Pengantar Dr. Yudi Latif
“Apakah sedemikian buruknya untuk disalahpahami? Pythagoras pernah disalahpahami, demikian pula Socrates, Yesus, Luther, Copernicus, Galileo, Newton, dan setiap spirit murni dan bijak yang berdaging. Untuk menjadi agung adalah untuk disalahpahami,” tulis pemikir Amerika Ralph Waldo Emerson.
Setiap pemikir besar terlahir karena lompatan berpikir jauh ke depan mengangkangi kelaziman pemikiran arus utama; menyimpang dari kelaziman pemahaman yang sering dianggap sebagai pengingkaran dan pengkhianatan terhadap keumuman. Meski sering disalahpahami, penyimpangan kreatif seperti itulah yang menjamin keberlangsungan sejarah umat manusia yang meniscayakan pembaruan.
Kegentingan yang memaksalah yang kerap mendorong sang pemikir untuk berani mengambil pilihan yang sulit: berkhidmat pada ketentraman umum dengan risiko mempertahankan kejumudan pehamanan komunitasnya, atau berteguh pendirian menawarkan ide pembaruan demi pencerahan pehamanan komunitasnya meski berisiko disalahpahami dan dicaci-maki. Seorang pemikir besar terlahir karena keteguhan pendiriannya memancangkan ide pembaruan.
Demikianlah, seorang Nurcholish Madjid (Cak Nur) mencapai kebesarannya sebagai pemikir karena terobosan ide-ide pembaruannya untuk mencari persenyawaan yang kreatif dan produktif antara keislaman dan kebangsaan (ke-Indonesian) antara tradisi dan kemodernan. Suatu usaha penyerbukan silang budaya, yang dalam situasi ketegangan konflik ideologis, membuatnya berada di garis luar setiap pengkutuban; bagai binatang jalang yang dari kumpulannya terbuang, dicerca, dikucilkan dan disalahpamahi. Tetapi berkat kebernasan rasionalitas, keteguhan dalam pendirian, serta kebersahajaan dalam hidupnya, ide-ide pembaruannya lambat laun menjadi mercusuar bagi biduk-biduk yang limbung di tengah samudera krisis aktualisasi diri komunitas Islam dalam konteks kebangsaan dan kemoderenan.
Kegentingan yang memaksa Cak Nur untuk menggulirkan ide-ide pembaruannya berawal dari impasse politik Islam pasca Orde Lama. Turut andil dalam memberi jalan bagi kelahiran Orde Baru, harapan kalangan aktivis politik Islam bagi rehabilitasi Partai Masyumi yang dibekukan rezim Soekarno bagai punduk merindukan bulan, setelah Suharto menolaknya pada bulan Januari 1967. Kenyataan ini melambungkan kekecewaan politik yang mendalam terutama di kalangan para tokoh dan aktivis politik Islam dari angkatan tua.
Dengan pemblokiran jalan politik ini, para mantan pemimpin Masjumi mulai menyadari pentingnya memperluas lingkup perjuangan Islam ke arena-arena non-politik. Selain itu, menyadari kenyataan rapuhnya Islam sebagai kekuatan politik mereka juga menyerukan perlunya mempekuat persatuan (integrasi) umat Islam. Tema ‘integrasi’ ummat dan pengembangan ‘dakwah’ lantas menjadi arus utama wacana Islam, terutama di kalangan para pemimpin Islam senior. Penanda penting dari arus kesadaran ini adalah pendirian Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), pada Mei 1967.
Krisis politik Islam di kalangan tua ini membawa luberan krisis identitas yang melanda lingkungan aktivis mahasiswa Islam. Identifikasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masjumi selama masa Orde Lama berarti bahwa kebijakan penjinakan Islam politik pada awal Orde Baru melahirkan kekecewaan yang besar. Padahal, dominasi HMI di antara organisasi mahasiswa yang ada sejak tahun 1960-an melambungkan harapan-harapan di kalangan para anggotanya untuk bisa memainkan peranan publik yang signifikan di masa depan. Situasi yang membingungkan ini menempatkan para aktivis HMI dalam posisi limbo, antara meneruskan proyek ‘Islamisasi’ dunia politik dan pendidikan ataukah beralih ke proyek liberalisasi pemikiran dan aksi politik Islam.
Berhadapan dengan pilihan-pilihan ini, generasi ini terdorong untuk mengembangkan sebuah wacana tentang beberapa isu krusial mengenai sosok masa depan Islam dan historisitas HMI.Secara eksternal, muncul tuntutan untuk melahirkan respon-respon yang strategis dan tepat terhadap tantangan modernisasi dan pemarjinalan Islam politik. Pada saat yang sama, dituntut pula adanya respon terhadap dilema antara apakah mendukung ‘integrasi ummat’ ataukah mendukung agenda liberalisasi pemikiran Islam yang dikenal sebagai ‘gerakan pembaharuan’. Secara internal, HMI harus memilih apakah tetap independen secara politik ataukah berada di pihak organisasi-organisasi sosial-politik Islam, dan apakah menjadi organisasi kader ataukah organisasi massa.
