Sumber foto: http://dikaajah.blogdetik.com/profil/
Isu lingkungan hidup selama ini lebih banyak dilihat sebagai persoalan struktural, menyangkut politik pembangunan, kebijakan tata ruang, konflik tanah, ancaman boikot dari negara maju, dan sebagainya. Jarang masalah ini didekati dari sudut pandang keagamaan. Mungkin ini terkait dengan asumsi bahwa persoalan lingkungan hidup merupakan gejala modern akibat dari proses industrialisasi yang berawal dari Revolusi Industri di Inggris pada abad 18, yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama.
Namun belakangan ada tendensi untuk menjadikan teologi sebagai perspektif dalam melihat isu lingkungan. Artinya, mulai ada usaha membangun kesadaran ekologis yang didasarkan pada iman. Ini menarik, sebab selama ini hampir tidak pernah terdengar kalangan agamawan merespon persoalan lingkungan dengan aksi keagamaan.
Agama-agama samawi [langit] yaitu Islam, Kristen, Yahudi, selama ini dianggap bungkam terhadap persoalan lingkungan hidup. Bahkan juga dituduh ikut mendorong kerusakan lingkungan dengan doktrin-doktrinnya yang menempatkan manusia sebagai “pusat” di alam semesta. Ajaran bahwa manusia harus “menaklukkan bumi dan berkuasa di bumi” [Perjanjian Lama] dan “menjadi khalifah di bumi” [al-Qur’an], dianggap sebagai justifikasi bagi eksploitasi lingkungan hidup oleh manusia.
Hal ini berbeda dengan agama-agama ardhi (bumi) yang dinilai ramah lingkungan. Tao, misalnya, menempatkan manusia hanya sebagai “sebuah nada dalam musik simponi universal, dan bukan pemimpin orkes itu (To Thi Anh, Nilai Budaya Timur dan Barat, 1984). Dengan memandang manusia hanya sebagai satu titik saja di tengah alam semesta, kata To Thi Anh, kita dididik untuk menjadi bijaksana. Sebab manusia tidak pernah dianggap untuk dirinya sendiri, apalagi menganggap alam ini harus dimiliki dan dikuasai.
Akar Krisis Lingkungan
Adalah Seyyed Hossein Nasr (1990)—pemikir Islam kaliber dunia kelahiran Iran—yang mengajukan kritik bahwa persoalan lingkungan hidup telah lama hilang dari perspektif kaum Muslim. Kalau toh masih ada, tidak lagi semanifes pandangan orang-orang Budha di Jepang atau Tao di Cina. Padahal, kata Nasr, al-Qur’an banyak sekali mengungkapkan alam sebagai teofani yang menyingkapkan eksistensi Tuhan. Tuhan sendiri adalah “lingkungan yang paling agung”.
Krisis lingkungan sebagai isu global dewasa ini di mata Nasr berawal dari penolakan manusia untuk melihat Tuhan sebagai alam yang tertinggi itu. Manusia hanya memahami lingkungan atau alam itu sebagai realitas yang berdiri sendiri. Sejatinya, ia merupakan manifestasi dari alam yang tidak nyata, yang menjadi sumber dan asal-muasalnya. Dalam al-Qur’an banyak ungkapan yang menyatakan bahwa alam ini terdiri dari yang nyata dan yang tidak nyata. Dan Tuhan mengetahui dan menguasai kedua alam itu (QS al-An’am/6: 73).
Manusia modern pemuja rasionalitas tidak percaya bahwa alam ini memiliki sisi spiritualitas. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah mencabut dan memisahkan dimensi spiritualitas itu dari dimensi fisiknya. Inilah, menurut Nasr, yang melahirkan krisis lingkungan.
Nasr barangkali satu di antara sangat sedikit pemikir Islam yang kepeduliannya terhadap isu lingkungan sangat eksplisit. Itulah yang ia tuangkan misalnya dalam buku Religion and the Order of Nature. Nama lainnya adalah Ziauddin Sardar yang pernah menulis Toward an Islamic Theory of Environment. Di Indonesia, nama Dr. Mujiyono Abdillah yang menulis buku Agama Ramah Lingkungan, Perspektif Al-Qur’an (2001) juga dikenal rajin memprovokasi teologi lingkungan.
Dalam bukunya ia mengungkap berbagai bencana lingkungan hidup dari berbagai zaman yang dimuat al-Qur’an seperti banjir di negeri Saba, banjir yang menimpa kaum Nabi Nuh dan Nabi Hud. Kemudian penulisnya memberi penafsiran kontemporer, sehingga melahirkan apa yang ia sebut neo-teologi banjir. Juga dikemukakan teologi enerji, teologi musim, teologi cuaca, dan teologi pemanasan global, yang menurut penulisnya belum pernah ada dalam tradisi Islam.
Menghadapi bencana lingkungan, manusia sering bersembunyi di balik argumen-argumen bahwa bencana alam itu merupakan cobaan dari Tuhan. Karena itu bersifat gaib, tidak ada yang bisa dilakukan oleh manusia untuk mencegahnya. Perhatikan sambutan Bapak Bupati yang meninjau lokasi banjir: “Kita harus menerima musibah ini dengan lapang dada, karena ini semua merupakan cobaan dari Allah untuk menguji kesabaran kita semua.” Bapak Gubernur dan para menteri pun senang sekali mengucapkan kata-kata semacam itu di lokasi musibah.
Mujiyono menggugat cara pandang yang menyalahkan Tuhan dalam isu bencana lingkungan. Kata dia, bencana alam itu harus dipahami sebagai dampak perilaku manusia yang menentang sunah lingkungan, dan bukan sebagai kutukan Tuhan. Tegasnya, fenomena ekologi jangan dicampuradukan dengan fenomena teologi, lebih-lebih menuduh Tuhan sebagai penanggungjawab terjadinya bencana alam.
Kesimpulannya bahwa ekologi yang berkembang sejauh ini ialah ekologi ateistik yang tidak ramah lingkungan. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendorong eksploitasi alam secara besar-besaran. Manusia pun memperlakukan alam seperti tanpa perasaan. Manusia, mengutip Hossein Nasr lagi, lupa bahwa alam atau lingkungan ini pun sebenarnya “bernyawa”, memiliki dimensi spiritualitas. Iptek telah mencabut dimensi spiritualitas tersebut. Manusia beragama harus menolak paradigma ekologi yang sekularistik dan ateistik semacam itu, serta mengagendakan kembali suatu sudut pandang baru terhadap ekologi, yakni ekologi yang bernuansa spiritual.[] Twitter: @AhmadGaus
wah mantep artikelnya, bisa menginspirasi . mari berkunjung balik di darahgaruda.com
LikeLike