Bu Guru Jangan Pergi.. [Puisi Hari Guru]

Kp tanjung lebak

Anak-anak sekolah di Kampung Tanjung, Lebak, Banten, meniti sebuah jembatan rusak yang hanya dihubungkan dengan satu tali terbentang di atas Sungai Ciberang. REUTERS/Beawiharta

BU GURU JANGAN PERGI…

/1/

Hujan lagi di awal Juni
Halaman sekolah seperti kandang sapi
Padahal ini hari Senin — hari upacara
Murid-murid biasanya menaikkan bendera
Mendengarkan amanat kepala sekolah
Mengheningkan cipta
Lalu Ibu Mutia menutup upacara
Sambil mengajak murid-murid
Menyanyikan lagu
Di Timur Matahari1)

Pagi ini hujan turun deras
Murid-murid datang berpayung
Daun talas, daun pisang
Ada juga yang basah kuyup —
Belepotan lumpur
Terpeleset di pematang sawah.

Pukul tujuh kurang lima menit
Lonceng sekolah dibunyikan
Anak-anak berlarian
Guru-guru beranjak dari kursi
Menuju ruang kelas
Buku absensi dibacakan
Pelajaran dimulai.

Ke mana Ibu Mutia
Murid-murid kelas III menunggu
Duduk tertib — tangan dilipat di atas meja
Selesai membaca doa
Tapi Ibu Mutia belum datang juga
Tidak ada kabar berita.

/2/

Di depan pintu ruang kelas III
Pak Burhan menghentikan langkahnya
Perlahan, kepala sekolah itu membuka pintu
Anak-anak, mana Ibu Guru?
Belum datang, Pak! dijawab serempak.

Pak Burhan khawatir
Anak-anak akan belajar tanpa guru lagi
Walaupun sudah terbiasa begitu
Menjadi murid-murid mandiri
Belasan tahun sejak SD Inpres itu berdiri2)
Selalu kekurangan tenaga pengajar
Guru yang ada mengajar segala rupa.

Apakah Ibu Mutia sakit
Apakah tugas mengajarnya sudah selesai
Dan kembali ke kampusnya di Jakarta
Untuk menyusun tugas akhir kuliah
Sebagaimana pernah dikatakannya?
Tidak ada kabar berita.

Kepala sekolah itu memasuki ruang kelas
Baiklah, hari ini Bapak yang mengajar
Menggantikan Ibu Mutia!

/3/

Sekolah itu telah meluluskan ratusan murid
Semuanya warga dusun Cikuya
Orang tua mereka bekerja sebagai buruh
Menggarap sawah milik tuan tanah
Hasil panen habis untuk makan
Anak-anak cukup sekolah sampai SD
Bisa baca-tulis dan hitung

Dengan ijazah SD di tangan
Mereka pergi ke kota
Bekerja di pabrik-pabrik
Setiap bulan mengirimkan uang
Meringankan biaya hidup di kampung.

Anak-anak yang dulu belajar di SD Inpres itu
Telah menikah dan beranak pinak
Lalu kembali menitipkan anak-anak mereka
Kepada Pak Burhan
Di sekolah itu juga
Setelah lulus berangkat ke kota
Menjadi buruh di pabrik-pabrik.

Pak Burhan gundah
Ia seperti memutar nasib warga kampung
Dalam roda kemiskinan yang akut
Diwariskan dari generasi ke generasi
Tanpa ujung.

/4/

Mutia mengenal dusun Cikuya tanpa sengaja
Saat itu ia duduk di bangku kuliah semester 7
IKIP Rawamangun Jakarta
Mengisi liburan semester — Januari 1997
Ia mendaki Gunung Ciremai, Jawa Barat
Bersama kelompok pecinta alam kampus
Cuaca buruk dan tanpa pemandu
Mereka tersesat.

Cahaya lampu
Nun jauh di sana
Petunjuk satu-satunya
Ke mana mereka menuju
Seorang penduduk mengantar mereka
Ke rumah kepala desa
Di sana mereka bermalam
Rumah paling besar di dusun itu.

Pagi hari Mutia terbangun
Lebih awal dari teman-temannya
Berjalan ia sendiri
Menghirup udara segar
Alam desa yang sangat indah.

Mutia teringat tanah kelahirannya
Desa terpencil di Lebak Selatan
Bukit-bukit hijau memanjang
Sungai yang mengalir deras — jernih airnya
Ladang-ladang yang luas
Mutia menghabiskan masa kecilnya di sana
Sebelum pindah ke Jakarta
Bersama orang tuanya.