Pada awalnya, reaksi umum dari para intelektual HMI terhadap proyek modernisasi Orde Baru bersikap defensif. Modernisasi dianggap sebagai sebuah dalih bagi proses westernisasi dimana di dalamnya terkandung proses sekularisme yang berbahaya. Dalam perkembangan lebih jauh, muncul tiga jenis respon: liberal, reaksioner (Islamis), dan moderat (moderat-reaksioner).
Respon liberal yang pertama-tama datang dari lingkaran aktivias HMI di cabang Yogyakarta, yang kadangkala disebut sebagai Kelompok Yogya. Cabang ini pernah mendukung Manipol-USDEK selama periode Demokrasi Terpimpin. Di antara para intelektual terkemuka dari kelompok ini ialah Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Dawam Rahardjo. Di luar HMI, komunitas epistemik lainnya yang mempengaruhi perkembangan intelektual dari para intelektual muda ini ialah sebuah kelompok studi yang dikenal sebagai ‘Limited Group’. Kelompok ini mulai hidup sejak tahun 1967 sampai dengan 1971 dengan Prof. Mukti Ali sebagai mentornya, yakni seorang dosen IAIN Yogyakarta yang berpendidikan Barat yang mengajarkan kepada mereka keahliannya dalam ilmu perbandingan agama dan pemikiran Islam modern. Dalam kasus Ahmad Wahib, dia memiliki hubungan emosional dan intelektual yang kuat dengan beberapa pastor Katolik karena dia pernah menghabiskan waktu beberapa tahun tinggal di asrama mahasiswa Katolik, yaitu Realino. Bagi kelompok ini, modernisasi pertama-tama disambut baik; lantas kemudian dianggap sebagai keharusan bagi kaum Muslim Indonesia, bahkan meskipun proses itu mungkin mengarah pada Westernisasi (Wahib 1981: 40, 149).
Respon Islamis-reaksioner terutama datang dari para aktivis Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI – HMI). Didirikan pada 1966, Ketua pertama lembaga ini ialah Imaduddin Abdulrahim dengan dibantu oleh Endang Saifuddin Anshari (keduanya berasal dari HMI Cabang Bandung), dan Miftah Faridl (dari Cabang Solo). Karena kantor pusatnya berada di Bandung, kelompok intelektual yang memiliki hubungan dengan lembaga ini seringkali disebut sebagai Kelompok Bandung. Selama periode demokrasi terpimpin, HMI Cabang Bandung menjadi penentang kuat Manipol-USDEK. Sikap umum dari kelompok ini terhadap proyek modernisasi cenderung reaksioner dan curiga, baik karena alasan semantik maupun politik. Kelompok ini tidak berkeberatan dengan rasionalisme modern, sains dan teknologi, karena antara doktrin Islam dan penemuan saintifik, menurut standar argumen dari kelompok Islamis ini, tidaklah bertentangan, melainkan malah komplementer. Hanya saja, kelompok ini berkeberatan dengan istilah ‘modernisasi’ karena istilah itu dianggap sangat berhubungan dengan proses Westernisasi dan sekularisasi, dan pengadopsiannya oleh rezim Orde Baru dicurigai sebagai dalih untuk memarjinalkan pengaruh Islam politik.
Bahwa pandangan-pandangan dari kelompok ini menggemakan pandangan dari para pemimpin Masjumi, hal ini tidaklah terlalu mengejutkan. Para pemimpin LDMI, terutama Imaduddin dan Endang, memang memelihara hubungan emosional dan intelektual yang erat dengan para pemimpin Masjumi dan DDII. Ayah dari kedua orang itu (yaitu Abdulrahim dan Muhammad Isa Anshari) berasal masing-masing dari Langkat (Sumatra Timur) dan Sumatra Barat. Abdulrahim adalah seorang lulusan Al-Azhar dan merupakan seorang pemimpin lokal Masjumi di Sumatra. Sedangkan Isa Anshari, setelah pindah ke Bandung, merupakan seorang pemimpin Masjumi dan Persis yang terkemuka dan militan. Selain itu, baik Imaduddin maupun Endang dididik oleh guru agama yang sama, yaitu Rusjad Nurdin (seorang pemimpin Persis dan Masjumi). Sebagai seorang anak pemimpin Persis, Endang memiliki hubungan yang lama dengan Nurdin, sementara Imaduddin memiliki hubungan dekat dengan Nurdin setelah Nurdin menjadi seorang dosen Studi Islam di ITB pada tahun 1962. Jadi, secara etnik, ideologi, maupun intelektual, baik Imaduddin dan Endang memiliki kecenderungan untuk mengidentifikasikan diri dengan Natsir.[1] Lebih dari itu, keduanya juga termasuk dalam sebuah kelompok intelektual muda yang pernah mendapatkan pelatihan dari DDII sejak akhir tahun 1960-an untuk menjadi pendakwah Islam bagi komunitas Muslim di universitas-universitas sekuler.
Di tengahnya ada kelompok moderat, yang menerima modernisasi dengan syarat. Pandangan ini direpresentasikan oleh sikap umum dari Pengurus Pusat (PB) HMI di Jakarta. Sebagai suatu kelompok dengan kecenderungan ideologis yang berspektrum luas, PB berada dalam situasi di tengah-tengah perang antara poros Jakarta-Bandung versus poros Jakarta-Yogyakarta. Poros yang pertama disebut Cak Nur sebagai ‘jalur politik’, sementara poros yang kedua, disebutnya sebagai ‘jalur ide’.
