Ulama dan Kekuasaan

Krisis Kepemimpinan:

Ulama dan Kekuasaan di Tengah Arus Transisi

Oleh Ahmad Gaus AF

Pengamat Pemikiran dan Gerakan Islam, Yayasan Paramadina

 

 

Hubungan antara ulama dan politik  di Indonesia senantiasa menjadi bahan kajian yang menarik. Di masa rezim Orde Baru berkuasa, banyak ulama yang dikooptasi oleh penguasa dan sekaligus dijadikan “mesin” penopang rezim. Maka di masa-masa pemilihan umum, misalnya, para ulama sibuk membela partai pemerintah, sambil mengutip ayat-ayat Quran dan hadis yang sudah dipilih sesuai kebutuhan. Ketika pemerintah punya program-program pembangunan yang sekiranya akan menimbulkan gejolak di masyarakat (program keluarga berencana, misalnya) maka lagi-lagi para ulama yang diturunkan untuk menjelaskan bahwa kebijakan pemerintah itu sudah sesuai dengan tuntunan agama (Islam).

Begitu juga sebaliknya. Para ulama yang tidak sepaham dengan pihak pemerintah, berupaya untuk melakukan oposisi atas nama agama. Maka di podium-podium umat seringkali muncul da’i-da’i militan yang sangat keras mengeritik pemerintah. Yang terakhir ini dianggap tidak bersahabat, bahkan menindas, umat Islam. Kebijakan-kebijakannya dianggap merugikan kaum Muslim sebagai warga mayoritas di negeri ini. Pemerintah juga dinilai telah melanggar syariat Islam, karena menjalankan hukum yang bukan berasal dari Tuhan. Dan pelanggar hukum Tuhan harus dilawan dengan berbagai cara. Kita melihat pada dasawarsa 1980-an misalnya perlawanan terhadap rezim penguasa dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam baik secara terbuka (di podium-podium) maupun secara laten dengan menggalang opini “di bawah tanah”. Akibatnya memang cukup fatal, dimana rezim penguasa sendiri tidak mentolerir oposisi, sehingga tidak sedikit tokoh Islam yang ditangkap dan dijebloskan ke penjara dengan tuduhan subversi.

Sikap para ulama terhadap pemerintahan Orde Baru dulu, baik yang mendukung rezim maupun yang kontra rezim, telah merefleksikan suatu bentuk hubungan yang sesungguhnya fleksibel dan dinamis, dalam arti bisa berubah-ubah sesuai dengan kepentingan yang bersangkutan maupun sesuai dengan tuntutan situasi. Para ulama yang dulu bersebarangan dengan penguasa bisa berubah mendukung penguasa apabila kepentingannya telah terakomodasi. Kelahiran ICMI [Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia) di tahun 1990, misalnya, telah mengubah percaturan politik dan sekaligus hubungan ulama dan penguasa. Mereka yang dulu mengecam rezim kini berubah mendukung rezim. Sebaliknya, para ulama yang dulu mendukung penguasa bisa berubah menentang penguasa apabila peta politik dan kekuasaan berubah menjadi tidak berpihak kepada kepentingannya. Misalnya sikap para ulama NU terhadap pemerintah di masa KH Abdurrahman Wahid menjadi presiden dengan sikap mereka setelah KH Abdurrahman Wahid tersingkir dari kursi presiden.

Pendek kata, percaturan politik kekuasaan di Indonesia—dan sebenarnya juga di negeri-negeri Muslim yang lain—senantiasa menampung hiruk pikuk keterlibatan kaum agamawan atau para ulama. Hal ini dimungkinkan karena para ulama merupakan sumber legitimasi kekuasaan. Mereka memiliki kharisma, akseptabilitas, integritas moral, dan yang lebih penting lagi tentu saja karena mereka memiliki aset yang sangat berharga—secara perhitungan politis—yaitu umat. Namun di pihak lain, ramainya hiruk-pikuk politik ulama juga terjadi tentu saja karena kalangan ulama sendiri memiliki ambisi politik. Sekarang ini banyak ulama yang tercatat sebagai pengurus partai politik. Malah tidak sedikit pula yang mendirikan dan menjadi pimpinan partai politik. KH Zaenuddin MZ yang memimpin PPP Reformasi adalah salah satu contohnya.

