Agama dan Musik

 

Mungkin gambar 1 orang dan teks

Sahabat saya, Mohammad Shofan, hari ini berulang tahun. Saya mau memberi kado spesial berupa puisi. Tapi saya mau cerita dulu mengenai manusia unik ini.

Saya teringat pertama kali bertemu Shofan tahun 2007 di kantor Mas Dawam (alm. Prof Dawam Rahardjo), di Empang Tiga, Ps Minggu. Waktu itu Shofan baru saja dipecat dari pekerjaannya sebagai dosen di sebuah universitas Islam di Jawa Timur. Itu gara-gara Shofan menulis artikel di media massa tentang bolehnya kaum Muslim mengucapkan selamat Natal.

Otoritas kampus tidak bisa menerima pandangan semacam itu. Mengucapkan selamat Natal itu haram. Titik. Akibatnya, Shofan kehilangan pekerjaan, sedangkan dia harus menafkahi keluarganya. Berita itu tersebar luas, dan artikelnya sendiri menjadi kontroversi. Bahkan menjadi topik bahasan oleh intelektual muda Muhammadiyah, Pradana Boy dalam tesis yang berjudul “In Defence of Pure Islam: The Conservative-Progressive Debate Within Muhammadiyah.”

Mendengar berita pemecatan itu, seorang aktivis dialog antariman, Dr. Budhy Munawar Rachman , membawa Shofan ke Jakarta bertemu Mas Dawam, seorang pembela kebebasan beragama yang sangat militan. Budhy dan Mas Dawam mencarikan pekerjaan baru untuk Shofan di Jakarta. Bukan hanya itu, Mas Dawam juga menulis sebuah artikel panjang sebagai pembelaan terhadap Shofan dengan judul: Membaca Shofan, Membaca Masa Depan Muhammadiyah.

Di bawah asuhan Mas Dawam, Shofan semakin percaya diri mengembangkan pandangan-pandangannya seputar pluralisme dan kebebasan beragama yang dipublikasikan di media massa seperti Kompas, Tempo, Jakarta Post, dll. Salah satu bukunya Pluralisme Menyelamatkan Agama-Agama, termasuk karya yang dianggap sesat oleh banyak kalangan. Dia pun dicekal di banyak forum. Tapi dia santai saja. Dia belajar dari orang-orang yang dianggap sebagai gurunya seperti Buya Syafii, Gus Dur, Cak Nur, dan Dawam sendiri. Mereka ini sudah kenyang dengan tuduhan-tuduhan semacam itu. Tapi rileks saja.

Saat ini Shofan menjabat sebagai direktur program Maarif Institute, sebuah lembaga prestisius di lingkungan Muhammadiyah, yang didirikan oleh alm Buya Syafii Maarif.
Kegiatannya akhir-akhir ini antara lain membuat podcast mengenai isu-isu kontemporer dengan narasumber tokoh-tokoh pluralis-humanis seperti Najib Burhani , Ulil Abshar Abdalla , Mediaa Zainul Bahri , Martin L Sinaga , Luthfi Idetopia Albertus Patty , Siti Ruhaini, dan lain-lain termasuk saya sendiri. Shofan kini juga kandidat doktor bidang pemikiran Islam di UIN Jakarta. Semoga cepat selesai.

Itu satu cerita. Cerita lainnya soal musik. Saya baru tahu belakangan bahwa Shofan adalah penggemar fanatik Rhoma Irama. Bahkan ia juga yang menulis biografi Rhoma Irama. Dia sering diomeli bang Rhoma karena dianggap liberal. Tapi mereka berteman baik.

Suatu hari kami berada di Ambon untuk pertemuan lintas agama. Pada sore hari di sela-sela acara kami dibawa oleh Dr. Abidin Wakano ke Kafe Hatukau di pinggir pantai. Sambil menunggu matahari terbenam di teluk Ambon, kami menikmati kopi dan pisang keju. Malam harinya ada live music yang saat itu hanya menyajikan lagu-lagu dangdut. Tiba-tiba saja Shofan naik ke panggung dan membawakan lagu Rhoma Irama, saya lupa judulnya. Para pengunjung berdecak kagum karena suara dan gayanya benar-benar mirip Rhoma Irama. Tepuk tangan pun bergemuruh.