Mengenai integrasi ummat, para intelektual HMI pada awalnya memandang isu ini sebagai perhatian utama. Kongres HMI kedelapan di Solo (10-17 September 1966) mendukung ide Kongres Umat Islam. Kelompok liberal kemudian lebih menyukai agenda gerakan pembaharuan Islam, bahkan meskipun dengan memprioritaskan agenda ini akan berarti menyebabkan terciptanya ketegangan hubungan dengan ummat. Bagi kelompok ini, problem utama bagi kaum Muslim Indonesia bukanlah perpecahan Islam, akan tetapi kemandegan pemikiran Islam. Namun, bagi kelompok Islamis, perselisihan-perselisihan di kalangan internal ummat merupakan akar dari ketidakberdayaan kaum Muslim, dan oleh karenanya, mempertahankan solidaritas Islam dianggap jauh lebih penting daripada petualangan intelektual yang hanya memuaskan diri sendiri. Bagi kelompok moderat, rekonstruksi pemikiran Islam itu penting, namun tidak perlu membawa risiko terciptanya ketegangan hubungan dengan ummat dan organisasi-organisasi Islam lainnya.
Cak Nur sendiri pada mulanya memiliki kecenderungan moderat ini, untuk alasan yang bisa diterka. Pada masa-masa genting di awal Orde Baru ini, Cak Nur terpilih sebagai ketua HMI untuk dua periode berturut-turut (1966-1968, 1968-1971), yang tak pernah terjadi sebelumnya. Dalam posisinya sebagai ketua umum HMI, tentu saja ia dituntut menjembatani kutub-kutub pemikiran yang berkembang. Selain itu, ia pun punya kedekatan hubungan dengan tokoh-tokoh Masyumi.
Pada tahun 1968, Cak Nur menulis seri artikel yang berjudul ‘Modernisasi ialah Rasionalisasi, Bukan Westernisasi’ yang dimuat di majalah Pandji Masyarakat[2] dan Liga Demokrasi. Menurutnya, definisi modernisasi secara sederhana adalah ‘yang identik, atau hampir identik, dengan rasionalisasi’ dan jika istilah itu didefinisikan secara demikian, modernisasi bagi seorang Muslim adalah sebuah keharusan. Meski demikian, dia kemudian mengingatkan bahwa ada kemungkinan adanya sekularisme (termasuk humanisme, liberalisme, dan komunisme) dan Westernisasi yang bersembunyi di balik seruan ‘modernisasi’ ini. Dalam pandangannya, sekularisme harus dilawan karena hal itu akan menghancurkan dasar agama dari negara Indonesia. Pada saat yang sama, dia menekankan pada pentingnya ideologi dan ketakterelakkan agama sebagai syarat bagi terarahnya kehidupan nasional. Modernisasi dalam konteks Indonesia, menurutnya, tidak boleh mengakibatkan berakhirnya ideologi, karena kehidupan tak mungkin berjalan baik tanpa seperangkat kepercayaan, ide, sikap dan keyakinan. Yang terakhir, dia mengingatkan akan bahaya agenda tersembunyi yang dikembangkan oleh beberapa elit Indonesia yang kebarat-baratan yang sangat tidak suka dengan segala sesuatu yang bernada Islam.
Pergeseran pemikiran Cak Nur ke arah pemikiran Islam yang lebih progresif merupakan hasil dari dinamika diri dan lingkungan intelektualnya. Seperti yang dikatakan Wahib (1981: 160-161): ‘Nurcholish Madjid adalah orang yang senang belajar dan membaca. Buku adalah pacarnya yang pertama. Walau dia sudah merasa benar tapi karena kesediaannya untuk senantiasa belajar, memaksanya lama-lama untuk mempersoalkan kembali apa yang telah diyakininya’. Karena hobi membacanya, kata Wahib, Nurcholish adalah orang yang cukup punya peralatan ilmu sehingga dengan suatu sikap perubahan mental saja dia sudah sanggup meloncat jauh ke depan mengejar ketinggalan-ketinggalannya (h. 163). Ia juga merupakan seorang individu independen yang tidak memiliki mentor khusus. Bagi seorang mahasiswa IAIN, menjadi ketua HMI merupakan sesuatu yang sangat tak lazim dan ini juga mencerminkan kekuatan pribadinya. Cak Nur juga menunjukkan kecenderungan kuat di kalangan para mahasiswa IAIN dan pesantren tradisional untuk tidak terlalu radikal dan sangat mendambakan melek pengetahuan saintifik Barat dan bahasa ‘wacana intelektual’ modern.