 ***

Tentu masih banyak contoh lainnya yang tidak perlu kita bahas satu persatu. Yang ingin dikemukakan di sini adalah bahwa dalam Islam memang al-din wa al-daulah (agama dan negara) dianggap menyatu. Jika kita merujuk ke masa masa Rasulullah saw, maka beliau sendiri tidak lain adalah pemimpin negara sekaligus pemimpin umat. Begitu juga masa Khulafa Rasyidin. Di masa mereka agama dan politik juga masih menyatu.

Pemisahan antara otoritas keagamaan dan politik dalam Islam, menurut Azyumardi Azra (Paramadina, 1999: 165), baru terjadi pada masa Dinasti Umaiyah (611-750). Pada masa itu pemerintah mengangkat banyak ulama sebagai “pegawai negeri” karena pemerintah sendiri tidak cukup terpelajar dalam ilmu agama. Padahal sementara itu kaum Muslim menghadapi masalah-masalah hukum yang kian kompleks.

Pada masa Dinasti Abbasiyah (750-1055), masih kata Azra, pemerintah mulai memberikan imbalan kepada para ulama yang diangkat sebagai “pegawai negeri” itu. Inilah menurut Azra yang membuat ulama rentan terhadap tekanan penguasa. Akibatnya mereka akan mudah kehilangan kebebasannya, bersamaan dengan itu kharisma dan kredibilitas mereka pun rontok di mata kaum Muslim. “Masyarakat Muslim umumnya secara tradisional mencurigai keterlibatan ulama di dalam mesin birokrasi. Bagi mereka, keterlibatan itu sederhananya berarti lenyapnya kehormatan diri mereka sebagai ulama.” Demikian Azyumardi Azra.

Mengenai keterlibatan ulama di dalam kekuasaan, pandangan Imam al-Ghazali lebih keras lagi. Sufi-filosof yang hidup antara 1059-1111 M ini membagi ulama kepada dua yaitu ulama dunia dan dunia akhirat. Ulama akhirat dipujinya sebagai ulama yang bersikap zuhud dan takut kepada Allah. Sedangkan ulama dunia disebutnya sebagai ulama su’u. Ulama terakhir ini menurut al-Ghazali menjadikan ilmunya sebagai mata pencaharian dunia. Mereka “menjual” ayat-ayat Allah demi kepentingan dunia. Selain itu, mereka juga selalu mengetuk pintu istana, mengunjungi penguasa.

Dalam bukunya yang sudah sangat klasik Ihya Ulumiddin, al-Ghazali mengutip pandangan Said Ibn Musayyab yang mengatakan: Apabila kalian melihat ulama mendatangi penguasa, maka peliharalah dirimu dari neraka, karena sesungguhnya mereka itu adalah para pencuri. Al-Ghazali mengutip hadis dari Ibn Majah yang menyebutkan: Seburuk-buruk ulama adalah ulama yang mendatangi penguasa, dan sebaik-baik penguasa adalah penguasa yang bersedia mengunjungi ulama.

