KATA PENGANTAR Oleh DENNY JA
Menjadi Penulis dan Kaya Raya?
Apakah penulis bisa kaya secara materi? Siapa penulis terkaya saat ini? Apa yang ditulisnya? Bagaimana agar bisa seperti mereka? Apakah menjadi kaya raya harus menjadi tujuan utama penulis? Itulah rangkaian pertanyaan yang muncul setelah membaca buku singkat Ahmad Gaus: WriterPreneurship.
Majalah Forbes tahun 2012 memilih 10 penulis terkaya. Di antara mereka yang terkaya adalah James Patterson, dengan penghasilan setahun $94 million. Urutan kedua: Stephen King, dengan penghasilan setahun $39 million. Di antara 10 besar itu terdapat juga nama Bill O’Reilly, dengan penghasilan setahun $24 million.
Menarik!! Penulis di dunia maju bisa sekaya itu. Dalam waktu setahun penghasilan James Patterson mendekati 1 trilyun rupiah. Yang ditulis juga beragam. James Patterson sendiri penulis kuliner. Yang ia tulis resep masakan super lezat, yang membuat bukunya laku jutaan kopi. Stephen King penulis dengan jenis yang lain. Ia menulis novel horor dan misteri. Aneka novelnya dijadikan film. Sementara Bill O’Reilly penulis yang berbeda lagi. Ia banyak menganalisa masalah politik dan menjadi host di TV Fox News.
Menjadi penulis tidak hanya menulis fiksi seperti novel atau puisi. Banyak hal yang bisa direkam dalam buku: resep masakan, riset politik, gosip artis. Dari contoh di atas, materi tulisan yang fiksi, sampai yang sangat serius, semua bisa laku di pasar. Dan banyak jenis tulisan yang ternyata bisa mengantar penulisnya menjadi super rich! Penulisnya tidak hanya kaya, tapi super kaya raya!
-o0o-
Di tahun 20-an, kita mengenal para Founding Fathers seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Agus Salim. Mereka dikenal sebagai generasi pemikir pejuang dan pejuang pemikir. Umumnya mereka penulis dan intelektual serta menjadi politisi sekaligus. Mereka sangat kaya imajinasi, namun secara material tidak termasuk kaya raya. Di zaman itu bahkan terkesan menjadi penulis atau intelektual itu harus siap hidup secara asketis: kaya batinnya tapi miskin harta. Penulis membuat seseorang harus siap menjadi pemikir dan pejuang. Mereka harus siap hidup sederhana.
Zaman sudah berubah. Penulis yang menjadi pemikir dan pejuang tetap dirindukan. Namun saya sendiri ikut mengkampanyekan perlunya jenis intelektual dan penulis lain. Saya menyebutnya intelektual entrepreneur atau entrepreneur intelektual. Yaitu jenis intelektual yang punya spirit entrepreneurship dan akibatnya kaya raya.
Lebih baik bagi penulis atau intelektual jika ia kaya raya. Dengan menjadi kaya, ia bisa membuat penelitian dan karya secara mandiri. Ia bisa membiayai kegiatan kemasyarakatannya sendiri. Bahkan dengan kaya raya, ia bisa membantu beasiswa untuk orang lain, membangun perpustakaan publik dan kerja sosial. Yang lebih penting lagi, dengan menjadi kaya raya, intelektual atau penulis itu akan punya banyak waktu luang untuk berkarya. Ia juga tidak di bawah kendali orang lain karena ia tidak dibiayai oleh siapapun.
Secara moral, tak ada masalah menjadi kaya. Bahkan saya mengikuti etik calvinis yang dipuji Max Weber. Orang yang kaya di dunia itu, sejauh itu ia peroleh dengan cara yang halal, dan digunakan sebanyak-banyaknya untuk kepentingan publik, itu adalah tanda orang yang dipilih Tuhan. Saya juga ingin menerapkan prinsip ini untuk dunia penulisan. Penulis yang kaya raya karena karyanya, dengan cara yang halal, adalah penulis yang merupakan “orang pilihan” Tuhan.
Dalam usia menjelang lima puluh tahun, saya banyak berjumpa teman lama yang dulu menjadi intelektual dan penulis yang inspiring. Namun di masa tua, hidupnya serba kesulitan. Ia bahkan tak memiliki biaya untuk berobat ke rumah sakit. Banyak pula yang akhirnya terpaksa bekerja dan “menggadaikan” kapasitas intelektualnya untuk kepentingan yang tak sepenuhnya sejalan dengan visinya.
Saya menganggap ini kesalahan bersikap. Jika sejak awal menjadi penulis dan intelektual selalu dikaitkan dengan hidup sederhana dan rela miskin, itu akibatnya.
