Mengaji sebagai Life Style
Oleh Ahmad Gaus AF*)
Forum-forum pengajian kelas menengah di Jakarta dewasa ini hampir menyerupai hajatan kaum selebriti. Tempat pelaksanaannya di kantor-kantor, hotel berbintang, atau perumahan mewah di kawasan elit. Pesertanya adalah mereka yang secara duniawi sudah merasa berkecukupan. Tetapi, sebagaimana kata para ahli, mereka mengalami kehampaan spiritual. Katanya lagi, mereka kaya materi tetapi miskin ruhani. Limpahan harta, kedudukan, popularitas, ternyata tidak membuat hidup jadi bahagia. Ada hamparan tanah gersang di dalam jiwa yang damba akan siraman ruhani. Dan agama adalah makanan ruhani yang dirindukan itu. Maka, berbondong-bondonglah kalangan pengusaha, esmud, selebritis, mendatangi pengajian.
Inilah kondisi obyektif bagi tumbuhnya pengajian-pengajian eksekutif di Jakarta akhir-akhir ini. Krisis ekonomi yang melanda bangsa kita sejak 5 tahun terakhir juga disebut-sebut sebagai pemicu maraknya pengajian kelas menengah di ibukota. Mereka membutuhkan cara pandang yang lain, yang meta-ilmiah atau supra-rasional, terhadap apa yang sedang terjadi, yang lebih bisa menenangkan batin.
Dan, sebagaimana hukum pasar, ada demand ada supply, begitu juga yang berlaku di dunia pengajian. Permintaan akan sebuah komoditas yang bernama siraman ruhani di kalangan elit meningkat tajam sejalan dengan trend pengajian yang kian menjadi life style di kota-kota besar. Maka, menjadi mubaligh atau penyampai pesan-pesan agama, kini menjadi lapangan kerja yang cukup terhormat dan sekaligus “basah”.
Semangat berislam belakangan memang menunjukkan grafik yang lumayan meningkat. Itu adalah buah dari gerakan pengajian yang dipelopori oleh ustadz-ustadz metropolitan yang merambah dunia glamour. Artis wanita berjilbab kini sudah menjadi pemandangan lumrah baik dalam tayangan infotainment maupun di mal-mal. Kalangan artis pria juga tidak segan-segan mengenakan “baju takwa” ketika tampil di televisi.
Dalam representasi mereka, Islam tampak menjadi lebih gaul. Saat ini, artis, politisi, pengusaha, public figure, atau siapa pun kalangan mapan di ibukota yang belum menunaikan haji—atau minimal umrah—dianggap kurang gaul. Pengalaman mencium Kabah menjadi cerita komersial yang diulang-ulang dalam talkshow relijius di televisi khususnya di bulan Ramadhan. Bahwa sepulang dari berhaji atau umrah sikap dan perilaku tidak kunjung berubah, itu urusan lain.
Pesan-pesan agama yang disampaikan di pengajian eksekutif pada dasarnya sama saja dengan yang disampaikan para kiai di surau-surau di pedesaan. Yang beda hanya pendekatan, metode, dan citarasanya. Pendekatannya dialogis, disesuaikan dengan audiens kelas menengah yang cenderung kritis. Metodenya Islam made simple yang sudah diringkas menjadi paket-paket tertentu seperti “membina keluarga sakinah”, “menjaga kesucian hati”, “kiat menghindari stress”, “cara menghadapi kematian”, dan sebagainya. Kelas menengah tidak memiliki banyak waktu untuk mempelajari agama sebagaimana kebanyakan kaum muslim di desa-desa yang mengaji sejak usia 4 tahun. Itulah sebabnya produk agama yang ditawarkan kepada kelompok ini harus dikemas secara praktis dan ready for use. Paket-paket pengajian seperti tasawuf, mukjizat Alquran, meneladani akhlak Rasul, dan lain-lain, disajikan secara lengkap bak komoditas makanan olahan di etalase super market.
Terakhir soal cita rasa. Pesan-pesan agama ibarat hidangan makanan. Menu sama disajikan secara berbeda, rasanya akan beda. Kalangan eksekutif menyukai ibadah dengan cita rasa mewah. Tempatnya di hotel berbintang, dosennya berpenampilan ok punya, turun dari mobil mewah, bahkan banyak yang alumnus universitas di Barat.
Riwayat pengajian eksekutif ini bisa dilacak pada figur seperti Nurcholish Madjid. Doktor Islam lulusan The University of Chicago, AS, ini melalui Yayasan Paramadina yang didirikannya menyelenggarakan Klub Kajian Agama (KKA) secara rutin di hotel-hotel berbintang di Jakarta sejak 1986.
Cak Nur (panggilan akrab Nurcholish) memperkenalkan sejenis Islam “yang tidak menghukum” atau memasukkan orang ke neraka. Melainkan, Islam yang ramah, yang merangkul semua orang. Tidak heran jika jamaah Cak Nur terentang dari kalangan intelektual, politisi, eksekutif, profesional, sampai kalangan artis dan model.
Lembaga semacam Paramadina yang menyelenggarakan pengajian eksekutif kini sudah banyak, meskipun visi keislamannya tidak selalu sama. Mereka melayani jamaah yang beragam dengan kebutuhan yang beragam pula. Semua itu bagian dari pluralisme dan demokratisasi kehidupan beragama. Dan karena itu, semua harus dihargai dan diberi tempat.[]
(Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Trend Pria, MATRA, Februari, 2005).
*) Ahmad Gaus AF, Pengamat pemikiran dan gerakan Islam dari Yayasan Paramadina, Jakarta.