Tidak jauh dari rumah kepala desa
Berdiri gedung sekolah dasar
Sangat sederhana
Seseorang memarkir sepeda motor
Di halaman sekolah
Mutia menghampirinya
Memperkenalkan diri —
Mahasiswa Ilmu Keguruan di Jakarta
Pecinta alam yang tersesat.

Pria separuh baya itu tertawa
Ia ternyata kepala sekolah
Pak Burhan namanya
Bercerita tentang keadaan sekolah
Tenaga pengajar yang sedikit
Buku bacaan anak-anak di perpustakaan
Yang sudah usang.

Murid-murid mulai berdatangan
Berseragam putih-merah – tanpa sepatu
Memutus percakapan mereka
Mutia segera pulang
Teman-temannya sudah menunggu.

/5/

Mutia berdiri di depan kampusnya yang megah
Mengamati setiap lekuk bangunan
Gedung-gedung fakultas yang berdiri gagah
Mahasiswa-mahasiswi bertampang keren.

Kepala Mutia tiba-tiba terasa berat
Seperti dibentur-benturkan ke tembok
Bangunan SD di dusun Cikuya.

Mahasiswa-mahasiswi lalu lalang
Turun dari kendaraan
Murid-murid SD di sana
Pergi ke sekolah tanpa alas kaki
Baju seragam mereka kumal.

Kenapa kamu, Mutia, pagi-pagi sudah melamun?
Teman sekelasnya, Ferdy, menyapa.

Oh nggak, lagi kurang enak badan aja.
Mutia menjawab sekenanya.

Kalau begitu mari aku antar pulang.

Terima kasih, Fer, aku bisa ikut kuliah kok.

Keduanya berjalan menuju kelas
Tanpa bercakap
Beberapa menit terlambat
Kuliah sudah berlangsung
Dosen sedang menjelaskan
Paedagogi …bla.. bla.. bla…
Andragogi… bla.. bla.. bla…

Mutia tidak tertarik
Pikirannya melayang jauh
Ke dusun Cikuya.

/6/

Menjelang akhir masa perkuliahan
Mahasiswa harus mencari pengalaman mengajar
Mutia menghadap ke bagian akademik
Menyebutkan nama: SD Inpres Cikuya
Tekadnya sudah bulat
Ingin mengabdikan ilmunya di sana.

Surat pengantar dari kampus sudah di tangan
Koper untuk membawa pakaian
Segera disiapkan
Lusa ia akan berangkat.

Teman-teman Mutia merasa heran
Kampung itu terlalu jauh untuk seorang perempuan
Mereka memilih tempat mengajar yang dekat
Di sekolah-sekolah di ibukota
Mutia meneguhkan keyakinan
Ia berangkat sendirian.

/7/

Pak Burhan terkejut melihat Mutia datang
Diantar kepala desa
Biasanya Pak Kades hanya lewat saja, batinnya
Kalau ada undangan rapat warga
Petugas desa yang mengantar.

Dik Mutia ini ingin praktek mengajar di sini, kata Pak Kades
Pak Burhan, kepala sekolah, manggut-manggut
Dipandanginya Mutia — seperti tidak percaya
Tiga bulan lalu
Ia berbincang dengan wanita muda itu
Di halaman sekolah ini
Sekarang dia kembali lagi
Untuk mengajar murid-muridnya.

Dengan tangan terbuka kami menerima
Kebetulan di sini kekurangan guru, kata Pak Burhan

Pak Kades menuturkan
Selama menjalani praktikum mengajar
Mutia akan tinggal di rumahnya
Biaya hidup dan keperluannya
Akan ditanggung oleh kepala desa
Supaya tidak memberatkan sekolah.

Pak Burhan manggut-manggut
Dipandanginya Mutia
Gadis kota, cantik, penampilannya modern
Kenapa dia mau mengajar di sini
Kampung terpencil
Apakah ada sesuatu yang dia cari?

Baiklah kalau begitu saya pamit dulu, ujar Pak Kades
Pikiran Pak Burhan buyar seketika
Disalaminya Pak Kades
Lalu diantar ke gerbang sekolah.

Hari itu Mutia belum mulai mengajar
Pak Burhan hanya menjelaskan silabus
Melihat-lihat lingkungan sekolah
Berkenalan dengan guru-guru.

Besok Ibu Mutia mulai masuk
Mengajar di kelas III, kata Pak Burhan
Tapi jangan kaget, pada jam-jam tertentu
Ibu Mutia harus mengisi kelas-kelas kosong
Maklum kami kekurangan guru, ia melajutkan.

Baik Pak, sampai bertemu besok!
Mutia melangkah pulang
Menuju rumah kepala desa.