Terlepas dari anggapan yang muncul bahwa hadis yang dikutip al-Ghazali tersebut lemah adanya (hadis dhaif) namun demikian sebagai sufi dan filosof ia sendiri sangat otoritatif mengatakan hal itu. Al-Ghazali mempertimbangkan beberapa hal jika ulama mendatangi penguasa. Misalnya, ia akan bungkam terhadap kezaliman penguasa karena merasa sungkan untuk mengeritiknya akibat terlalu dekat dengan penguasa tersebut. Ia juga tidak akan berbicara secara apa adanya kepada penguasa perihal kehidupan rakyat yang ia saksikan karena ia sendiri akan atau telah menjadi bagian dari mesin kekuasaan. Karena itu ia berkepentingan ikut melanggengkan kekuasaan. Selain itu, berbagai fasilitas istana bisa menimbulkan minat para ulama yang mendatangi penguasa, sehingga ia bisa menjual kehormatannya sebagai pemimpin agama. Atau, paling tidak, berbagai kemewahan istana bisa menimbulkan rasa rendah diri ulama—sesuatu yang tentunya amat tercela jika harus menimpa pemimpin umat. Kendatipun demikian, al-Ghazali tidak membabi-buta menganjurkan para ulama untuk menjauhi para penguasa. Mendatangi penguasa untuk menyampaikan kritik dan masukan, apalagi untuk berdakwah, justru merupakan suatu keharusan normatif.

Dalam konteks inilah kita teringat peristiwa detik-detik menjelang jatuhnya rezim Orde Baru pada Mei 1998 lalu. Sebagaimana kita ingat pada waktu itu Soeharto sebagai Presiden RI dituntut mundur oleh berbagai elemen gerakan reformasi. Krisis ekonomi yang berkepanjangan telah membuat banyak orang menuding pimpinan tertinggi itu sebagai orang yang paling bertanggungjawab. Maka setelah 32 tahun menjadi orang paling kuat di negeri ini, ia kini dituntut mundur. Tragsisnya, tidak ada satu pihak pun yang dengan tegas mendukungnya, termasuk mereka yang selama ini paling loyal terhadapnya. Menteri-menteri di kabinetnya sudah mengundurkan diri. Malahan MPR sendiri sebagai lembaga tertinggi telah mendesaknya untuk mundur. Namun Soeharto tampaknya tetap ingin bertahan. Upaya terakhir yang ia lakukan adalah mengumpulkan para ulama dan tokoh masyarakat yang berjumlah 9 orang, termasuk KH Abdurahman Wahid (NU), Malik Fadjar (Muhammadiyah), Nurcholish Madjid (cendekiawan bebas), dan lain-lainnya.

Soeharto rupanya tahu psikologi umat Islam. Dalam hitung-hitungan, kalau para ulama itu berdiri di belakangnya maka secara otomatis rakyat (dalam hal umat Islam) pasti akan mendukungnya. Yang terjadi kemudian justru kebalikan dari yang dia harapkan. Bukan saja rakyat tetap menuntutnya mundur, para ulama dan tokoh yang dikumpulkannya pun ternyata menolak memberi dukungan kepadanya. Dewan reformasi yang akan dibentuk Soeharto dan diisi oleh para tokoh agama yang dikumpulkan tetap kosong karena tidak ada yang bersedia duduk di dalamnya. Lebih dari itu, beberapa elemen gerakan reformasi (seperti Amien Rais, Buyung Nasution, dll) mulai mencurigai dan mempertanyakan kehadiran tokoh-tokoh masyarakat di istana. Tidak sedikit yang menuduh mereka sebagai pengkhianat reformasi.

Nurcholish Madjid yang menjadi juru bicara kepada pers perihal pertemuan dengan Soeharto itu menjelaskan bahwa yang mereka lakukan bukanlah pengkhianatan. Sesuai dengan kapasitasnya sebagai cendekiawan Muslim, ia menekankan bahwa pengkhianatan itu kalau para ulama secara sengaja mengetuk pintu istana, mendatangi penguasa. Sedangkan yang mereka lakukan saat itu bukan mengetuk pintu istana atau mendatangi penguasa melainkan diundang oleh penguasa. Logikanya kalau diundang itu, kata Cak Nur, penguasa sedang membutuhkan nasihat. Mengutip kitab Ihya-nya al-Ghazali, Cak Nur menegaskan bahwa dalam kondisi demikian para ulama justru wajib memenuhi undangan tersebut. Argumentasi Cak Nur ini memang akhirnya diterima oleh Buyung dkk. Malah Cak Nur belakangan ditahbiskan menjadi cadangan moral bagi gerakan reformasi.

