2020 pukul 09.17 WIB. Beliau meninggal di usia 80 tahun. Sebelumnya menderita beberapa penyakit (komplikasi).
Deretan ucapan belasungkawa memenuhi linimasa twitter. Tidak sedikit juga yang mengutip sajak-sajaknya, atau mengungkapkan kenangan pribadinya bersama penyair “Hujan Bulan Juni” tersebut. Dan hari ini di media sosial, orang seakan diberi tahu bahwa sajak SDD bukan hanya Hujan Bulan Juni, atau Aku Ingin, melainkan banyak, banyak sekali yang bagus, yang jarang diekspose, kecuali oleh mereka yang memang memiliki minat besar pada puisi, atau yang memiliki selera bahasa estetika. Memang yang terkenal dua sajak itu (Hujan Bulan Juni dan Aku Ingin), bahkan saking terkenalnya sampai-sampai sajak Aku Ingin dicetak di surat-surat undangan pernikahan.
Sebenarnya selain dua sajak itu, sajak-sajak SDD yang lain juga tak kurang syahdunya, sebut saja misalnya Hatiku Selembar Daun, Pada Suatu Hari Nanti, Pertemuan, Dalam Diriku, Sementara Kita Saling Berbisik, dll. Sajak yang saya sebut terakhir itu, Sementara Kita Saling Berbisik (SKSB), adalah sajak favorit saya. Walaupun semua sajak SDD bagi saya selalu memiliki gema dalam diam, sajak SKSB bagi saya sangat istimewa karena seperti suara yang dibisikkan ke dalam jantung jiwa tentang apa yang tidak selalu saya pahami: hidup, cinta, perjalanan, waktu… !! Bahkan setiap kali saya berbicara dengan SDD saya merasa beliau sedang berbisik. Beliau memang tipe manusia yang lembut. Bicaranya lembut, tatapan matanya lembut, bahasa tubuhnya lembut. Itulah sebabnya puisi-puisi yang lahir dari tangan beliau juga puisi-puisi yang lembut.
Sebuah hukum alam mungkin berlaku, bahwa seorang pengarang akan lebih dikenal secara utuh setelah kematiannya. Sebab, setelah kematian itulah pengarang justru hidup selamanya. Karya-karyanya diburu, biografinya dibaca, legacy-nya diawetkan di museum ingatan.
Saya bergetar membaca salah satu bait sajak SDD yang satu ini: “Yang fana adalah waktu. Kita abadi.” Larik sajak ini mengingatkan saya pada larik terkenal dari penyair “Binatang Jalang” Chairil Anwar: “Aku ingin hidup seribu tahun lagi.” Keduanya menegaskan kefanaan diri, namun melalui kefanaan itu ada keabadian.
Kenangan
Suatu hari di tahun 2011 saya berkunjung ke rumah Pak Sapardi Djoko Damono (SDD) di kompleks dosen UI di Ciputat, Tangerang Selatan. Setelah berbincang tentang segala hal dari soal kemacetan hingga kesehatan, saya menyerahkan sebuah naskah antologi puisi karya para mahasiswa saya di Swiss German University (SGU). Sejak tahun 2007 hingga sekarang saya mengajar mata kuliah bahasa dan budaya di kampus tersebut. Saya meminta beliau membacanya, dan kalau berkenan membuat kata pengantar, setidaknya membuat endorsemen barang satu dua kalimat. “Saya baca dulu,” ujarnya.
Keesokan harinya saya menerima pesan dari beliau, “Saya mau menulis kata pengantar, ya,” tulisnya. Alangkah senangnya saya. Saat saya masuk kelas, saya beritahukan hal itu kepada mahasiswa saya, mereka pun senang. Sebab puisi-puisi SDD adalah puisi yang paling banyak dibaca oleh mahasiswa saya saat mereka harus tampil ke depan kelas membaca puisi.
Tidak sampai satu minggu Pak Sapardi mengirimkan kata pengantar untuk buku itu ke email saya. Tidak sabar saya langsung membacanya. Di antaranya beliau menulis begini:
“Buku yang berisi kumpulan karangan mahasiswa SGU ini mengingatkan saya tentang pentingnya kebebasan siapa pun untuk mendapat akses ke pemahaman dan penciptaan bahasa. Boleh dikatakan bahwa para penulis ini belajar apa yang kita sebut “ilmu keras”, tetapi ternyata memiliki niat dan kemampuan untuk masuk ke dunia kreativitas yang mungkin dianggap “lembek”, yakni kesusastraan. Mungkin sekali sewaktu masih belajar di sekolah menengah, mereka dianggap tidak perlu mempelajari kesusastraan: tidak “sepantasnya” mengungkapkan pengalaman dan perasaan dalam karya sastra, tidak elok menulis esai tentang karya sastra. Namun, ternyata mereka memiliki minat dan kemampuan untuk melakukan hal-hal tersebut.”
Satu bulan kemudian buku yang memuat sekitar 80-an puisi itu terbit. Lalu saya mengantar beberapa mahasiswa SGU ke rumah Pak Sapardi untuk menyampaikan kado sebagai tanda ucapan terima kasih kepada beliau karena telah bersedia memberi kata pengantar buku mereka. Tentu mereka senang sekali; suatu kehormatan yang sangat besar bahwa buku antologi mahasiswa diberi kata pengantar oleh begawan sastra.
****
Puisi-puisi itu sendiri sebetulnya berasal dari tugas-tugas mahasiswa dalam kuliah yang saya ampu. Jumlah mahasiswa 250 orang dari semua jurusan, berarti ada 250 puisi yang saya seleksi dan terpilihlah 80 puisi yang dimuat dalam buku itu. Saya tidak tahu apakah sebelumnya pernah ada buku puisi yang terbit yang berasal dari tugas-tugas kelas.
Saya teringat pesan yang disampaikan Pak Sapardi kepada para mahasiswa saya waktu berkunjung ke rumahnya itu. “Kalau kita mau mengembangkan bahasa Indonesia, kita harus menulis puisi, tidak ada cara lain,” ujarnya. Buku itu pun kemudian diluncurkan di kampus SGU dengan menghadirkan Pak Sapardi bersama penyair Agus R. Sardjono.
Intermezo: Saya menggunakan kerangka puisi di atas untuk membuat puisi saya sendiri yang ditujukan untuk SDD. Coba lihat perbandingannya:
Pada Desember 2017 saya bertemu dengan SDD di Selangor, Malaysia, dimana beliau dan saya diundang menjadi pembicara dalam suatu seminar tentang sastra Melayu. Saya berangkat bersama penyair Aan Mansyur. Dan di sana sudah ada beberapa sastrawan Indonesia yang juga diundang ke acara tersebut, antara lain Goenawan Mohamad, penyair Dorothea Rosa Herliani, novelis Nukila Amal, dll.
Aan Mansyur, Penyair Ada Apa dengan Cinta 2
Sarapan pagi bersama penyair senior Indonesia, Goenawan Mohamad dan seniman Malaysia, Pauline Fan
Begitu keluar dari ruang seminar, saya tunjukkan salah satu puisi saya di dalam buku Senja di Jakarta yang berjudul Kursi Ruang Tunggu, sebagai “tanggapan” terhadap puisi beliau yang sangat terkenal, Hujan Bulan Juni, dan beliau membacanya terkekeh-kekeh.. (Puisinya lihat di atas).
Selamat jalan Eyang Sapardi
Yang fana adalah waktu, engkau abadi…
–ahmadgaus-
Esai di atas versi lengkapnya dimuat di Geotimes.co.id, berikut link-nya:
Mengenang SDD: Penyair yang Berbisik
*****
Indahnya Cinta Segitiga
Dua orang perempuan saling menyayangi. Tapi, keduanya mencintai pria yang sama. Cinta segitiga terjalin begitu saja. Ada cemburu. Ada marah. Ada curiga. Tapi kasih sayang di antara kedua perempuan itu membuat mereka harus menafsirkan kembali cintanya pada si pria. Mereka tidak ingin kehilangan sahabat, tapi juga tidak mau ditinggal kekasih. Akhirnya sebuah kompromi dilakukan. Cinta segitiga terjalin mesra.
Masalah baru muncul ketika datang seseorang yang lain (pria atau wanita, hayoo tebak?). Cinta segitiga akhirnya berkembang menjadi persegi panjang. Romantis, seru, menggairahkan, penuh kelembutan, dan sekaligus brutal. Ikuti kisahnya dalam novel Hujan dalam Pelukan di platform NovelMe, selagi masih gratis, sebelum di-setting di halaman berbayar. Ini link-nya : https://share.novelme.id/starShare.html?novelId=22983
Sutardji Calzoum Bachri: Jalan Baru Estetika Puisi
Pada 24 Juni 2020 ini Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri, berulang tahun yang ke-79. Berikut catatan saya untuk “penyair kapak” tersebut sebagai bahan diskusi di Sanggar Kaki Langit (Sangkala), Tangerang Selatan. (Ahmad Gaus)
Sutardji Calzoum Bachri: Jalan Baru Estetika Puisi
Dalam hal eksperimentasi, puisi Indonesia dasawarsa 1970-an hampir-hampir identik dengan nama Sutardji Calzoum Bachri. Melalui puisi-puisi mantranya yang berideologi pembebasan kata dari makna, puisi Indonesia mendapatkan nafas baru setelah berpuluh tahun dibebani pesan-pesan moral atau perjuangan. Nama Sutardji kemudian tidak pernah dipisahkan dari perdebatan sastra kontemporer. Ia dianggap membawa corak baru dalam penulisan puisi yang didominasi oleh puisi lirik.[1]
Memang, dibandingkan puisi-puisi mainstream pada zamannya, puisi-puisi mantra ala Sutardji melampaui puisi lirik. Aku dalam puisi lirik menirukan kenyataan dan mengekspresikan perasaan individual. Dua hal itu nyaris lenyap dalam puisi-puisi mantra Sutardji. Jejaknya masih terlihat, tapi tidak dianggap penting. Sebab yang penting ialah kehadiran kata-kata itu sendiri, dan bukan representasinya atas kenyataan, apalagi pengertiannya.
Dalam puisi-puisi mantra Sutardji, kata yang dihadirkan adalah kata sebagai dirinya sendiri, bukan kata yang ke dalamnya sudah disusupkan makna tertentu oleh rezim bahasa. Dalam kredo puisinya, Sutardji mengatakan ingin membebaskan kata dari makna dan mengembalikan kata pada awal mulanya, yaitu mantera.
Selama rentang waktu satu dasawarsa (1970-1980), Sutardji bergumul dengan eksperimen puisi-puisi mantranya yang kemudian diterbitkan dalam antologi O yang terbit tahun 1973, kemudian Amuk yang terbit tahun 1977, dan menyusul Kapak yang terbit tahun 1979. Pada tahun 1981, ketiga antologi tersebut dikumpulkan menjadi satu dan diterbitkan kembali dengan judul O Amuk Kapak.[2] Buku setebal 133 halaman ini memuat 67 puisi.
Jika ada pernyataan “puisi ditulis tidak untuk dimengerti”, maka pernyataan itu absah sepenuhnya pada sosok penyair Sutardji. Kredo pembebasan kata dari makna menjadi ikon yang mengukuhkan penyair kelahiran Rengat, Indragiri Hulu, 24 Juni 1941, ini sebagai Sang Pembebas.[3] Karena kata sudah dibebaskan dari makna, maka kata-kata puisi benar-benar menjadi rahasia sebagaimana lazimnya ungkapan-ungkapan mantra. Makna yang terkandung di dalamnya menjadi berbau magisme yang biasa dihadirkan dalam sebuah komunikasi spiritual. Karena itu, penyair Abdul Hadi WM pernah menyebut puisi-puisi Sutardji sebagai puisi-puisi sufistik.[4]
Menangkap pesan dalam puisi-puisi sufistik—atau dalam istilah Sutardji, puisi mantra—tidak semudah membaca pesan dalam puisi lirik yang merepresentasikan pengalaman atau perasaan sang penyair. Dalam puisi Sutardji, makna itu ada, tapi seperti tiada, bagaikan semut hitam di atas batu hitam yang merayap pada suatu malam yang sangat gelap. Tetapi jelas bahwa semut itu ada. Hanya mata yang tajam yang sanggup melihatnya. Simaklah beberapa puisi Sutardji berikut:
Mantera
lima percik mawar
tujuh sayap merpati
sesayat langit perih
dicabik puncak gunung
sebelas duri sepi
dalam dupa rupa
tiga menyan luka
mengasapi duka
puah!
kau jadi Kau
Kasihku
O
dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau
resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian
raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian
mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai
siasiaku siasiakau siasia siabalau siarisau siakalian siasia
waswasku waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswaswaswas
duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai
oku okau okosong orindu okalian obolong o risau o Kau O…
AMUK
…. aku bukan penyair sekedar
aku depan
depan yang memburu
membebaskan kata memanggilMu
pot pot pot
pot pot
kalau pot tak mau pot
biar pot semau pot
mencari pot
pot
hei Kau dengar manteraku
Kau dengar kucing memanggilMu
izukalizu
pot
hei Kau dengar manteraku
Kau dengar kucing memanggilMu
izukalizu mapakazaba itasatali
tutulita papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu
tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco zukuzangga
zegezegeze zukuzangga zegezegeze zukuzangga
zegezegeze zukuzangga zegezegeze aahh…!
nama kalian bebas carilah tuhan semaumu
Doa
O Bapak Kapak
beri aku leherleher panjang
biar kutekak
biar ngalir darah resah
ke sanggup laut
Mampus!
Apa yang dinyatakan oleh puisi-puisi di atas selain pengekpresian pengalaman estetika penyairnya? Terlalu gegabah untuk menyimpulkan bahwa puisi-puisi di atas tidak bermakna. Makna tidak harus timbul dari rangkaian kata yang dapat dipahami. Sebab makna adalah senyawa bebas yang dapat direkatkan pada pengalaman individual. Dan individu dalam puisi-puisi Sutardji bukan aku-lirik dalam pengertian konvensional, melainkan subjek yang menyatakan diri dalam kata-kata yang sudah merdeka dari penjajahan makna. Setelah kata-kata dibebaskan dari makna, segenap makna yang dibangunnya justru menjadi mungkin.
Seperti Chairil Anwar yang sangat berani menyimpang dari tradisi penulisan puisi pada zamannya, Sutardji juga mengambil jalan yang berbeda dari jalan umum. Tapi, berbeda dengan Chairil yang menegaskan konsep puisinya sebagai “sebuah dunia yang menjadi”, Sutardji lebih dari itu. Ia menyajikan konsep tentang dunia yang tak dikenal, persisnya, dunia metafisis yang dilupakan akibat modernitas yang membuat pemahaman manusia atas kenyataan menjadi terpecah. Kesatuan transendental manusia dan Tuhan dibatasi oleh teknologi, falsafah, dan ideologi, yang sesungguhnya asing dalam pengalaman primordialnya. Dunia kenyataan dalam pengalaman manusia modern bagaikan belantara topeng dan citra. Kata-kata biasa tidak sanggup lagi memberi petunjuk ke mana arah untuk menemukan jatidiri manusia yang hilang di belantara citra itu, maka dibutuhkan mantra—kata-kata sakti untuk menguak dunia gaib yang bebas dari pencitraan.
Mantra dalam puisi-puisi Sutardji menjadi metafora yang menggambarkan keresahan dan kepedihan jiwa manusia dalam kesepian dan keterasingan akibat modernitas. Simak puisi berikut:
Sepisausepi
sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi
sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupoi
sepikul diri keranjang duri
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya ke dalam nyanyi
Puisi di atas sebenarnya berbicara tentang dua hal yang sangat akrab dalam kehidupan sehar-hari, yakni sepi dan pisau. Dengan meleburkan keduanya menjadi “sepisau” lalu “pisausepi” bukan saja memperlihatkan kelenturan sekaligus kejeniusan bahasa puisi ini, namun juga menghadirkan makna yang sama sekali tak terduga—makna baru yang dimungkinkan sebagai hasil pembebasan kata dari penjajahan makna. Sebelum membahas keunikan tipografi puisi dalam O Amuk Kapak, yang membedakannya dengan puisi-puisi mainstream, baik kita simak lagi puisi di bawah.
Batu
batu mawar
batu langit
batu duka
batu rindu
batu jarum
batu bisu
kaukah itu
teka
teki
yang
tak menepati janji?
Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan
hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan
seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh?
Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampai mengapa
gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk
diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai se-
dang lambai tak sampai. Kau tahu?
batu risau
batu pukau
batu Kau-ku
batu sepi
batu ngilu
batu bisu
kaukah itu
teka
teki
yang
tak menepati
janji?
Ah
rasa yang dalam!
datang Kau padaku!
aku telah mengecup luka
aku telah membelai aduhai!
aku telah tiarap harap
aku telah mencium aum!
aku telah dipukau au!
aku telah meraba
celah
lobang
pintu
aku telah tinggalkan puri purapuraMu
rasa yang dalam
rasa dari segala risau sepi dari segala nabi tanya dari segala nyata sebab dari segala abad sungsang dari segala sampai duri dari segala rindu luka dari segala laku igau dari segala risau kubu dari segala buku resah dari segala rasa rusuh dari segala guruh sia dari segala saya duka dari segala daku Ina dari sega- la Anu puteri pesonaku!
datang Kau padaku!
apa yang sebab? jawab. apa yang senyap? saat. apa
yang renyai? sangsai! apa yang lengking? aduhai
apa yang ragu? guru. apa yang bimbang? sayang.
apa yang mau? aku! dari segala duka jadilah aku
dari segala tiang jadilah aku dari segala nyeri
jadilah aku dari segala tanya jadilah aku dari se-
gala jawab aku tak tahu
siapa sungai yang paling derai siapa langit yang paling rumit
siapa laut yang paling larut siapa tanah yang paling pijak si-
apa burung yang paling sayap siapa ayah yang paling tunggal
siapa tahu yang paling tidak siapa Kau yang paling aku kalau
tak aku yang paling rindu?
bulan di atas kolam kasikan ikan! bulan di jendela
kasikan remaja! daging di atas paha berikan bosan!
terang di atas siang berikan rabu senin sabtu jumat
kamis selasa minggu! Kau sendirian berikan aku!
Ah
rasa yang dalam
aku telah tinggalkan puri purapuraMu
yang mana sungai selain derai yang mana gantung selain sambung
yang mana nama selain mana yang mana gairah selain resah yang
mana tahu selain waktu yang mana tanah selain tunggu
yang mana tiang
selain
Hyang
mana
Kau
selain
aku?
nah
rasa yang dalam
tinggalkan puri puraMu!
Kasih! jangan menampik
masuk Kau padaku!
