[Esai] LANGIT MAKIN MENDUNG

buku langit mendung

Catatan Ahmad Gaus

KEHADIRAN KARYA-KARYA yang mengusung tema keagamaan menjadi fenomena tersendiri dalam kancah kesusastraan di tanah air.1)  Karya jenis ini biasanya muncul dalam dua corak: menjadikan agama sebagai pemecah persoalan atau menjadikan agama hanya sebagai latar belakang. Karya sastra corak pertama biasanya memperoleh sambutan positif dari khalayak, sementara corak kedua seringkali menimbulkan kontroversi. Cerpen Langit Makin Mendung masuk dalam kategori kedua. Ia bukan saja menimbulkan kehebohan di tengah masyarakat, tapi juga memancing kontroversi di kalangan agamawan dan ahli hukum sampai kasusnya dibawa ke pengadilan.

Cerpen Langit Makin Mendung ditulis oleh seorang yang memakai nama samaran Kipandjikusmin. Cerpen ini dimuat di Majalah Sastra, Th. VI. No. 8, Edisi Agustus 1968 yang dipimpin oleh HB Jassin. Kontroversi yang ditimbulkan oleh cerpen ini terkait dengan isinya yang terang-terangan mempersonifikasi Tuhan dan menggambarkan sosok Nabi Muhammad yang selama ini dianggap tabu oleh kaum Muslim.

Diceritakan bahwa Nabi Muhammad meminta izin kepada Tuhan untuk turun ke muka bumi dengan alasan ingin mengetahui apa yang menyebabkan umatnya akhir-akhir ini lebih banyak dimasukkan ke dalam neraka. Dan Tuhan memberinya izin karena alasan itu dianggap cukup kuat. Jutaan penduduk surga sibuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk melepas Muhammad ke bumi. Upacara pelepasan diadakan di sebuah lapangan terbang disaksikan seluruh penghuni surga dan dipimpin oleh Nabi Adam yang menyampaikan pidato pelepasan melalui sebuah alat pengeras suara. Di akhir pidatonya Nabi Adam mengatakan: “Akhir kata Saudara-saudara, hasil peninjauan on the spot oleh Muhammad S.A.W harus dapat dimanfaatkan secara maksimal nantinya. Ya, Saudara-saudara kita di bumi melawan rongrongan iblis-iblis neraka beserta antek-anteknya. Kita harus bantu mereka dengan doa-doa dan sumbangan-sumbangan pikiran yang konstruktif agar mereka semua mau ditarik ke pihak Tuhan; sekian. Selamat jalan Muhammad! Hidup persatuan Rakyat Sorga dan Bumi!” “Ganyang!!!” (Berjuta suara menyahut serempak).

Muhammad segera menuju bumi menaiki buraq – kuda sembrani yang dulu menjadi kendaraannya sewaktu melakukan Mi’raj. Secepat kilat buraq melesat ke arah bumi, sementara itu Jibril yang digambarkan sudah tua terengah-engah mengikutinya di belakang. Mendadak, sebuah sputnik Rusia melayang di angkasa hampa udara. Dua kendaraan berbeda teknologi itu pun bertabrakan dan keduanya hancur tanpa sisa. Muhammad dan Jibril terpental ke bawah, tersangkut di gumpalan awan yang empuk bagai kapas. Ketika menengok ke bawah Muhammad mengira itu adalah neraka. Maka Jibril segera meralatnya:  “Paduka salah duga. Di bawah kita bukan neraka tapi bagian bumi yang paling durhaka, Jakarta namanya. Ibukota sebuah negeri dengan seratus juta rakyat yang malas dan bodoh.”

Selanjutnya dikisahkan bahwa Muhammad dan Jibril mengubah diri mereka menjadi sepasang burung elang. Mereka bertengger di Monas. Percakapan di puncak yang digambarkan sebagai menara emas bikinan pabrik Jepang itu menyindir Soekarno yang disebut sebagai nabi palsu dengan ajaran Nasakomnya yang telah menggerogoti jiwa prajurit-prajurit dan mendarah daging pada sebagian ulama.

Tidak hanya penggambaran tentang Muhammad dan Jibril, namun juga penggambaran tentang Tuhan, seperti kejadian yang mengisahkan para nabi yang protes kepada Tuhan: “Kami bukan malaikat atau burung perkutut. Bibir-bibir kami sudah pegal dan kejang memuji kebesaranMu; beratus tahun tanpa henti….. Membaca petisi para nabi, Tuhan terpaksa menggeleng-gelengkan kepala. Tak habis pikir pada ketidakpuasan di benak manusia….”

Dialog-dialog terjadi antara Muhammad dan Jibril yang sarat dengan sindiran terhadap kondisi sosial tanah air masa pada masa itu. Diceritakan bahwa penduduk negeri ini 90 persen beragama Islam tetapi justru segala macam perilaku jahat, nista, lacur, munafik, tumbuh subur di mana-mana. Tidak lupa pula diselipkan sindiran tajam terhadap prilaku para pejabat pemerintah seperti kegemaran mereka berfoya-foya, minum alkohol, dan main perempuan.

“Acara bebas dimulai. Dengan tulang-tulangnya yang sudah tua Presiden menari lenso bersama gadis-gadis daerah Menteng yang spesial diundang. Patih-patih dan Menteri tak mau kalah gaya. Tinggal para hulubalang cemas melihat Panglima Tertinggi bertingkah seperti anak kecil urung disunat.”

 “Tamu-tamu permisi pamit. Perut kenyangnya mendahului kaki-kaki setengah lemas. Beberapa orang muntah-muntah mabuk di halaman parkir…Sendawa mulut mereka berbau alkohol. Sebentar-sebentar kiai mengucap ‘alhamdulillah’ secara otomatis. Menteri-menteri pulang belakangan bersama gadis-gadis, cari kamar sewa. Pelayan-pelayan sibuk kumpulkan sisa-sisa makanan buat oleh-oleh anak istri di rumah. Anjing-anjing istana mendangkur kekenyangan-mabuk anggur Malaga. Pengemis-pengemis di luar pagar istana memandang kuyu, sesali nasib kenapa jadi manusia dan bukan anjing!”

Setelah menyasar berbagai masalah dari ideologi, poligami, utang luar negeri, hingga kondisi rakyat yang kebanyakan hidup susah dan kelaparan, cerpen ini diakhiri dengan sebuah pernyataan: “Rakyat rata-rata memang pemaaf serta baik hati. Kebohongan dan kesalahan pemimpin selalu disambut dengan lapang dada. Hati mereka bagai mentari, betapapun langit makin mendung, sinarnya tetap ingin menyentuh bumi.”

Setelah pemuatannya di majalah Sastra bulan Agustus 1968, kontan cerpen ini menyulut kehebohan. Berbagai kecaman datang, terutama dari umat Islam yang menganggap karya Kipandjikusmin itu menghina Islam. Kantor majalah Sastra di Jakarta didemonstrasi oleh kelompok-kelompok masyarakat dan dindingnya dicoreti dengan kata-kata makian. Reaksi massa yang sangat keras muncul di Medan sehingga Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara melarang peredaran majalah edisi tersebut. HB Jassin selaku penanggung jawab majalah Sastra tutup mulut tentang siapa sebenarnya Kipandjikusmin itu. Akibat pilihan sikapnya itu akhirnya ia harus berhadapan dengan pengadilan untuk mempertanggungjawabkan pemuatan cerpen tersebut di majalahnya.

jassin

HB JASSIN

Ada yang menduga bahwa Kipandjikusmin tidak lain adalah HB Jassin sendiri yang menulis dengan nama samaran.

