
Sekularisme Ramah Agama
Sabtu, 01 Desember 2012 10:41
Sepatutnyakah bahasa-bahasa agama yang cenderung agresif dan menganjurkan kekerasan diberi kesempatan untuk memasuki ruang publik? Jika ya, mekanisme politik seperti apa yang bisa mewadahinya? Lantas, bagaimana membangun percakapan yang tepat antara agama dan yang sekular?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut mendominasi jalannya diskusi dan bedah buku “The Myth of Religious Violence: Secular Ideology and the Roots of Modern Conflict” karya William T. Cavanaugh, Jumat malam, 30 November 2012, di kompleks Futsal Camp, Ciputat. Buku terbitan tahun 2009 ini dikupas bersama-sama dalam sebuah forum diskusi terbatas yang bernama Ciputat School dengan melibatkan kalangan intelektual, akademisi, dan aktivis. Forum yang diinisiasi intelektual progresif dari Yayasan Paramadina Ihsan Ali Fauzi yang juga dikenal gigih mengkader anak-anak muda ini menggelar perbincangan rutin setiap bulan bertema agama dan demokrasi dengan cara membedah buku-buku penting yang relevan dengan sebuah gagasan sekaligus gerakan baru: Indonesia tanpa diskriminasi.
Dalam kesempatan tersebut Dr. Martin Lukito Sinaga didapuk menjadi pembedah utama buku Cavanaugh. Pengajar Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta ini menjelaskan bahwa dengan menempuh jalan mengurai dan menelanjangi mitos-mitos yang sengaja dibangun oleh narasi besar Pencerahan Barat perihal agama yang dituduh selalu menjadi sumber kekerasan, Cavanaugh berikhtiar menawarkan gagasan public religion yang sebelumnya dikembangkan oleh Jose Casanova.
Melalui buku ini Martin, yang juga seorang pendeta, mengamini pentingnya deprivatisasi agama agar dunia modern yang sekular tidak melulu mencurigai agama sebagai biang kekerasan dan perang, tidak pula bernafsu meng-kandang-kan agama di ruang privat. Terlebih, paska tragedi penyerangan menara kembar WTC 11 September 2001 memicu para sarjana dan kalangan intelektual di dunia internasional mewacanakan agar ruang publik mengakomodir secara adil, setara, bahasa-bahasa agama yang universal sebagaimana pula langgam-langgam sekular lainnya.
Sebab, pandangan bahwa agama membawa “cacat bawaan” menyukai kekerasan lantaran kecenderungannya yang absolut, serba membedakan, fanatik, dan tidak rasional adalah temuan khas dunia modern Barat yang terlanjur merebak mendalam di sanubari kaum terdidik di penjuru dunia. Sehingga, kebenarannya tidak dipertanyakan lagi. Agama dianggap berbeda dengan institusi sekular (seperti ekonomi dan politik), yang selalu bekerja dengan prinsip penuh perhitungan, bernalar dan terbuka pada negosiasi. Dan, karena itulah ruang publik harus bersih dan bebas dari “asap agama” dengan membiarkan negara modern mengelola segenap hajat publik termasuk memegang kendali atas konflik dan kekerasan yang terjadi di dalamnya.
Padahal, tanpa bermaksud untuk mengenyampingkan bahwa agama bisa menjadi sumber kekerasan, Cavanaugh yang merupakan rohaniawan Katholik itu justru hendak menandaskan: sejatinya agama dan institusi-institusi sekular seperti negara-bangsa, nasionalisme, dan lainnya sama-sama bisa melakukan kedurjanaan dalam derajat yang absolut dan tidak masuk akal.
Demikian Martin di depan para peserta diskusi yang hadir: Dr. Ali Munhanif, Dr. Chaidir S. Bamualim, Nur Iman Subono (Boni), Elza Peldi Taher, Ahmad Gaus AF, Anick HT, Novriantoni Kahar, Saidiman Ahmad, Zuhairi Misrawi, dan aktivis muda lainnya, demi melanjutkan argumentasi agar sekularisme tidak berlaku semena-mena menyingkirkan agama, sebaliknya memberikan ruang kepada agama dengan public reasoning-nya untuk terlibat dalam urusan-urusan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Model bincang interaktif yang diselenggarakan Ciputat School dalam menyuguhkan oase diskusrsus demokrasi dan kebebasan beragama dari buku-buku terbaik dan berpengaruh selalu menghadirkan para pakar di bidangnya di antaranya Martin Sinaga dan bulan-bulan sebelumnya Lies Marcoes-Natsir, Ulil Abshar Abdalla (JIL), Trisno Sutanto, Ahmad Syafii Mufid (Ketua FKUB Jakarta), dan sebagainya. Beberapa kali menghadirkan para penulisnya langsung seperti Djohan Effendi, Zainal Abidin Bagir (CRCS-UGM), dan lain-lain.
Pertanyaan-pertanyaan lanjutan yang menggelitik dari forum diskusi pada Jumat malam itu dan mesti menjadi permenungan bersama bangsa ini untuk membangun hubungan agama dan negara yang demokratis mempromosikan HAM: jika dikembalikan masuk ke ruang publik, apakah yang mesti tampil adalah agama yang terlebih dahulu ditapis agar menjadi rasional dan masuk akal atau masih memungkinkankah menghadirkan bahasa-bahasa asli, tanpa penafsiran, sehingga sama sekali tidak mereduksi agama itu sendiri? Jika sekularisme harus ramah dan toleran pada agama, apakah sebaliknya agama bisa ramah dan toleran terhadap sekularisme? (Thowik SEJUK)
Dikutip oleh @AhmadGaus dari: http://sejuk.org/berita/61-berita/276-sekularisme-yang-ramah-agama.html
pak mau ikut sekolah menulis di kultura gmn pak?
LikeLike
Kelas di Ciputat dimulai 11 April, hubungi Reni ya: 085718354548
LikeLike