Lagi-lagi pertanyaannya, apa yang hendak disampaikan dalam 2 puisi di atas? Kalau memang pengertian, tentunya bukan pengertian yang biasa. Sebab tidak ada yang dapat diindera dengan ungkapan “batu mawar” atau “mengecup aduhai” atau “batu Kau-ku” atau “aku telah tinggalkan puri purapuraMU”. Namun karena kata telah dibebaskan dari makna, kemudian kembali ke fungsi awalnya sebagai mantra, maka keseluruhan bahasa yang digunakan hanya dapat dipahami sebagai kendaraan untuk menghadirkan sugesti kepada pembaca. Terang bahwa Kau dan Mu merujuk kepada Tuhan. Dan untuk mencapai Tuhan yang sudah terjajah oleh pemahaman diskursif pengetahuan dan falsafah tidaklah mudah. Si Aku lirik yang semula terjerembab dalam kebingungan dan hanya berteriak O… sekarang ia meng-Amuk, membawa Kapak untuk membabat semua rintangan yang menghalangi jalan menuju ke aras-Nya.
Keberhasilan puisi-puisi Sutardji sebenarnya adalah kejernihannya dalam menggunakan bahasa mantra untuk menguak dimensi alam gaib. Mantra, dan memang hanya bahasa mantra, yang mampu berkomunikasi dengan dunia mistik. Gejala seperti ini sebenarnya bukan sesuatu yang asing bagi masyarakat. Saat kaum muslim, misalnya, memuja dan berkomunikasi dengan Allah, mereka membaca atau melafalkan ayat-ayat suci yang tak mereka pahami. Artinya, ayat-ayat suci berfungsi sebagai mantra, yang di dalamnya dipercaya menyimpan kekuatan magis.
Bahkan kalau kita mau sedikit menengok pada tradisi ilmu kanuragan dalam masyarakat kita, maka kita akan bertemu dengan apa yang disebut wafaq atau jimat. Yakni, tulisan-tulisan ayat suci pada sehelai kain yang disusun dalam pola tertentu sehingga menghasilkan kesaktian apabila dipakai, seperti bisa menghilang, kebal dari pukulan atau tembakan, dan sebagainya. Puisi-puisi Sutardji yang disusun dalam tipografi tertentu yang unik menyerupai tulisan pada jimat. Efek yang hendak dimunculkannya sudah pasti ialah sugesti yang bersifat magis, senafas dengan kata-kata mantra yang digunakannya. Dan sebagaimana dalam jimat yang tersusun dari kata-kata yang tidak merujuk pada makna konvensional. dalam puisi-puisi Sutardji pun kata-kata menyimpang dari fungsinya sebagai pengantar pengertian. Sutardji menandaskan hal ini dalam manifesto kepenyairannya sbb:
Kredo Puisi
Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.
Kalau diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam.
Dalam kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk menyampaikan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian.
Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor(obscene) serta penjajahan gramatika.
Bila kata dibebaskan, kreatifitaspun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauan dirinya sendiri. Pendadakan yang kreatif bisa timbul, karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian, tiba-tiba, karena kebebasannya bisa menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal yang tak terduga sebelumnya, yang kreatif.
Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari diatas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mundar-mandir dan berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya sendiri dengan yang lain untuk memperkuat dirinya, membalik atau menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri untuk menunjukkan dirinya bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan kepadanya.
Sebagai penyair saya hanya menjaga–sepanjang tidak mengganggu kebebasannya– agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertiannya sendiri, bisa mendapatkan aksentuasi yang maksimal.
Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata.
Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.
Sutardji Calzoum Bachri
Bandung, 30 Maret 1973.
Demikianlah, puisi mantra telah mengantarkan Sutardji Calzoum Bachri sebagai salah satu penyair terpenting di tanah air — ia bahkan dikenal sebagai Presiden Penyair Indonesia. Perannya tidak bisa direduksi menjadi sekadar pionir pembebasan kata dari makna, yang untuk itu sering dijuluki sang pembebas, el libertador, atau penggagas puisi mantra yang membedakan dirinya dengan penyair-penyair lain[5] Lebih dari itu, ia menjalankan peran profetik untuk suatu perubahan yang mendasar dalam kesusastraan. Dalam suatu kesempatan, penyair kelahiran Rengat, Indragiri Hulu, Riau, 24 Juni 1941, ini bahkan pernah menyatakan bahwa peran penyair dalam mencipta puisi secara ekstrem bisa disamakan dengan peran Tuhan dengan ciptaannya, yakni sama-sama tidak bisa dimintai pertanggungjawaban.[6]
Sutardji tampaknya menyadari bahwa sastra sebagai sebentuk seni dalam budaya masyarakat tengah berada dalam gerusan modernitas yang memenjarakan kesadaran eksistensial manusia. Karena itu puisi-puisinya ditulis untuk memerdekakan manusia. Tak bisa lain, puisi mantra ialah puisi-puisi religius, yakni usaha transedental sang penyair untuk menemukan jalan lain menuju Tuhan, sekaligus jalan baru bagi estetika puisi untuk keluar dari kesunyian yang mencekam ala Nyanyi Sunyi (Amir Hamzah) atau kesunyian yang buas ala Binatang Jalang (Chairil Anwar).
Sebelum menutup uraian ini, mari kita nikmati lagi beberapa puisi dari Sutardji di bawah ini:
Walau
walau penyair besar
takkan sampai sebatas allah
dulu pernah kuminta tuhan
dalam diri
sekarang tak
kalau mati
mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat
jiwa membumbung dalam baris sajak
tujuh puncak membilang bilang
nyeri hari mengucap ucap
di butir pasir kutulis rindu rindu
walau huruf habislah sudah
alifbataku belum sebatas allah
1979
Tragedi Winka dan Sihka
kawin
kawin
kawin
kawin
kawin
ka
win
ka
win
ka
win
ka
win
ka
winka
winka
winka
sihka
sihka
sihka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
sih
sih
sih
sih
sih
ka
Ku
Hilang (Ketemu)
batu kehilangan diam
jam kehilangan waktu
pisau kehilangan tikam
mulut kehilangan lagu
langit kehilangan jarak
tanah kehilangan tunggu
santo kehilangan berak
Kau kehilangan aku
batu kehilangan diam
jam kehilangan waktu
pisau kehilangan tikam
mulut kehilangan lagu
langit kehilangan jarak
tanah kehilangan tunggu
santo kehilangan berak
Kamu ketemu aku
Tapi
aku bawakan bunga padamu
tapi kau bilang masih
aku bawakan resahku padamu
tapi kau bilang hanya
aku bawakan darahku padamu
tapi kau bilang cuma
aku bawakan mimpiku padamu
tapi kau bilang meski
aku bawakan dukaku padamu
tapi kau bilang tapi
aku bawakan mayatku padamu
tapi kau bilang hampir
aku bawakan arwahku padamu
tapi kau bilang kalau
tanpa apa aku datang padamu
wah!
1976
Para Peminum
di lereng-lereng
para peminum
mendaki gunung mabuk
kadang mereka terpeleset
jatuh
dan mendaki lagi
memetik bulan
di puncak
mereka oleng
tapi mereka bilang
– kami takkan karam
dalam laut bulan –
mereka nyanyi nyanyi
jatuh
dan mendaki lagi
di puncak gunung mabuk
mereka berhasil memetik bulan
mereka menyimpan bulan
dan bulan menyimpan mereka
di puncak
semuanya diam dan tersimpan
Sajak-sajak Sutardji telah diterjemahkan oleh Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation (India), Writing from the World (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan Ik wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters (1979). Selain menulis puisi, Sutardji juga menulis cerpen dan esai sastra. Kumpulan cerpennya diterbitkan oleh penerbit Indonesia Tera pada tahun 2001 dengan judul Hujan Menulis Ayam. Sementara itu, kumpulan esainya diterbitkan oleh penerbit yang sama pada tahun 2007 dengan judul Isyarat.
Pada tahun 1979, Sutardji dianugerah hadiah South East Asia Writer Awards atas prestasinya dalam sastra di Bangkok, Thailand. Beberapa penghargaan lain yang pernah diterimanya antara lain: Penghargaan Sastra Kabupaten Kepulauan Riau oleh Bupati Kepulauan Riau (1979); Anugrah Seni Pemerintah Republik Indonesia (1993); Menerima Anugrah Sastra Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia Jakarta. (1990); Penghargaan Sastra Chairil Anwar (1998), dan anugrah gelar Sastrawan Perdana oleh Pemerintah Daerah Riau (2001).
Karya-karya Sutardji yang sudah terbit antara lain:
– O, diterbitkan oleh Yayasan Indonesia (tahun 1971).
– Kucing, diterbitkan oleh Sinar Harapan (tahun 1973)
– Amuk (tahun 1977)
– Kapak
– Amuk, Kapak, antologi, diterbitkan oleh Sinar Harapan (tahun 1981)
– Aku Datang Padamu.
– Perjalanan Kubur David Copperfield.
– Realites’90 Tanah Air Mata.
Penghargaan:
– Anugerah Seni, dari Pemerintah Republik Indonesia (tahun 1990)
– Anugerah Seni atas karyanya berjudul Amuk, dari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) (tahun 1977)
– Anugerah Sastra Chairil Anwar (tahun 1998),
– Anugerah Sastra Asia Tenggara (South East Asia Writer Awards), dari Ratu Sirikit, Thailand (tahun 1979).
– Seniman Perdana, dari Dewan Kesenian Riau (tahun 2001).
– Sebagai Pelopor Penyair Angkatan ’70.’
Catatan:
[1] Untuk melihat berbagai pandangan mengenai Sutardji Calzoum Bachri, lihat Maman S. Mahayana, ed., Raja Mentera, Presiden Penyair (Depok: Yayasan Panggung Melayu, 2007).
[2] Sutardji Calzoum Bachri, O Amuk Kapak (Jakarta: Sinar Harapan, 1981)
[3] Lihat, “Sutardji Calzoum Bachri, Sang Pembebas”, dalam Jamal D. Rahman, et al., Dermaga Sastra Indonesia: Kepengarangan Tanjung Pinang dari Raja Ali Haji sampai Suryatati A. Manan (Jakarta: Komodo Books, 2010), hal. 157
[4] Lihat dalam Ahmadun Yosi Herfanda, Inspiring stories: 30 kisah para tokoh beken yang menggugah (Solo: Tiga Serangkai, 2008) hal. 282
[5] Istilah puisi mantra belakangan tidak selalu berkonotasi sakral. Sebuah tudingan bahwa Sutardji bukan penyair melainkan tukang mantra tentu bermaksud menurunkan kesakralan posisi itu. Mengenai ini lihat, Nurel Javissarqi, Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (Pustaka Pujangga dan Sastranesia, 2011)
[6] Lihat makalah Orasi Budaya Sutardji Calzoum Bachri, “Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair”, dalam acara Pekan Presiden Penyair. Makalah ini dimuat di harian Republika, 9 September 2007.
FOLLOW MY INSTAGRAM: @gauspoem
Baca Juga: Wiji Thukul, Penyair Pemberontak
[Esai] Sastra Yang Membebaskan
Catatan Reflektif 8 Tahun Inovasi Puisi Esai Denny JA
Oleh Ahmad Gaus AF *)
Setiap puisi merindukan pembaca. Tapi di mana-mana ia dipenjara oleh bahasa. Maka, apa yang oleh Riffaterre (1978) disebut sebagai dialektika antara teks dan pembaca, sesungguhnya tidak terjadi. Bahkan yang terjadi saat ini justru sebaliknya, yakni tumbuhnya sekat-sekat pemisah (bahasa) yang kian menebal antara puisi dan masyarakat.
Bahasa puisi, terus terang saja, lebih sulit dari bahasa asing. Sebelum memahami sebuah puisi, kita diingatkan oleh semacam adagium bahwa puisi ditulis bukan untuk dipahami tapi untuk dinikmati. Jadi terang bahwa preferensi bahasa seorang penyair sejak mulanya memang otoriter. Dalam pemahaman seperti itu, setiap penyair mengalienasi karya puisinya dari publik, dan sekaligus mendiskriminasi publik melalui bahasa. Pandangan semacam ini ditunjang oleh persepsi keindahan yang eksklusif. Publik dipaksa untuk menikmati sesuatu yang tidak mereka pahami.
Tentu saja tidak setiap ekspresi keindahan (bahasa) harus diperoleh melalui proses memahami. Kitab suci, misalnya, bisa dibaca orang sambil menitikkan air mata walaupun ia tidak memahami sama sekali maknanya. Sebab, meskipun disampaikan melalui bahasa, ayat suci bukan semata-mata aktivitas bahasa melainkan juga aktivitas teologis. Pembaca kitab suci meleburkan dirinya ke wilayah metafisika yang penuh rahasia. Tidak heran bila ayat-ayat suci lebih sering dibiarkan sebagai misteri yang tak terpahami. Pemahaman terhadapnya bahkan dinilai sebagai reduksi dan distorsi.
Namun, di dalam puisi, kasus semacam ini adalah tragedi. Sebab puisi sepenuhnya merupakan aktivitas bahasa. Dan yang dimaksud bahasa di sini ialah gabungan unsur-unsur kata dan konteks atau aktivitas non-linguistik di lingkungan masyarakat yang bersangkutan. Maka untuk memahami sebuah kata kita harus melihatnya di dalam konteks sosial yang membentuknya. Hubungan antara keduanya oleh Wittgenstein disebut language games (permainan bahasa). Dan di dalam language games inilah bahasa dilihat sebagai aktivitas sosial yang diwujudkan, konkret, dan ekspresif terhadap kebutuhan manusia. Language games tertanam dalam bentuk kehidupan. Membayangkan sebuah bahasa, kata Wittgenstein, berarti membayangkan suatu bentuk kehidupan.
Apa hubungannya dengan puisi? Sebagai aktivitas bahasa, puisi juga merupakan arena language games. Karena itu, para penyair tidak bisa membangun otonomi keindahan bahasa secara eksklusif di luar konvensi publik, sampai harus mengorbankan penalaran bahasa umum. Jika itu terjadi, maka sebenarnya mereka tengah melakukan praktik monopoli bahasa atas nama estetika sastra. Dalam logika itu, perkembangan bahasa menjadi sangat elitis karena dikendalikan oleh rezim kesusastraan yang otoriter.
***
Hampir semua genre puisi modern memiliki karakteristik seperti itu, kecuali puisi esai. Secara historis puisi esai dilahirkan sebagai sebuah gerakan sastra untuk mengembalikan puisi ke pangkuan masyarakat. Sebab disadari, selama ini puisi dan masyarakat saling menjauh akibat “tembok bahasa” yang terpancang di antara keduanya, yang diciptakan oleh para penyair.
Puisi esai lahir pada 2012 lalu dengan terbitnya buku Atas Nama Cinta karya Denny JA yang memuat lima buah puisi esai bertemakan diskriminasi berdasarkan perbedaan ras, sekte agama, orientasi seksual, dan pandangan agama. Dari segi bentuknya puisi esai berbeda dengan puisi lirik. Puisi lirik adalah puisi yang mengungkapkan perasaan melalui simbol dan metafor. Sedangkan puisi esai mengungkap realitas melalui bahasa konvensional, karena itu mudah dimengerti oleh pembaca. Dalam sejarah perpuisian di Indonesia, puisi lirik merupakan puisi arus utama, dan telah menjadi paradigma dalam penulisan puisi. Puisi esai menawarkan genre baru penulisan puisi yang berusaha keluar dari arus utama tersebut dan membentuk tata bahasa sendiri di luar lirisisme.
Menurut perintisnya, Denny JA, kelahiran puisi esai diilhami oleh tulisan John Barr, pemimpin Poetry Foundation, Amerika Serikat, yang menerbitkan majalah Poetry: A Magazine of Verse. Dalam tulisannya yang berjudul American Poetry in New Century (2006), Barr menyatakan bahwa puisi semakin sulit dipahami publik. Penulisan puisi mengalami stagnasi, dan tak ada perubahan berarti selama puluhan tahun. Publik luas merasa semakin berjarak dengan dunia puisi. Menurut Barr, para penyair asik masyuk dengan imajinasinya sendiri, atau hanya merespon penyair lain. Mereka semakin terpisah dan tidak merespon persoalan yang dirasakan khalayak luas. Barr merindukan puisi dan sastra seperti di era Shakespeare. Saat itu, puisi menjadi magnet yang dibicarakan, diapresiasi publik, dan bersinergi dengan perkembangan masyarakat yang lebih luas.
Jadi sekali lagi, puisi esai lahir sebagai kritik atas kecenderungan puisi modern yang mengalienasi diri dari publik, dan mendiskriminasi publik melalui bahasa. Dulu ada penyair besar yang membuat kredo puisi “membebaskan kata dari makna” sehingga puisi menjadi mantra. Kini, puisi esai “mengembalikan makna ke kata” sehingga puisi menjadi bahasa. Dulu, seorang penyair mengatakan tentang puisi bahwa “yang bukan penyair tidak ambil bagian”. Kini, puisi esai membuat kredo “yang bukan penyair boleh ambil bagian.” Dan faktanya, ratusan penulis puisi esai yang telah menerbitkan buku memang bukanlah penyair; mereka adalah guru, siswa, aktivis, wartawan, buruh, bahkan juga ibu rumah tangga.
Puisi esai adalah puisi panjang berbabak dan mengandung konflik layaknya sebuah naskah drama untuk dipentaskan. Puisi esai mengangkat isu-isu sosial yang bergetar dalam dinamika masyarakat Indonesia kontemporer. Namun, bukan isu itu sendiri tampaknya yang menimbulkan kontroversi, melainkan penamaannya sebagai puisi esai yang dianggap orang sebagai janggal dan mengada-ada. Selama ini, dalam anggapan umum, puisi dan esai adalah nama yang masing-masing memiliki definisi tersendiri. Keduanya telah berdiri sebagai bangunan ontologis yang mapan. Menyatukan keduanya begitu saja adalah tindakan sewenang-wenang. Tulisan ini tidak akan menyinggung lagi kontroversi tersebut karena sudah banyak ditulis orang, di antaranya tulisan-tulisan yang terhimpun dalam buku Puisi Esai: Kemungkinan Baru Puisi Indonesia (2014) dan Pergolakan Puisi Esai (2018).
Buku puisi esai Atas Nama Cinta diterbitkan sebagai salah satu program Indonesia Tanpa Diskriminasi yang juga diinisiasi oleh Denny JA. Karena itu, isi buku tersebut ialah isu-isu seputar diskriminasi agama, gender, ras, dan orientasi seksual. Semua isu tersebut, menurut Denny, tidak cocok bila disampaikan dalam tulisan biasa atau tulisan akademik karena hanya akan bernilai informatif belaka. Sedangkan ia menginginkan sebuah tulisan yang menyentuh hati, menggugah rasa kemanusiaan sesuai dengan isu yang diangkatnya. Ia membutuhkan medium lain. Dan ia memilih puisi. Namun, puisi-puisi yang ia kenal selama ini dirasa kurang bisa menampung gejolak batin yang mendesak-desak untuk segera ditumpahkan. “Saya seperti sedang hamil tua,” ujarnya, saat mencari medium untuk menyalurkan kegelisahannya menyaksikan kasus-kasus diskriminasi yang belakangan marak terjadi. Dan sebagaimana diakuinya sendiri, melalui suatu permenungan yang panjang, akhirnya ia menemukan sebuah medium yang kemudian ia beri nama puisi esai. Sebagaimana umumnya karya sastra, puisi esai adalah fiksi. Namun, Denny JA mencantumkan fakta peristiwa kongkrit dalam puisi-puisi esainya, yang dibuat dalam catatan kaki, sehingga secara keseluruhan puisi esai dapat dibaca seperti sebuah karya semi dokumenter. Jelas ini tidak lazim.
