Umat Islam pun Merayakan Natal

TASYAKURAN NATAL LINTAS AGAMA

Akhirnya, pecah juga telur itu. Jika selama ini terdapat pandangan umum bahwa umat Islam tidak boleh merayakan Natal, dan dalam kenyataannya memang belum pernah terjadi. Maka pada Senin 26 Desember 2022 lalu, pandangan itu GUGUR.

Ya, pada hari itu, para sahabat Caknurian mengadakan Tasyakuran Natal Lintas Agama di kediaman Ibu Omi Komaria Madjid (istri alm. Nurcholish Madjid atau Cak Nur).

Selaku Ketua Panitia, saya mengundang berbagai kalangan untuk hadir di acara ini. Bukan hanya teman-teman Katolik dan Protestan tapi juga Hindu, Konghucu, Bahai, Penghayat, dll. Saat sambutan, saya membuka acara dengan menyanyikan beberapa lagu rohani seperti Mari Berhimpun, Dari Pulau dan Benua (In Excelsis Deo). Teman-teman Kristiani langsung menyambut dengan menyanyikan bersama lagu-lagu itu. Tapi, yang saya takjub, kawan-kawan Muslim juga ikut menyanyikan lagu itu dan hapal pula liriknya.

Bagi saya ini adalah satu petunjuk bahwa jauh di lubuk hati kita, walaupun kita beda agama, sesungguhnya kita mudah tersentuh dengan hal-hal yang bersifat keruhanian. Agama kita berbeda, tapi kita bersama dalam dimensi spiritual, yakni bahwa Tuhan kita satu dan sama. Agama-agama hanya jalan, Tuhanlah yang menjadi tujuannya. Saya ingat kata-kata Cak Nur bahwa, agama-agama adalah satu, tapi namanya berbeda-beda, sebab semua agama berasal dari Tuhan yang Esa.

Berikut adalah kesaksian Pdt Rainy Hutabarat mengenai acara tsb, dan kebetulan beliau juga yang menyampaikan tausiyah hikmah Natal di hadapan kami, sekitar 70-an orang dari berbagai agama dan kepercayaan.

Rainy Hutabarat:
Pernahkah anda mendengar lagu Natal “Dari Pulau dan Benua” dilantunkan oleh seorang muslim, bahkan habib? Atau lagu “Hai Mari Berhimpun?” Atau “Malam Kudus?” Saya pernah, persis 26 Desember kemarin. Inilah pertama kalinya saya mendengar teman-teman muslim menyanyikan lagu Natal. Dengan suara yang elok dan fasih mengucapkan syair-syair lagu.
Bagi saya, inilah “jalan lain” perayaan dan silaturahmi Natal. Jalan-jalan iman dari umat beragam agama yang bersama-sama merayakan Allahnya. Sebuah komunitas ladang iman.
Berawal dari ajakan seorang sahabat untuk perayaan dan silaturahmi Natal di rumah Ibu Omi, istri dari Cak Nur almarhum. Karena saya mengenal Cak Nur walau umumnya lewat tulisan-tulisannya di Kompas, saya langsung bisa menebak ke mana jiwa dari acaranya. Tapi sungguh saya tak menduga ditembak menyampaikan renungan singkat berhubung si pengajak harus sertijab.
Dasar anak dari keluarga L4B Menteng, maka renungan tak jauh-jauh dari tugas sehari-hari. Tema Natal PGI mengenai Jalan Lain dari teks Injil Matius tentang Orang Majus menjadi dasar refleksi. Jalan lain yang dibaca dari kacamata rohani memiliki kerentanan pada konteks tertentu, misalnya, pengungsi (refugees) dan perempuan korban kekerasan seksual. Tantangannya: bagaimana membaca “jalan lain” bagi para pengungsi? Bagi perempuan korban kekerasan?
Jalan lain butuh rambu-rambu HAM agar pembacaan berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan universal khususnya berpihak pada kelompok rentan dan korban kekerasan.
Renungan singkat dari saya disusul dengan refleksi dari Martin L Sinaga , puisi Rumi.dibacakan Rani Anggraini Dewi, Achmad Nurcholis, Lukman Hakim Saifudin, Komarudin Hidayat, celutukan Gaus Ahmad dan rekan lainnya secara spontan. Bak panel dalam seminar yang memercikkan inspirasi, menantang wawasan dan keberanian mempertanyakan yang dipandang baku.
Sebuah tarian Sufi dari Rumi-Turki, Whirling Dervish (lihat video) merupakan wujud refleksi yang lain. Bagi saya tarian itu ibarat mantra yang dilantunkan berulang dalam meditasi, dengan dupa harum daya batin dan ekstase.
Sebuah perayaan dan silaturahmi Natal yang menunjuk kepada jalan lain merayakan kehadiran Allah.
Keterangan lengkap mengenai acara ini lihat twitter saya: