Penyair Hamid Jabbar dan Kematian yang Puitis

Penyair Hamid Jabbar meregang nyawa di atas panggung. Saat itu,  18 tahun silam (29 Mei 2004),  ia membacakan sajak-sajaknya di acara pentas seni dan orasi budaya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.Bersama dia ada penyair Jamal D. Rahman, filsuf-budayawan Franz Magnis-Suseno, dramawan Putu Wijaya, dan musisi balada Franky Sahilatua .
Tepuk tangan bergemuruh saat ia menjatuhkan diri di akhir pembacaan sajaknya. Orang mengira itu adalah bagian dari atraksi panggung sang penyair. Padahal, ia tengah bergumul dengan maut.
Hamid Jabbar mungkin satu-satunya penyair yang menjemput ajal di atas panggung dengan tangan menggenggam sajak. Momen kematiannya dicatat sebagai peristiwa kesenian.
Memang setiap orang akan mati. Tapi, tidak setiap orang bisa beruntung mengalami kematian yang begitu indah dan puitis seperti Hamid Jabbar.
Selengkapnya kolom saya tentang penyair Hamid Jabbar dapat dibaca di sini:
Video berikut ini adalah cuplikan dari acara sabtu pekan lalu (21/5) yang dihelat oleh Komunitas Puisi Esai Asean bekerjasama dengan Badan Bahasa dan Sastera Sabah Malaysia. Judul acaranya: “Hamid Jabbar dan Sajak Sajaknya Sebelum Maut Itu Datang.”
Di acara ini Presiden Penyair, Sutardji Calzoum Bachri menjadi narasumber. Yang lainnya para penyair dari Malaysia, Singapura, dan Indonesia, bergiliran membaca sajak-sajak karya Hamid Jabbar.
Salam,
Ahmad Gaus
Sumber FB:

[Puisi] Masyarakat Senja

tvsmith

MASYARAKAT SENJA

Senja berbaris mengenakan baju hitam. Orang-orang berdiri di atas jembatan, menunggu matahari terperosok ke dalam jurang. Dari sudut kota seorang pemuda datang tergopoh-gopoh, “Hai, lihat itu ada yang menangis di atas langit.” Suaranya perlahan-lahan menghilang ditelan kerumunan.

Sebuah peristiwa tengah disiapkan, untuk menyambut pergantian. Perempuan-perempuan menari di atas punggung kuda yang berlari kencang dari masa silam. Anak-anak dilemparkan ke atas bukit, dibekali panah beracun. Para resi keluar dari tempat pertapaan, memanggul senjata.

“Ada apa?” Pemuda itu masih belum mengerti.

Para nabi membawa kabar langit suci. Manusia membangun rumah sendiri-sendiri. Berdesakan dalam ruang sunyi, dengan sedikit lubang pintu untuk mengintip. Mereka hanya ke luar ketika langit mulai gelap. Malaikat-malaikat turun mengantarkan cahaya. Meninggalkannya di atas menara rumah-rumah Tuhan. Namun manusia mengurung diri. Dunia murung dalam keasingannya yang abadi.

Orang-orang itu menaiki bukit dan bersorak-sorai. Merayakan kemenangan atas matahari yang terperosok dalam kepala. Bumi hitam. Langit hitam. Dan segala yang dapat ditangkap oleh pancaindera. Tapi di atas bukit, angkasa tidak bertuan. Dunia terlalu kecil untuk menjadi medan pertempuran yang tak berkesudahan.

Alam Sutera, 08/09/17

Puisi “Masyarakat Senja” dimuat dalam kumpulan puisi saya, Senja di Jakarta (2017)

Foto ilustrasi:

Senja di teluk Kinabalu, Sabah-Malaysia, 24 April 2018, bersama para sastrawan Malaysia dan Indonesia: Fatin Hamama, Fanny Jonathan, D. Kemalawati, Isbedy Setiawan ZS, Datuk Jasni Matlani, dkk.

Senja di Jakarta