Di kalangan sastrawan sendiri terjadi polemik panjang baik menyangkut batas-batas imajinasi karya sastra maupun pengadilan atas kasus Langit Makin Mendung. Puluhan artikel bermunculan di media massa baik yang pro maupun kontra dengan melibatkan nama-nama besar: Goenawan Mohammad, Taufik Ismail, A.A. Navis, Wiratmo Soekito, Bur Rusuanto, Bahrum Rangkuti, Buya Hamka, dan lain-lain. Isu polemik berkembang dari persoalan sastra ke masalah agama, hukum, dan politik, yang berlangsung selama sekitar tiga tahun (1968-1970).2)

Dalam pledoinya di persidangan, HB Jassin menyatakan: “Kami telah dilain-tafsirkan dan karena perlainan tafsir itu orang mengira kami telah menghina mereka, menghina kepercayaan mereka yang adalah kepercayaan dan keyakinan kami juga. Kami dengan tulus ikhlas meminta maaf kepada mereka yang mengganggap bahwa kami telah menghina, dan kami pun memohon maaf kepada Allah Maha Kuasa, yang kami tahu adalah Maha Pengampun dan Maha Pemaaf.”

Setelah menyampaikan permohonan maaf, Jassin tetap dengan pendiriannya: “Saya berpendapat bahwa cerita pendek Langit Masih Mendung adalah hasil imajinasi, mempunyai dunia lain dan karena itu tidak bisa diukur dengan kaidah-kaidah agama.” Jassin pun mulai mempertanyakan tuntutan hukum atas karya sastra. Katanya, “Dengan kesadaran minta perhatian buat perbedaan antara dunia imajinasi seniman dan dunia realitas dengan hukum positifnya, karena keputusan Saudara Hakim yang kurang tepat akan mempunyai akibat merugikan bagi masa depan kreativitas para seniman, bukan saja di Ibukota, tapi terutama di daerah-daerah”.

hamkaa

HAMKA: “Murtad saya dari Islam kalau karangan seperti itu saya muat di majalah saya.”

Pembelaan HB Jassin tampaknya sia-sia. Majelis Hakim tetap memvonisnya dengan pidana penjara selama satu tahun dengan masa percobaan dua tahun karena dianggap melakukan penodaan agama (pasal 156a KUHP). Ia menerima putusan tersebut tapi bukan berarti sikapnya surut dalam membela kebebasan imajinasi. Masih terkait kasus itu ia menulis dalam majalah Horison: “Sesuatu karya haruslah dianggap sebagai alat penggungah pikiran, disetujui ataupun tidak disetujui isinya, masing-masing orang berhak untuk menyenanginya atai tidak menyenanginya, tapi orang tidak berhak menghancurkannya, seperti orang juga tidak berhak membunuh penciptanya.”

Mengapa Jassin mau membela dan menanggung akibat dari perbuatan yang tidak dilakukannya? Jawabannya tentu karena dia lahir-batin mencintai sastra dan hidup untuk sastra. Begitu gigihnya ia membela Langit Makin Mendung dan menyembunyikan identitas penulisnya sampai-sampai ada yang menduga bahwa Kipandjikusmin tidak lain adalah HB Jassin sendiri yang menulis dengan nama samaran.

Dua bulan setelah heboh itu Kipandjikusmin bicara kepada majalah Kami edisi 22 Oktober 1968 bahwa ia tidak bermaksud menghina agama Islam melainkan hanya menertawakan aneka kebodohan di masa rezim Soekarno. Tentang personifikasi hal-hal yang selama ini dianggap tabu, ia menandaskan bahwa itu semata-mata hasrat pribadinya untuk mengadakan komunikasi langsung dengan Tuhan, Nabi Muhammad, sorga, dll.

Teka-teki tentang siapa Kipandjikusmin yang sebenarnya baru terkuak dua tahun kemudian (1970). Kepada Usamah, redaktur pelaksana Ekspress yang dipimpin Goenawan Mohamad, Kipandjikusmin mengaku nama aslinya adalah Soedihartono. Ia menempuh pendidikan di Akademi Pelayaran Nasional, dan selama 6 tahun menjalani wajib dinas di Jakarta. Setelah itu ia tidak pernah menulis lagi. Namanya ditelan oleh arus gelombang kesusastraan yang—meminjam kata-kata Goenawan Mohamad seputar kasus ini—menentramkan dan bukan yang menggelisahkan.3)

Posisi Kipandjikusmin memang terpojok. Para sastrawan pada umumnya tidak membela dirinya maupun karyanya yang dianggap buruk, melainkan membela kebebasan imajinasi. Sebagian, seperti Hamka, tidak membela dirinya dan karyanya melainkan membela HB Jassin yang harus menjadi tameng karena kepengecutan Kipandjikusmin yang tidak menampakkan batang hidungnya ketika kasus itu merebak ke permukaan. Para sastrawan seperti Bur Rasuanto, Ali Audah, Taufiq Ismail, menganggap Langit Makin Mendung sebagai karya yang buruk atau bermutu rendah.