/8/

Horeee.. bu guru baru..
Kita punya bu guru baru..
Murid-murid kelas III berteriak
Mutia tersenyum, berdiri di depan pintu
Murid-murid berbaris masuk ke kelas
Satu persatu mencium tangan ibu guru.

Perasaan canggung bercampur gembira
Saat Mutia dipanggil ā€œibu guruā€
Ingatannya melayang ke masa lalu
Saat dia seusia mereka
Mengenakan rok berwarna merah
Apa cita-citamu, Mutia? tanya ibu Soleha waktu itu
Ingin menjadi guru, Bu! jawab Mutia.

Hari pertama mengajar
Mutia mengajukan pertanyaan serupa
Kepada murid-murid di kelasnya
Dan mereka menjawab,
Ingin menjadi guru, Bu!
Sebagian menyebut dokter, insinyur.

Apakah dunia di kampung ini tidak berputar
Guru, dokter, insinyur — Mutia terpana
Semua itu impian anak-anak pada zamannya
Generasi tahun 1970-an
Di kota-kota besar
Impian anak-anak sudah berubah
Menjadi pengusaha, arsitek, pengacara
wartawan, politisi, artis…

Kata Pak Burhan
Anak-anak itu sebenarnya tidak mengerti
Cita-cita yang mereka katakan
Setelah lulus dari sini
Mereka tetap akan ke kota
Menjadi buruh pabrik
Mutia berusaha tertawa — tapi hatinya nyeri
Mendengar penjelasan Pak Burhan.

Mutia mengajar murid-muridnya dengan impian
Imajinasi dibawa ke atas langit
Bulan purnama menyalakan harapan
Bintang-bintang bertaburan
Murid-muridnya senang
Bukan alang kepalang.

/9/

Murid-murid Mutia anak-anak Sunda
Semuanya beragama Islam
Sama dengan teman-teman sekolahnya dulu
Di Lebak Selatan.

Ia mengalami tekanan batin
Saat diajak orangtuanya pindah ke Jakarta
Berinteraksi dengan teman-teman baru
Berlainan suku, bahasa, agama.

Lama ia menutup diri
Menghindari pergaulan
Takut — cemas
Pribadinya menjadi introvert
Sampai usia remaja-dewasa
Sampai ia mampu membebaskan diri
Melalui latihan-latihan peran
Dalam kegiatan teater kampus.

Mutia takut murid-muridnya seperti dia
Tumbuh dengan pikiran terbelenggu
Melihat dunia dari lubang jarum
Di kepalanya ada satu pilihan
Lulus sekolah menjadi buruh pabrik.

Ia mengajak murid-muridnya
Bermain sandiwara
Mempraktikkan hidup di kota besar
Bergaul dengan aneka macam manusia.

Lain waktu mereka diajak bermain peran
Beberapa murid ditunjuk sebagai aktor peraga
Menjadi pejabat tinggi, pengusaha kaya
pengacara, arsitek, wartawan…3)

Pelajaran menggambar lebih beragam
Tidak hanya gunung kembar
Dengan jalan lurus menuju celah gunung
Matahari mengintip di tengah-tengahnya
Mutia memperlihatkan lukisan mahakarya
Para maestro dunia.

Tak jarang Mutia membawa murid-muridnya
Belajar di luar kelas
Di bawah pohon
Di pesawahan sehabis panen
Pikiran anak-anak terbentang
Dunia tidak bertepi.

Murid-muridnya dari kelas I sampai VI
Menganggapnya sebagai teman
Tapi beberapa guru mulai berguncing
Mutia dituduh menyimpang
Tidak mengerti cara mengajar.

Pak Burhan mulai terganggu
Laporan dari para guru datang setiap saat
Mendesak agar Mutia diberhentikan.

Suatu hari ia memanggil Mutia
Menanyakan bagaimana dia mengajar
Mutia menjelaskan A-B-C-D
Mengutip Gordon Dryden hingga Bobby De Porter4)
Guru-guru metode pendidikan kontemporer
Pak Burhan manggut-manggut
Antara mengerti dan tidak.

Jam sekolah usai
Guru-guru dipanggil menghadap kepala sekolah
Tiga guru pria, dua guru perempuan
Pak Burhan menjelaskan tentang Mutia
Sebagian mereka tetap tidak menerima
Mutia dianggap melawan aturan
Ia harus dikeluarkan
Atau Pak Burhan akan kehilangan
Sebagian guru yang menolak Mutia.

/10/

Hampir tiga bulan
Mutia mengajar di SD Inpres Cikuya
Kewajiban dari kampus hanya 1 bulan
Tapi ia memperpanjang sendiri masa praktikumnya
Murid-muridnya senang
Bisa belajar sambil bermain.