Kalaupun puisi konvensional bisa saja mencantumkan catatan kaki, biasanya catatan kaki itu hanya difungsikan untuk menuliskan keterangan istilah atau hal-hal teknis tertentu. Tapi dalam puisi esai, catatan kaki ialah bagian integral dari tubuh puisi. Betapa tidak, kisah-kisah yang diangkat di dalam puisi esai justru dibangun dari fakta peristiwa yang ada di dalam catatan kakinya. Hal ini berbanding terbalik dengan karya-karya akademik dimana gagasan pokok membangun catatan kaki, dengan demikian catatan kaki hanya sebagai pelengkap, bahkan dalam suatu tulisan ilmiah popular catatan kaki itu bisa saja dihilangkan demi efisiensi atau tujuan lainnya. Dalam puisi esai tidak bisa. Tubuh puisi dan catatan kakinya adalah satu kesatuan. Seperti raga dan jiwanya. Jika salah satunya hilang maka ia tidak menjadi puisi esai. Bahkan tidak menjadi puisi, dan tidak pula menjadi esai. Itulah ke-“celaka”-an puisi esai yang dituduhkan oleh banyak orang. Tapi tidak setiap ke-”celaka”-an adalah buruk. Dalam kasus puisi esai, jelas sekali bahwa kritik dan kecaman yang diarahkan kepadanya, termasuk dan terutama kepada Denny JA selaku penggagasnya, justru membuatnya semakin matang dan berwibawa.
Kredo puisi esai, “mengembalikan puisi ke pangkuan masyarakat” dan “yang bukan penyair boleh ambil bagian”, sejatinya merupakan concern segenap masyarakat bahasa yang mendambakan kembalinya jiwa bahasa yang selama ini dianggap menghilang. Jiwa atau estetika bahasa telah terkubur oleh gejala birokratisasi bahasa dan alienasi puisi dari masyarakat. Yang terakhir ini merupakan ironi yang nyaris tidak pernah disadari, sebab seharusnya puisi berperan merawat dan mengembangkan estetika bahasa publik. Namun yang terjadi, puisi justru menjadi aktor dalam diskriminasi estetika bahasa publik. Puisi juga tidak mampu melawan kecenderungan birokratisasi bahasa oleh rezim bahasa yang berpotensi mematikan kreativitas.
***
Sebenarnya sudah lama sastra kita, dan khususnya puisi, merampas keindahan bahasa publik. Apa yang disebut indah dalam bahasa akan selalu dirujuk ke puisi. Di luar puisi tidak ada keindahan bahasa. Di luar puisi hanya laporan penelitian atau paper akademik dengan bahasa yang keras, percakapan yang sumir, pidato yang tak bermutu, debat politik yang garing, lirik-lirik lagu yang buruk, dst., dst.
Sastra kita, lagi-lagi khususnya puisi, adalah satu-satunya pemegang hak cipta keindahan bahasa. Dalam paradigma estetika yang eksklusif dan otoriter itulah para penyair memisahkan sastra dari bahasa publik. Akibatnya, bahasa publik tumbuh terpisah di luar wilayah kesusastraan dan menjadi wilayah tersendiri di bawah rezim bahasa negara yang berkutat pada aturan kuno: “bahasa yang baik dan benar”. Ini jelas sebuah anomali. Sebab dalam sejarahnya, bahasa dan sastra selalu menyatu dan menjadi milik masyarakat seperti dalam representasi pantun, syair, dan peribahasa. Tapi ketiganya telah menghilang pula dari bahasa kita.
Akibat lebih jauh dari terpisahnya bahasa dan sastra ialah, bahasa kita menjadi kaku dan “kering”. Belum lagi orientasi politik bahasa yang cenderung birokratis. Sekadar memasukkan tiga perubahan sepele saja, misalnya, negara harus mengeluarkan peraturan yang mengubah EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) yang telah berlaku sejak 1972, menjadi EBI (Ejaan Bahasa Indonesia) [Peraturan Menteri dan Kebudayaan RI Nomor 50 Tahun 2015].. Ini menunjukkan bahwa rezim bahasa lebih banyak berpikir tentang “peraturan”.
Politik “bahasa yang baik dan benar” adalah regulasi yang berorientasi pada penyeragaman. Seperti halnya rezim sastra, rezim bahasa pun tak kurang kejamnya dalam menindas bahasa masyarakat. Rezim bahasa tidak peduli kebiasaan lidah masyarakat yang selalu membunyikan konsonan ‘p’ dalam “mempengaruhi”, “mempunyai”, “mempesona”, dll.. Atas nama aturan semua bunyi “p” yang mengikuti awalan me- harus diluluhkan (memengaruhi, memunyai, memesona). Cara pengucapan yang baru itu sungguh asing di lidah masyarakat yang sejak duduk di bangku sekolah terbiasa menyanyikan lagu, “Aku seorang kapiten, mem[p]unyai pedang panjang.” Rezim bahasa telah mengubah bentukan kata “terdiri dari” menjadi “terdiri atas”, “sekitar 10 meter” menjadi “sekira 10 meter”. Tidak peduli bahwa semua itu sudah menjadi bahasa tutur yang melekat dalam kehidupan masyarakat. Kalau ada orang menulis “Selamat HUT RI yang ke-74” dia akan dibilang bodoh karena menganggap ada 74 negara Indonesia. Tapi apa benar ada orang sebodoh itu, yang menganggap ada begitu banyak Indonesia? Bukankah yang dia maksud adalah HUT RI, dan bukan RI-nya. Jadi siapa yang bodoh?
Maka, alih-alih tumbuh dengan sehat, bahasa Indonesia mengalami involusi — seperti tidak tahu harus berkembang ke mana. Ia tidak bisa digunakan dalam pergaulan, sehingga anak-anak muda merasa perlu menciptakan bahasa sendiri (bahasa gaul). Perkembamgan bahasa dalam paradigma “baik dan benar” pada gilirannya juga menjadi momok bagi masyarakat. Dan akhirnya melahirkan perlawanan diam-diam. Bahasa alay, misalnya, tumbuh di kalangan remaja. Begitu juga bahasa pergaulan media sosial seperti mager, gabut, santuy, kepo, pansos, dll., yang bahkan telah menjadi bahasa masyarakat. Film-film kita juga tidak terlihat menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Begitu juga lirik-lirik lagu yang kualitasnya kian hari kian buruk. Sudah tidak baik, tidak benar, tidak indah pula. Padahal dulu, lagu adalah puisi, dan puisi bisa diadaptasi atau langsung dijadikan lagu yang popular, dinyanyikan oleh masyarakat.
Mengapa sekarang kita sulit sekali mendapatkan lirik lagu yang memenuhi kaidah baik dan benar (ragam baku) sekaligus indah (ragam sastra) dan disukai masyarakat, seperti lagu-lagu Bimbo, Franky & Jane, Ebiet G. Ade, Chrisye, Iwan Fals, M. Mashabi, Rhoma Irama? Jawabannya karena bahasa telah dipisahkan dari sastra secara struktural — seperti pemisahan TNI-Polri. Pendidikan bahasa pada gilirannya serupa belaka dengan latihan baris-berbaris. Ketika orang mencipta lagu, ia hanya berpikir tengah menggunakan bahasa sebagai alat komunkasi. Tidak menyadari bahwa ia tengah menulis puisi. Tatkala orang membuat film, ia hanya berpikir tentang cinematografi, tidak berpikir bahwa film adalah juga karya sastra yang seharusnya disajikan dalam bahasa puisi. Film-film kita tidak maksimal mengeksplorasi kekayaan estetik bahasa Indonesia. Akibatnya film-film kita gagal menyajikan sentuhan seni yang paripurna, sebab kita hanya disuguhi cerita. Berbeda dengan film-film produksi luar negeri yang mampu mengintegrasikan kecanggihan cerita, sinematografi, dan sekaligus keindahan bahasa.
Logika ini bisa diteruskan ke bentuk-bentuk lain ekspresi bahasa seperti acara-acara televisi, pidato pejabat, debat politik, khutbah jumat, dll., yang semuanya tidak lagi merefleksikan keindahan bahasa Indonesia. Fungsi bahasa menjadi terbatas. Eksplorasinya pun sangat miskin. Krisis estetika dalam bahasa publik tampaknya tak terelakkan. Hal ini, sekali lagi, terjadi akibat proses alienasi puisi dari masyarakat oleh rezim sastra, dan pada saat bersamaan menguatnya birokratisasi bahasa masyarakat oleh rezim bahasa.
***
Kalau puisi esai berhasil dengan dwitunggal kredonya: “mengembalikan puisi ke pangkuan masyarakat” dan “yang bukan penyair boleh ambil bagian”, maka ada harapan bahwa bahasa akan tumbuh dengan sehat. Bahasa dan sastra akan kembali menyatu, dan keduanya kembali menjadi milik masyarakat. Dulu masyarakat kita adalah pencipta (kreator) bahasa, seperti yang terlihat dalam produksi pantun, syair, peribahasa, dll. Sekarang masyarakat hanya sebagai pengguna bahasa. Namun itu dapat dimaklumi. Karena dalam posisi ketertindasan struktural yang diciptakan oleh rezim sastra dan rezim bahasa, masyarakat tidak akan berminat pada dunia kreativitas, dan akan mendahulukan hal-hal yang lebih penting dalam hidup mereka seperti beras, minyak goreng, listrik, iuran BPJS, dan sejenisnya.
Puisi esai lahir untuk membebaskan masyarakat dari ketertindasan itu. Dengan merintis puisi esai, Denny JA telah membuka pintu ijtihad dalam sastra (dan khususnya puisi), yang selama ini dianggap tertutup rapat. Di ruang yang kini telah terbuka itu, berbagai kemungkinan baru dapat terjadi di tengah masyarakat dan dilakukan oleh masyarakat sendiri menyangkut kreativitas dalam bahasa maupun sastra.
Denny JA selaku perintis puisi esai mungkin orang yang paling bahagia saat ini, sebab inovasinya di bidang sastra itu telah membuahkan hasil. Delapan tahun silam, ketika ia menerbitkan buku puisi esainya yang pertama, Atas Nama Cinta (2012), ia menerima berbagai cemooh dan hinaan. Dan belakangan tudingan itu semakin deras dan keras ketika namanya masuk dalam buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh (2014). Ia dituduh berada di balik proyek buku yang menghebohkan itu. Tapi ia bergeming, dan terus saja menulis, sambil memperluas kemungkinan teoritis baru bagi puisi esai yang sudah kadung dilahirkannya. Belakangan ia bahkan menyebut puisi esai sebagai genre baru sastra. Tentu saja dengan sejumlah argumen yang cukup meyakinkan. Tak pelak, serangan terhadap dirinya atas klaim tersebut kian menjadi-jadi. Lagi-lagi ia bergeming. Alih-alih surut langkah menghadapi kritik dan cercaan, ia malah membuat proyek nasional penulisan puisi esai yang melibatkan 170 penulis dari 34 propinsi di Indonesia.
Gagasan ini mendapat sorotan tajam dan sekaligus penolakan dari berbagai komunitas sastra karena dianggap manipulasi sastra. Sejumlah petisi dibuat. Tidak tanggung-tanggung, petisi itu disampaikan pula kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Para penandatangan petisi meminta pemerintah untuk ikut menghentikan proyek manipulatif tersebut. Menyikapi derasnya penolakan tersebut, Denny JA dengan santai bertanya, di mana salahnya orang berkarya? Dan apa urusannya dengan intervensi pemerintah, bukankah kebebasan berkreasi merupakan milik paling berharga para seniman, mengapa harus diserahkan kepada pemerintah?
Tahun lalu buku-buku tersebut diterbitkan dan diluncurkan, terdiri dari 34 buku puisi esai dari 34 provinsi. Jumlah penulis yang terlibat adalah 176 orang, dan masing masing menulis puisi esai dengan tema kearifan lokal masing-masing provinsi. Dari 34 buku puisi esai di setiap provinsi akan lahir 34 skenario film dengan durasi @50 menit. Ini serial film mini pertama yang semua skenarionya berdasarkan puisi esai.
Dalam menyemarakkan gerakan puisi esai, berbagai lomba juga telah diselenggarakan, yaitu lomba menulis puisi esai tingkat Asean yang karya-karya pemenangnya sudah dibukukan; lomba resensi buku puisi esai terbesar dan pertama yang semua resensinya dimuat di Facebook, yang juga sudah diterbitkan dalam sebuah buku; dan lomba kritik sastra pertama soal puisi esai yang menggunakan Vlog. Selain itu telah terbit pula 5 (lima) buku puisi esai karya para pelajar SMA dari lima pulau. Juga telah diluncurkan puisi esai hasil karya 10 penyair Indonesia dan Malaysia yang secara khusus mengangkat isu soal hubungan 2 negara. Jadi total telah terbit 80 buku puisi esai.
Pada 2020 ini genap 8 tahun sudah usia puisi esai. Berbagai reaksi pro-kontra masih terus bermunculan, seakan menyediakan ruang bagi dirinya untuk diuji dalam laboratorium sejarah sastra. Sejauh ia mampu menyerap berbagai kritik itu menjadi vitamin, sejauh itu pula ia akan tumbuh dan berkembang. Faktanya sudah 8 tahun terakhir polemik seputar puisi esai terus bergulir. Kehebohannya seakan tak kunjung usai. Bahkan ada yang mengatakan bahwa kegaduhan yang ditimbulkan oleh puisi esai dan perintisnya, Denny JA, merupakan yang paling keras sejak kemerdekaan. Diakui atau tidak, Denny JA akhirnya menjadi fenomena tersendiri dalam sastra. Selain karena kegaduhan-kegaduhan itu, juga karena visinya tentang masa depan sastra, dan khususnya puisi, yang ia kaitkan dengan era baru yang meniscayakan kebutuhan pada puisi genre baru, dengan kemasan baru, cara penyajian baru, dan melibatkan seni marketing dalam pemasaran produknya, sehingga lebih dikenal masyarakat. Semua itu fenomena baru, belum pernah ada dalam sastra Indonesia. []
*) Ahmad Gaus AF, adalah dosen Bahasa dan Budaya, Swiss German University (SGU) Tangerang, dan salah seorang anggota tim penulis buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh (2014). Buku puisinya yang sudah terbit adalah Istana Angin (antologi bersama, 2011), Kutunggu Kamu di Cisadane (antologi tunggal, 2013) dan Senja di Jakarta (antologi tunggal, 2017).
Ambon Manise, Waktu Hujan Sore-Sore
Ambon Manise, Waktu Hujan Sore-Sore
Oleh Ahmad Gaus AF
Bicara tentang Ambon adalah bicara tentang kebesaran masa lalu dan kegelisahan menatap masa depan. Di antara bangunan-bangunan tua, anak-anak muda berdiri menyaksikan sebuah kota peradaban gemilang. Ambon manise, mutiara yang berkilauan di timur Indonesia dengan sejarah yang agung dan heroik serta hari esok yang tengah didefinisikan kembali. Ambon manise, tempat lahirnya musisi-musisi papan atas negeri ini dari mulai Opa Zeth Lekatompessy, Bob Tutupoly, Broery Marantika, Melky Goeslow, Harvey Malaiholo, Utha Likumahua, hingga Glenn Fredly, dll.
Ambon manise, kota teluk yang tak pernah gagal menampilkan keindahan senja dalam panorama laut, burung camar, dan perahu nelayan; kota penghasil rempah-rempah terbaik di dunia, yang dibangun oleh patriotisme para pejuang dan dikenang oleh airmata anak-anak rantau dalam alunan lagu Sio Mama.
Dahulu kala, kota ini merupakan tujuan para pengembara Eropa yang membawa misi suci untuk memancangkan hasrat akan kemegahan (gold), kejayaan (glory), dan ketuhanan (gospel). Dari aspek tradisi dan sumber daya alam, Ambon memiliki segalanya. Sampai sekarang, tradisi pela-gandong masih menjadi rujukan utama bagi siapapun manakala orang berbicara tentang toleransi agama dengan basis kearifan lokal.
Dua kekuatan kolonial yang berekspansi ke timur saat itu, Portugis dan Belanda, menjadikan Ambon sebagai pusat aktivitas dan pertahanan mereka. Pada mulanya, jual-beli rempah-rempah menjadi alasan utama kedatangan mereka. Namun melihat eksotisme alam dan kelimpahan sumber daya mengubah motiv komersial menjadi penguasaan. Pada tahun 1522 Portugis membuat monopoli perdagangan cengkeh dan pala dan menentukan harga yang sangat rendah sehingga amat merugikan rakyat. Dalam usahanya menguasai suatu wilayah, mereka juga tak segan-segan bertindak sewenang-wenang dan kejam terhadap rakyat yang tidak berdaya. Hal ini membuat rakyat bersikap antipati.
Jasa terbesar Portugis adalah pembangunan benteng kota Laha pada tahun 1575. Tahun itulah yang kemudian ditetapkan sebagai momen berdirinya kota Ambon. Namun 30 tahun kemudian, pada 23 Maret 1605, Belanda datang dan berhasil merebut benteng kota Laha dari Portugis sehingga Ambon jatuh ke tangan pendatang baru tersebut. Pada mulanya Belanda datang dengan niat yang sama: perdagangan. Namun niat itu pun segera berubah dengan dibentuknya VOC atau Vereenigde Oostindische Compagnie (Perusahaan Perdagangan Hindia Timur) pada 1605 dengan tujuan utamanya memonopoli perdagangan rempah-rempah. Rakyat kembali menjadi korban. Periode selanjutnya ialah penindasan demi penindasan sampai kemudian muncul gelombang perlawanan rakyat terhadap pemerintah kolonial Belanda yang dipimpin oleh Kapitan Pattimura, Anthony Ribok, Paulus Tiahahu, Martha Christina Tiahahu, Latumahina, Said Perintah, dan Thomas Pattiwael.
Patung Martha Christina Tiahahu, Salah Satu Pahlawan Ambon
Dalam sebuah penyerbuan besar-besaran yang dilakukan tentara Belanda terhadap rakyat, Kapitan Pattimura ditangkap dan kemudian dihukum mati oleh Belanda pada tanggal 15 Mei 1817. Di depan tiang gantung, alih-alih menyerah kepada Belanda, Pattimura justru kembali mengobarkan semangat rakyat untuk terus berjuang melawan Belanda dengan kata-katanya yang sangat terkenal: “Pattimura tua boleh mati, tetapi akan muncul Pattimura-Pattimura muda.”