Hanya HB Jassin yang membela ketiganya: penulisnya, mutu karyanya, dan kebebasan imajinasi. Dan tampaknya Jassin konsisten, sebab seandainya Langit Makin Mendung bukan karya sastra yang bermutu tentunya tidak akan dimuat di majalah Sastra yang dipimpinnya. Hal ini berbeda dengan Hamka, misalnya, yang mengatakan bahwa majalah Panji Masyarakat yang dipimpinnya tidak akan memuat karya semacam itu. “Murtad saya dari Islam kalau karangan seperti itu saya muat.” Jadi alasannya ialah agama, bukan sastra.

Kalau kita setuju kepada penilaian sebagian sastrawan tentang buruknya mutu sastra Langit Makin Mendung, maka karya itu dengan sendirinya akan terhapus dalam lembaran sejarah sastra. Sialnya, yang terjadi justru sebaliknya. Sementara banyak karya sastra yang dinilai bermutu tinggi tenggelam ditelan zaman dan dalam ingatan masyarakat, Langit Makin Mendung terus saja dibicarakan. Melintasi zaman. Rupanya keburukan sebuah karya tidak selalu identik dengan kesia-siaan atau mudah dilupakan. []

Catatan:

  1. Kajian mutakhir mengenai ini lihat, Marwan Saridjo, Sastra dan Agama (Jakarta: Penamadani, 2006).
  2. Duduk perkara dan polemik sekitar kasus ini kini telah dibukukan. Lihat, Muhidin M. Dahlan dan Mujib Hermani (eds.), Pleidoi Sastra: Kontroversi Cerpen “Langit Makin Mendung” Ki Pandjikusmin (Jakarta: Melibas, 2004).
  3. Ibid., hal. 166.

[][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][]

******************************************

Mengapa Kita Harus Menulis?

Menulis itu menyenangkan. Banyak orang menemukan kembali gairah hidupnya setelah diperkenalkan dengan dunia tulis-menulis, sebab di dalam aktivitas itu ada energi gerak yang memutar baling-baling kehidupan menuju dunia tanpa batas: dunia imajinasi. Jika anda muak dengan realitas di sekeliling anda, ciptakanlah realitas lain yang menyenangkan di dunia imajinasi. Semakin banyak orang yang dapat anda bawa masuk ke dunia imajinasi anda, semakin besar kemungkinan imajinasi itu menjadi kenyataan.

Menulis itu menyenangkan. Ratusan orang (pelajar/santri, mahasiswa, dosen, umum) telah membuktikannya dalam berbagai pelatihan menulis yang saya pandu. Yuk ikuti pelatihan menulis, ada kelas regular, ada juga in house training.

Para Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Jambi Mengikuti Pelatihan Menulis Karya Ilmiah dan Karangan Kreatif, 23-24 Maret 2015
Para Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Jambi Mengikuti Pelatihan Menulis Karya Ilmiah dan Karangan Kreatif, 23-24 Maret 2015
Para siswa/i SMP sekota Ambon mengikuti pelatihan menulis bersama Ahmad Gaus, 19  Nopember 2013
Para siswa/i SMP sekota Ambon mengikuti pelatihan menulis bersama Ahmad Gaus, 19 Nopember 2013

Selama masa pandemi Corona (Covid-19), pelatihan menulis tatap muka ditiadakan, dan dialihkan ke format daring (online). Kalau kamu berminat, silakan daftar untuk kelas online setiap Sabtu dan Minggu. Lihat infonya di sini:

Daftar sama Kak Windi ya di nomor yang tertera dalam flyer.