Murid-murid perempuan bilang,
Ibu Mutia pintar dan baik
Murid-murid pria bilang,
Ibu Mutia pintar dan cantik
Seperti bintang — enak dipandang.

Guru-guru pria pun diam-diam bersaing
Merebut perhatian Mutia
Rambutnya ikal tergerai
Bulu mata lentik panjang
Tubuh molek dayang sumbi.

Tapi hari itu Mutia tidak datang
Tanpa kabar berita
Pak Kades pun bingung
Pagi tadi, katanya, hujan turun deras
Tapi Mutia tetap berangkat ke sekolah
Membawa payung.

/11/

Senja turun di kaki gunung Ciremai
Gelap menyelimuti dusun Cikuya
Para petani yang pulang dari sawah
Dikejutkan oleh suara meminta tolong
Teriakan yang nyaris tidak terdengar
Dari sebuah gubuk kosong di tepi hutan.

Beberapa orang mendekati arah suara
Mengintip dari celah bilik
Samar-samar – hanya terdengar suara
Tangisan yang tertahan.

Para petani itu saling memandang
Kemudian… braakkk!!
Pintu gubuk dibuka paksa
Seorang perempuan tak berdaya
Mulutnya disumpal kain
Kakinya dibelenggu
Tangan diikat di belakang kursi.

ā€œIbu Guru!ā€ Mereka mengenalinya
Kain penyumpal dan tali pengikat dilepaskan
Para petani menuntun Mutia
Dibawa ke rumah Pak Kades.

Terbata-bata
Mutia bertutur
Pak Kades menyodorkan air putih
Istrinya mengintip di balik pintu
Pak Burhan menyelinap di antara kerumunan
Orang-orang yang mulai berdatangan
Mutia menarik nafas,

Tadi pagi dua orang pria bertopeng
Mencegat di jalan ke sekolah
Membekap mulut saya
Menyeret saya ke gubuk itu
Mengikat kaki dan tangan saya
Mereka pergi di tengah hujan lebat.

Mutia terisak
Ia tidak melanjutkan ceritanya
Merahasiakan percakapan dua pria bertopeng itu
Samar-samar terngiang
Mereka menunggu perintah selanjutnya
Dari seseorang.

/12/

Pagi itu Mutia berangkat ke sekolah
Diantar Pak Kades
Tiga bulan terasa pendek
Jalan-jalan itu begitu akrab
Gedung sekolah telah menyatu dengan dirinya
Dan anak-anak itu — bagaimana perasaannya
Hari itu dia akan meninggalkan mereka.

Pak Burhan memahami
Mutia harus kembali ke Jakarta
Melanjutkan kuliahnya.

Acara pelepasan dilakukan mendadak
Di halaman sekolah
Murid-murid berbaris, seperti upacara bendera
Pak Burhan menyampaikan kata perpisahan
Mutia menyampaikan salam pamitan
Murid-murid berlari
Menghampiri Mutia

Bu Guru jangan pergi!
Bu Guru jangan pergi!

Mutia terisak
Melambaikan tangan
Berat — kakinya melangkah
Murid-murid mengiringinya
Sambil bernyanyi,

Di timur matahari mulai bercah’ya
Bangun dan berdiri kawan semua
Marilah mengatur barisan kita
Pemudi-pemuda Indonesia…!!

Catatan Akhir

1). Lagu ini diciptakan oleh WR Supratman, yang juga dikenal sebagai pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya.

2). SD Inpres adalah sekolah-sekolah tingkat dasar yang didirikan oleh pemerintah antara tahun 1970-1980 melalui Instruksi Presiden (Inpres) No 10 Tahun 1971 dengan tujuan untuk memperluas jangkauan pelayanan pendidikan tiingkat dasar khususnya di wilayah-wilayah terpencil. Lihat, http://repository.upi.edu/operator/upload/d_adp_039732_chapter1.pdf

3). Tentang metode pendidikan melalui media sandiwara, bermain peran, dll, lihat buku-buku Utomo Dananjaya, Media Pembelajaran Aktif, Bandung, Nuansa Cendekia, 2010, dan Sekolah Gratis: Esai-Esai Pendidikan Yang Membebaskan, Jakarta, Paramadina, 2005.

4). Gordon Dryden (dan Dr Jeannette Vos) terkenal dengan metode baru pendidikan yang dinamakan revolusi cara belajar. Karya mereka The Learning Revolution telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh penerbit Kaifa (2000). Bobby De Porter terkenal dengan bukunya Quantum Teaching (Kaifa, 2000). Metode mereka pada umumnya menekankan keterlibatan aktif peserta didik dan proses belajar sebagai aktivitas yang menyenangkan (fun).

Leave a Comment

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s