Negeri Ini Kekurangan Penulis

typing her life

Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari. Menulis adalah bekerja untuk keabadian — Pramoedya Ananta Toer

“Menulis? Nggaklah, gw gak bakat kalee…!!” Kalimat seperti itu sering saya dengar dari orang-orang yang menganggap kegiatan tulis-menulis sebagai sesuatu yang asing.

Menulis memang menuntut suatu keterampilan khusus. Tapi, semua bentuk keterampilan–termasuk menulis–pada dasarnya bisa dipelajari. Kesalahan banyak orang ialah terlalu percaya pada mitos bahwa seorang penulis itu dilahirkan, bukan dibentuk. Akibatnya, orang yang merasa tidak dilahirkan sebagai penulis memiliki alasan untuk menjauhi profesi ini.

Dalam pandangan tradisional, penulis itu profesi istimewa yang hanya bisa disandangkan pada orang-orang tertentu. Dan celakanya pula, sebagian penulis secara sadar membentuk dunia mereka sebagai dunia yang asing bagi kebanyakan orang. Semakin tidak tersentuh dunia itu semakin istimewa kedudukannya. Saya pernah mendengar seorang penulis terkenal mengeluh karena, menurutnya, sekarang ini semua orang ingin menjadi penulis dan tidak ingin menjadi pembaca. Gejala itu, lanjutnya lagi, bisa dilihat dari blog-blog yang bertebaran di internet yang isinya kebanyakan hanya “sampah”.

Menurut saya pandangan semacam ini lumayan gawat. Bagaimana mungkin seorang penulis tidak bisa mengapresiasi karya orang lain. Urusan “sampah” itu karena dia melihat dari kacamatanya sebagai seorang penulis terkenal. Kalau saja dia mau sedikit berpandangan positif, sampah itu juga bernilai, setidaknya bagi si penulisnya yang sudah bersusah-payah menuangkan pikiran-pikirannya. Itulah gambaran dunia tulis-menulis kita yang dibesarkan oleh kultur elitisme.

Dalam kultur writerpreneurship*), pandangan semacam itu dijauhkan. Setiap orang diajak untuk belajar dan berlatih menjadi penulis. Profesi penulis adalah cita-cita luhur sebagaimana cita-cita untuk menjadi pengusaha, pengacara, pejabat, politisi, ilmuwan, dan sebagainya.

Pandangan bahwa hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menjadi penulis bukanlah ajaran writerpreneurship. Sebagai lapangan kerja, tulis-menulis adalah dunia yang terbuka lebar. Semakin banyak orang yang menjadikan aktivitas tulis-menulis sebagai sumber penghasilan semakin baik, karena itu berarti mengurangi pengangguran dan meringankan beban pemerintah yang tidak selalu bisa menyediakan lapangan kerja. Sebagai lapangan pengabdian, dunia tulis-menulis mengundang siapa saja untuk menyumbangkan pikiran-pikiran terbaiknya melalui karya yang bermanfaat bagi banyak orang.

Dibandingkan dengan penduduknya, jumlah penulis di negeri kita ini masih sangat sedikit. Kalau kita bertanya kepada pelajar atau mahasiswa siapa penulis favorit mereka, mereka lebih hapal dengan nama-nama penulis asing. Tentu ini ada hubungannya dengan membanjirnya novel dan komik terjemahan di toko-toko buku kita.

Para penerbit memiliki pertimbangan sendiri mengapa mereka lebih suka menerbitkan buku-buku terjemahan daripada buku karya anak bangsa sendiri. Pertimbangan utamanya tentu soal pasar buku terjemahan yang sudah pasti. Karena mereka biasanya membeli copyrights buku-buku yang di negeri asalnya menjadi best seller. Dengan hanya meletakkan logo international best seller pada sampul buku terjemahannya, dipastikan buku itu akan habis terjual.

Pertimbangan lainnya karena para penerbit kekurangan naskah buku yang potensial dari dalam negeri, padahal sebagai lembaga bisnis mereka harus terus memutarkan roda perusahaannya. Berapa buku yang terbit di Indonesia? Ternyata, jumlah buku baru yang terbit di Indonesia hanya sekitar 8 ribu judul per tahun. Jumlah itu jauh lebih rendah dibandingkan negara Asia Tenggara lain, seperti Malaysia yang menerbitkan 15 ribu judul per tahun atau Vietnam yang mencapai 45 ribu judul per tahun.

Ini tentu fakta yang menyedihkan. Bagaimana mungkin negeri dengan penduduk 237 juta jiwa kekurangan buku dan penulis. Memang sih, kita bisa mengatakan bahwa bangsa ini dibesarkan oleh tradisi lisan (oral) sehingga tidak terbiasa menulis. Itu adalah alasan klise yang tidak sepatutnya dijadikan halangan psikologis (mental block). Justru seharusnya ia menjadi faktor pendorong bagi tumbuhnya minat pada dunia tulis-menulis.

Dalam ungkapan “negeri ini kekurangan penulis” sebenarnya juga terselip undangan kepada generasi muda untuk menekuni profesi ini. Dunia tulis-menulis adalah dunia yang pintunya masih terbuka lebar dan bisa dimasuki siapa saja. Kalau kita tidak masuk ke dalamnya maka orang lainlah yang akan memasukinya. Orang lain itu adalah para penulis asing yang menjadi tuan di negeri kita. Dalam suatu diskusi saya bertanya kepada peserta siapa penulis Indonesia yang paling dia sukai, dan dia menjawab Kahlil Gibran. Hallooooooo… Kahlil Gibran itu penulis Libanon, bro, masak sih tidak tahu.

Pada kesempatan yang sama saya juga menanyakan kepada peserta lain, siapa penyair Indonesia yang dia kenal, dia menjawab Chairil Anwar. Beberapa peserta yang lain juga menyebut nama penyair Angkatan 45 itu. Wooooyyyyy… masak hari gini penyair Indonesia masih juga Chairil Anwar. Mau dikemanakan WS Rendra, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Hamid Jabbar, Acep Zamzam Noor, Afrizal Malna, Hasan Aspahani, Agus R. Sarjono, Joko Pinurbo, Jamal D. Rahman, Hanna Fransisca, Susy Ayu, Weni Suryandari…??

Aaahhh… sudahlah! Masyarakat kita memang kurang akrab dengan dunia tulis-menulis. Dan ini menjadi tantangan bagi kita semua untuk terus memenuhi ingatan mereka dengan kreativitas kita sehingga suatu hari nanti akan tercipta masyarakat yang menghargai karya negeri sendiri.

Tulisan di atas disampaikan pada Workshop dan Pelatihan Menulis di Kampus Asia Afrika, Pamulang, Tangsel, 8 Desember 2012.

 *) Tentang WriterPreneurship, selengkapnya silakah Anda baca di buku saya: “WriterPreneurship: Bisnis dan Idealisme di Dunia Penulisan” (Penerbit Referensi, 2012).

Follow Twiter saya: @AhmadGaus — FB: Gaus Ahmad — email: gausaf@yahoo.com