Namun, impetus utama bagi pembaruan pemikirannya merupakan berkah atas kunjungannya secara langsung ke Amerika Serikat dan Timur Tengah. Pada bulan Oktober 1968, dia diundang untuk mengunjungi Amerika Serikat oleh Departemen Luar Negeri Pemerintah Amerika Serikat di bawah sponsor Council for Leaders and Specialists (CLS). Alasan di balik undangan ini, menurut seorang pejabat Kedutaan Besar Amerika di Jakarta, ialah ‘sekedar memperlihatkan apa yang dia benci selama ini’ (Wahib 1981: 161). Selama dua bulan perjalanannya di Amerika, dia mengunjungi universitas-universitas dan belajar tentang kehidupan akademis dari para mahasiswa, mengikuti seminar-seminar dan diskusi-diskusi dengan beberapa tokoh akademis dan politik, dan menyaksikan langung prestasi-prestasi peradaban Barat. Dia juga berkesempatan untuk menemui kompatriotnya, seorang intelektual sosialis yang berpengaruh, Soedjatmoko, yang saat itu menjadi Duta Besar Indonesia di AS, yang menyambut kunjungannya dengan ramah. Segera setelah itu, dia melanjutkan perjalanannya ke Prancis, Turki, Lebanon, Syria, Irak, Kuwait, Saudi Arabia, Sudan, Mesir dan Pakistan. Selanjutnya pada bulan Maret 1969, atas undangan Raja Faisal dari Saudi Arabia, dia naik haji bersama dengan 10 fungsionaris HMI lainnya. Saat berefleksi atas kunjungannya baik ke dunia Barat maupun ke dunia Islam, dia menjadi sadar akan adanya jarak antara ide-ide Islam dengan realitas kehidupan di dunia Muslim. Di sisi lain, Barat yang telah sedemikian banyak dikritiknya, menunjukkan banyak dimensi dan prestasi positif. Sejak saat itu, ‘mulai terlihat perubahan-perubahan arah pikiran Nurcholish. Dia mulai tertarik pada segi-segi baik dari humanisme yang sebelumnya dicapnya sebagai agama baru’ (Wahib 1981: 161).
Perubahan mental Cak Nur mulai terjadi, meski tidak berlangsung secara radikal dan serta-merta. Bulan-bulan berikutnya di tahun 1969 merupakan bulan-bulan yang kritis bagi pemikiran Cak Nur mengenai liberalisme Islam. Dia masih terus melakukan refleksi diri, apakah akan berpihak kepada usaha integrasi ummat ataukah terlibat dalam gerakan pembaharuan. Sebuah faktor yang berpengaruh dalam langkahnya menuju gerakan pembaharuan datang dari ‘komunitas epistemiknya’, berupa lingkaran-lingaran diskusi kelompok kecil secara informal, yang diikuti oleh rekan-rekan terdekatnya.
Salah seorang tokoh kunci yang terlibat dalam proses ini adalah Utomo Dananjaya. Dia adalah seorang pemimpin PII (1967-1969) yang moderat dan menjadi seorang sahabat dekat Cak Nur. Pada tahun 1969 itu, Utomo mengaktifkan kembali tradisi mengundang ketua HMI (pada saat itu Madjid) untuk memberikan ceramah di hadapan Kongres Nasional PII (yang diadakan di Bandung pada tahun itu). Pada tahun yang sama, pada saat acara halal bihalal setelah ‘Idul Fitri, Utomo mengadakan sebuah diskusi dengan tema ‘Integrasi Ummat Islam’ yang diikuti oleh Subchan Z.E. (dari NU), H.M. Rasjidi (dari Muhammadiyah), Anwar Tjokroaminoto (dari PSII), dan Rusli Khalil (dari Perti). Namun, setelah diskusi itu, Dananjaya menangkap kesan bahwa agenda integrasi belum diterima dengan baik. Maka, dia pun mulai mengadakan diskusi-diskusi kelompok kecil, yang melibatkan rekan-rekan terdekatnya: seperti Nurcholish Madjid (dari HMI), Usep Fathuddin (dari PII), dan Anwar Saleh (dari GPII), untuk memecahkan dilema apakah mendukung tujuan integrasi yang tak praktis ataukah berpihak kepada gerakan pembaharuan yang bisa menciptakan perpecahan.
Selain diskusi-diskusi kelompok kecil, Cak Nur juga mengadakan diskusi-diskusi dengan para pemimpin Masjumi seperti Prawoto Mangkusasmita, Mohamad Roem, dan Osman Raliby, dan dari mereka, dia mendapat kesan bahwa orang-orang ini tidak benar-benar menganggap ide mengenai negara Islam sebagai harga mati atau prioritas yang mendesak. Dalam pandangannya: ‘Mereka memang memiliki sebuah ide mengenai bagaimana kira-kira negara Islam, namun hal itu harus dicapai lewat mekanisme-mekanisme demokratis. Bahkan seorang seperti Roem tidak mencita-citakan negara Islam, meskipun dia tetap simpati dengan para pendukung cita-cita itu’.