 ***

Pergulatan ulama dan kekuasaan sampai kini masih tetap berlangsung di segenap dunia Islam. Selain karena alasan-alasan yang telah disebutkan seperti ambisi pribadi atas kekuasaan, juga muncul alasan lain yang cukup logis seperti terjadinya krisis kepemimpinan. Dalam keadaan seperti itu orang akan beralih kepada pemimpin-pemimpin agama yang masih memiliki akseptabilitas tinggi di mata rakyat karena integritas moral dan pribadinya. Tampilnya Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) pada tahun 1999 adalah contoh penting dari kasus ini. Menurut Nurcholish Madjid, kemunculan Gus Dur ketika itu lebih merupakan solution ketimbang selection. Dalam keadaan kita terpuruk pada dua pilihan yang sama-sama buruknya, kita akan mencari alternatif lain. Dan alternatif itu ketika itu adalah Gus Dur. Kenapa?

Kita tahu rezim Soeharto ketika itu mewariskan banyak sekali konflik di tengah masyarakat. Berbagai kerusuhan sosial merebak di mana-mana. Di masa Soeharto berkuasa, karena kuatnya cengkraman militer di bawah komandonya, hal-hal semacam itu relatif tidak pernah terjadi. Tapi begitu Soeharto jatuh, semua potensi konflik yang selama ini terpendam bagaikan berlomba menuju titik ledak. Itulah yang terjadi di Maluku, Kalimantan, Kupang, Sulawesi, dan sebagainya.

Tapi konflik masyarakat yang secara langsung menggambarkan warisan Soeharto adalah berhadapannya kubu Megawati versus kubu Habibie dalam pemilihan presiden hasil pemilu 1999. Kedua kubu sama-sama siap menumpahkan darah. Dan keduanya memiliki massa yang hampir sama banyak yang sama-sama militan. Ketika itulah bangsa Indonesia berada di titik nadir krisis kepemimpinan. Untunglah sebelum darah mengucur akibat bentrokan dua kubu itu, Gus Dur muncul sebagai penyelamat.

Idealnya, menurut Cak Nur, Gus Dur itu begitu rupa sehingga ketika krisis (kepemimpinan) teratasi ia dengan rela hati mengundurkan diri. Ia harus sadar bahwa masalah kenegaraan merupakan masalah manajemen yang tidak ia kuasai sehingga tugasnya hanyalah mengantarkan bangsa ini melewati masa-masa krisis. Sayangnya Gus Dur sudah terlanjur berkubang dengan kekuasaan sehingga belakangan ia malah habis-habisan mempertahankan kursi empuk kepresidenannya.

Akhir dari episode itu kita sudah tahu semuanya. Kalau saja kita boleh berandai-andai; sekiranya Gus Dur ketika itu memimpin bangsa ini dengan “benar” sehingga tidak dipecat MPR; atau ia mengundurkan diri sebagaimana usulan Cak Nur, mungkin citra para ulama akan tetap terhindarkan dari pandangan negatif. Kita kini bisa dengan tenang mengatakan bahwa para ulama itu cadangan moral bangsa; mereka akan tampil manakala bangsa kita menghadapi krisis kepemimpinan. Dan mereka akan kembali ke dunianya (membimbing umat) setelah mengantarkan kita melewati krisis. Sebab dunia politik bagaimanapun tetap merupakan dunia “sulap-menyulap” yang menipu pandangan mata. Politik adalah dunia saling mencaci yang pantas dijauhi oleh para ulama. Sejarah dimana-mana mengajarkan bahwa yang diperjuangkan para politikus bukanlah kebenaran tapi kepentingan kelompok. Inilah yang harus dihindari oleh para ulama.[]

 

 

Leave a Comment

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s