Sampai sekarang, hari wafatnya Kapitan Pattimura itu selalu diperingati setiap tahun dengan pawai obor, untuk menghormati jasa-jasa beliau dalam memimpin perlawanan rakyat menghadapi kekuatan militer Belanda yang sangat besar dan kuat. Perang Pattimura adalah perang nasional dimana Pattimura berhasil menggalang dukungan dari Bali, Sulawesi, dan Jawa, selain dari kerajaan Ternate dan Tidore. Tentu akan sulit memetakan sejarah kemerdekaan Indonesia seandainya tidak pernah ada perlawanan rakyat Ambon terhadap kolonial Belanda. Dan mereka bisa dikalahkan hanya karena politik adu domba, tipu muslihat, dan bumi hangus oleh pihak Belanda.
Lanskap sejarah ini memberi landasan yang kuat bagi masyarakat Ambon — dan Maluku pada umumnya — untuk menjadi bagian penting dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagai daerah yang pertamakali mengobarkan perang terhadap penjajah, Ambon berada di baris pertama dalam perkara menegakkan martabat bangsa. Tanpa Ambon dan sejarah patriotismenya, NKRI tidak akan pernah ada.
***
Ambon kini tengah mematut diri di depan cermin sejarah yang berbeda — sejarah konflik saudara yang baru saja usai kemarin petang, yang belum seratus persen pulih dari trauma. Kondisi ini kadang menyulitkan warga dan para pembuat kebijakan untuk membuat peta jalan (road map) baru bagi sejumput harapan akan kehidupan hari esok yang lebih cerah. Konflik dan perdamaian sama-sama memiliki peluang untuk tumbuh di atas reruntuhan gedung-gedung yang terbakar. Di sudut-sudut jalan, dimana bangunan-bangunan yang rusak akibat kerusuhan massal masih terlihat, anak-anak muda berkumpul, bermain gitar, dan bernyanyi bersama, seakan sedang mengubur memori kelam tentang konflik yang mengerikan itu. Tapi ingatan bukanlah ruang kedap suara. Jerit pilu sanak famili dan kerabat yang menjadi korban konflik kerap masih terngiang di seantero kota yang belakangan menjadi habitat yang keras bagi anak-anak muda.
Seorang aktivis perdamaian, Elsye Syauta Latuheru, yang saya temui di kantornya di kota Ambon di penghujung bulan Agustus 2013 menuturkan hal yang amat pedih tentang anak-anak yang tumbuh di lingkungan yang keras sebagai dampak ikutan (by-product) dari konflik besar Muslim-Kristen tahun 1999 dan seterusnya. Konflik itu menggoncangkan seluruh sendi kehidupan masyarakat, meluluh-lantakkan perekonomian, dan menghancur-leburkan harapan. Anak-anak ini, ujar Elsye, mewarisi lingkungan sosial yang terbelah antara “kami” dan “mereka”. Kaum Muslim dan Kristen memahami posisi mereka dalam batas yang tegas: di luar kami tidak ada yang lain selain musuh. Bahasa yang dibangun adalah bahasa kekerasan. Bahkan, kekerasan cenderung menjadi pola anak-anak muda dalam menyelesaikan berbagai masalah.
Runtuhnya perekonomian masyarakat, sempitnya lapangan kerja, dan menguatnya segregasi atau pemisahan total antara Muslim dan Kristen di ruang-ruang publik, ikut memperumit pemulihan rasa aman dan integrasi sosial pasca konflik. Ditambah lagi stereotip yang terus dibangun di antara dua komunitas yang bertikai, seakan ingin mewariskan dendam kepada generasi penerus. Elsye menuturkan, anak-anak Ambon kini cenderung pesimistik menatap masa depan, sebab apapun yang mereka bangun akan porak-poranda manakala konflik kembali pecah. “Itu sangat berbahaya dan kita ingin menghentikan semuanya,” tandas Elsye yang aktif mengunjungi daerah-daerah rawan konflik untuk meyakinkan warga bahwa perdamaian masih bisa dirajut dengan kebersamaan, bahwa dendam dan permusuhan hanya memperparah keadaan serta mempersuram masa depan Ambon.
Tentu saja Elsye tidak sendirian. Dalam 10 tahun terakhir banyak kalangan di Ambon yang menyadari betapa konflik berkepanjangan telah membuat mereka terisolasi dari dunia luar; orang takut datang ke Ambon; biro-biro perjalanan menutup agen; investor angkat kaki; reputasi Ambon sebagai kota teladan toleransi terancam pudar. Maka, ibarat sebuah pendulum yang mulai bergerak ke arah berlawanan, kini kesadaran tentang perdamaian menjadi matra baru bagi warga yang merindukan masa-masa indah hidup bersama walaupun berbeda agama. Saling berbagi kebahagiaan di hari-hari besar seperti Natal dan Idul Fitri mulai dihidupkan kembali. Konser-konser seni dan festival musik yang melibatkan anak-anak muda dari dua komunitas agama gencar dilakukan, tidak hanya di ballroom hotel dan ruang-ruang pertunjukan namun juga di alun-alun kota, bahkan di trotoar jalan.
Di antara para pegiat perdamaian, peran kalangan pendidik atau guru jelas tidak bisa diabaikan. Tatkala segregasi sosial menguat, ada kebijakan anak-anak Muslim hanya boleh bersekolah di wilayah Muslim, dan sebaliknya anak-anak Kristen hanya boleh bersekolah di wilayah Kristen. Kebijakan yang disebut “rayonisasi” ini dibuat dalam jangka pendek untuk mengantisipasi kemungkinan konflik terulang jika dua komunitas bercampur. Namun dalam jangka panjang dalam rangka pembangunan perdamaian yang permanen, kebijakan ini justru kontraproduktif. Para guru sadar benar akan hal itu. Maka, berbagai upaya mereka lakukan untuk mempertemukan dua komunitas remaja Muslim dan Kristen dalam berbagai event yang mereka buat, seperti perkemahan lintas agama dan festival seni dan olahraga. Untuk para guru dibuat program live-in dimana guru Muslim akan menginap di rumah atau wilayah Kristen dan begitu pula sebaliknya guru Kristen menginap di rumah seorang Muslim di wilayah Muslim. Semua itu adalah proses belajar kembali untuk hidup bersama dan berbaur — sesuatu yang sesungguhnya sangat lumrah dalam masyarakat Ambon sebelum konflik 1999 pecah.
Bagaimanapun, segregasi di dunia pendidikan harus segera diakhiri karena di sanalah anak-anak belajar mengenal lingkungan mereka. Lingkungan sekolah sangat menentukan bagaimana pola pikir anak-anak dibentuk. Jika lingkungan sekolah dibuat homogen (Islam saja atau Kristen saja) sementara masyarakat bercorak heterogen, maka sekolah sebenarnya tengah mengasingkan anak-anak dari realitas sosial mereka sendiri; sekolah menjadi ruang isolasi yang memperkokoh tembok-tembok perbedaan. Dalam upaya mempercepat pembauran dan integrasi sosial seperti yang terus diupayakan dalam 10 tahun terakhir, sekolah justru harus menjadi pelopor. Sayangnya, pemerintah tampaknya belum berani mengambil langkah peleburan kembali secara total sekolah-sekolah yang tersegregasi selama bertahun-tahun, padahal tokoh-tokoh masyarakat dan para aktivis perdamaian telah bersuara keras mengeritik kebijakan pemerintah tersebut. Beruntunglah mereka tidak berputus ada dan kehilangan semangat. Para tokoh dan aktivis perdamaian ini terus bergerilya menebarkan benih-benih perdamaian di kalangan akar rumput, termasuk di lingkungan sekolah dengan melibatkan para pendidik (guru).
Buku berjudul Cerita dari Ambon ini mendokumentasikan kerja-kerja bina damai yang dilakukan kalangan LSM (lembaga swadaya masyarakat) dengan melibatkan para pemangku kepentingan di dunia pendidikan. Banyak cerita mengharukan tentang bagaimana para pendidik berjuang menyambungkan kembali tali-tali persaudaraan yang sempat terputus di antara generasi muda berbeda agama sebagai akibat dari konflik sosial orang-orang tua mereka di masa lalu. Benih-benih perdamaian disebarkan melalui berbagai aktivitas di lingkungan sekolah, antara guru dengan guru, guru dengan murid, dalam berbagai event pertemuan antar-sekolah, dan sebagainya. Selain itu, nilai-nilai perdamaian juga diintegrasikan ke dalam materi-materi pengajaran. Tujuannya agar anak-anak didik menghirup udara damai kapan pun dan di mana pun mereka berada, menumbuhkan rasa aman, dan menatap masa depan bersama dengan perasaan optimis.
Ada 31 guru SMP/Tsanawiyah dan SMA/Aliyah yang menuturkan pengalamannya dalam buku ini. Mereka pada mulanya adalah para peserta (seluruhnya berjumlah 40 guru) pada workshop “Program Bina Damai Ambon Melalui Pembangunan Kapasitas Civil Society” atau Enhancing Protection and Respect for Religious Freedom and Human Rights in Indonesia” yang selenggarakan oleh Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Ambon Reconciliation and Mediation Center (ARMC) IAIN Ambon, dengan dukungan dari The Asia Foundation (TAF).
Workshop ini merupakan upaya melakukan intervensi program pendidikan berperspektif perdamaian di Ambon sebagai hasil dari kegiatan needs assessment atau riset pendahuluan yang telah dilaksanakan pada Agustus hingga September 2013. Kegiatan needs assessment yang dimaksud dilakukan oleh tiga orang peneliti CSRC yakni Chaider S. Bamualim, Muchtadlirin, dan saya sendiri (Ahmad Gaus AF). Awalnya, ketiga peneliti melakukan observasi dan wawancara mendalam dengan kalangan stake holders perdamaian di Ambon, yakni para tokoh adat, pemuka agama, aktivis perdamaian, tokoh pemuda, tokoh LSM, dan para pendidik (guru). Akhirnya, hasil temuan needs assessment mengerucut pada rekomendasi melakukan intervensi program perdamaian di dunia pendidikan.
Kami memandang penting dunia pendidikan dalam membangun perdamaian karena masa depan Ambon terletak di pundak generasi muda yang kini tengah mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Dan hitam-putihnya cara berpikir mereka sangat ditentukan oleh para pendidik. Untuk itu CSRC UIN Jakarta, ARMC IAIN Ambon, dan TAF mengundang para guru untuk urun rembuk mengenai pembinaan perdamaian di kalangan generasi muda. Dari lingkungan pendidikan, suara perdamaian akan teresonansi ke ruang publik sehingga tercipta suasana dialog, komunikasi, dan kerjasama yang produktif di antara kelompok-kelompok lintas agama dan etnik.
Rekomendasi dari kegiatan needs assessment itu kemudian menelurkan workshop yang dilakukan sebanyak 4 kali, yaitu: “Workshop Format Ideal Pendidikan Perdamaian di Ambon” dan “Workshop Integrasi Nilai-nilai Perdamaian ke dalam Sistem Pembelajaran Sekolah”, yang diselenggarakan pada 16-20 Juni 2014. Menyusul kemudian “Workshop Strategi Pembelajaran Nilai-nilai Perdamaian di Ambon” pada tanggal 19-21 Agustus 2014, dan “Workshop Advokasi Pendidikan Perdamaian di Ambon” yang dilaksanakan 22-23 Agustus 2014.
Untuk melihat sejauh mana program tersebut berhasil memengaruhi para guru dalam mengambil inisiatif perdamaian di lingkungan sekolah masing-masing, CSRC merasa perlu membuat evaluasi dengan melakukan pengamatan lapangan dan wawancara mendalam dengan para alumni program. Dalam hal ini CSRC menurunkan 3 (tiga) orang peneliti yakni Idris Hemay, Hidayat al-Fannanie, dan Tutur Ahsanul Mustofa, untuk menemui mereka secara terpisah dimana setiap peserta program menuturkan pengalamannya mempraktikkan materi-materi yang mereka peroleh selama mengikuti workshop dalam aktivitas di sekolah masing-masing. Kisah-kisah mereka yang diturunkan dalam buku ini merupakan cerita yang mengandung the most significant change (MSC), yakni cerita yang berhubungan dengan perubahan-perubahan paling penting yang terjadi di lapangan pasca program workshop “Bina Damai di Ambon Melalui Pembangunan Kapasitas Masyarakat Sipil”.
Sebagian besar guru yang menjadi peserta workshop adalah mereka yang mengajar di lingkungan sekolah yang nyaris homogen, kalau ia seorang Muslim mengajar di sekolah yang hampir seratus persen murid dan gurunya beragama Islam, begitu juga sebaliknya seorang guru Kristen mengajar di sekolah yang mayoritas murid dan gurunya beragama Kristen. Kondisi inilah yang dideteksi sebagai bom waktu di masa depan, sehingga perlu segera dilakukan antisipasi dengan menanamkan benih-benih perdamaian di kalangan para peserta didik agar mereka siap untuk hidup berdampingan secara damai di tengah masyarakat plural.
Beragam cara dilakukan para guru untuk menyampaikan pesan-pesan damai di sekolah sehingga kelak terbawa ke lingkungan yang lebih besar: masyarakat. Beberapa kisah yang mengandung the most significant change (MSC) atau cerita tentang perubahan-perubahan penting yang dilakukan para guru di antaranya menyangkut aktivitas bagaimana mereka mengubah mindset siswa dengan cara:
- Memasukan nilai-nilai perdamaian ke dalam indikator penilaian sikap siswa;
- Menyampaikan materi tentang toleransi;
- Mengadakan outbound agar siswa bisa berbaur dengan yang lainnya;
- Memutarkan film-film yang berisi pesan bagaimana hidup harmonis di tengah keberagaman tanpa rasa benci dan curiga.
Beberapa indikator lain tentang adanya perubahan penting dapat dilihat dari metode yang dipraktikkan secara berbeda-beda oleh setiap guru. Rasanya editor tidak perlu mengupas satu persatu atau bagian per bagian dari cerita MSC dalam buku ini. Silakan pembaca menikmati sendiri alur kisah mereka supaya dapat langsung merasakan pergulatan para pendidik dalam menegakkan nilai-nilai perdamaian di kalangan siswa/remaja.
Dalam praktiknya, kegiatan ini dari mulai needs assessment sampai workshop dan evaluasi, tidak hanya melibatkan kalangan pendidikan, namun juga tokoh-tokoh masyarakat dan pemerintah. Sebab kami sadar bahwa proses bina damai sendiri — walaupun dimulai di sekolah — tidak mungkin dilakukan tanpa melibatkan seluruh elemen masyarakat. Pada kegiatan workhsop keempat yang diselenggarakan pada 22-23 Agustus 2014, misalnya, kami mengundang kalangan agamawan, tokoh pemuda, pejabat kementerian agama propinsi Maluku, kepala sekolah, pengelola yayasan-yayasan pendidikan, para guru, aktivis LSM, dan kalangan pers. Pada kesempatan itu pula mereka membentuk “Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Perdamaian di Maluku” yang secara bersama-sama dideklarasikan demi terlaksananya konsep pendidikan perdamaian di Ambon. Aliansi ini berada di bawah koordinasi Abidin Wakano dengan 3 ketua, yaitu Theo Latumahina, Embong Salampessy, dan Heny L. Likliwatil. Aliansi ini akan mensosialisasikan deklarasi tersebut kepada masyarakat luas, pemerintah dan DPRD, yang diharapkan akan mengeluarkan peraturan daerah (Perda) untuk menjadi payung bagi terimplementasinya pendidikan perdamaian di Ambon.
“Deklarasi Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Perdamaian di Maluku”
Kisah-kisah yang tertuang dalam buku ini menjadi bukti kuatnya kehendak para pendidik di Ambon untuk mewariskan masa depan Ambon yang damai kepada generasi penerus. “Konflik telah menjadi masa lalu, dan tidak seorang pun yang ingin memutar kembali jarum waktu,” tandas Heny L. Liklikwatil, guru agama Kristen di SMPN 9 dalam sebuah percakapan sore hari dengan penulis dan seorang aktivis perdamaian Ambon, di kediamannya di desa Halong (kini negeri adat), 1 September 2013. Saat percakapan berlangsung hujan turun begitu deras. Sambil menyeruput teh panas di tengah obrolan yang kian seru, teman saya menyenandungkan lagu Waktu Hujan Sore-Sore, lagu yang sangat terkenal dari Ambon sehingga sudah seperti lagu nasional karena setiap anak sekolah di negeri ini mengenal lagu tersebut. Menurut kawan saya, lagu itu menceritakan keceriaan orang-orang Ambon dalam menjadikan momen hujan sebagai momen kebersamaan: tua-muda, laki-perempuan, Muslim-Kristen berbaur, bernyanyi, dan berdansa bersama.
Waktu hujan sore-sore kilat sambar pohon kenari
E jojaro deng mongare mari dansa dan menari
Pukul tifa toto buang kata balimbing di kereta
Nona dansa dengan tuan jangan sindir nama beta
E menari sambil goyang badanee
Menari lombo pegang lenso manisee
Rasa ramai jangan pulang duluee
E menari sambil goyang badanee
Menari lombo pegang lenso manisee
Rasa ramai jangan pulang duluee
Kini inisiatif perdamaian telah diambil, aksi telah dilakukan, gema takbir dan nyanyian kudus telah dikumandangkan bersama, Salam-Sarane karja rame-rame atau Muslim-Kristen bekerja bersama-sama karena telah disatukan dalam semangat kearifan lokal orang basudara. Semoga semuanya menjadi bola salju yang terus bergulir dan membesar, membentuk kekuatan baru dalam menancapkan kembali fondasi sosial yang lebih kokoh, menjadikan Ambon manise sebagai baileo (rumah adat) bersama bagi warga Muslim dan Kristen.[]
Wassalam, Editor
Ahmad Gaus AF
Catatan: Esai ini adalah ‘Kata Pengantar’ saya selaku editor untuk buku Cerita dari Ambon, terbitan CSRC-UIN Jakarta dan The Asia Foundation, 2015.
Esai ini diperbarui pada tanggal 10 April 2020, dan didedikasikan untuk musisi Ambon, Glenn Fredly yang wafat pada 08 April 2020. RIP, kawan.
Remy Sylado dan Gerakan Puisi Mbeling
Catatan Ahmad Gaus
Pada 12 Juli 2015 lalu budayawan dan sastrawan Remy Sylado genap berusia 70 tahun. Sejak remaja, pria kelahiran Makassar 12 Juli 1945 ini telah aktif menulis puisi, esai, cerpen, novel, drama, kolom, kritik, roman, juga buku-buku musikologi, dramaturgi, bahasa, dan teologi. Sebagai kado di hari ulang tahunnya, dan sekaligus doa untuk kesembuhannya (karena beliau sedang sakit), berikut saya turunkan sebuah catatan atas gerakan sastra yang pernah dipeloporinya pada tahun 1970-an: Gerakan Puisi Mbeling. Catatan ini semula merupakan makalah penulis yang disampaikan pada diskusi sastra di kampus Swiss German University (SGU) pada Mei 2013. Makalah ini pun pernah saya kirimkan kepada Bang Remy dengan harapan mendapat masukan-masukan dari beliau. Melalui emailnya pada 18 Juli 2013 ia menjawab: “Oke, sudah saya baca. Silahkan saja dilanjutkan.”