Meskipun diskusi-diskusi kelompok kecil itu tidak mencapai hasil konklusif apapun, diskusi-diskusi tersebut cukup memberikan inspirasi baru bagi para pesertanya. Sudah sejak akhir November 1969, Cak Nur menulis surat-surat pribadi kepada Ahmad Wahib dan Djohan Effendi, dua tokoh utama pemikiran liberal yang telah mengundurkan diri dari HMI pada tanggal 30 September dan 10 Oktober 1969, karena ketidaksepakatannya dengan kelompok Islamis dalam tubuh HMI. Dalam suratnya, dia menyatakan kesepakatannya dengan ide-ide pokok dari kedua individu tersebut, namun juga meminta pengertian mereka tentang sulitnya mengimplementasikan ide-ide semacam itu di HMI (Wahib 1981: 165-166). Kemudian, dalam persiapan acara halal bihalal setelah ‘Idul fitri pada tahun 1970, yang diorganisir bersama oleh empat organisasi mahasiswa-pelajar dan sarjana Muslim, yaitu HMI, GPI, PII, dan Persami, pihak panitia yang antara lain terdiri dari para peserta diskusi kelompok kecil tersebut, sepakat untuk memilih ‘pembaharuan pemikiran dan integrasi’ sebagai tema diskusi silaturahmi. Tujuan awal pemilihan tema tersebut sekadar untuk menstimulus diskusi dan menggarisbawahi keinginan dari pemimpin kelompok-kelompok pemuda Muslim tersebut untuk menemukan solusi bagi problem-problem ummat yang sangat berat. Awalnya, intelektual yang diundang untuk memberikan ceramah pada kesempatan itu adalah Alfian (seorang intelektual Muslim dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Namun dia berhalangan hadir. Karena itu, Harun Nasution (seorang sarjana Islam yang rasionalis dari IAIN) dipilih sebagai pengantinya. Ternyata, Nasution juga berhalangan. Akhirnya, Cak Nur ditunjuk sebagai pembicara.
Dalam acara halal bihalal itu, yang diadakan pada tanggal 2 Januari 1970, Cak Nur mempresentasikan sebuah makalah berjudul ‘Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Ummat’. Dalam ceramah itu, dia menjelaskan bahwa dalam pandangannya, agenda integrasi merupakan pendekatan yang tak praktis. Struktur peluang politik Orde Baru mengharuskan adanya perubahan dalam kondisi perilaku dan emosional ummat Muslim, sementara pendekatan integrasi yang bersifat idealistik hanya akan mengabadikan kemandulan dan kejumudan intelektual dalam ummat. Dia percaya bahwa hilangnya apa yang dia sebut sebagai ‘psychological striking force’ dari diri ummat Muslim telah menyebabkan ‘kemunduran 25 tahun’ bagi ummat, dan hal ini terlalu kompleks untuk diselesaikan lewat sebuah pendekatan berorientasi integrasi. Maka, dia menganggap agenda pembaharuan pemikiran Islam sebagai obat bagai malaise yang dialami ummat. Isu-isu kontroversial dari agenda ini mungkin akan menghalangi usaha-usaha untuk menciptakan integrasi, namun dalam penilaiannya, risiko tersebut memang pantas untuk ditanggung. Bahkan meskipun proyek tersebut gagal untuk melahirkan hasil seperti yang diharapkan, proyek tersebut masih berguna paling tidak sebagai upaya untuk menyingkirkan beban kejumudan intelektual. Ditambahkannya, proyek ini menjadi lebih mendesak lagi jika dipertimbangkan adanya kenyataan bahwa organisasi-organisasi Islam reformis yang mapan, seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis dan yang lainnya, telah kehilangan semangat pembaharuan dan élan vital-nya sehingga menyebabkan mereka menjadi tak ada bedanya dengan, dan bahkan kalah progresif dari, organisasi-organisasi Muslim tradisionalis.
Saat menjelaskan garis besar pemikirannya mengenai ‘pembaharuan’, Cak Nur sampai pada sebuah poin yang krusial. Dia yakin bahwa proses pembaharuan ini haruslah dimulai dengan membebaskan ummat dari ‘nilai-nilai tradisional’-nya dan menggantinya dengan ‘nilai-nilai yang berorientasi masa depan’. Menurutnya, proses pembebasan ini mengharuskan ummat untul mengadopsi ‘sekularisasi’, mempromosikan kebebasan intelektual, menjalankan ‘ide tentang kemajuan’ (idea of progress), dan mengembangkan sikap-sikap terbuka. Apa yang dia maksudkan dengan istilah ‘sekularisasi’ di sini tidaklah identik dengan sekularisme karena sekularisme itu, dalam pandangannya, sangat asing bagi pandangan dunia Islam. Cak Nur meminjam penafsiran seorang teolog Kristen, Harvey Cox, dan seorang sosiolog Amerika, Robert N. Bellah, bahwa yang dimaksud dengan sekularisasi itu ialah proses temporalisasi terhadap nilai-nilai yang memang temporal, namun yang cenderung dianggap ummat sebagai bersifat ukhrawi. Istilah ini juga bermakna ‘desakralisasi’ atas segala sesuatu yang selain dari yang benar-benar transendental. Yang terakhir namun juga penting, dalam merespon kian meningkatnya ketertarikan orang terhadap Islam di satu sisi dan mandulnya Islam politik di sisi lain, dia sampai pada kesimpulan bahwa bagi banyak Muslim pada saat itu: ‘Islam, yes; partai Islam, No!’
