Lagu untuk Teman-teman Kecilku

Untuk teman-teman kecilku di SD Negeri Kadu I, Curug, Tangerang. Sudah 40 tahun kita tidak pernah bertemu lagi, kecuali satu dua orang saja. Di mana pun kalian kini berada, semoga mendengar suara kerinduan ini.

RAMAI-RAMAI MEM-BULLY IWAN FALS

 

Fals

 

Di Medsos, khususnya Twitter, Iwan Fals dibully oleh orang-orang yang mengaku dulu sebagai penggemar fanatiknya. Bahkan banyak yang bilang kaset-kaset Bang Iwan sudah mereka bakar. Alasannya, mereka tidak suka Iwan Fals mendukung Jokowi. Begitu panasnya politik pilpres sampai baranya menghanguskan akal sehat.

Saya tetap menyukai dan mendengarkan lagu-lagu Nissa Sabyan dan Rhoma Irama walaupun mereka pendukung Prabowo, dan saya pendukung Jokowi. Tidak ada stigma apapun pada diri saya terhadap mereka. Apalagi membenci mereka hanya karena beda pilihan politik.

Para seniman berhak memiliki afiliasi politik. Di situlah mereka, seperti umumnya kita, bersikap “partisan”. Tapi karya-karya mereka tetap untuk semua kalangan. Lintas batas golongan dan waktu. Jadi, mengapa harus dikaitkan dengan politik yang hanya bersifat musiman. Lewat April nanti juga semua kembali ke habitat masing-masing. Memangnya kamu dapat apa dari Pilpres sampai harus membenci orang begitu rupa? Mau jadi menteri? Dan, ngomong-ngomong, dibandingkan dengan Iwan Fals, kamu sudah berbuat apa untuk bangsa ini? Karyamu apa?

Bandung, 2 Feb 2019
IG: ahmadgaus68

 

[Puisi] Yang Mendobrak Kebekuan (Ode untuk Nurcholish Madjid)

Untuk mengenang sang guru, Nurcholish Madjid, yang wafat pada 29 Agustus 2005, saya menulis puisi sebagai ekspresi rasa takzim kepada beliau almarhum. Puisi ini juga dibacakan di halaman taman Bintaro Exchange Mall pada 28 Oktober 2017 dalam acara peluncuran Maestro Indonesia, sebuah film tentang tokoh-tokoh Indonesia yang digarap oleh Mira Lesmana dan Riri Riza.

IMG-20171028-WA0042

YANG MENDOBRAK KEBEKUAN

— Puisi Ahmad Gaus

Ode untuk Nurcholish Madjid
(17 Maret 1939 – 29 Agustus 2005)

TUAN yang tengah beristirah di sana
izinkan saya bertanya
sekadar menepis rasa gundah gulana
benarkah di alam sana ada pengadilan pikiran?
benarkah para malaikat membawa palu godam
untuk menghantam kepala
para pemikir bebas seperti tuan?
apa yang tuan katakan, jika para malaikat bertanya
di mana letak pikiran: di atas, di bawah,
ataukah di samping iman?

TUAN yang sedang berbaring tenang
zaman kini tidak jauh berbeda
dengan zaman tuan
iman dan akal dibenturkan
pikiran ditundukkan di bawah kuasa
kebenaran yang mengatasnamakan Tuhan
tombak persekusi ditancapkan di kepala
orang-orang yang berbeda pandangan.

MAKA kebenaran menjadi makhluk buas
yang mengerikan.

PERNAHKAH tuan mendengar
suara-suara zaman yang ketakutan
orang-orang bersembunyi di rumah Tuhan
bertakbir sambil mengasah pedang.

ZAMAN kini tidak jauh berbeda
dengan zaman tuan
penuh huru-hara dan pergolakan
politik dicampuradukkan dengan iman
sehingga orang tidak bisa membedakan
suara Tuhan dengan bisikan setan
kebaikan agama dengan kepentingan segelintir
orang yang rakus kekuasaan
maka benar belaka tuan berkata:
agama dan politik harus dipisahkan
yang sakral dan yang profan harus dibedakan
supaya agama tidak diperjualbelikan
ditunggangi oleh politikus-politikus
bajingan.

PERNAHKAH tuan melihat, para penakut berlarian
dari gempuran zaman yang konon dikuasai setan
bersembunyi dalam selimut kejumudan
sementara tuan yang melawan dengan pikiran dinistakan,
disesatkan, diusir dari jamaah,
dibuang dari keramaian.

TAPI memang, di mana-mana orang senang
dengan keramaian, seperti kawanan domba
yang selalu berkerumun
sedangkan harimau berjalan sendirian
seperti tuan.

TUAN kesatria pemikiran
Di zaman penuh ketidakpastian saya teringat tuan
berdiri di kelokan jalan, berani bersimpangan
menyelamatkan akal pikiran.

MASIH terngiang suara tuan
sayup-sayup seperti tengah bergumam
namun sanggup mendobrak dinding malam
membangunkan orang-orang yang tidur
berselimut kejumudan.

POHON pengetahuan yang tuan tanam
sepanjang musim panas dan hujan
telah tumbuh berbuah pencerahan
namun angin topan selalu datang mengancam
untuk merobohkan.

DI zaman kerancuan pikir seperti sekarang
sungguh saya rindu pandangan-pandangan tuan
yang mendobrak kebekuan;
saya rindu gemuruh ombak pikiran tuan
yang menghantam karang
hidup menjadi samudera renungan
di kedalamannya kerang mutiara
berserakan.**  [Ditulis di Jakarta, 23/08/2017]

Related image
Buku karya saya diterbitkan Kompas tahun 2010