______________________________
Mei Hwa perawan 16 tahun
Farouk perjaka 16 tahun
Mei Hwa masuk kamar jam 24.00
Farouk masuk kamar jam 24.00
Mei Hwa buka blouse
Farouk buka hemd
Mei Hwa buka rok
Farouk buka celana
Mei hwa buka BH
Farouk buka singlet
Farouk buka celana dalam
Mei Hwa telanjang bulat
Farouk telanjang bulat
Mei Hwa pakai daster
Farouk pakai kamerjas
Mei Hwa naik ranjang
Farouk naik ranjang
Lantas mereka tidurlah
Mei Hwa di Taipeh
Farouk di Kairo
– Remy Sylado –
Apa saja bisa dan boleh ditulis menjadi puisi, dan siapa saja bisa dan boleh menjadi penyair. Begitulah kesan yang muncul dalam gerakan puisi mbeling yang dipelopori oleh Remy Sylado pada tahun 1970-an. Puisi berjudul Kesetiakawanan Asia Afrika yang dikutip di atas adalah salah satu contoh puisi mbeling yang dimuat di majalah Aktuil, tempat Remy berkiprah sebagai redaktur yang mengasuh rubrik yang juga diberi nama “Puisi Mbeling”. Belakangan puisi-puisi karya Remy Sylado selama 30 tahun diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (2004) dalam buku berjudul Puisi Mbeling Remy Sylado.

Puisi mbeling lahir bersamaan dengan menguatnya konsolidasi politik pemerintah Orde Baru yang baru saja menaiki panggung kekuasaan. Euforia di kalangan politisi dan aktivis pergerakan yang telah berhasil menumbangkan rezim lama masih terasa. Berbagai harapan yang dipikulkan kepada pemerintahan baru kerapkali tidak menyisakan sikap kritisisme sebagaimana yang diperlihatkan pada era demonstrasi besar (1966). Alih-alih, justru yang muncul ialah usaha kolektif untuk menciptakan suasana kondusif dan “stabil”, bukan hanya dalam politik tapi juga sastra.

Sebagaimana dinyatakan oleh Remy Sylado, gerakan mbeling merupakan perlawanan yang diarahkan pada dua sasaran: pertama, estetika puisi yang tertawan dalam pikiran-pikiran konvensional yang melulu diungkap secara kabur dan gelap dalam bahasa berbunga-bunga sehingga puisi kehilangan tanggung jawabnya terhadap realitas, dan; kedua, situasi politik Orde Baru yang nyata dibingkai dalam gerontokrasi yang salah kaprah dengan slogan-slogan dari pejah gesang nderek bapak ke mikul dhuwur mendem jero.1)
Sebelum lahir sebagai genre puisi, gerakan mbeling sebenarnya telah muncul sebagai fenomena teater, dimana Remy Sylado melalui Dapur Teater 23761 di Bandung yang didirikannya mementaskan Genesis II, kemudian berturut-turut Exsodus II, dan Apocalypsis II. Dalam pentas-pentas teater itulah ia mengenalkan istilah mbeling. Anotasi II selalu disertakan sebagai lambang perlawanan terhadap yang sudah ada. Gerakan mbeling sebagai perlawanan budaya lewat teater juga diakui Remy sebagai reaksi terhadap WS Rendra dengan teaternya yang berpandangan bahwa perlawanan terhadap budaya mapan harus dilakukan dengan sikap urakan. Dalam Apologia Genesis II Remy menyatakan bahwa kata urakan dalam bahasa Jawa berkonotasi negatif: tidak sopan, tidak tahu aturan, dan kurang ajar. Karena itulah Remy, melalui teaternya, mengajukan kata “mbeling” yang lebih berkonotasi positif. Walaupun tetap bernuansa nakal, mbeling berasosiasi dengan pengertian pintar, mengerti sopan-santun, dan bertanggung jawab.
Gara-gara pementasan Genesis II itu Remy diinterogasi polisi Bandung selama hampir dua minggu. Namun peristiwa itu sekaligus mendorongnya untuk tetap menggunakan kata “mbeling” dan menjelaskan konsep di belakangnya sebagai budaya tandingan. Konsep itu kemudian ditransformasikan ke dunia puisi ketika pada tahun 1971 Remy bergabung dengan majalah Aktuil yang didirikan Denny Sabri, Toto Rahardjo, dan Sony Soeryatmadja. Kehadiran Remy di majalah hiburan dan musik yang berkantor di Jalan Lengkong Kecil 41, Bandung, itu menandai lahirnya gairah baru bersastra di kalangan remaja. Puisi yang semula dipandang sebagai benda pusaka yang sakral berubah menjadi barang biasa saja yang bisa ditulis oleh siapa saja. Melalui rubrik cerpen dan puisi mbeling yang diasuhnya, Remy mengajak kaum muda untuk bersastra.

Kesakralan puisi dan keangkeran majalah sastra menjadi alasan utama menjauhnya kaum muda dari budaya literasi yang sebenarnya berakar kuat di masyarakat. Kata-kata Chairil Anwar “yang bukan penyair tidak ambil bagian” justru menjadi pemicu untuk mengembalikan sastra (puisi) ke pangkuan khalayak. Gerakan puisi mbeling yang dipelopori Remy merupakan kritik terhadap fenomena onani dalam bersastra dimana para penyair menulis puisi untuk dibaca—karena hanya dipahami—oleh mereka sendiri. Gerakan ini diapresiasi oleh penyair Sapardi Djoko Damono sebagai “suatu usaha pembebasan”. Lebih lanjut Sapardi menulis:
Puisi rupanya telah menjadi bentuk sastra yang menarik minat orang-orang muda, terutama dalam masa perkembangannya sebagai sastrawan. Sajak-sajak yang dikirimkan ke majalah-majalah yang berprestasi tidak dapat segera dimuat… Sementara beberapa penyair mendapatkan tempat yang semakin kukuh dalam perkembangan puisi Indonesia, kaum muda yang baru mulai menulis itu merasakan semacam tekanan. Mereka merasa tidak bisa cepat tampil karena terhalang oleh tokoh-tokoh yang sudah ‘mapan’… Tambahan lagi kebanyakan mereka menetapkan kepenyairan berdasarkan dimuat atau tidaknya sajak-sajaknya dalam majalah sastra satu-satunya, Horison.2)
Sebagai gerakan perlawanan terhadap bahasa puisi yang berbunga-bunga namun gelap, puisi mbeling menawarkan konsep sebaliknya: puisi ditulis dengan bahasa biasa dan diusahakan terang-benderang. Dengan begitu, puisi bukan saja mudah dipahami sebagai pertanggungjawaban penyairnya terhadap realitas, namun ia juga membuka akses seluas-luasnya kepada siapa saja untuk menjadi penyair. Puisi tidak melulu harus berurusan dengan hal-hal yang agung dan mulia. Bisa saja ia menampilkan potret keseharian yang sepele. Simak, misalnya puisi berjudul “Sialan Banget” yang ditulis Remy Sylado: Sudah jatuh / dihimpit tangga // Hendak berdiri / digonggong anjing // Begitu lari terbirit / malah menginjak tahi.
Puisi itu menampilkan filosofi dari peribahasa yang sudah umum dikenal tentang situasi yang tidak menguntungkan. Namun oleh Remy, situasi itu diperburuk dengan menambahkan dua kesialan lainnya sehingga menimbulkan kesan tentang situasi yang benar-benar sial—sesuai dengan judulnya: Sialan Banget. Pilihan judul itu sendiri sudah keluar dari bahasa puisi yang “standar”. Sebagai sebuah eksperimentasi di tengah mainstream puisi serius yang mengusung narasi-narasi besar, puisi mbeling terbilang radikal dalam menjungkirbalikkan estetika perpuisian. Alih-alih, justru estetika itulah yang ingin dilawannya, antara lain dengan mensastrakan kosakata yang dianggap tabu untuk dimasukkan ke dalam puisi.

Memang tidak selamanya perlawanan terhadap ketabuan itu berjalan mulus. Salah satu puisi Remy yang dimuat di majalah Aktuil pernah membuat berang pemerintah. Saat itu Departemen Penerangan mengancam akan mencabut Surat Izin Terbit (SIT) majalah Aktuil. Hanya setelah para pengelola Aktuil membayar upeti—sesuai kelaziman pada saat itu—ancaman tersebut dibatalkan. Puisi yang menimbulkan masalah itu berjudul “Pesan seorang ibu kepada putranya”, terdiri dari tiga kata dalam tiga baris: jangan / bilang / kontol.3)
Puisi mbeling memang terkesan main-main. Tapi justru dengan cara itu Remy mengajak kaum muda untuk menulis. Dunia tulis-menulis, termasuk sastra, dikesankan sebagai dunia yang dekat dengan keseharian, tempat untuk bergurau dan menuangkan gagasan apa saja tanpa harus mengerutkan dahi terlalu lama. Dan usahanya itu mendapat respon meruah dari kalangan muda. Sejak rubrik puisi mbeling dibuka, sepuluh ribuan penulis dari seluruh wilayah Indonesia dan di manca negara telah mengirimkan karya mereka, dan ratusan di antaranya telah dimuat. Tentu saja pemuatan itu tidak asal-asalan melainkan melalui proses yang disesuaikan dengan kriteria dan idealitas yang dicanangkan oleh gerakan mbeling. Remy sendiri menyebut dirinya dalam proses itu sebagai despot yang di tangannya ada wewenang untuk mengubah dan mengedit naskah-naskah yang masuk ke redaksi.4)

Di bawah asuhan Remy Sylado sebagai penjaga gawang rubrik puisi mbeling majalah Aktuil, tercatat juga nama-nama — yang belakangan dikenal sebagai sastrawan — yang ikut menyemarakkan kegairahan berpuisi mbeling: Abdul Hadi WM, Seno Gumira Ajidarma, Noorca Massardi, Yudistira M. Massardi, Adhi M. Massardi, Mustofa Bisri (dengan nama samaran Mustov Abi Sri) dan nama-nama lainnya. Sampai sekarang corak kepenyairan mereka masih kental dengan nuansa mbeling dalam pengertian menyuarakan protes sosial dengan bahasa yang lugas dan terbuka.
Selain itu, pengaruh puisi mbeling juga melintasi majalah Aktuil. Ketika Remy Sylado berpindah ke majalah Top, ia tetap melanjutkan gerakan puisi mbeling dengan membuka rubrik bertajuk Puisi Lugu. Dari sini, sebagaimana dicatat oleh penyair Heru Emka, virus mbeling menyebar ke berbagai media massa: majalah Stop, Astaga, Sonata, Yunior, dan lain-lain. Berbagai surat kabar mingguan yang terbit di Jakarta maupun di daerah juga ikut tertular virus mbeling dengan membuka rubrik serupa. Begitu juga beberapa majalah remaja. Gerakan puisi mbeling telah menjadi gerakan menulis puisi alternatif yang memiliki spirit “yang bukan penyair boleh ambil bagian”. Dan, menurut Heru Emka lagi, gerakan ini telah mewarnai lembaran sejarah sastra Indonesia pada era awal tahun 1970-an.
Apakah itu artinya setelah era 1970-an gerakan ini meredup? Masa pasang naik dan surut sebetulnya lumrah dalam dunia apapun. Puisi mbeling sebagai gerakan perlawanan atau budaya tandingan sejak awal pasti telah menyadari dirinya adalah subkultur. Dan sebagai subkultur ia tidak akan menjadi arus utama (mainstream) yang langgeng. Namun, ia juga tidak akan mati sebab di setiap masa selalu ada proses pemapanan tradisi, dan di situlah yang mbeling akan hadir sebagai alternatif dan oposisi. Tegasnya, puisi mbeling mengabadikan dirinya di seberang aneka arus utama, dan menjadi kritikus yang nakal atas berbagai bentuk kemapanan, baik dalam sastra maupun politik.
Ketika belakangan Remy Sylado menerbitkan kumpulan puisinya setelah 30 tahun berlalu, tentu ia tidak bermaksud mengenang atau memperingati puisi mbeling yang pernah berjaya pada masanya. Buku ini berisi 143 puisi Remy Sylado yang ditulis antara 1971-2002.5) Penerbitan buku ini menjadi semacam reminder bahwa dalam lembaran sejarah sastra Indonesia pernah lahir gerakan puisi mbeling yang mengharu-biru dunia perpuisian. Dan penulisan puisi jenis itu hingga kini masih terus dilakukan. Bahkan, berdasarkan alasan yang telah dikemukakan di atas, puisi mbeling akan terus ditulis.
Buktinya, pada tahun 2012 lalu terbit sebuah buku berjudul Suara-Suara Yang Terpinggirkan, yang diberi judul kecil (tambahan): Antologi Puisi Mbeling.6) Sebagaimana mudah ditebak, kehadiran buku ini sontak menimbulkan spekulasi bahwa puisi mbeling bangkit lagi,7) karena dianggap telah lama menghilang dari peredaran. Buku ini memuat ratusan puisi dari para penyair yang dulu pernah terlibat dalam gerakan puisi mbeling: Yudhistira ANM Massardi, Adhie M Massardi, Noorca M Masardi, Darmanto Jatman, Nugroho Suksmanto, Satmoko Budi Santoso, Abdul Hadi WM, Gus Mustofa Bisri, Hendrawan Nadesul, F. Rahardi, Landung Simatupang, Jose Rizal Manua, Heru Emka (editor buku ini), dan lain-lain.
Buku ini diberi kata pengantar oleh Remy Sylado, Sang Bapak Puisi Mbeling itu sendiri. Bagaikan sebuah pernyataan sikap, tulisan kata pengantar Remy Sylado diberi judul Mbeling: Masih Berlanjut. Di sana ia menegaskan: “Bagi saya mbeling pernah ada, dan terserah, apakah mbeling masih akan ada. Sebab, pendirian saya sekarang: ada atau tiada tetap ada.” Selain menguraikan latar belakang estetik dan politik kelahiran puisi mbeling, dalam pengantarnya, Remy sebenarnya lebih banyak memanfaatkan kesempatan itu untuk meluruskan sejarah puisi mbeling. Mengapa diluruskan, karena menurutnya telah ada yang mengaku-ngaku sebagai pencetus puisi mbeling.8)
Menarik bahwa dalam buku ini dimuat banyak puisi yang berdata tanggal baru dari para penyair muda. Ini menunjukkan bahwa puisi mbeling memang masih menarik minat para penyair generasi baru dan karena itu terus diproduksi. Jangan kaget juga bahwa para penyair yang kini dikenal sebagai sastrawan kenamaan seperti Abdul Hadi WM, D. Zawawi Imron, Sutardji Calzoum Bachri, Gus Mustofa Bisri, Ahmadun Yosi Herfanda, Beni Setia, dan lain-lain, ternyata adalah para pendukung puisi mbeling yang produktif.
Gerakan mbeling yang semula digulirkan di panggung teater itu telah bermetamorfosis menjadi gerakan puisi yang menyebal dari arus utama untuk melawan tirani, menertawakan kebodohan, dan meludahi kemunafikan orang-orang dengan kedudukan terhormat. Dan selama fakta-fakta semacam itu berlintasan di depan wajah kita, maka selama itu pula puisi mbeling akan terus ditulis. Di bawah ini adalah puisi-puisi mbeling yang dikutip dari antologi Suara-suara Yang Terpinggirkan, yang ditulis oleh beberapa penyair generasi baru.
MBELING 2011
Sungguh
Susah
Terlambat
Empatpuluh
Tahun
Ide
Sudah
Keburu
Macet
(Pandu Ganesha)
KETIKA ADA BINTANG JATUH
TUHAN…..
Apa keinginanMU??
(Palestina Nabila)
BUNTU
mandek
Sudah lelah mataku, otakku, jariku,
cukup sekian dan terima kasih
(Palestina Nabila)
OTAK UDANG
banyak yang bilang
ada udang di balik batu
barangkali
si udang tengah mencari
otaknya yang hilang
(Rini Febriani Hauri)
JADI PRESIDEN
Seandainya aku jadi presiden
Semua orang tak usah kerja
Uang kita cetak saja
Bagikan setiap hari
Petani tak usah ke sawah
Libur tiap hari
Sekolah juga tutup saja
Gurunya tak mau kerja
Orang sakit mati saja
Dokternya juga tak mau praktek lagi
Kita makan uang saja
Karena tak ada yang bisa dibeli
Makanya jangan pilih aku jadi presiden..
(Ren Ren Gumanti)
Karakter dari puisi-puisi di atas masih senada dengan puisi-puisi mbeling yang ditulis oleh Remy Sylado 40 tahun silam: terkesan lugu, semaunya, tidak peduli dengan kata-kata indah, melawan logika umum. Pendeknya, menyimpang dari penulisan puisi yang standar. Ya, begitulah. Namanya juga puisi mbeling. Namun, seperti yang dijelaskan oleh Remy sendiri, tidak semua tulisan berbentuk puisi yang dibuat main-main dan menekankan sifat-sifat pop adalah otomatis puisi mbeling.
Karena lahir dalam konteks perlawanan terhadap estetika puisi yang tertawan oleh pikiran konvensional dan counter culture terhadap kemunafikan politik yang muncul dalam bahasa-bahasa feodal, maka puisi mbeling membawa kredo tersendiri: pertanggungjawaban sastra terhadap realitas baik-buruk. Puisi yang main-main, menurut Remy, justru adalah puisi yang dibingkai dengan bahasa indah namun hanya bisa dinikmati sendiri oleh penulisnya. Padahal puisi akan dibaca oleh khalayak.
Lebih jauh Remy Sylado bahkan berpandangan bahwa di dalam puisi ada pesan-pesan kenabian dan relijiositas. “Puisi seyogianya mengandung nilai-nilai kawruh seperti yang terdapat dalam akar budaya Jawa,” ungkap Remy, yang memperoleh Khatulistiwa Literary Award tahun 2002 melalui novel Kerudung Merah Kirmizi, dan Anugrah Sastra 2011 dari Komunitas Nobel Indonesia.[]
Biodata Remy Sylado:
REMY SYLADO lahir di Makassar 12 Juli 1945. Dia salah satu sastrawan Indonesia. Nama sebenarnya adalah Yapi Panda Abdiel Tambayong (Jampi Tambajong). Ia menghabiskan masa kecil dan remaja di Solo dan Semarang. Sejak usia 18 tahun dia sudah menulis kritik, puisi, cerpen, novel, drama, kolom, esai, sajak, roman popular, juga buku-buku musikologi, dramaturgi, bahasa, dan teologi.Ia memiliki sejumlah nama samaran seperti Dova Zila, Alif Dana Munsyi, Juliana C. Panda, Jubal Anak Perang Imanuel. Dibalik kegiatannya dibidang musik, seni rupa, teater, dan film, dia juga menguasai sejumlah bahasa.
