Mitos Seputar Mood dan Ilham

Oleh Ahmad Gaus

– Membaca adalah pekerjaan yang paling produktif (Nurcholish Madjid)

Mungkin Anda pernah mendengar seseorang mengeluh tidak bisa menulis karena sedang tidak mood atau tidak berada dalam kondisi yang baik untuk menulis. Sering juga orang mengatakan sedang menunggu ilham untuk menulis. Dalam dunia tulis-menulis dua kata itu kadang menjadi alasan utama untuk tidak menulis. Karena itu, daripada menyerah secara pasif pada dua keadaan tersebut, yang berakibat pada absennya karya, lebih baik kita bersikap pro-aktif dan berusaha mengatasi keduanya.

Mood memang besar sekali peranannya dalam mendorong kita berkreasi. Tapi kalau harus terus-menerus menunggu mood yang baik untuk menulis, sampai kapan ia bisa ditunggu. Justru yang sering terjadi ialah mood itu tidak kunjung datang. Inilah masalahnya. Banyak penulis yang tidak mengetahui bagaimana caranya menciptakan mood, sehingga mereka kurang rajin berkarya. Banyak juga penulis yang sangat produktif karena bagi mereka setiap waktu adalah mood dan karena itu mereka bisa menulis kapan dan di mana saja.

Tentu setiap penulis memiliki cara yang berbeda dalam menciptakan mood. Saya sendiri belajar kepada Emha Ainun Nadjib, budayawan dan penulis serba bisa yang sangat produktif itu. Cak Nun, panggilan akrab Emha, pernah mengatakan bahwa dia menulis pada saat dalam dirinya ada dorongan yang sangat kuat untuk tidak menulis, yaitu kemalasan yang luar biasa. Dorongan itu pasti sering terjadi. Tapi semakin sering dorongan untuk tidak menulis itu datang, semakin sering dia duduk di depan mesin ketik.

Ini jelas sebuah perjuangan yang sangat keras dan pahit. Namun dengan membiasakan diri terus-menerus bertempur dengan rasa malas, terbentuklah dalam dirinya file yang bernama mood itu. Dan file itu bagaikan budak yang bisa diperintah untuk aktif kapan saja oleh majikannya. Itulah yang saya pelajari dari Cak Nun sekitar 15 tahun lalu. Hasilnya tidaklah buruk, walaupun saya belum sanggup menandingi Cak Nun dalam hal produktivitas menulis.

Selain mood, ilham juga sering menjadi masalah para penulis. Mereka mengeluhkan tidak bisa menulis karena belum mendapat ilham. Orang sering mengatakan bahwa ilham itu datang tanpa diduga-duga. Ini benar. Bahkan ada penulis yang mengaku sering mendapatkan ilham saat sedang duduk di atas kloset. Saya membayangkan bagaimana jadinya karya yang ilhamnya muncul di kamar toilet, jangan-jangan idenya malah ikut bau, hehehe…

Tapi saya serius. Bukankah ilham itu datang melalui hubungan-hubungan energi yang tak terlihat (hidden connection)? Energi yang ada di kamar toilet pasti berbeda dengan energi yang terdapat di tempat-tempat suci seperti rumah ibadah. Kalau bisa mendapatkan curahan ilham di tempat suci, kenapa harus duduk berlama-lama di atas kloset? Ilham yang tercurah di tempat suci niscaya lebih wangi dan enak dihirup ketimbang yang datang di atas kloset.

Ketika pikiran kita diselimuti berbagai masalah, vibrasi energi yang terpancar dari diri kita membentuk aura yang gelap. Seandainya bisa dipotret dengan kamera, maka benang-benang pikiran kita yang ada di dalam kepala dan refleksi di sekitarnya pasti tampak kusut, semrawut. Pasa saat seperti itu, ilham tidak menemukan jalannya untuk masuk ke dalam diri kita.

Hanya pada saat kita bersikap tenang, jalan masuk ilham terbuka lebar. Maka ada istilah konsentrasi, itu artinya kita mengurai benang kusut dalam pikiran menjadi fokus, terarah, sehingga ilham menemukan jalannya untuk masuk ke dalam diri kita. Tanyalah kepada para ahli ibadah atau praktisi meditasi kenapa mereka perlu melakukan tirakat tertentu untuk mendapatkan petunjuk (hidayah) atau ilham. Gagasan-gagasan besar niscaya lahir dari proses semacam itu, yang biasa disebut pencerahan. Bukankah ulat juga perlu melakukan meditasi atau tirakat selama 40 hari sebelum menjadi kupu-kupu yang indah?

Jadi, kalau kita ingin mendapatkan ilham untuk menulis, tidak bisa hanya berpasrah diri menunggu ilham itu datang. Dalam berbagai jejaring sosial seperti blog, facebook, dan twitter, saya sering mengatakan bahwa seorang penulis sejati tidak menunggu ilham berjatuhan dari langit tapi terbang sendiri ke langit untuk menjemput ilham-ilham itu.

Sebenarnya, setiap penulis sadar bahwa ilham itu turun dari langit, tapi anehnya mereka membiarkan pikirannya tidak terhubung dengan langit. Tidak mau berdoa dengan khusuk atau melakukan meditasi. Padahal dengan cara begitu ia membuka koneksi dengan penghuni langit dan pikiran menjadi jernih. Benang kusut pikiran terurai, memudahkan ilham untuk masuk ke dalamnya.

Cara lain yang cukup efektif untuk mendapatkan ilham ialah dengan banyak membaca. Cendekiawan Nurcholish Madjid (alm) pernah mengatakan bahwa membaca adalah pekerjaan yang paling produktif. Menurutnya, peradaban besar mana pun yang pernah ada di dunia ini pasti dibangun di atas tumpukan buku-buku. Buku bukan hanya sumber pengetahuan tapi juga sumber ilham yang tak terduga. Orang bisa menulis karena ia membaca. Tidak ada kreasi tanpa apresiasi. Dengan membaca kita mengapresiasi pengetahuan dan memuliakannya sehingga ia tumbuh menjadi pohon pengetahuan dalam diri kita yang akan menjadi bunga dan buah yang kita bagi kembali pada orang lain. Itulah ilham.

Dengan pemaparan di atas, saya ingin mengajak pembaca untuk tidak memercayai pandangan bahwa mood dan ilham harus ditunggu sambil duduk berselonjor memandang bintang-bintang. Dan selama keduanya belum datang kita tidak bisa menulis. Semua itu hanyalah mitos. Faktanya, para penulis yang produktif adalah mereka yang aktif menciptakan situasi untuk menulis, berani berperang melawan kemalasan, rela melakukan tirakat untuk mencapai pencerahan, dan rajin membaca.

Tulisan ini adalah bagian dari buku WriterPreneurship: Merintis Karir di Dunia Penulisan (LutosBooks, 2012) karya Ahmad Gaus

Leave a Comment

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s