Tidak mau kalah, Dr. Abidin Wakano naik ke pentas juga menyanyikan lagu, kalau tidak salah judulnya Hilang Tak Berkesan, dari Mashabi. Tapi suaranya lebih mirip suara Broery Marantika. Teman saya yang lain, Irfan Abubakar tidak bisa menyanyi dangdut, padahal dia pengagum berat Nita Talia dan Lilis Karlina. Tapi karena dipaksa akhirnya dia menyanyi juga, membawakan lagu Judika.

Saya sendiri waktu diminta tampil untuk menyanyi lagu dangdut sempat ragu, maklum saya hanya terbiasa dengan lagu-lagu Metallica, Scorpions, Nirvana, dan Nining Meida. Tapi karena dipaksa akhirnya saya nyanyi juga membawakan lagu Tanamor dari Muchsin Alatas. Irfan terkejut melihat saya bisa menyanyi, apalagi saya hapal lagu itu. Teman- teman yang lain seperti Kee Enal dan Muchtadlirin seingat saya hanya jadi penonton 😁😁

Kembali ke Shofan. Saya bilang kepada dia bahwa sebelum diislamkan oleh Rhoma Irama, musik dangdut dinikmati oleh semua orang. Setelah diberi label, ia menjadi terbatas. Bagaimana penjelasanmu? Tanya saya. Sampai sekarang Shofan belum menjawab pertanyaan saya itu. 😁

Selamat ulang tahun, Shofan.

Ciputat, 23 November 2022
Ahmad Gaus

Sumber FB saya:

 

Sakit Itu Indah

Menjenguk Budhy Munawar-Rachman

 

Bersama kawan-kawan dari berbagai kampus dan LSM menjenguk Dr. Budhy Munawar-Rachman, dosen filsafat STF Driyarkara, Jakarta, dan pegiat dialog antariman. Budhy terjatuh di satu ruas jalan di Kupang pekan lalu. Ia mengalami patah tulang belakang, dan sudah menjalani operasi, Saat ini sudah ada di rumah, di kawasan Bintaro, Tangsel.

Untuk menghibur Budhy, saya menulis puisi dan dibacakan oleh Ibu dokter CSP Wekadigunawan, PhD.

Berikut puisinya:

SAKIT ITU INDAH
Setiap kita pasti pernah menderita sakit
Dan itu adalah tanda yang paling jelas bahwa kita masih hidup
Sebab hanya orang mati yang tidak merasakan sakit
Orang sehat, sekali waktu, perlu sakit
Dan berusaha untuk sembuh
Saat kembali sehat, ia seperti kendaraan yang baru keluar dari bengkel sehabis tune up
Ia terasa ringan karena onderdil yang rusak telah diganti atau diperbarui
Kondisi kendaraan itu seperti baru
Manusia pun seperti itu
Kalau tidak pernah sakit, organ-organ dalam tubuh tidak pernah diperbarui
Sekali rusak, fatal sekali akibatnya
Maka sakit itu indah
Ia adalah anugrah alam yang menandai kehidupan yang terus bergerak, berputar, dan memperbarui dirinya
Ia adalah cara alam menjaga keseimbangan
Jangan pernah berpikir untuk menghabisi penyakit sampai ke akar-akarnya
Seperti yang dilakukan oleh dunia medis modern
Sebab kalau engkau melakukan itu, alam akan mempertahankan dirinya dengan cara menciptakan penyakit baru entah bernama kanker, covid, atau apapun penyakit yang tidak pernah ada sebelumnya.
Kalau tidak begitu, dunia akan kiamat
Saat kita terbaring sakit, adalah momen petualangan untuk mencari diri sendiri yang hilang saat kita sehat
Di dalam petualangan itu, kita akan menemukan pertumbuhan diri
Menjadi lebih bijak dan lebih rendah hati
Tumbuh di dalam penderitaan dan rasa sakit akan membuka cakrawala kesadaran yang tidak pernah kita duga
Akhirnya, mari kita renungkan kata-kata bijak dari Kura-kura Ninja: “Rasa sakit hanya ada dalam pikiran.”
Mungkin maksudnya, kita harus memiliki pikiran yang melampaui rasa sakit
Biarlah penyakit itu datang kalau memang sudah waktunya
Tapi pikiran kita jangan ikut sakit
Bintaro, 16 Oktober 2022
Ahmad Gaus