Remy Sylado memulai karir sebagai wartawan majalah Tempo (Semarang, 1965), redaktur majalah Aktuil Bandung (1970), dosen Akademi Sinematografi Bandung (1971), ketua Teater Yayasan Pusat Kebudayaan Bandung. Remy terkenal karena sikap beraninya menghadapi pandangan umum melalui pertunjukan-pertunjukan drama yang dipimpinnya.
Selain menulis banyak novel, ia juga dikenal piawai melukis, dan tahu banyak akan dunia perfilman. Saat ini ia bermukim di Bandung. Remy pernah dianugerahi hadiah Sastra Khatulistiwa 2002 untuk novelnya Kerudung Merah Kirmizi.
Dalam karya fisiknya, sastrawan ini suka mengenalkan kata-kata Indonesia lama yang sudah jarang dipakai. Hal ini membuat karya sastranya unik dan istimewa, selain kualitas tulisannya yang sudah tidak diragukan lagi. Penulisan novelnya didukung dengan riset yang tidak tanggung-tanggung. Seniman ini rajin ke Perpustakaan Nasional untuk membongkar arsip tua, dan menelusuri pasar buku tua. Pengarang yang masih menulis karyanya dengan mesin ketik ini juga banyak melahirkan karya berlatar budaya diluar budayanya. Diluar kegiatan penulisan kreatif, ia juga kerap diundang berceramah teologi.
Karya yang pernah dihasilkan olehnya antara lain : Orexas, Gali Lobang Gila Lobang, Siau Ling, Kerudung Merah Kirmizi (2002). Kembang Jepun (2003), Matahari Melbourne, Sam Po Kong (2004), Rumahku di Atas Bukit, 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Bahasa Asing, dan Drama Musikalisasi Tarragon “ Born To Win “, dan lain-lain.
Remy Sylado pernah dan masih mengajar di beberapa perguruan di Bandung dan Jakarta seperti Akademi Sinematografi, Institut Teater dan Film, dan Sekolah Tinggi Teologi. (Dikutip dari http://www.goodreads.com/author/show/541628.Remy_Sylado)
Catatan Kaki
- Remy Sylado, “Kata Pengantar”, dalam Heru Emka, ed., Suara-suara yang Terpinggirkan (Semarang: Kelompok Studi Sastra Bianglala, Mei 2012), hal. xv
- Sapardi Djoko Damono, Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan (Jakarta, Gramedia, 1983), hal. 90
- Remy Sylado, “Kata Pengantar”, dalam Heru Emka, ibid.
- Ibid.
- Remy Sylado, Puisi Mbeling (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2004)
- Heru Emka, ed., Suara-suara yang Terpinggirkan (Semarang: Kelompok Studi Sastra Bianglala, Mei 2012).
- “Puisi mbeling bangkit lagi!” Begitu statemen pembukaan artikel berjudul “Mbeling” dalam Puisi “Urakan” yang ditulis Riza Multazam Luthfy sebagai ulasan buku Suara-Suara Yang Terpinggirkan, dalam Koran Jakarta, 1 Oktober 2012.
- Dalam hal ini Remy menyebut nama Jeihan. “Untuk banyak hal Jeihan adalah kawan akrab, tetapi untuk satu hal menyangkut mengaku-akunya sebagai pencetus puisi mbeling, saya tidak menghargainya,” tulis Remy dalam “Kata Pengantar”, ibid., hal. xix). Ia juga mengeritik penyair Soni Farid Maulana dan pengamat sastra Jakob Sumardjo yang menurutnya telah percaya begitu saja pada Jeihan. Keduanya masing-masing menulis prolog dan epilog untuk buku berjudul Mata mBeling Jeihan (Jakarta: Grasindo, 2000).
____________________________________________________
PARADE PEMBACAAN PUISI oleh Ahmad Gaus



Follow my IG @gauspoem
[Esai] LANGIT MAKIN MENDUNG
Catatan Ahmad Gaus
KEHADIRAN KARYA-KARYA yang mengusung tema keagamaan menjadi fenomena tersendiri dalam kancah kesusastraan di tanah air.1) Karya jenis ini biasanya muncul dalam dua corak: menjadikan agama sebagai pemecah persoalan atau menjadikan agama hanya sebagai latar belakang. Karya sastra corak pertama biasanya memperoleh sambutan positif dari khalayak, sementara corak kedua seringkali menimbulkan kontroversi. Cerpen Langit Makin Mendung masuk dalam kategori kedua. Ia bukan saja menimbulkan kehebohan di tengah masyarakat, tapi juga memancing kontroversi di kalangan agamawan dan ahli hukum sampai kasusnya dibawa ke pengadilan.
Cerpen Langit Makin Mendung ditulis oleh seorang yang memakai nama samaran Kipandjikusmin. Cerpen ini dimuat di Majalah Sastra, Th. VI. No. 8, Edisi Agustus 1968 yang dipimpin oleh HB Jassin. Kontroversi yang ditimbulkan oleh cerpen ini terkait dengan isinya yang terang-terangan mempersonifikasi Tuhan dan menggambarkan sosok Nabi Muhammad yang selama ini dianggap tabu oleh kaum Muslim.
Diceritakan bahwa Nabi Muhammad meminta izin kepada Tuhan untuk turun ke muka bumi dengan alasan ingin mengetahui apa yang menyebabkan umatnya akhir-akhir ini lebih banyak dimasukkan ke dalam neraka. Dan Tuhan memberinya izin karena alasan itu dianggap cukup kuat. Jutaan penduduk surga sibuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk melepas Muhammad ke bumi. Upacara pelepasan diadakan di sebuah lapangan terbang disaksikan seluruh penghuni surga dan dipimpin oleh Nabi Adam yang menyampaikan pidato pelepasan melalui sebuah alat pengeras suara. Di akhir pidatonya Nabi Adam mengatakan: “Akhir kata Saudara-saudara, hasil peninjauan on the spot oleh Muhammad S.A.W harus dapat dimanfaatkan secara maksimal nantinya. Ya, Saudara-saudara kita di bumi melawan rongrongan iblis-iblis neraka beserta antek-anteknya. Kita harus bantu mereka dengan doa-doa dan sumbangan-sumbangan pikiran yang konstruktif agar mereka semua mau ditarik ke pihak Tuhan; sekian. Selamat jalan Muhammad! Hidup persatuan Rakyat Sorga dan Bumi!” “Ganyang!!!” (Berjuta suara menyahut serempak).
Muhammad segera menuju bumi menaiki buraq – kuda sembrani yang dulu menjadi kendaraannya sewaktu melakukan Mi’raj. Secepat kilat buraq melesat ke arah bumi, sementara itu Jibril yang digambarkan sudah tua terengah-engah mengikutinya di belakang. Mendadak, sebuah sputnik Rusia melayang di angkasa hampa udara. Dua kendaraan berbeda teknologi itu pun bertabrakan dan keduanya hancur tanpa sisa. Muhammad dan Jibril terpental ke bawah, tersangkut di gumpalan awan yang empuk bagai kapas. Ketika menengok ke bawah Muhammad mengira itu adalah neraka. Maka Jibril segera meralatnya: “Paduka salah duga. Di bawah kita bukan neraka tapi bagian bumi yang paling durhaka, Jakarta namanya. Ibukota sebuah negeri dengan seratus juta rakyat yang malas dan bodoh.”
Selanjutnya dikisahkan bahwa Muhammad dan Jibril mengubah diri mereka menjadi sepasang burung elang. Mereka bertengger di Monas. Percakapan di puncak yang digambarkan sebagai menara emas bikinan pabrik Jepang itu menyindir Soekarno yang disebut sebagai nabi palsu dengan ajaran Nasakomnya yang telah menggerogoti jiwa prajurit-prajurit dan mendarah daging pada sebagian ulama.
Tidak hanya penggambaran tentang Muhammad dan Jibril, namun juga penggambaran tentang Tuhan, seperti kejadian yang mengisahkan para nabi yang protes kepada Tuhan: “Kami bukan malaikat atau burung perkutut. Bibir-bibir kami sudah pegal dan kejang memuji kebesaranMu; beratus tahun tanpa henti….. Membaca petisi para nabi, Tuhan terpaksa menggeleng-gelengkan kepala. Tak habis pikir pada ketidakpuasan di benak manusia….”
Dialog-dialog terjadi antara Muhammad dan Jibril yang sarat dengan sindiran terhadap kondisi sosial tanah air masa pada masa itu. Diceritakan bahwa penduduk negeri ini 90 persen beragama Islam tetapi justru segala macam perilaku jahat, nista, lacur, munafik, tumbuh subur di mana-mana. Tidak lupa pula diselipkan sindiran tajam terhadap prilaku para pejabat pemerintah seperti kegemaran mereka berfoya-foya, minum alkohol, dan main perempuan.
“Acara bebas dimulai. Dengan tulang-tulangnya yang sudah tua Presiden menari lenso bersama gadis-gadis daerah Menteng yang spesial diundang. Patih-patih dan Menteri tak mau kalah gaya. Tinggal para hulubalang cemas melihat Panglima Tertinggi bertingkah seperti anak kecil urung disunat.”
“Tamu-tamu permisi pamit. Perut kenyangnya mendahului kaki-kaki setengah lemas. Beberapa orang muntah-muntah mabuk di halaman parkir…Sendawa mulut mereka berbau alkohol. Sebentar-sebentar kiai mengucap ‘alhamdulillah’ secara otomatis. Menteri-menteri pulang belakangan bersama gadis-gadis, cari kamar sewa. Pelayan-pelayan sibuk kumpulkan sisa-sisa makanan buat oleh-oleh anak istri di rumah. Anjing-anjing istana mendangkur kekenyangan-mabuk anggur Malaga. Pengemis-pengemis di luar pagar istana memandang kuyu, sesali nasib kenapa jadi manusia dan bukan anjing!”
Setelah menyasar berbagai masalah dari ideologi, poligami, utang luar negeri, hingga kondisi rakyat yang kebanyakan hidup susah dan kelaparan, cerpen ini diakhiri dengan sebuah pernyataan: “Rakyat rata-rata memang pemaaf serta baik hati. Kebohongan dan kesalahan pemimpin selalu disambut dengan lapang dada. Hati mereka bagai mentari, betapapun langit makin mendung, sinarnya tetap ingin menyentuh bumi.”
Setelah pemuatannya di majalah Sastra bulan Agustus 1968, kontan cerpen ini menyulut kehebohan. Berbagai kecaman datang, terutama dari umat Islam yang menganggap karya Kipandjikusmin itu menghina Islam. Kantor majalah Sastra di Jakarta didemonstrasi oleh kelompok-kelompok masyarakat dan dindingnya dicoreti dengan kata-kata makian. Reaksi massa yang sangat keras muncul di Medan sehingga Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara melarang peredaran majalah edisi tersebut. HB Jassin selaku penanggung jawab majalah Sastra tutup mulut tentang siapa sebenarnya Kipandjikusmin itu. Akibat pilihan sikapnya itu akhirnya ia harus berhadapan dengan pengadilan untuk mempertanggungjawabkan pemuatan cerpen tersebut di majalahnya.
HB JASSIN
Ada yang menduga bahwa Kipandjikusmin tidak lain adalah HB Jassin sendiri yang menulis dengan nama samaran.
Di kalangan sastrawan sendiri terjadi polemik panjang baik menyangkut batas-batas imajinasi karya sastra maupun pengadilan atas kasus Langit Makin Mendung. Puluhan artikel bermunculan di media massa baik yang pro maupun kontra dengan melibatkan nama-nama besar: Goenawan Mohammad, Taufik Ismail, A.A. Navis, Wiratmo Soekito, Bur Rusuanto, Bahrum Rangkuti, Buya Hamka, dan lain-lain. Isu polemik berkembang dari persoalan sastra ke masalah agama, hukum, dan politik, yang berlangsung selama sekitar tiga tahun (1968-1970).2)
Dalam pledoinya di persidangan, HB Jassin menyatakan: “Kami telah dilain-tafsirkan dan karena perlainan tafsir itu orang mengira kami telah menghina mereka, menghina kepercayaan mereka yang adalah kepercayaan dan keyakinan kami juga. Kami dengan tulus ikhlas meminta maaf kepada mereka yang mengganggap bahwa kami telah menghina, dan kami pun memohon maaf kepada Allah Maha Kuasa, yang kami tahu adalah Maha Pengampun dan Maha Pemaaf.”
Setelah menyampaikan permohonan maaf, Jassin tetap dengan pendiriannya: “Saya berpendapat bahwa cerita pendek Langit Masih Mendung adalah hasil imajinasi, mempunyai dunia lain dan karena itu tidak bisa diukur dengan kaidah-kaidah agama.” Jassin pun mulai mempertanyakan tuntutan hukum atas karya sastra. Katanya, “Dengan kesadaran minta perhatian buat perbedaan antara dunia imajinasi seniman dan dunia realitas dengan hukum positifnya, karena keputusan Saudara Hakim yang kurang tepat akan mempunyai akibat merugikan bagi masa depan kreativitas para seniman, bukan saja di Ibukota, tapi terutama di daerah-daerah”.
HAMKA: “Murtad saya dari Islam kalau karangan seperti itu saya muat di majalah saya.”
Pembelaan HB Jassin tampaknya sia-sia. Majelis Hakim tetap memvonisnya dengan pidana penjara selama satu tahun dengan masa percobaan dua tahun karena dianggap melakukan penodaan agama (pasal 156a KUHP). Ia menerima putusan tersebut tapi bukan berarti sikapnya surut dalam membela kebebasan imajinasi. Masih terkait kasus itu ia menulis dalam majalah Horison: “Sesuatu karya haruslah dianggap sebagai alat penggungah pikiran, disetujui ataupun tidak disetujui isinya, masing-masing orang berhak untuk menyenanginya atai tidak menyenanginya, tapi orang tidak berhak menghancurkannya, seperti orang juga tidak berhak membunuh penciptanya.”
Mengapa Jassin mau membela dan menanggung akibat dari perbuatan yang tidak dilakukannya? Jawabannya tentu karena dia lahir-batin mencintai sastra dan hidup untuk sastra. Begitu gigihnya ia membela Langit Makin Mendung dan menyembunyikan identitas penulisnya sampai-sampai ada yang menduga bahwa Kipandjikusmin tidak lain adalah HB Jassin sendiri yang menulis dengan nama samaran.
Dua bulan setelah heboh itu Kipandjikusmin bicara kepada majalah Kami edisi 22 Oktober 1968 bahwa ia tidak bermaksud menghina agama Islam melainkan hanya menertawakan aneka kebodohan di masa rezim Soekarno. Tentang personifikasi hal-hal yang selama ini dianggap tabu, ia menandaskan bahwa itu semata-mata hasrat pribadinya untuk mengadakan komunikasi langsung dengan Tuhan, Nabi Muhammad, sorga, dll.
Teka-teki tentang siapa Kipandjikusmin yang sebenarnya baru terkuak dua tahun kemudian (1970). Kepada Usamah, redaktur pelaksana Ekspress yang dipimpin Goenawan Mohamad, Kipandjikusmin mengaku nama aslinya adalah Soedihartono. Ia menempuh pendidikan di Akademi Pelayaran Nasional, dan selama 6 tahun menjalani wajib dinas di Jakarta. Setelah itu ia tidak pernah menulis lagi. Namanya ditelan oleh arus gelombang kesusastraan yang—meminjam kata-kata Goenawan Mohamad seputar kasus ini—menentramkan dan bukan yang menggelisahkan.3)
Posisi Kipandjikusmin memang terpojok. Para sastrawan pada umumnya tidak membela dirinya maupun karyanya yang dianggap buruk, melainkan membela kebebasan imajinasi. Sebagian, seperti Hamka, tidak membela dirinya dan karyanya melainkan membela HB Jassin yang harus menjadi tameng karena kepengecutan Kipandjikusmin yang tidak menampakkan batang hidungnya ketika kasus itu merebak ke permukaan. Para sastrawan seperti Bur Rasuanto, Ali Audah, Taufiq Ismail, menganggap Langit Makin Mendung sebagai karya yang buruk atau bermutu rendah.
Hanya HB Jassin yang membela ketiganya: penulisnya, mutu karyanya, dan kebebasan imajinasi. Dan tampaknya Jassin konsisten, sebab seandainya Langit Makin Mendung bukan karya sastra yang bermutu tentunya tidak akan dimuat di majalah Sastra yang dipimpinnya. Hal ini berbeda dengan Hamka, misalnya, yang mengatakan bahwa majalah Panji Masyarakat yang dipimpinnya tidak akan memuat karya semacam itu. “Murtad saya dari Islam kalau karangan seperti itu saya muat.” Jadi alasannya ialah agama, bukan sastra.
Kalau kita setuju kepada penilaian sebagian sastrawan tentang buruknya mutu sastra Langit Makin Mendung, maka karya itu dengan sendirinya akan terhapus dalam lembaran sejarah sastra. Sialnya, yang terjadi justru sebaliknya. Sementara banyak karya sastra yang dinilai bermutu tinggi tenggelam ditelan zaman dan dalam ingatan masyarakat, Langit Makin Mendung terus saja dibicarakan. Melintasi zaman. Rupanya keburukan sebuah karya tidak selalu identik dengan kesia-siaan atau mudah dilupakan. []
Catatan:
- Kajian mutakhir mengenai ini lihat, Marwan Saridjo, Sastra dan Agama (Jakarta: Penamadani, 2006).
- Duduk perkara dan polemik sekitar kasus ini kini telah dibukukan. Lihat, Muhidin M. Dahlan dan Mujib Hermani (eds.), Pleidoi Sastra: Kontroversi Cerpen “Langit Makin Mendung” Ki Pandjikusmin (Jakarta: Melibas, 2004).
- Ibid., hal. 166.
[][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][]
******************************************
Mengapa Kita Harus Menulis?
Menulis itu menyenangkan. Banyak orang menemukan kembali gairah hidupnya setelah diperkenalkan dengan dunia tulis-menulis, sebab di dalam aktivitas itu ada energi gerak yang memutar baling-baling kehidupan menuju dunia tanpa batas: dunia imajinasi. Jika anda muak dengan realitas di sekeliling anda, ciptakanlah realitas lain yang menyenangkan di dunia imajinasi. Semakin banyak orang yang dapat anda bawa masuk ke dunia imajinasi anda, semakin besar kemungkinan imajinasi itu menjadi kenyataan.
Menulis itu menyenangkan. Ratusan orang (pelajar/santri, mahasiswa, dosen, umum) telah membuktikannya dalam berbagai pelatihan menulis yang saya pandu. Yuk ikuti pelatihan menulis, ada kelas regular, ada juga in house training.


