Menanti Malam Qadar di Singing Hall
Oleh Ahmad Gaus AF*)
ADAKAH korelasi antara kekhusukan bulan Ramadhan dengan gebyar hiburan malam di singing hall, diskotek, kafe, dan hotel-hotel berbintang? Bagi sebagian aktivis Islam, jawabannya jelas ada.
Tempat-tempat semacam itu dinilai sebagai ajang maksiat dan umbar syahwat. Oleh karena itu, untuk menjaga kesucian bulan Ramadan, tempat-tempat itu harus ”ditertibkan”. Itulah yang kita saksikan menjelang Ramadan lalu. Massa aktivis Islam di Jakarta, Banten, Solo, Cirebon, Bandung, Bekasi, Lampung, berpawai keliling kota mengultimatum pemilik tempat-tempat hiburan malam untuk berhenti beroperasi selama puasa.
Dulu, aksi ”penertiban” ini dilakukan para aktivis Islam secara sepihak. Akibatnya, tak jarang menimbulkan bentrokan dengan preman dan aparat keamanan –karena tempat-tempat semacam itu biasa dibekingi preman dan aparat. Kini, penertiban itu didukung pemerintah melalui berbagai aturan. Ada yang melalui peraturan daerah (Perda) seperti di Jakarta, Bogor, Solo, Bandung; ada yang berbentuk surat edaran seperti oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi, Cirebon; ada juga dalam bentuk instruksi seperti oleh Wali Kota Bandar Lampung; dan lain-lain. Pendeknya, mereka sepakat bahwa tempat-tempat hiburan malam itu adalah tempat maksiat. Tuntutan yang mengemuka: para pengusaha hiburan malam harus menghormati umat Islam yang sedang menjalankan ibadah di bulan suci.
Akan tetapi, masalah yang terkait dengan penertiban tempat hiburan malam jelas tidak sesederhana itu. Sebab, ia menyangkut konflik ekonomi, politik, dan moral sekaligus. Kontroversi yang paling keras berkisar pada soal ekonomi dan politik. Para pengusaha hiburan malam merasa bahwa penertiban itu bukan win-win-solution. Ia cenderung merugikan para pengusaha dan para pekerja di sektor tersebut. Pemerintah mengharuskan para pemilik tempat hiburan untuk tetap membayar upah karyawan. Padahal, selama sebulan itu praktis mereka tidak mendapat penghasilan sama sekali.
Para pengusaha hiburan malam menolak sudut pandang yang melulu negatif terhadap sektor usaha yang mereka lakukan. Menurut mereka, hiburan malam adalah usaha legal yang jelas-jelas memberikan kontribusi pada Pendapatan Asli Daerah (PAD). Usaha hiburan malam ikut menggalakkan sektor pariwisata. Selain itu, usaha bidang hiburan juga menyerap banyak tenaga kerja. Itu berarti membantu pemerintah mengurangi angka pengangguran.
Toh, pemerintah tetap bergeming. Ia, bersama para aktivis Islam, bersikukuh bahwa bisnis hiburan malam adalah bisnis berahi yang akan merusak kesucian Ramadan. Mereka menuntut agar diskotik, singing hall (karaoke), kafe, bilyar, ditutup untuk menghormati umat Islam yang sedang menjalankan ibadah puasa.
Hormat karena Simpatik
Klaim tentang kesucian bulan Ramadan yang dikaitkan dengan usaha hiburan malam sebenarnya berlebihan. Bisingnya malam di karaoke dan diskotik yang bertabrakan dengan panggilan sahur tidak membuat langit runtuh. Permintaan agar rumah-rumah makan tutup di siang hari demi menghormati orang yang berpuasa juga merupakan paradoks. Sebab ia justru tidak menghormati hak orang-orang yang tidak berpuasa, yaitu orang sakit, wanita yang berhalangan, anak-anak, dan umat non-Muslim. Akhlak mulia mengandaikan orang-orang yang berpuasalah yang justru harus menghormati mereka yang tidak berpuasa.
Soal hormat-menghormati adalah soal etika publik dalam dialog yang sejajar. Ia tidak didiktekan, melainkan dihayati dengan simpati dan empati. Hormat itu lahir dari dalam, bukan karena aturan atau tekanan. Adalah tugas kita semua sebagai kaum muslim untuk membuat orang-orang menghargai Islam dengan tulus, karena kita sendiri bersikap simpatik.
Satu hal lagi adalah pandangan terhadap para wanita pekerja malam di rumah-rumah hiburan sebagai ”bukan wanita baik-baik”. Ini jelas pandangan yang buta dan kasar. Buta karena tidak mau tahu sisi lain dari nilai pekerjaan, dan kasar karena meletakkan sudut pandang moral secara hitam putih.
Dalam khazanah cerita sufi, ada kisah tentang seorang pelacur yang masuk surga dan seorang ustad yang justru dijebloskan ke neraka. Kediaman mereka bersebrangan, dibatasi jalan raya. Setiap hari sang ustad, sambil mengajari murid-muridnya mengaji, memandangi dari jauh apa yang dilakukan sang pelacur di rumah itu. Hatinya gusar setiap kali ia melihat lelaki yang datang silih berganti.
Singkat cerita, keduanya mati. Malaikat memasukkan si pelacur ke surga dan sang ustad ke neraka. Pertimbangan malaikat: meskipun di pengajian, pikiran dan hati sang ustad ternyata selalu ada di rumah sang pelacur. Sebaliknya, meskipun berada di rumah bordil dan melayani para lelaki hidung belang, wanita pelacur itu ternyata hati dan pikirannya selalu rindu dan ingin berada di tempat pengajian sang ustad.
Kita tidak pernah tahu apa yang bersemayam di hati orang. Siapa yang tahu bahwa si Rahmi yang bekerja sebagai pemandu karaoke itu sedang menunggu datangnya malam lailatul qadar saat ia memandu pengunjungnya dalam alunan musik pop dangdut? Si Rahmi sendiri tidak tahu bagaimana mendapatkan pekerjaan yang menurut ukuran para aktivis Islam itu merupakan pekerjaan terhormat dan halal. Persis seperti bait lagu gubahan Titiek Puspa, Kupu-kupu Malam: ”Yang dia tahu hanyalah menyambung nyawa...”
Ahmad Gaus AF
Pengamat Pemikiran dan Gerakan Islam dari Yayasan Paramadina, Jakarta
[Kolom, Gatra Nomor 51 beredar Jumat 29 Oktober 2004]
________________________________
TANGGAPAN-TANGGAPAN :
Maklum Paramadina nggak bener
(rossichamp@yahoo.com, 04/11/2004 22:49)
Yah maklum yg nulis orang Paramadina jadinya ya tidak menghargai Islam sendiri, mereka sama dengan JIL suatu kelompok yg ingin menghancurkan Islam. bagi saudara yg mengaku Islam harap bener-bener menjalankan Islam dengan benar jangan seperti Paramadina dan JIL. lihat saja ketua paramadina yg lagi sakit itu, hati lagi sakitnya, lebih baik mereka sadar akan teguran Allah jangan berusaha lagi untuk menghancurkan Islam, Allah akan mengazabmu. dan semoga saja azab Allah menimpa juga pada Ulil Absara (kelompok JIL) segera mungkin, Amin.