-o0o-
Saya sendiri contoh penulis yang melakukan “hijrah” agar bisa kaya raya. Saya mendapatkan rekor MURI sebagai penulis paling produktif yag memiliki program tetap di aneka media sekaligus. Pernah di satu periode, saya menjadi kolumnis tetap beberapa koran yang wajib menulis seminggu sekali di satu koran. Ada tiga sampai lima koran yang harus saya layani sekaligus. Pada saat yang sama saya juga menjadi Host di TV seminggu sekali. Pada saat yang sama saya juga menjadi host di radio seminggu sekali. Semua kerja saya itu sudah dipublikasikan dalam 20 buku sekaligus.
Namun dengan kerja keras seperti itu, tetap saja secara materi tak bisa berlimpah. Sementara saya sudah mempunyai “ideologi,” bahwa penulis harus juga kaya raya. Itulah awal saya melakukan hijrah. Saya mengubah diri saya menjadi penulis jenis lain. Yang saya tulis bukan lagi opini, tapi hasil riset. Target pasar saya bukan lagi publik dan media, tapi pribadi dan partai.
Sayapun menulis begitu banyak hasil survei opini publik. Jika James Patterson penulis terkaya itu menulis resep makan lezat, saya menulis resep untuk menang di pemilu dan pilkada. Bedanya, tulisan survei opini publik saya itu tak bisa dinikmati publik luas. Pembelinya para calon pemimpin yang ingin menang pemilu dan pilkada dengan harga yang mahal sekali. Hidup sayapun berubah.
-o0o-
Buku yang ditulis oleh Ahmad Gaus cukup informatif dari sisi bagaimana menjadi penulis. Bahkan buku ini sangat praktis karena dilengkapi dengan tips dan panduan latihannya. Dengan membaca buku ini, seseorang mudah sekali menguasai ketrampilan menulis.
Yang perlu ditambah dari buku Ahmad Gaus itu justru dari sisi entrepreneurshipnya. Yaitu aneka tips untuk berpikir out of the box, dan menjadi kaya raya melalui penulisan itu. Informasi jenis itu memang tak perlu diberikan oleh buku yang lebih menekankan pada ketrampilan menulis. Sisi entrepreneurship dapat dilengkapi sendiri oleh siapapun yang berminat. Sudah banyak sekali buku yang mengajarkan action plan menjadi kaya raya dari apapun situasinya.
Namun buku Gaus sudah memulai suatu spirit yang benar. Bahwa penulis itu bisa kaya raya dengan karya tulisnya. Saya merevisi pernyataan Gaus itu dengan versi yang lebih keras. Ukuran berhasil atau tidaknya penulis itu adalah kaya raya. Jika ia tidak kaya raya, berarti ia belum menjadi penulis yang berhasil! Ia belum menjadi penulis yang karyanya diburu publik. Ia belum menjadi penulis yang membuat target pasarnya rela mengeluarkan dana besar untuk mendapatkan manfaat dari karyanya.
Mungkinkah penulis menjadi kaya raya tapi karyanya buruk? Itu hal yang mustahil. Baik dan buruk itu sangat relatif. Tak ada lagi penilaian tunggal mengenai baik dan buruk. Tak ada seorang kritikus di atas sana yang menjadi pemberi fatwa ini karya baik dan itu karya buruk. Publik lah yang menjadi penilainya. Jika karya tulis itu dicari dan pembelinya rela mengeluarkan dana besar untuk karya itu, per definisi itu sudah menjadi karya yang bagus. Mungkin ini kontroversial tapi sehat! ***
*) Denny J.A, seorang intelektual entrepreneur yang kini bergiat dalam gerakan Indonesia Tanpa Diskriminasi.
Buku yang sangat mengispirasi dan dibalut dengan bahasa yang sederhana, Layak dibaca, baik oleh penulis profesional maupun penulis pemula
LikeLike
Terima kasih bung..
LikeLike
Mas Ahmad Gaus
Ada no kontak & email? Mau mengundang diskusi buku.
Sapto
LikeLike
Siap bro, tapi diskusi buku apa ya? hehe. Ini nomorku: 0818 829 193
LikeLike
Luar biasa! Sudah saatnya dikampanyekan bahwa menjadi penulis itu bisa kaya raya, karena memang bisa.
LikeLike
Mantaps, Jo. Yang paling potensial untuk itu teman kita Jennie, karena dia sangat produktif.
LikeLike
as. waahhh kren , pengen jadi kaya Anda penulis hebat.
LikeLike
I am now not certain the place you’re getting your info, however great topic.
I must spend some time learning much more or working out more.
Thanks for wonderful information I used to bee in search of
this info for my mission.
LikeLike