Selama masa pandemi Corona (Covid-19), pelatihan menulis tatap muka ditiadakan, dan dialihkan ke format daring (online). Kalau kamu berminat, silakan daftar untuk kelas online setiap Sabtu dan Minggu. Lihat infonya di sini:
Baca juga: Menulis itu Gampang dan Mendatangkan Uang
Chairil Anwar dan Revolusi Puisi: Catatan di Hari Puisi Indonesia
Tanggal 28 April adalah hari kematian penyair besar Chairil Anwar, yang diperingati sebagai Hari Puisi Indonesia. Berikut catatan saya atas penyair pelopor Angkatan ’45 tersebut.
Chairil Anwar dan Revolusi Puisi Indonesia
Oleh Ahmad Gaus
RASANYA MUSTAHIL membicarakan jatidiri puisi Indonesia tanpa menyebut nama Chairil Anwar. Sama mustahilnya dengan membicarakan jatidiri bangsa Indonesia tanpa menyebut Bung Karno. Bukan kebetulan bahwa keduanya hidup di zaman yang sama, zaman revolusi, dan sama-sama menjadi patriot bagi revolusi itu sendiri, walaupun di antara keduanya ada selisih usia yang cukup jauh — Chairil Anwar lahir pada 1922 dan Bung Karno lahir pada 1901.
Daya ledak (“explosive power”) terkuat dalam sajak-sajak Chairil Anwar — yang membuatnya terus bergema keras hingga sekarang — sebenarnya juga karena di dalamnya ada mengandung spirit besar dari orang-orang besar semisal Bung Karno itu. Dalam hal anti-kolonialisme Chairil tidak tanggung-tanggung menempatkan dirinya satu barisan dan satu jiwa, dengan Bung Karno, sebagaimana dapat dibaca dalam sajak berikut:
Persetujuan dengan Bung Karno
Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang lautBung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh(1948)
Posisi Chairil sebagai penyair-patriotik tidak bisa diabaikan karena sajak-sajaknya yang memberi kesaksian atas zaman yang sedang bergolak tersebut (Aku, Prajurit Jaga Malam, Krawang-Bekasi, 1943, Diponegoro, adalah sebagian dari sajak-sajak yang dimaksud). Bahkan lebih dari sekadar memberi kesaksian tapi juga mampu menghadirkan suasana dan emosi yang kuat pada saat sajak itu ditulis.
Dalam sajak Krawang-Bekasi yang merupakan sajak saduran dari The Young Dead Soldier karya Archibald MacLeish, Chairil juga menyebut tokoh-tokoh penting bangsa ini: Kenang, kenanglah kami/ Teruskan, teruskan jiwa kami/ Menjaga Bung Karno/ menjaga Bung Hatta/ menjaga Bung Sjahrir (1948). Sedangkan dalam sajak Diponegoro ia menulis: … /Di depan sekali tuan menanti/ Tak gentar/ Lawan banyaknya seratus kali/ …/ Sekali berarti/ Sudah itu mati.
Sajak-sajak di atas menempatkan Chairil sebagai penyair paling penting sepanjang sejarah republik. Nama Chairil bukan semata-mata identik dengan sajak namun juga dengan perjuangan kemerdekaan. Tidak setiap penyair memiliki reputasi semacam itu – walaupun hidup di zaman yang sama. Sebagian ada yang tenggelam kemudian hilang ditelan waktu. Chairil terus hidup. Ia benar-benar perwujudan dari kepercayaan mistik bahwa karya seseorang membuatnya tak pernah mati.
Salah satu karya Chairil berjudul “Aku” terus dibaca hingga sekarang. Bahkan bisa dikatakan, sampai saat ini tidak ada puisi di Indonesia yang terkenal melebihi puisi “Aku”. Anak-anak sekolah tingkat dasar sampai pejabat tinggi sangat akrab dengan puisi ini. Dalam buku-buku pelajaran bahasa Indonesia, puisi ini juga masih dicantumkan, dihapalkan, dan dibaca (dideklamasikan) oleh para siswa dalam momen-momen tertentu. Di panggung-panggung agustusan yang tiap tahun digelar di seluruh pelosok negeri, puisi “Aku” masih menjadi pilihan paling favorit untuk dibacakan, selain Krawang-Bekasi.
Puisi “Aku” mengandung spirit pemberontakan terhadap penindasan (penjajahan Jepang). Itulah yang menempatkan Chairil tidak hanya dianggap sebagai penyair tapi juga pejuang. Kosakata yang digunakannya dalam sajak itu adalah kosakata keseharian yang mudah dipahami sehingga siapa saja bisa menikmatinya tanpa kendala bahasa. Itu pula yang membuka aksesnya pada pemahaman awam dan membuatnya sangat popular. Dan sebagaimana dituturkan seorang kritikus sastra, melalui sajak itu Chairil mendayagunakan bentuk, bunyi, dan metafora yang gamblang untuk menikamkan sentakan akustik pada pembacanya.1) Mari kita simak puisi tersebut:
AKU
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan ituAku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuangBiar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih periDan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagiMaret 1943
Sajak itu terdapat dalam antologi Deru Campur Debu 2) dan Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus,3) yang keduanya merupakan antologi sajak tunggal Chairil Anwar. Selama masa kepenyairannya yang terbilang pendek, Chairil telah menulis 70 sajak.4) Semuanya diterbitkan dalam buku yang berbeda. Selain dalam dua buku di atas, sajak-sajak Chairil juga terdapat dalam Tiga Menguak Takdir yang ditulis bersama Asrul Sani dan Rivai Apin,5) serta dalam Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45.6)
Puluhan tahun kemudian seorang sastrawan dan editor, Pamusuk Eneste, mengumpulkan kembali sajak-sajak Chairil Anwar yang berserakan dalam berbagai antologi dan menerbitkannya di bawah judul Aku Ini Binatang Jalang, yang diterbitkan oleh Gramedia pada tahun 1986. Buku ini memuat seluruh sajak Chairil Anwar. Sangat beralasan bahwa judul buku ini tidak mengambil salah satu dari judul-judul sajak Chairil, melainkan dari salah satu baris dalam sajak “Aku” yang terkenal itu. Frase “Aku Ini Binatang Jalang” dengan jelas mewakili karakter kepenyairan Chairil Anwar yang diketahui publik sebagai seorang pendobrak yang revolusioner.
Dalam gaya pengucapan dan pilihan diksi sajak-sajak Chairil boleh dibilang tanpa preseden. Pendahulunya, Amir Hamzah, memang bisa disebut sang pendobrak juga. Bahkan Chairil juga menyebut Amir Hamzah sebagai puncak dari angkatan Pujangga Baru. Penyair tersebut diakuinya telah berhasil mendekonstruksi bahasa lama dan menyajikan bahasa Indonesia yang cemerlang.
Namun, di hadapan kebesaran Amir Hamzah, Chairil justru menjadi “binatang jalang” yang meletakkan gaya baru dalam pemakaian bahasa puisi dan membuat perbedaan yang cukup menonjol dengan pendahulunya tersebut. Dan karena itu sering disebut sebagai pelopor pembaruan bahasa puisi. Sejauhmana penyebutan ini absah, mari kita lihat dalam beberapa puisinya.
Pertama-tama di sini akan ditampilkan dua buah puisi karya Chairil yaitu Nisan, yang merupakan puisi awalnya, dan Derai-Derai Cemara,7) yang merupakan puisi terakhirnya. Setelah itu kita akan melihat puisi-puisinya yang lain.
Nisan
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertahta..
Oktober 1942
Derai-Derai Cemara
cemara menderai sampai jauh
terasa hari jadi akan malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendamaku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kinihidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah1949
Membaca puisi Nisan dan Derai-Derai Cemara terasa seperti membaca pantun dengan rima berselang a-b-a-b. Puisi jenis ini mendominasi khazanah sastra Melayu dengan berbagai jenisnya: pantun nasihat, pantun muda-mudi, pantun agama, pantun adat, dan sebagainya. Penulisan puisi berpola pantun Melayu sebenarnya sudah mulai jarang dilakukan oleh para penyair sejak masa Pujangga Baru. Bahkan Sutan Takdir Alisjahbana mengejeknya sebagai ocehan nenek-nenek yang tidak ada kerja.8) Para penyair, termasuk Chairil, mulai menulis dalam bentuk soneta, yang merupakan tradisi sastra Eropa dengan jumlah baris empat belas (4-4-3-3). Setelah diejek dan ditinggalkan, kedudukan pantun bergeser dari tradisi tulis menjadi tradisi lisan. Lalu mengapa Chairil masih menulis puisi bergaya ucap pantun seperti di atas? Apakah dia tidak mendengar suara-suara miring terhadap puisi asli Nusantara tersebut? Bandingkan dua puisinya di atas dengan dua contoh pantun berikut:
Pantun Kiasan
Berburu ke padang datar
Dapatkan rusa belang kaki
Berguru kepalang ajar
Bagaikan bunga kembang tak jadi
Pantun agama
Asam kandis asam gelugur
Ketiga asam si riang-riang
Menangis mayat dipintu kubur
Teringat badan tidak sembahyang
Bunyi sajak akhir dua puisi Chairil serupa dengan bunyi sajak akhir dua pantun Melayu di atas. Bagaimana seorang Chairil yang menyebut diri binatang jalang dan disebut sebagai sang pemberontak terhadap pola pengucapan bahasa lama bergaya pantun bisa terjerumus menggunakan persajakan pantun itu sendiri? Kalau kita cermati dua contoh pantun di atas memang tampak serupa, tapi tidak sama, dengan dua puisi Chairil. Ciri pantun Melayu yang tiap barisnya terdiri atas dua periodus,9) dan tiap periodus terdiri atas dua kata (contoh: asam kandis, asam gelugur). tidak muncul secara konsisten dalam puisi Chairil, kecuali pada larik: cemara menderai sampai jauh, dan hidup hanya menunda kekalahan.
Dalam pantun Melayu selalu terdapat sampiran (dua baris pertama) dan isi (dua baris penutup). Lagi-lagi itu pun tidak terlihat dalam puisi Nisan maupun Derai-Derai Cemara. Bahkan bisa dikatakan bahwa semua larik dalam puisi Chairil adalah isi. Jadi, walaupun puisi Nisan dan Derai-Derai Cemara, berima akhir a-b-a-b sehingga terasa seperti pantun, tampaknya rima itu hanya dimanfaatkan oleh Chairil untuk menghasilkan nada yang seirama supaya terdengar seperti musik yang mengalun indah. Alhasil, puisi Chairil bukanlah pantun dalam pengertian konvensional.
Juga, berbeda dengan puisi-puisi dari pujangga lain yang juga mulai “memberontak” terhadap pola persajakan Melayu konvensional seperti Roestam Effendi dan Amir Hamzah, yang sesungguhnya masih terasa kental kemelayuannya dengan bahasa mendayu-dayu, “puisi pantun” Chairil dibangun dengan susunan kata-kata yang hampir sepenuhnya berbunyi Indonesia yang sedang berteriak menegaskan kemandirian bahasanya sendiri.
Dalam Aku Ini Binatang Jalang yang menghimpun semua puisi Chairil Anwar, tergambar dengan jelas bagaimana pergumulan bahasa Indonesia yang sudah kadung diikrarkan sebagai bahasa persatuan (dalam Sumpah Pemuda) namun berdiri gamang di pundak kejayaan bahasa Melayu yang berabad-abad telah menjadi lingua franca. Bukan hanya citra adiluhung yang melekat dalam bahasa kawasan itu yang menjadi beban untuk ditinggalkan. Namun, estetika sastra yang dibangun dengan kosakata Melayu yang indah telah menempatan puisi ke posisi sakral dengan daya pukau yang mencekam seperti pada puisi-puisi Amir Hamzah.
Puisi-puisi dalam Aku Ini Binatang Jalang merupakan pemberontakan terhadap corak bahasa melankolis yang lazim muncul pada puisi para penyair sebelumnya. Kosakata “binatang jalang” adalah contoh—walaupun jelas bukan satu-satunya—yang menegaskan bahwa efek impresif puisi tidak harus bergantung pada kesakralan kosakata yang digunakannya. Kosakata yang tak suci, “duniawi”, dan dipungut dari jalanan, juga mampu menghadirkan kesan mendalam pada sebuah bangunan puisi. Kalau sampai waktuku/ Ku mau tak seorang kan merayu/ Tidak juga kau/ Tak perlu sedu sedan itu. Bait ini, kalau diartikan sebagai kepasrahan pada ajal yang bersemayam dalam misteri ilahiyah, sungguh merupakan ungkapan yang tak senonoh dan angkuh. Dan keangkuhan itu dipertegas lagi: Biar peluru menembus kulitku/ Aku tetap meradang menerjang/ Luka dan bisa kubawa berlari/ Berlari/ Hingga hilang pedih perih. Puisi ini ditutup dengan bait yang merupakan ungkapan antiklimaks: Dan aku akan lebih tidak perduli/ Aku mau hidup seribu tahun lagi.
Apakah dengan memasukkan kosakata yang banal dan tak elok seperti “peluru”, “meradang”, “menerjang”, “luka”, “bisa”, “tidak peduli”, nilai puisi itu menjadi rendah dan kehilangan impresinya? Dengan menilik makna intrinsiknya, puisi itu bukan saja tidak kehilangan daya pukaunya, bahkan justru memberi efek yang lebih tajam pada pesan yang dikandungnya. Dua baris terakhir menegaskan elan vital bagi kehidupan yang ingin terus dijalani selamanya tanpa peduli bahwa ajal menanti persis di hadapannya dengan sikap sempurna.
Puisi-puisi Aku, Nisan, Derai-Derai Cemara, Yang Terampas dan Yang Putus, bahkan juga Cintaku Jauh Di Pulau, berbicara tentang kematian sebagai teka-teki yang kadang dipertanyakan, kadang diterima dengan pasrah sebagai kemestian, dan bahkan ditunggu:
Yang Terampas dan Yang Putus
Kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugudi Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru
dinginaku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau
datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantangtubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa
berlaku beku1949
Pribadi si “Aku” yang tegar dalam sosok “binatang jalang” seakan lenyap ditelan kepasrahan dan penerimaan pada nasib manusia yang harus berjumpa dengan ajal di setiap tikungan. Bahkan jiwa yang revolusioner dan menggebu-gebu seperti tunduk menyerah tatkala si “Aku” diperbudak oleh perasaan cinta seperti pada: Hampa, Pemberian Tahu, dan Senja Di Pelabuhan Kecil. Dalam puisi-puisi cintanya yang lebih optimistik seperti Taman, Lagu Biasa, dan Sajak Putih, memang tidak ada ruang bagi kesedihan, dimana kesedihan sudah didendangkan: sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba/ meriak muka air kolam jiwa/ dan dalam dadaku memerdu lagu/ menarik menari seluruh aku (Sajak Putih). Namun jeritan sentimentil dalam puisi-puisi cinta itu tetap terasa kental. Dalam puisi berjudul Doa di bawah ini, si “Aku” bahkan tampak menyerah:
Doa
kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMuBiar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruhcayaMu panas suci
tinggal berkedip lilin di kelam sunyiTuhanku
aku hilang bentuk
remukTuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpulang13 November 1943
Kepasrahan semacam itu menjadi anomali pada jiwa yang selalu menikmati kegelisahan dan tidak pernah peduli, sehingga menimbulkan pertanyaan: Apakah ini merupakan kelemahan bagi si “Aku” yang mendakwa diri “binatang jalang”?10) Jawaban dari pertanyaan itu ialah pertanyaan yang lain: Jika bukan dari jiwa yang sentimentil, mungkinkah akan tumbuh cinta yang revolusioner terhadap tanah air? Apa yang bergelora dalam diri Chairil Anwar kalau bukan rasa cinta yang sentimentil terhadap negerinya, yang melahirkan puisi-puisi: Merdeka, Diponegoro, Cerita buat Dien Tamaela, Krawang-Bekasi, Persetujuan dengan Bung Karno, 1943, Catetan Tahun 1946, Prajurit Jaga Malam, dsb? Hanya jiwa yang sentimentil yang menggerakkan tangan seseorang untuk mampu menuliskan rasa cintanya yang mendalam pada tanah air. Pangakuan seperti ini disampaikan pula oleh sastrawan Sapardi Djoko Damono dalam epilog buku Aku Ini Binatang Jalang: “Bagaimanapun, Chairil Anwar tampil lebih menonjol sebagai sosok yang penuh semangat hidup dan sikap kepahlawanan…. Bahkan sebenarnya… salah seorang penyair kita yang memperhatikan kepentingan sosial dan politik bangsa.”
Sampai sekarang ungkapan-ungkapan yang diambil dari sajak-sajak Chairil Anwar masih terus diingat dan dikutip: Sekali berarti, Sudah itu mati (Diponegoro), Hidup hanya menunda kekalahan (Derai-Derai Cemara), Nasib adalah kesunyian masing-masing (Pemberian Tahu), Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian (Karawang-Bekasi), Sedang dengan cermin aku enggan berbagi (Penerimaan), Orang ngomong anjing nggonggong (Kesabaran), Aku mau hidup seribu tahun lagi (Aku), dan lain-lain.
Tidak bisa dipungkiri bahwa puisi Aku merupakan puisi yang paling terkenal dari Chairil Anwar. Namun, mereduksi Chairil menjadi sekadar Aku tentu sebuah simplifikasi. Seluruh puisinya tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena dalam keseluruhannya tergambar salah satu tonggak terpenting dalam perkembangan sastra Indonesia. Jika pada Nyanyi Sunyi-nya Amir Hamzah kita membaca kesepian yang mencekam, maka pada Aku Ini Binatang Jalang kita membaca kesepian yang menggelora. Dalam kata-kata Afrizal, sepi dihadirkan sebagai makhluk yang buas.11)
Dalam Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45, H.B. Jassin menyebut Chairil Anwar sebagai orang yang pertama-tama merintis jalan dan membentuk aliran baru dalam kesusastraan Indonesia. Para penyair yang lahir sesudahnya pun tidak luput dari pengaruhnya, baik dalam soal wawasan estetik maupun orientasi kepenyairan. Wawasan estetikanya yang membunyikan kesepian eksistensial manusia (sebagai hamba Tuhan maupun bangsa terjajah) menjadi lagu penuh gejolak mudah ditemukan pada generasi penyair sesudahnya.12)
Sajak-sajak Chairil Anwar memang tidak sama sekali memutus zamannya dengan zaman sebelumnya. Tetapi ia membuat perbedaan yang sangat besar, yang dapat diletakkan di atas “reruntuhan” gaya bahasa lama. Dan, boleh jadi hal ini juga terkait dengan hidupnya yang selalu berdiri di atas “reruntuhan”. Kedua orangtuanya bercerai saat ia masih remaja. Setelah dewasa dan menikahi Hapsah, pernikahan itu juga akhirnya kandas karena kesulitan ekonomi yang terus mendera. Ia pernah berjualan buku untuk menyambung hidup. Dan pernah mendekam dipenjara Cipinang karena kasus pencurian. Sekolahnya hanya sampai tingkat menengah di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), dan itu pun tidak selesai.