Hati-hati dalam menuangkan pikiran yang liberal
(f_mufti@telkom.co.id, 05/11/2004 02:49)
Tulisan Sdr Ahmad Gaus AF dengan judul tsb diatas menandakan bahwa sang penulis adalah orang yang sangat toleran , saking tolerannya , orang yang berpuasapun harus menghormati orang yang tidak berpuasa (lain halnya dg mereka yang tak berpuasa karena uzur syar’i atau non muslim). Pola pikir yang saya anggap agak nyeleneh dan aneh,apalagi dia mencontohkan ilustrasi cerita tentang sang pelacur yang masuk surga dan sang ustad masuk neraka ditambah lagi cerita si Rahmi yang menunggu malam lailatul-qadar di sebuah cafe sambil melayani tamunya, pikiran yang sungguh tidak menggambarkan seorang muslim yang mempunyai ghirrah agama yang baik. Namun dari semua itu saya tidak heran karena beliau ternyata anak didik yayasan Paramadinanya Nurcholis Majid. Ooooooo pantas…
Pembelaan yang terlalu dipaksakan
(abu_rumaisha@hotmail.com, 04/11/2004 14:20)
Dengan gaya pembelaan seperti yang saudara lakukan, maka apapun dapat dipandang benar. Kebenaran tidak harus selalu diukur dengan uang, pemasukan daerah, pariwisata dll. Saya heran, dulu kita pusing dengan semakin maraknya tempat hiburan malam, kini ketika ada pihak yang mencoba menertibkannya, justru ada yang menentangnya dengan argumen yang sangat terasa dipaksakan.
Artikel ini sejuk sekali
(Japik_kiro@yahoo.com, 04/11/2004 20:15)
Saya merasakan kesejukan saat membaca artikel ini baris demi baris. Seandainya kita punya cara pandang seperti ini, wah.. alangkah indahnya damai. Peace. Saya sangat setuju dengan statement ” Hormat itu lahir dari dalam, bukan karena aturan atau tekanan”. Sangat masuk akal dan begitulah seyogianya.
Hendaknya kita tidak menghakimi orang lain dengan mengatakan mereka maksiat, menodai bulan suci dan tidak menghormati. Biarkan itu menjadi urusan mereka dengan Tuhan. Tuhanlah yang berhak menghakimi, karena pada saatnya nanti Tuhan itu mengadili manusia, masuk sorga atau neraka, menurut perbuatan masing-masing pribadi,bukan per kelompok atau gerombolan. Seorang ibu yang saleh tanpa dosa tidak bisa banyak berharap bahwa anaknya semua otomatis masuk sorga bersama-sama dengan dia, terutama kalau ada anak yang perbuatannya tidak berkenan denhan kehendakNya.
Menarik sekali ilustrasi yang diberikan. Seorang yang tampak luar rajin beribadah tapi pikrannya ke tempat pelacuran ternyata masuk neraka, sementara sang pelacur yang rindu mengaji masuk sorga. Di sini saya melihat ketulusan hati pribadi seseorang untuk dekat dengan Tuhan itu lebih berkenan kepadaNya dari pada yang secara tampak luar rajin mengaji atau berdoa , mati-matian membela agama sampai membentuk organisasi yang malah merusak citra baik dari agama itu sendiri, tapi hati dan pikiran serta perbuatannya tidak sejalan. Tuhan itu Maha Besar dan tidak ada kekuatan yang dapat meruntuhkan Dia, oleh karena itu Dia tidak perlu dibela.
Salut untuk penulis dari Yayasan Paramadina. Banyak2 menulis artikel seperti ini.
Yang namanya mak siyat ya maksiyat
(afafaiman@maktoob.com, 04/11/2004 23:05)
Tempat2 hiburan dewasa itu rata2 bisa di bilang tempat maksiyat , pemerintah dan para ulamak seharusnya bisa memberantasnya paling tidak mengurangi , rakyat itu ibarat anak murid , harus diawasi di bimbing , kalau tidak namanya nafsu pasti menjurus ke kejelekan dan mencelakakan diri sendiri dan orang lain . soal saling menghormati ya memang harus ada tapi kan ada batasannya.
Salut atas tulisan yang sangat indah
(wayan@gondronk.dk, 04/11/2004 15:42).