 

Melampaui Nurcholish Madjid

MELAMPAUI NURCHOLISH MADJID

Diam-diam, wacana Islam liberal terus menyeruak dan mengambil bentuk yang kian beragam. Islam liberal ala Nurcholish Madjid tahun 1970-an sudah dianggap kuno. Bahkan kerangka pikir Cak Nur konon sudah tidak bisa lagi digunakan karena sudah obsolet. Kini telah lahir generasi post Cak Nur yang lebih progresif, lebih liberal, selain murid-murid Cak Nur yang lain yang makin bergeser ke kanan dan menjadi pendukung gerakan-gerakan sektarian.

Bagaimana ceritanya? Yuk kita ngupi bareng di acara ini. Kita akan ngerumpi santai tentang murid-murid ideologis Cak Nur yang tercerai berai dalam berbagai sekte dan golongan. 😁

 

 

PASSING OVER: Ziarah Spiritual ala Budhy Munawar-Rachman

 

PASSING OVER: Ziarah Spiritual ala Budhy Munawar-Rachman

Oleh: Ahmad Gaus AF

Bagi para peminat kajian filsafat dan teologi, khususnya teologi antar-iman, Dr. Budhy Munawar-Rachman bukanlah nama yang asing. Dalam filsafat, Budhy mencarikan tempat yang memadai bagi filsafat Islam dalam dunia yang didominasi oleh filsafat Barat. Di kampus-kampus Islam ia mengajar filsafat Barat, di kampus umum ia mengajar filsafat Islam. Itu menunjukkan bahwa otoritasnya di kedua disiplin tersebut memang tidak diragukan.

Dalam teologi, yang dikembangkan oleh Budhy bukanlah Ilmu Kalam dalam pengertian tradisionalnya, bukan juga perbandingan agama (apalagi ini), melainkan perjumpaan agama-agama atau pencarian titik temu agama-agama (kalimatun sawaa) — mengikuti jejak gurunya, Nurcholish Madjid (Cak Nur). Dalam wacana keagamaan (Islam), Budhy memang menjadikan Cak Nur sebagai referensi utamanya, karena merasa cocok dengan posisi pemikirannya sendiri yang bercorak progresif. Budhy juga aktif mengembangkan pikiran-pikiran Cak Nur dengan bahan-bahannya sendiri dari khazanah filsafat timur dan barat.

Posisi Budhy terhadap Cak Nur kurang lebih sama dengan posisi Ibn Rusyd terhadap Aristoteles, yakni sebagai komentator dengan otoritas yang besar. Budhy menulis banyak buku mengenai pemikiran Cak Nur, salah satunya Ensiklopedi Nurcholish Madjid setebal 4000 halaman (4 jilid). Walaupun berguru secara kaffah kepada Cak Nur, bukan berarti Budhy tidak mengembangkan pemikiran sendiri. Sumbangannya yang terpenting ialah gagasan “passing over“, yang dapat disebut sebagai post-Caknurian. Melalui gagasan ini, Budhy menghadirkan harta karun yang terpendam dari agama-agama dan tradisi spiritualitas, dan sekaligus menawarkan peta jalan baru bagi perjumpaan agama-agama.

Passing over ialah “menyebrang dari satu budaya ke budaya yang lain, dari satu agama ke agama yang lain.” Yang dimaksud ‘menyebrang’ di sini bukan murtad atau menjadi muallaf, justru ini sangat dihindari, melainkan menyelam ke jantung tradisi agama/kepercayaan lain dan membuka diri untuk diperkaya oleh agama/kepercayaan lain tersebut. Jadi semacam ziarah spiritual. Dan sebagai ziarah, maka pada gilirannya proses ini diakhiri dengan gerakan kembali ke agama semula, namun dengan insight yang baru. Begitulah passing over. Dari situ akan diperoleh pengalaman-pengalaman rahasia yang bersifat mistik-spiritual.