Namun demikian, Chairil menguasai sejumlah bahasa asing yang memungkinkannya membaca karya-karya para pengarang internasional seperti: Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron. Karya-karya para pengarang itulah yang mempengaruhi tulisan-tulisannya.
Masa kepenyairan Chairil yang singkat sebanding belaka dengan usianya yang relatif pendek. Ia mati muda. Lahir di di Medan pada 25 Juli 1922 dan meninggal di Jakarta pada 28 April 1949. Jika masa kepenyairannya dihitung sejak publikasi sajaknya yang pertama “Nisan” pada tahun 1942 (ketika dia berusia dua puluh tahun) maka Chairil menulis sajak hanya selama 7 tahun (sampai ia wafat pada 1949). Selama masa yang pendek itu ia menulis 70 buah sajak asli, 10 terjemahan, 4 saduran, dan 6 prosa asli dan 4 terjemahan.
Karya sadurannya yang sangat popular ialah Kerawang-Bekasi, yang sering dianggap sebagai karyanya sendiri. Sedangkan karya-karya terjemahannya antara lain: Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948, Andre Gide) dan Kena Gempur (1951, John Steinbeck). Karya Chairil sendiri bisa ditemukan dalam berbagai terjemahan bahasa asing seperti bahasa Inggris: “Sharp gravel, Indonesian poems”, oleh Donna M. Dickinson (Berkeley, California, 1960); Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963); bahasa Spanyol: “Cuatro poemas indonesios, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati” (Madrid: Palma de Mallorca, 1962); dan bahasa Jerman: Feuer und Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh Walter Karwath (Wina: Octopus Verlag, 1978).
Tanggal lahir Chairil 26 Juli ditetapkan sebagai Hari Puisi Indonesia yang selalu diperingati setiap tahun dengan berbagai acara sastra. Penetapan ini memperluas spektrum pengaruhnya di dunia perpuisian di tanah air, setelah sebelumnya dikukuhkan oleh Paus Sastra HB Jassin sebagai pelopor Angkatan ’45. Menilik karya-karya dan pengaruhnya yang melintasi zaman, padahal rentang kepenyairannya terbilang sangat pendek (7 tahun), maka Chairil Anwar sangat pantas atas penghargaan-penghargaan tersebut.
Catatan:
1. Pernyataan ini dikemukakan esais Geger Riyanto ketika membandingkan puisi-puisi Afrizal Malna dan Chairil Anwar. Lihat tulisannya, “Afrizal dan Puisi Peristiwa”, Kompas, 10 Maret 2013.
2. Diterbitkan oleh Dian Rakyat, Jakarta, dan merupakan kumpulan puisi pertama Chairil Anwar. Buku ini memuat 45 judul puisi. Juga diterbitkan oleh Penerbit Pembangunan, Jakarta, 1966.
3. Diterbitkan oleh Dian Rakyat, Jakarta. Sampai tahun 2007 telah mengalami cetak ulang 16 kali. Dan sesuai judulnya buku ini dibagi dua bagian: Bagian I. Kerikil Tajam berisi 29 puisi, Bagian II. Yang Terampas dan Yang Putus berisi 9 puisi.
4. Jika dihitung dari puisi pertamanya, “Nisan”, yang bertanggal Oktober 1942 sampai meninggalnya pada 28 april 1949, maka masa kepenyairannya kurang dari 7 tahun.
5. Diterbitkan oleh Balai Pustaka, Jakarta, 1950.
6. HB Jassin, ed., Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 (Jakarta: Gunung Agung, 1983)
7. Dalam buku Aku Ini Binatang Jalang, sang editor Pamusuk Eneste, menurunkan puisi-puisi Chairil Anwar secara kronologis, yang menempatkan “Nisan” di awal dan “Derai-Derai Cemara” di akhir urutan.
8. Mengenai pudarnya tradisi penulisan pantun sejak tahun 1930-an, lihat pengantar Ajip Rosidi dalam bukunya Pantun Anak Ayam (Jakarta: Pustaka Jaya, 2006).
9. Rachmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), hal. 8 dan 9.
10. Persoalan ini pernah dikemukakan, misalnya, oleh Arif Budiman yang menyatakan bahwa si Binatang Jalang itu sudah menyerah, sebab tanpa Tuhan ia akan “remuk dan hilang bentuk”, sehingga merasa perlu untuk mengetuk pintu Tuhan dan kemudian “tidak bisa berpaling”. Lihat Arief Budiman, Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1976)
11. Afrizal Malna, “Chairil dalam Kardus Masa Kini”, Kompas, 28 April 2013
12. Dalam sebuah esainya, penyair Afrizal Malna mengatakan bahwa mainstream puisi ala Chairil Anwar sangat sulit ditinggalkan pada masa-masa sesudahnya. Lihat, Afrizal Malna, “Kota Di Bawah Bayangan Api”, Kompas, 17 Maret 2013. Sastrawan Nur Zen Hae dalam sebuah ceramah pada peluncuran dua buku kumpulan puisi Goenawan Mohamad, 70 Puisi dan Don Quixote, di Jakarta, pada 27 Juli 2011 mengatakan bahwa perjalanan kepenyairan Goenawan Mohamad memperoleh pengaruh dari Chairil Anwar, selain dari Amir Hamzah dan Miguel de Cervantes Saavedra.
Note: Esai ini pernah dimuat dalam buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh karya Jamal D. Rachman (ed), dkk (Kepustakaan Populer Gramedia, 2014).
_________
Ahmad Gaus adalah seorang penulis dan trainer #Writerpreneurship. Telah menulis 25 buku dan ratusan esai. Mengampu pelatihan menulis dengan metode #WriteNow di berbagai sekolah, pesantren, kampus, dan umum. Kontak email: gauslsf@gmail.com || twitter: @AhmadGaus – IG: ahmadgaus68 – FB: gaus ahmad
Baca juga:
Seputar Heboh Buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh”
Seputar Heboh Buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh”
(Siapa Yang Mendanai Program Ini?)
Oleh Ahmad Gaus
(Anggota Tim 8)
SETELAH diluncurkan pada 3 Januari 2014 lalu di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Jakarta, buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh terus menuai polemik. Salah satu titik polemik ialah: siapa yang mendanai program buku ini? Sebagai anggota Tim 8 yang melahirkan buku tersebut saya merasa perlu menjelaskan ini agar tidak muncul kesalahpahaman dan fitnah—yang sebenarnya sudah terjadi, bahkan merajalela.
Mula-mula polemik itu berlangsung di media sosial, terutama fesbuk dan twitter. Sebagian sastrawan dan pegiat sastra menyatakan ketidakpuasan mereka terhadap hasil kerja tim yang menghasilkan buku tersebut. Sebagian orang menulis di blog, dan ada beberapa pegiat sastra yang menulis di media cetak. Tak perlu dijelaskan rumor dan gosip yang disebar melalui broadcast messenger dan pesan pendek (SMS) yang ditujukan kepada Tim 8.
Terhadap polemik-polemik itu sikap kami pertama-tama tentu harus menerima ketidakpuasan tersebut. Namun, ketika ketidakpuasan itu diekspresikan melalui hujatan, caci-maki, bahkan fitnah, kami merasa itu sudah tidak proporsional. Belakangan, sebagian pegiat sastra bahkan melangkah lebih jauh lagi dengan mengeluarkan petisi yang berisi ajakan kepada publik untuk melakukan aksi boikot, mendesak pemerintah menarik buku itu dari peredaran, bahkan juga berencana membakar buku tersebut.
Ketika diwawancarai wartawan apa pendapat saya perihal rencana boikot dan aksi pembakaran itu, saya katakan bahwa aksi itu sangat memprihatinkan. Sastrawan seharusnya memberi pencerahan kepada masyarakat tentang bagaimana cara berbeda pendapat, bukan memberi contoh tindakan anti-intelektual dan cenderung barbar. Para penandatangan petisi itu akan dicatat oleh sejarah sebagai orang-orang yang ikut membungkam kebebasan berpendapat. Mereka tidak berhak bicara apapun lagi tentang kebebasan berkarya jika mereka sendiri ingin mengambil paksa hak itu dari orang lain, dan mereka hendak melakukan itu dengan meminjam tangan kekuasaan.
Kenapa Denny JA?
Titik krusial lain dari polemik itu adalah masuknya nama Denny JA ke dalam buku yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia tersebut. Kami Tim 8 terdiri dari Agus R Sarjono, Jamal D Rahman, Maman S Mahayana, Acep Zamzam Noer, Nenden Lilis Aisyah, Berthold Damshauser, Joni Ariadinata, dan Ahmad Gaus, tentu memiliki pertimbangan mengapa nama Denny JA dianggap pantas masuk ke dalam buku tersebut. Argumen-argumen mengenai ini sudah kami jelaskan panjang lebar di dalam buku setebal 767 halaman. Namun, para pencerca itu rupanya tidak mau menerima penjelasan tersebut, atau jangan-jangan malah belum membacanya. Lebih gawat lagi ada yang menuduh kami (Tim 8) telah “dibeli” oleh Denny JA supaya namanya dimasukkan. Walhasil, buku tersebut dianggap tidak valid sebagai karya akademik.
Tim 8 sebetulnya dibentuk sendiri oleh beberapa orang dari kami, kemudian mengajak yang lainnya. Dananya pun tidak dimintakan kepada pemerintah (APBN), sehingga Tim ini sebenarnya tidak bertanggung jawab kepada pemerintah atau publik kecuali pertanggungjawaban akademik karena ini karya ilmiah. Beberapa orang dari Tim 8 menghubungi para filantrofis seperti ET dan FE yang pernah berencana membuat majalah sastra namun belum terealisasi. Ternyata, mereka mau mendanai kegiatan ini. Tentu tidak etis menyebut nama lengkap orang-orang ini sampai mereka sendiri yang mengatakannya. Tapi yang pasti, di negara demokrasi masyarakat sipil mengambil inisiatif mendanai kegiatan apa saja dibolehkan, asalkan bukan kegiatan makar atau tindakan kriminal. Demikian juga kegiatan membuat ranking, misalnya ranking; 20 politisi paling kontroversial sepanjang masa, 30 pejabat negara berpakaian paling rapi, 10 artis paling dibenci, dst. Kita boleh tidak setuju, tapi tidak boleh melarang publikasi hasil ranking tersebut.
Kembali ke masalah mengapa nama Denny JA masuk ke dalam buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Banyak orang menanyakan hal itu kepada saya, karena sayalah yang ditunjuk oleh Tim 8 untuk menulis bagian itu. Selain menulis tentang Denny JA, saya juga menulis artikel tentang Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri, Afrizal Malna, dan Ayu Utami. Nama yang terakhir ini pun dipersoalkan oleh beberapa penulis senior (perempuan) yang hadir dalam acara peluncuran buku di PDS HB Jassin yang menganggapnya tidak pantas masuk ke dalam daftar tersebut. Saya jawab, baca saja dulu sampai tuntas karena di situ ada argumennya, kalau sudah membaca tetapi tidak setuju juga, berarti memang kita berbeda paham. Kalau berbeda paham, kita harus saling menghargai, dan tidak perlu memaksa kami menghapus nama itu dari buku.
Tentang pertanyaan mengapa nama Denny JA masuk ke dalam daftar itu, jawaban saya adalah, justru aneh kalau nama dia tidak masuk. Sebab, dialah yang paling fenomenal dengan puisi esainya sekarang ini. Denny JA adalah wakil kontemporer dari dinamika sastra dalam 3 tahun terakhir. Sampai saat ini saya belum mendengar ada penyair yang karya puisinya dibaca oleh begitu banyak orang seperti puisi esai yang digagas oleh Denny JA. Hanya satu tahun setelah buku puisi esainya yang berjudul Atas Nama Cinta dipublikasikan di web (2012), puisi itu dibaca oleh hampir 8 juta orang dengan ribuan respon, seperti bisa dilihat di website puisi-esai.com. Sebagai perbandingan, di kalangan selebriti saja, rekor semacam itu hanya bisa dicapai oleh Agnes Monica yang video youtube-nya “Matahariku” dihit oleh 7 juta netters.
Bagi saya ini prestasi Denny JA yang sangat fenomenal, dan sekaligus keajaiban puisi esai yang baru berkembang namun telah memikat begitu banyak orang. Sebab saya pernah membaca sebuah buku yang di situ ditulis bahwa ada penyair yang menerbitkan buku puisinya 1000 eksemplar, dan sudah lebih dari 20 tahun menumpuk di gudang alias tidak terjual. Artinya, masyarakat tidak meminati puisi itu. Padahal setiap puisi ditulis untuk dibaca. Denny JA menulis puisi yang diminati dan dibaca masyarakat, yaitu puisi esai, puisi yang bahasanya mudah dipahami, dan pesannya jelas karena berbicara tentang realitas masyarakat. Lima puisi esai Denny JA itu semuanya berbicara tentang isu-isu diskriminasi orientasi seksual, gender, keyakinan, ras, dan pandangan agama. Semua isu itu riil, ada dan menjadi persoalan dalam masyarakat kita.
Puisi di Era Cyber
Yang paling penting dalam puisi esai-nya Denny JA ialah mengubah isi kepala orang tentang apa yang disebut puisi. Selama ini mainstream puisi kita ialah puisi liris yang berbicara tentang daun, angin, hujan, pohon cemara, atau dalam ungkapan Rendra: “tentang anggur dan rembulan”. Puisi esai berbicara tentang manusia di dalam sejarah yang kongkrit, tentang isu-isu yang bergetar dalam komunitas. Mungkin itu sebabnya puisi esai Denny JA sangat digemari (tapi sekaligus juga dibenci oleh sebagian sastrawan sehingga selalu dihujat-hujat sebagai bukan puisi).
Sekarang zaman sudah berubah. Sastra sekarang berkembang di dunia cyber. Ini juga yang mungkin tidak diperhatikan oleh para sastrawan kita. Padahal saat ini kebanyakan anak muda tidak membaca puisi kecuali di internet. Denny JA melihat peluang itu untuk menyosialisasikan karya-karya puisinya. Dan dia berhasil memkampanyekan temuan barunya itu (puisi esai) melalui website yang diakses oleh banyak orang.
Para penghujat seharusnya melihat dan menghargai sisi ini. Bukan melulu mempersoalkan bahwa dia bukan sastrawan, atau orang baru di dunia sastra, dan seterusnya. Apakah dunia sastra begitu sakralnya sehingga “orang luar” tidak boleh menulis puisi. Rupanya bagi mereka itu, persoalan Denny JA ialah dia bukan saja “orang luar” yang menulis puisi tapi juga “orang luar” yang sangat gegabah mengubah bentuk puisi yang sudah mapan. Bagi kami Tim 8, puisi-puisi esai Denny JA telah mencapai bentuk yang otonom sebagai sebuah karya yang memiliki estetika yang berbeda dengan puisi lirik. Sebagai bukti bahwa inovasi itu telah absah sebagai sebuah karya yang otonom ialah lahirnya buku-buku puisi esai dari penulis lain (saat ini telah terbit 10 buku puisi esai).
Tim 8 memilih Denny JA karena sesuai dengan kriteria yang dibuat, terutama kriteria nomor 4 yaitu: “Dia menempati posisi pencetus atau perintis gerakan baru yang kemudian melahirkan pengikut, penggerak, atau bahkan penentang, dan akhirnya menjadi semacam konvensi, fenomena, dan paradigma baru dalam kesusastraan Indonesia.”
Saya kira sastrawan jenis ini tidak terlalu banyak. Kita bisa menyebut Chairil Anwar yang melawan konvensi bahasa Melayu ala Amir Hamzah yang notebene Raja Penyair Pujangga Baru. Kemudian WS Rendra yang mengembalikan puisi dari kata ke bahasa. Lalu Sutardji Calzoum Bachri yang membebaskan kata dari makna, dan sedikit nama lainnya. Denny JA membuat inovasi baru dalam penulisan puisi yang menurut John Barr, seorang pengamat sastra Amerika, sudah puluhan tahun tidak mengalami perubahan berarti. Denny JA mengembalikan puisi dari kalangan elit penyair ke pangkuan khalayak. Jika dulu orang berpegang pada ungkapan Chairil Anwar: “Yang bukan penyair tidak ambil bagian.” Maka sekarang, melalui kredo puisi esainya, Denny JA menyeru: “Yang bukan penyair pun boleh ambil bagian”. Dulu tidak terbayang bahwa pengacara, hakim, pengusaha, politisi, dsb, menulis puisi karena mereka bukan penyair. Sekarang, seperti seruan Denny JA, mereka dapat menulis puiis berdasarkan problem yang mereka temukan dalam profesinya masing-masing. Puisi esai membuka kemungkinan untuk itu, karena puisi esai pada dasarnya “cara baru beropini” melalui karya sastra.
Penutup
Tulisan ini tidak hendak membela Denny JA sebagai pribadi, melainkan meluruskan hujatan dan fitnah keji yang menimpa Tim 8. Denny JA dipilih karena dia memang layak. Dan Tim 8 tidak dibeli untuk menentukan pilihan itu. Semua nama yang dibawa oleh setiap anggota Tim ke dalam forum diperdebatkan secara bebas dan bertanggungjawab, dalam arti bisa dijelaskan dengan argumen proporsional, tidak mengada-ada. Tapi sejak awal kami memang menyadari bahwa apapun yang kami hasilkan pasti akan menimbulkan kontroversi. Hanya saja, yang tidak kami bayangkan ialah munculnya hujatan dan cercaan yang sama sekali di luar batas nilai-nilai kebudayaan sastra.
Belum lama ini sastrawan yang karyanya tidak dipilih sebagai juara oleh tim juri Katulistiwa Literary Award (KLA) marah-marah dan menggugat keabsahan dewan juri. Polemik merebak di jejaring sosial. Sampai-sampai ada sastrawan yang menulis bahwa para juri pemilihan itu sama sekali tidak bermutu. Pilihan mereka menunjukkan rendahnya selera mereka terhadap sastra, lemahnya pengetahuan mereka, dan kurangnya wawasan mereka. Begitu dia menggugat dewan juri. Lucunya, juri KLA yang kemarin lusa digugat itu kini justru mengolok-olok kami (Tim 8). Rupanya dia sudah lupa bagaimana rasanya sebagai juri yang dihujat dan dicurigai.
Menanggapi polemik tersebut, Richard Oh yang menyelenggarakan acara tahunan KLA tersebut menulis di akun twitternya pada tanggal 27 November 2013, pk 12.05 AM, sbb: “Salah satu ketidakmajuaan sastra kita di dunia rupanya bukan pada kurangnya karya-karya bagus, tapi semangat sikut-menyikut antar sastrawan.”
Sesungguhnya saya berharap bahwa apa yang dikatakan Richard Oh itu tidak benar. Dan dengan ini saya tutup artikel ini, semoga dapat memberi penjelasan memadai sehingga tidak ada lagi fitnah dan hujatan kepada Tim 8 yang telah bersusah payah menyusun buku ini. Terima kasih.