Baca juga: Menulis itu Gampang dan Mendatangkan Uang

Mengapa Orang Saleh Masuk Neraka? Tentang “Robohnya Surau Kami”

film aa navis

Rumah Produksi Rupa Kata Cinema tahun ini akan memproduksi film “Robohnya Surau Kami”, yang diangkat dari cerpen legendaris karya sastrawan Minang, AA Navis. Seberapa menarik karya cerpen tersebut? Berikut catatan iseng saya:

ROROHNYA SURAU KAMI

Mengapa cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis yang terbit tahun 1955 masih terus dibaca orang hingga sekarang? Sebenarnya bukan hanya dibaca tapi juga dikagumi dan dipuji sebagai salah satu karya sastra terbaik dalam genre cerpen di negeri ini. Banyak jawaban bisa diberikan. Salah satunya adalah, ia merupakan hasil eksplorasi estetik penulisnya terhadap latar budaya yang melahirkan dan membesarkannya. Dengan begitu karya sastra memiliki akar pada kultur penulisnya (dalam hal ini kultur Minang).[1] Selain itu, cerpen ini juga menjadi fenomenal karena keberaniannya mengangkat tema yang secara kritis menyinggung kepicikan penganut agama.[2] Tema kritis semacam ini memang muncul juga kelak pada Langit Makin Mendung karya Ki Panji Kusmin. Namun kritisisme dan nilai estetika pada kedua cerpen ini tetap bisa dibedakan.

Robohnya Surau Kami membuktikan bahwa karya sastra yang baik tidak harus selalu dikaitkan dengan pengaruh sastra Barat. Di tengah derasnya pengaruh asing pada budaya baca-tulis di tanah air tahun 1950-an, cerpen justru semakin mengokohkan keberadaannya dengan mengangkat kultur etnis. Di masa sesudah perang, cerpen menempati kedudukan yang utama dalam kesusastraan Indonesia, ditandai dengan kenyataan bahwa hampir semua majalah membuka rubrik cerpen, dan banyaknya antologi cerpen yang terbit pada masa ini.[3] Tentu tidak semuanya merupakan karya sastra, atau harus dikaitkan dengan sastra. Namun, para sastrawan mulai menaruh perhatian pada cerpen lebih dari masa-masa sebelumnya yang melulu pada puisi dan novel/roman. Karya-karya sastra dalam genre cerpen pun bermunculan, dan Robohnya Surau Kami merupakan salah satu puncaknya.

Cerpen Robohnya Surau Kami kembali diterbitkan pada tahun 1986 bersama dengan 9 (sembilan) cerpen lainnya karya AA Navis.[4] Karena Robohnya Surau Kami dianggap sebagai masterpiece maka ia dijadikan judul buku. Sebagaimana judulnya, surau (mushalla di daerah Minang) menjadi latar utama dalam cerpen ini, dengan tokoh utama sang Kakek yang menjadi penjaga surau. Sang Kakek menghabiskan hampir seluruh hidupnya untuk beribadah dan mengabdikan diri di surau. Ia memiliki keluarga tapi lebih mementingkan Tuhan. Ibadah lebih penting daripada mencari nafkah. Sedangkan untuk kehidupan sehari-harinya ia memperoleh dari sedekah orang-orang kampung.

robohnya-surau-kami1

Sang kakek juga dikenal memiliki keahlian mengasah pisau. Dan untuk itu ia sering diminta bantuan oleh warga kampung. Ia tidak meminta bayaran untuk pekerjaan tersebut, tapi menerima pemberian apa saja sebagai pengganti jasanya. Suatu hari datang Ajo Sidi yang meminta tolong agar pisaunya diasahkan. Ajo Sidi ini dikenal sebagai orang yang pandai bercerita. Ia pun menuturkan cerita kepada Sang Kakek tentang Haji Saleh, seorang alim yang seluruh hidupnya dihabiskan untuk beribadah kepada Allah. Namun, setelah meninggal dunia, Haji Saleh justru dimasukan ke dalam neraka bersama orang-orang saleh lainnya. Mereka pun lalu protes kepada Tuhan, mengira Tuhan khilaf atau salah mengambil keputusan.