Keberanian Cak Nur dalam mengambil langkah yang tak populer dengan mengutamakan gerakan pembaharuan, meskipun berisiko mengundang kritik luas, merupakan sebuah momen menentukan bagi penasbihannya sebagai seorang intelektual garda depan. Seperti yang dijelaskan Max Weber: ‘Para intelektual seringkali berhadapan dengan dilema antara memilih integritas intelektual atau kontingensi-kontingensi ekstra-intelektual, antara arus ide yang rasional atau kejumudan dogmatik. Setiap keputusan yang memilih pilihan kedua akan berarti melakukan ‘pengorbanan intelek’’.[3] Ambivalensi yang secara tipikal muncul dari posisi seperti itu, diuraikan oleh Bernhard Giesen sebagai berikut (1998: 43):
“Para intelektual mengeluhkan tidak adanya pemahaman dari publik yang memang tak paham, tak memiliki kesanggupan untuk paham, atau bahkan bersikap memusuhi, interpretasi-interpretasi para intelektual itu. Di sisi lain, persis karena adanya penolakan oleh publik itulah, secara khas tercipta ketegangan yang bisa dimaknai sebagai keunggulan interpretatif dari intelektual garda depan. Dalam keluhannya atas publik itulah, intelektual mulai mengkonstruksi struktur dasar yang di dalamnya dia bisa mencapai hal luar biasa sebagai intelektual. Sebaliknya, pengadopsian interpretasi-interpretasi intelektual oleh khalayak luas selalu menimbulkan bahaya berupa pudarnya seorang intelektual.”
Dengan memprioritaskan ide-ide di atas opini publik, Cak Nur cenderung kurang menghiraukan implikasi-implikasi sosial dari pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan-pernyataan kontemplatifnya. Hal ini terutama berlaku dalam pernyataan krusialnya mengenai keharusan ‘sekularisasi’. Apapun definisinya mengenai sekularisasi, suatu bahasa atau terminologi tidaklah bisa beroperasi secara terisolasi dan tak bisa mengelak dari sejarah. Makna selalu terkonstruksi dalam konteks sosial dan historis, dan dalam proses itu, institusi-institusi dan pergulatan sosial terlibat. Seperti yang diargumentasikan oleh Jay L. Lemke (1995: 9): ‘Semua makna tercipta dalam masyarakat, dan karena itu analisis terhadap makna tak bisa dilepaskan dari dimensi-dimensi sosial, historis, kultural dan politik dari masyarakat ini’. Dalam struktur kognitif kaum Muslim Indonesia, istilah ‘sekuler’ dan derivasinya memiliki sebuah konotasi yang negatif sebagai penanda dari ‘kelianan’ (otherness). Istilah itu umumnya diasosiasikan dengan penyingkiran pengaruh agama dari ruang publik dan politik—yang dianggap asing bagi pandangan dunia Islam—dengan referensi khusus pada kebijakan kolonial Belanda yang represif di bawah pengaruh Snouck Hurgronje untuk memarjinalkan Islam politik. Keberatan-keberatan yang diajukan kaum Muslim terhadap istilah tersebut, diperparah dengan perujukan-perujukan yang terlalu sering yang dilakukan Cak Nur ke sumber-sumber akademis Barat, sehingga semakin memperkuat rasa keasingan dan kelianan dari istilah tersebut.
Karena alasan-alasan yang sama, pernyataan Cak Nur mengenai ‘Islam yes; partai Islam: no!’ juga disalahpahami. Seperti halnya pernyataan Tjokroaminoto di hadapan kongres Sarekat Islam di Surakarta pada tahun 1931 bahwa ‘SI bukan sebuah partai politik, dan bukan sebuah organisasi yang menginginkan suatu revolusi, namun merupakan sebuah organisasi yang loyal kepada pemerintah,’ pernyataan Madjid itu pada hakekatnya tidaklah bermaksud untuk merobohkan pengaruh Islam secara politik. Sebaliknya, justru menyodorkan alternatif untuk memperkuat pengaruh Islam secara politik melalui pendekatan non-politik. Namun, sekali lagi karena pernyataan itu dianggap sebagai bagian dan paket dari pernyataannya mengenai sekularisasi, para kritikusnya tak bisa membaca esensi dan nuansadari pernyataan tersebut.
Perbenturan antara ‘visi’ dan ‘tradisi’ berlangsung di seputar dua poin krusial dalam pemikiran Cak Nur tersebut, yang menimbulkan perdebatan-perbedatan intelektual yang melelahkan untuk beberapa tahun ke depan. Perdebatan menyita banyak waktu itu telah terperangkap pada persoalan semantik, dan gagal membicarakan isu-isu yang substansial. Skala kontroversi dan kesungguhan visi Cak Nur menjadi semakin meluas dan kuat karena intensitas dan densitas liputan media, terutama oleh majalah Tempo dan Pandji Masyarakat yang menjadi inisiator utama dari polemik ini. Dipacu oleh liputan media, elemen-elemen penentang dari kaum Muslim, baik dari generasi-generasi yang tua maupun muda dari kalangan intelektual Muslim, seperti H.M. Rasjidi (seorang pemimpin Masjumi/DDII), Abdul Qadir Jaelani (seorang pemimpin PII yang militan), dan Endang Saifuddin Anshari (seorang intelektual HMI yang berorientasi dakwah) mulai melancarkan serangan-serangan kritik yang pedas. Di antara serangan-serangannya, Rasjidi mengeritik pandangan sekularisasi Madjid sebagai sebuah interpretasi yang semena-mena karena istilah tersebut telah memiliki makna yang baku. Rasjidi juga menegaskan bahwa Cak Nur telah mengabaikan fakta bahwa proses sekularisasi pada gilirannya akan mengarah pada sekularisme. Mendukung kritik Rasjidi, para peserta polemik yang lain berkeberatan dengan apa yang mereka tangkap sebagai penolakan Cak Nur terhadap politik Islam. Mereka ini menyakini bahwa ‘Islam, yes: partai Islam, yes!’