Ass.wr.wb. Saya sangat salut atas tulisan mas ahmad gaus…semoga jadi bahan pemikiran & renungan bersama, semoga amal ibadah & puasa kita diterima oleh ALLAH SWT…AMIN!! salam hangat dari Copenhagen Denmark
Hargailah org lain, dan kamu juga akan dihargai!!!
(d_purba@yahoo.com, 06/11/2004 10:00)
Saya sangat simpati dan kagum akan tulisan bapak ini, bukan karena saya adalah sebagai seorang kristiani, tapi karena saya sangat mengerti dan faham akan arti saling menghormati antara sesama. Adalah benar kalau kita mengerti dan tau apa sebenarnya yang akan kita lakukan agar orang lain simpati, dan tiDak ada melakukan dengan paksa seperti yang sering terjadi di tanah air kita tercinta ini, krn di Indonesia tidak hidup hanya satu agama, golongan saja. Saya kadang heran di Indonesia sangat terkenal sekali dengan faham agama yang sangat kental, tapi rasa saling menghormati dan memahami sepertinya hanya kata-kata hiasan di bibir saja, prakteknya biasanya sangat jauh panggang dari api. Saya memang tidak tinggal di Indonesia tapi di eropah, yang hampir tidak kita dengar orang berdiskusi apa itu agama, menghormati dll, tapi pada prakteknya mereka banyak sekali menghormati dan memahami orang lain. Jadi tidak hanya ngomong besar seperti di Indonesia. Jadi ada baiknya kalau ngomong besar biasanya tidak ada prakteknya alias nol!!!!
Artikel bikin lega ..
(gadisaf02@hotmail.com, 05/11/2004 09:30)
Membaca artikel ini saya merasa lega. Setiap puasa kita selalu ribut ngurus orang lain gak boleh ini itu, melarang gak boleh ini itu. kalau NIATNYA puasa dari hati dan ikhlas ya gak usah mikir ini itu. Kita hidup bermasyarakat di Indonesia, masyarakat yang beragam. Selama puasa masjid yg mengumandangkan ayat suci bergema dimana mana nyaris sepanjang hari pun sudah “diterima” oleh masyarakat yg majemuk ini. Lalu aturan tutup ini dan itu. Selama ini sesuatu yang ditutupi justru mengundang orang ingin tau. Jadi ujiannya justru disitu. Trimakasih untuk artikelnya
Pendapat yg objektif
(the_iblue@yahoo.com, 04/11/2004 13:46)
Saya setuju dengan pendapat anda karena sekarang kerap terjadi ‘pemaksaan’ atas pelaksanaan ibadah khususnya Islam. Pandangan yg anda kemukakan sangatlah objektif. Mengingat poin utama yg disampaikan adalah agama dijalankan dengan akal, nurani, dan akhlak yg baik dalam diri dan aktualisasi dlm pelaksanaan. Perbanyak ibadah yg bermanfaat buat diri sendiri dan org lain secara damai saya kira adalah perbuatan yg tepat. Wassalam
OO gitu toh (risdhy98@yahoo.com, 04/11/2004 16:36)
Itukan kata PARAMADINA, kalau urusan hati sich memang kagak ada yang tahu. Menurut Anda boleh jadi yang pelacur jadi masuk syurga karena hatinya bersih, yang shaleh secara lahir masuk neraka karena hatinya busuk, yang betul dua-duanya melanggar aturan Allah SWT. Ungkapan anda membawa kepada ungkapan lagu lama, berkutat antara bungkus dan isi, yang bener dan diridai oleh Allah SWT adalah antara bungkus dan isi idealnya selaras. Karena amalan yang akan diterima oleh Allah SWT mengandung tiga unsur, pertama niatan yang benar dan lurus, kedua caranya yang benar dan ketiga ihklas dilakukan semata-mata mengharapkan ridha Allah SWT. Dan yang paling penting adalah standar kebenaran itu sendiri