Tuhan bertanya apa yang telah mereka lakukan selama hidup di dunia. Mereka menjawab bahwa selama hidup di dunia waktunya dihabiskan untuk beribadah, bahkan sampai melupakan keluarga semata-mata demi menyembah Tuhan. Bahkan di antara mereka ada yang sudah naik haji berkali-kali, dan bergelar syeikh. Lalu Tuhan menjawab: “… kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembahku saja.”

Mereka tercengang mendengar jawaban itu. Lalu Haji Saleh bertanya kepada malaikat yang menggiring mereka, “Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’

“Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikitpun.”

Sang Kakek merasa tertekan oleh cerita Ajo Sidi tersebut. Ia merasa dirinyalah haji Saleh dalam cerita itu. Ia pun terus merenung dan akhirnya memutuskan untuk bunuh diri dengan menggorok lehernya sendiri dengan pisau cukur. Mendengar kakek penjaga surau meninggal dunia, warga kampung segera mengurus jenazahnya dan mengantarkannya ke pemakaman. Hanya Ajo Sidi yang tidak terlihat. Ternyata hari itu ia tetap pergi bekerja, dan sebelum berangkat ia hanya berpesan kepada istrinya agar membelikan kain kafan tujuh lapis untuk mengafani jenazah kakek penjaga surau.

Sepeninggal sang kakek, surau yang dulu teduh dan nyaman itu tidak terawat lagi. Anak-anak kerap bermain di tempat yang nyaris tak terlihat lagi seperti surau itu. Bahkan, bilik dan lantai kayu surau itu dijadikan sebagai persediaan kayu bakar bagi warga kampung.

Dari segi tema, cerpen ini memang bukan satu-satunya yang mengangkat isu agama dan menyelipkan kritik pedas terhadap fenomena kehidupan beragama dalam masyarakat saat itu. Sastrawan lain, seperti Ramadhan KH, menulis cerpen Antara Kepercayaan, yang mengeritik gejala intoleransi di antara umat Islam dan Kristen.[5] Bahkan WS Rendra juga menulis cerpen senada berjudul Mungkin Parmo Kemasukan Setan yang mengeritik disiplin ketat yang diterapkan dalam asrama yang dikelola pastor katolik. Parmo yang tinggal di asrama itu suatu saat berlibur di rumah orang tuanya melampiaskan keterkungkungannya dengan tindakan semua gue.[6]

robohnya-surau-kamiAAnavis

Selain Robohnya Surau Kami, buku karya AA Navis ini memuat 9 cerpen lain: Anak Kebanggaan, Angin dari Gunung, Dari Masa ke Masa, Datangnya dan Perginya, Menanti Kelahiran, Nasihat-Nasihat, Penolong, Topi Helm, dan Pada Pembotakan Terakhir. Semua cerpen itu ditulis dalam semangat yang sama sebagai kritik sosial. Karena itu di dalamnya penuh dengan sindiran-sindiran satir atas fenomena yang terjadi dalam masyarakat. Membaca antologi Robohnya Surau Kami sekali lagi kita diingatkan bahwa karya sastra memang tidak bisa dipisahkan dari denyut nadi kehidupan masyarakat tempat karya itu dilahirkan. Kreativitas bersastra adalah hasil penjelajahan atas realitas sosial di lingkungan penulisnya.

AA Navis atau nama panjangnya Ali Akbar Navis yang lahir di Padang, Sumatra Barat, pada tanggal 17 November 1924, sangat piawai menggali ide-ide cerita dari lingkungan budaya yang sangat dikenalinya, sehingga karya yang dihasilkannya memiliki akar pada kultur penulisnya. Di situlah terletak kekuatan antologi Robohnya Surau Kami. Selain antologi ini, AA Navis juga menghasilkan karya-karya lain: Bianglala: Kumpulan Cerita Pendek (1963), Kemarau: Sebuah Novel (1967), Saraswati: Si Gadis dalam Sunyi: sebuah novel (1970), Dermaga dengan Empat Sekoci: Kumpulan Puisi (1975), Bertanya Kerbau Pada Pedati: Kumpulan Cerpen (2002), Gerhana: Novel (2004), dan lain-lain sekitar 65 karya sastra, 22 buku antologi bersama sastrawan dari dalam dan luar negeri, serta 106 karya ilmiah.