Polemik dan kategorisasi yang dilakukan oleh media atau oleh para pengamat seringkali mendorong para peserta polemik untuk berpegang teguh pada suatu posisi pemikiran intelektual tertentu, kendatipun sebelumnya bolehjadi mereka masih memiliki keraguan tentang hal itu. Meskipun niat awal dari ceramah Cak Nur hanyalah untuk menstimulus diskusi, efek dari kritik yang memusuhi dan liputan media mendesaknya untuk melangkah lebih jauh dalam memperjuangkan ide-ide pembaruan Islam.
Ide pokok pembaruan pemikiran Cak Nur berporos pada persenyawaan dari segitiga “keislaman, keindonesiaan, dan kemoderenan”. Dari segi keislaman, Cak Nur mengingatkan kembali sentralitas doktrin Tauhid (monotheisme) yang mengandung konsekuensi bahwa hanya Tuhanlah satu-satunya wujud yang pasti. Semua selain Tuhan bersifat nisbi belaka. Jalan dari kenisbian mendekatkan kepada ”Kebenaran” dan kemaslahatan hidup bersama ditempuh melalui kehanifan, kerendahhatian, kesalingpengertian (ta‘aruf), dan permusyawaratan dalam suatu tatanan sosial yang terbuka, adil dan beradab. Berdasarkan hal itu, orang-orang Muslim dituntut untuk lebih mampu menempatkan diri dan menampilkan ajaran agama mereka sebagai pembawa kebaikan untuk semua (rahmatan lil-alamin). Masalah yang secara khusus dihadapi umat Islam tidak dapat dipandang akan dapat diselesaikan hanya oleh mereka sendiri. Jika kesenjangan sosial dan antarbangsa merupakan sumber pokok masalah zaman sekarang, maka usaha untuk menutup kesenjangan tersebut menuntut kerjasama semua orang.
Dalam semangat pencarian titik temu itu, klaim universal Islam harus didialogkan dengan realitas setempat. Orang-orang Muslim diharapkan mampu mewujudkan diri dalam sikap hidup kebangsaan yang tidak lagi melihat kesenjangan antara keislaman dan keindonesiaan. Bahkan lebih mendasar lagi, Muslim Indonesia menyongsong masa depan bangsa dan negara dalam semangat tiadanya lagi kesenjangan antara Islam dan Pancasila. Sebagai pendukung dan sumber utama nilai-nilai keindonesiaan, Islam semakin diharapkan untuk tampil dengan tawaran-tawaran kultural yang produktif dan konstruktif, khususnya dalam pengisian nilai-nilai keindonesaan dalam kerangka Pancasila. Garis pemikiran seperti inilah yang mempertemukan Cak Nur dengan Bung Karno dari jurusan yang berbeda. Jika Bung Karno mengidealisasikan kebangsaan yang memuliakan nilai-nilai ketuhanan, Cak Nur mengidealisaikan ketuhanan (keislaman) yang memuliakan nilai-nilai kebangsaan.
Seiring dengan itu, Cak Nur menyerukan bahwa dalam merespons dinamika perkembangan masyarakat semesta, tradisi Islam juga harus senantiasa terbuka bagi inovasi kemoderenan. Tradisi yang dinamis menghendaki adanya pembaruan (tajdîd), yang dengan tekun dikembangkan. Meskipun pembaruan itu, untuk keotentikannya, dan demi kekuatannya sendiri harus berlangsung secara mengakar pada kerangka acuan bersama sebagaimana yang dilakukan sejak zaman klasik. Tidaklah banyak artinya mengenang kejayaan masa lampau tanpa kemampuan mengembangkan warisan kultural yang ditinggalkannya.dalam status dialog yang dinamis dan lestari, yang menyatakan dirinya dalam gagasan-gagasan kreatif zaman sekarang.
Oleh karena itu, yang amat diperlukan oleh Muslim Indonesia saat ini, ialah suatu persepsi kepada agamanya secara intelektual, disertai sikap kritis terhadap berbagai warisan sejarahnya sendiri. Seterusnya, yang harus dicari ialah bagaimana memelihara segi-segi yang baik dari masa lampau itu dan sekaligus mengambil hal-hal yang lebih maju dan lebih bermanfaat dari masa sekarang.
Ide-ide pembaruan Cak Nur itu ternyata memiliki kakinya sendiri. Sejarah membuktikan bahwa kebernasan gagasan, keteguhan pendirian, kelurusan niat dan kebersahajaan hidup sang pemikir membuat ide-ide yang semula disalahpahami dan dicerca pada waktunya bisa dipahami, diapresiasi dan bahkan diadopsi.
Hampir tiga puluh tahun setelah pidato pembaruan Cak Nur yang menghebohkan, gerakan reformasi 1998 memberi ruang sejarah bagi pembuktian dan penerimaan ide-ide Cak Nur. Pengaruh gerakan pembaruan Islam yang menekankan keterbukaan dan insklusivisme dengan kuat mempengaruhi mental model dari partai-partai politik. Bahkan partai-partai yang berasas Islam sekalipun perlu menyatakan dalam Anggaran Dasarnya bahwa partainya bersifat terbuka. Terbukti pula, sejak Pemilu 1998, partai-partai Islam tak kunjung mencapai suara mayoritas bahkan cenderung merosot dari Pemilu ke Pemilu. Suatu perkembangan yang membuat partai Islamis seperti PKS pun tergoda untuk bermetamorfosis menuju partai terbuka yang bercorak nasionalistis. Menurunnya perolehan suara partai-partai Islam tersebut justru berbanding terbalik dengan meningkatnya apresiasi terhadap Islam dalam kehidupan dan wacana publik, sehingga partai-partai ”nasionalis-sekular” sekalipun tak ketinggalan memberi perhatian khusus pada aspirasi dan representasi keislaman.
