Waltz Sore, Bagaimana Kamu Bisa Aku Benci?

Antolologi Puisi dan Esai dari Kampus

Swiss German University (SGU), BSD-City

Waltz Sore

Oleh Annisa Tazakka*)

Daunnya berguguran seolah membiarkan

terang bulan menembus ranting anak dahannya.

Dan dia menikmati itu, menikmati si kecilku

berwaltz ria dengan anggunnya.

Waltz 7 musim di musim yang sangat dingin

mematikan urat-urat tulang.

Ketukan dan hentakan tempo berurai hingga melebur

dengan cahaya-cahaya borealis.

Kadang terang sekali

sesekali meredup dan berdetak kencang.

Di jam 12 si kecilku terlihat menggarang

malah semakin angkuh saja

aku memperhatikannya, terus mengamatinya.

Kagumku menjalar mengalahkan nalar

merobohkan pikiran-pikiran.

Dulu selalu kuanggap dia sebagai pelengkap

karena aku menyadari

dia selalu membanggakanku

pernah juga kuhakimi dia sebagai penyusah.

Bagaimana tidak, dia melakukan apa yang kulakukan

di saat aku akan mencapai 10 tahun.

Dan di detik ini, aku hanya bersembunyi-sembunyi melihat dia

dari semak-semak belukar.

Dalam pandanganku kali ini, dia semakin saja terang

semakin saja menyilaukan

dan semakin saja bercahaya.

Mungkin dia tidak tahu

kalau itu semua melebihi orang kebanggaannya.

Aku layu saat menyadari itu

dan pucat pasi saat dia menangkap bayanganku

dan menarikku ke dalam keangkuhan

dan membimbingku melanjutkan waltznya.

*) Annisa Tazakka, Mahasiswi SGU Jurusan International Business Administration, Semester 8.

——————————————

Bagaimana Kamu Bisa Aku Benci?

Oleh Rizky Sufi Kautsar*)

 Aku akan meninggalkanmu
Jika itu harus.
Aku akan melupakanmu
Jika itu juga harus.
Aku akan memaafkanmu
Jika itu memang harus.

Tapi aku tidak akan membencimu
Bahkan jika aku harus.
Bagaimana aku bisa membenci kamu,
Siapa yang aku cintai begitu setia
Dan tanpa syarat?

*) Rizky Sufi Kautsar, Mahasiswa Swiss German University (SGU) Jurusan Biomedical Engineering, Semester 8.

_______________________

Puisi di atas diambil dari buku Istana Angin: Bunga Rampai Puisi Kampus (LotusBooks, 2011), Kata Pengantar: Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, Sastrawan Senior

Baca juga:

Menikmati ‘Hujan Bulan Juni’ bersama Tuan Sapardi