datangnya hanya daripada Allah SWT yang digali dari Kitab Suci Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, bukan atas dasar standard manusia. Karena kalau atas standad manusia yg digunakan, apa yang baik menurut Anda (penulis) belum tentu baik menurut Saya akan begitu seterusnya. Tapi kalau baik menurut Allah pasti akan membawa maslahat buat manusia bukan sebaliknya. Karena Allah yang menciptakan Kita Maha Tahu apa yang baik dan buruk buat Kita. Makanya Allah berikan pertunjuk (Al Hudan) dan pembeda (Al Furqan) kepada Kita berupa Al-quran. Itu semua akan Kita yakini kalau Kita mengaku sebagai Muslim. Kalau Anda tidak yakin berarti status Kita harus dipertanyakan Muslim atau,……Semoga memberikan pencerahan kepada Anda dan Saya yakin Anda lebih pintar daripada Saya yang bukan pemikir dan pemerhati, tapi Alhamdulillah Allah SWT masih membukakan hati Saya untuk bisa membedakan yang baik, benar, jelek dan salah menurut tuntunan-Nya. Semoga demikian juga dgn Anda. Amiin
Terima Kasih
(boni.hendarin@gmail.com, 04/11/2004 15:19)
Terima kasih saudara Ahmad atas tulisan ini. Anda telah meletakkan pengertian hak asasi manusia ditempat asalnya.
Fanatik berselimut munafik
(gilgalzz@yahoo.com, 04/11/2004 21:03)
Apakah demi menjaga “kesucian” bulan ramadhan, dapat dilakakan dengan “menghalalkan” segala cara? Bukankah tindakan premanisme dengan sorban dan baju koko akan merusak nilai-2 kesucian bulan ramadhan itu sendiri? Bukankah yang terlihat hanyalah Penzholiman para fanatik islami terhadap orang lain? Dimanakah nilai-nilai kedamaian yang “katanya” adalah nilai islami? Tong kosong memang nyaring bunyinya !
Inilah JIL
(froelo@yahoo.com, 04/11/2004 21:53)
Inilah pemikiran JIL berupaya mendangkalkan esensi Islam. Hanya bersandarkan satu bait nyanyi Titik Puspa, mencoba menghalalkan pelacuran, padahal banyak jalan mendapatkan rezeki yg halal. Habis ini, hukum qisas, potong tangan dll. Dengan HAM, Hak Azazi Allah dengan pengaturan kehidupan ini…., apakah juga ada upaya untuk menghilangkannya ?
wah akhirnya ada juga yg berpikiran seperti ini
(008_nothing@anonymous.to, 05/11/2004 10:53)
salut buat penulis. Saya selalu berpikiran umat Islam berpuasa dgn godaan yg makin besar akan mendapat pahala yg juga sepadan makin besar. Atau sebaliknya, berpuasa manahan lapar tetapi menyantap nafsu memaksa kehendak atas dalih agama. Akhirnya toh minus plus, pahala nol.
Jika Dia menghakimi dengan Neraka ………
(mensana@hotmail.com, 10/11/2004 02:58) Surga Neraka
Aku tidak ingin ada
Jika keberadaanku diuji dengan
Tawaran Surga dan Ancaman neraka
Namun begitu ternyata aku ada
Surga Neraka membuatku muak
Iming-iming Surga mendorong ketidakikhlasan
Ancaman Neraka mendorong keterpaksaan
Aku tak mau iming-iming itu
Aku akan melangkah dan berpikir bebas
Tidak menerima buta setiap ajaran
Yang kurasa seringkali tolol
Seperti begini adanya
Kelihatannya aku terlihat sombong ….
Bukan …
Aku merasakan Dia Maha Cinta
Sehingga
Jika Dia menghakimi dengan Api Neraka Abadi kepada siapapun.
Maka terpaksa aku akan berkata :
“Persetan Kau dan aku melawanMu”
(Beberapa tanggapan lain tidak dicantumkan karena isinya “senada”). Selengkapnya bisa dilihat: http://web.gatra.com/artikel.php?id=48717