Di luar itu, apresiasi terhadap tema-tema pluralisme dan toleransi juga kian meluas dalam masyarakat. Apresiasi yang mencerminkan kesejatian, pencapaian dan kontribusi ide-ide pambaruan dalam mengupayakan penyerbukan silang budaya antara keislaman dan kebangsaan serta antara tradisi dan kemodernan.
Singkat kata, pokok-pokok pembaruan pemikiran Cak Nur tidak akan aus karena kepergiannya, malahan kian aktual dalam menghadapi tantangan globalisasi saat ini. Dengan intensivikasi hubungan-hubungan sosial berskala global, setiap negara bukan saja menghadapi potensi ledakan pluralisme dari dalam, melainkan juga tekanan keragaman dari luar. Tarikan global ke arah demokratisasi dan perlindungan hak-hak asasi memang menguat. Tetapi oposisi dan antagonisme terhadap kecenderungan ini juga terjadi. Di seluruh dunia, ”politik identitas” (identity politics) yang mengukuhkan perbedaan identitas kolektif berbasis etnis, bahasa dan agama mengalami gelombang pasang. Di Indonesia sendiri, pergeseran dari rezim otoritarian menuju demokrasi membawa kabar baik dalam pemulihan kebebasan berekspresi dan berasosiasi, namun sekaligus mengandung potensi ancaman dari menguatnya politik identitas dengan ekspresi kekerasan yang menyertainya.
Karena setiap pencarian identitas memerlukan perbedaan dengan yang lain, maka politik identitas senantiasa merupakan politik penciptaan perbedaan. Apa yang harus diwaspadai dari kecenderungan ini bukanlah dialektika yang tak terhindarkan dari identitas/perbedaan, melainkan ancaman dari munculnya keyakinan atavistik yang berkeyakinan bahwa suatu identitas hanya bisa dipertahankan dan diamankan dengan cara menghabisi perbedaan dan keberlainan (otherness).
Dalam situasi seperti itu, semangat untuk memandang perbedaan sebagai rahmat sangat diperlukan. Di sinilah relevansi pemikiran Cak Nur terasa sangat kuat.
Buku yang ditulis secara bersemangat oleh saudara Gaus ini merupakan suatu usaha untuk merekonstruksi bangunan pemikiran Cak Nur, lengkap dengan segala kontroversi, kesalahpahaman dan implikasi-implikasinya. Ia telah berusaha memperlihatkan hitam-putihnya Cak Nur dengan menyertakan berbagai sudut pandang, meskipun berbagai sudut pandang itu boleh jadi merupakan persepsi subjektif orang luar yang belum tentu demikian sejatinya menurut Cak Nur sendiri. Sayang, Cak Nur sendiri telah meninggal sehingga tidak bisa memberikan tanggapan balik atas pandangan para komentatornya.
Sungguh pun begitu, setiap teks memiliki sejarahnya sendiri. Sekali teks dinyatakan, penulisnya mati, membiarkan teks itu bebas diinterpretasikan oleh penerimanya. Apalagi jika teks itu mengandung ide besar dari seorang besar, sudah barang tentu mengundang bobot kontrovesri dan ragam tafsir, termasuk potensi kesalahpahaman yang begitu besar.
Namun demikian, hal itu bukanlah suatu kecelakaan. Kesalahpahaman memang bagian inheren dari nama besar. Bahkan ketika sang pemikir besar itu telah wafat, kesalahpahaman bisa berlanjut meski suatu biografi ditulis untuk meluruskan tafsir yang bengkok. Apalagi jika biografi yang ditulis juga memancing kontroversi baru.
Disalahpahami bukanlah sesuatu yang buruk. Seperti kata Cak Nur sendiri, kalau kita takut dikritik dan disalahpahami, maka, “Do nothing, say nothing, and be nothing!” Biografinya sendiri mempersaksikan keberaniannya untuk melontarkan ide progresif, tanpa takut penghujatan, dan membuktikan bahwa ide satu orang yang bernas, konsisten dan bersahaja memberi arti banyak bagi kehidupan banyak orang. Selamat membaca!
Dr. Yudi Latif adalah pengamat politik dan pemikiran Islam
[1] Natsir juga berasal dari Sumatra dan juga dikenal sebagai intelektual Persis pada tahun 1920-an/1930-an.
[2] Pandji Masyarakat nomer 28, 29 dan 30, artikel-artikel itu bertanggal 1 Muharram 1388 H./29 Maret 1968.
[3] Lihat Ahmad Sadri, Max Weber’s Sociology of Intellectuals (1992: 72).
Berminat membeli buku ini hubungi: Patricius/Kompas 08158925350
Penulis: @AhmadGaus
Pengantar: @yulatif
Epilog: Budhy Munawar-Rachman