aanaviskaryadandunianya_21185

Pengamat sastra A. Teeuw menilai bahwa A.A. Navis sebenarnya bukan seorang pengarang besar, melainkan seorang pengarang yang menyuarakan suara Sumatera di tengah konsep Jawa (pengarang Jawa) sehingga ia layak disebut sebagai pengarang “Angkatan Terbaru”.[7] Maklum pada masa itu dominasi pengarang Sumatera mulai memudar bersamaan dengan munculnya para pengarang baru yang berasal dari Jawa atau Sunda.[8] Penilaian A. Teeuw benar, tapi harus diberi catatan bahwa, khususnya Robohnya Surau Kami, memang berlatar budaya etnik Sumatera (dhi Minang), namun suara yang terdengar keras adalah persoalan praktek keagamaan (Islam) dan lingkungan alam Indonesia. Perhatikan ucapan ini: “Aku beri kau negeri Indonesia yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh….”

Pada umumnya orang hanya tahu bahwa Robohnya Surau Kami meraih hadiah lomba cerpen dari majalah Kisah pada tahun 1955. Jarang yang tahu bahwa hadiah tersebut adalah hadiah kedua, sedangkan pemenang hadiah pertama ialah cerpen Kejantanan di Sumbing karya Subagio Sastrowardoyo.[9] Yang menarik, sebagaimana dikemukakan oleh sastrawan Abrar Yusra, Robohnya Surau Kami justru lebih terkenal daripada cerpen Kejantanan di Sumbing yang mendapat hadiah pertama.[10]

Catatan
1. Damhuri Muhammad, Darah-Daging Sastra Indonesia (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), hal. 5

2. Maman S. Mahayana, Akar Melayu: Sistem Sastra & Konflik Ideologi di Indonesia & Malaysia (Magelang: Indonesia Tera, 2001), hal. 102

3. Maman S. Mahayana, ibid., hal. 103

4. AA Navis, Robohnya Surau Kami (Jakarta: Gramedia, 1986).

5. Dimuat di Majalah Prosa, 1955, diterbitkan kembali dalam Satyagraha Hoerip, ed., Ceritera Pendek Indonesia, I (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Dep. P dan K, 1979), hal. 234-45

6. Maman S. Mahayana, ibid., hal.102

7. http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/tokoh/753/A.A.Navis

8. Maman S Mahayan, Akar Melayu, op.cit., hal. 100

9. Korrie Layun Rampan, Leksikon Susastra Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), hal. 3 dan 447

10. http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/tokoh/753/A.A.Navis

==================================

N O V E L

“Di dunia ini ada kekuatan hitam, ada kekuatan putih. Kamu pilih yang mana untuk membantu mewujudkan impian-impianmu? Tapi ingat, setiap pilihan akan membawa akibat pada kehidupanmu.”

Kisah pertempuran abadi dua kekuatan yang diwakili oleh dua karakter perempuan muda, baca di sini: https://h5.novelme.com/bookinfo/18126


INFO PELATIHAN MENULIS ONLINE

Menulis itu menyenangkan. Banyak orang menemukan kembali gairah hidupnya setelah diperkenalkan dengan dunia tulis-menulis, sebab di dalam aktivitas itu ada energi gerak yang memutar baling-baling kehidupan menuju dunia tanpa batas: dunia imajinasi. Jika anda muak dengan realitas di sekeliling anda, ciptakanlah realitas lain yang menyenangkan di dunia imajinasi. Semakin banyak orang yang dapat anda bawa masuk ke dunia imajinasi anda, semakin besar kemungkinan imajinasi itu menjadi kenyataan. Menulis itu menyenangkan. Ratusan orang telah membuktikannya dalam berbagai pelatihan menulis yang saya pandu. Ayo ikut kelas online menulis kreatif:

Flyer RMD