Budhy bukan hanya berwacana. Dia sendiri yang memberi contoh (praktik) bahwa passing over itu bisa dilakukan, bahkan perlu, untuk memperkaya pengalaman religius dan spiritualitas, serta mencairkan hubungan antaragama yang membeku, bahkan cenderung mengeras akhir-akhir ini.

Para pemikir dan mistikus besar pada umumnya melakukan passing over sebelum mencapai pencerahan, sebut saja Mahatma Gandhi, yang melakukan passing over ke Kristen dan Islam, dengan tetap sebagai Hindu. Juga tokoh-tokoh seperti Louis Massignon, Henry Corbin, W.C. Smith, Sachiko Murata, William Chittick, Huston Smith, dan yang lainnya, melakukan passing over.

Budhy sendiri, setahu saya melakukan passing over ke Hindu, Katolik, Tao, dan Perenialisme. Budhy mengunjungi pusat-pusat spiritual di Tibet dan India, berguru di Brahma Kumaris, mengalami misa, praktik meditasi, Taichi, dll. Setelah menyebrang, Budhy kembali ke agamanya semula dengan pencerahan. Tidak menjadi muallaf Hindu, Katolik, atau lainnya. Budhy tetap seorang muslim yang saleh. Terakhir malah saya lihat dia menjadi khatib salat jumat pada Ramadan kemarin.

Istilah passing over berasal dari John S. Dunne, profesor teologi di Universitas Notre Dame (AS). Namun praktiknya telah dilakukan oleh para mistikus/sufi di masa lalu. Di Indonesia mungkin banyak juga yang melakukan itu, saya tidak tahu, tapi sejauh ini Budhy Munawar-Rachman lah yang merupakan konseptor sekaligus model atau prototipenya.

Dengan jaringan yang luas sebagai intelektual-aktivis, gagasan Budhy mengenai passing over memiliki pengaruh yang cukup mendalam di kalangan anak muda, satu generasi di bawahnya. Artinya, banyak anak muda yang mengikuti jejaknya. Ini jelas tidak bisa diabaikan, karena merupakan kontribusi penting bagi perjumpaan agama-agama dan dialog antar-iman di Indonesia, saat ini dan masa depan.

Melalui gagasan passing over Budhy juga menempati posisi yang unik dalam peta pemikiran dan diskursus keagamaan di tanah air. Tidak banyak orang seperti dia. Jika kalangan lintas agama ingin agama mereka dibicarakan oleh pihak luar, maka Budhy lah yang akan diundang. Bukan saja karena Budhy memiliki pengetahuan yang cukup tentang agama mereka, melainkan juga karena mereka menaruh kepercayaan kepada Budhy yang selalu menebar karma baik, dalam ucapan, pikiran, dan tindakan.

Terakhir, walaupun Budhy dan saya sama-sama murid Nurcholish Madjid, bukan berarti kami selalu seia sekata. Dalam beberapa segi pemikiran Cak Nur kami sering berbeda pandangan. Bukan karena ego-intelektual, saya kira, tapi karena spektrum pemikiran Cak Nur itu sendiri yang memang sangat terbuka untuk ditafsirkan. Tapi walaupun sering berbeda pendapat, kami tidak pernah saling mengkafirkan, hehe.. Selamat ulang tahun, Budhy (22 Juni), doa-doa terbaik mengiringimu.

Catatan:

1. Tulisan Budhy Munawar-Rachman mengenai Passing Over dapat dibaca dalam bukunya, Islam Pluralis (Rajawali Press, 2004)

2. Saya dan Prof Komaruddin Hidayat pernah menyusun buku antologi lintas agama. Dan atas saran Budhy, buku itu diberi judul “Passing Over: Melintasi Batas Agama” (Gramedia, 1999, 2004)

Salam
AHMAD GAUS AF
Penulis dan editor, berkhidmat di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Depok.

Tulisan ini sudah tayang di geotimes.id kemarin (21/06). Pemuatannya kembali di sini dan di FB atas izin redaksi dan tanpa perubahan.

https://geotimes.id/kolom/passing-over-ziarah-spiritual-ala-budhy-munawar-rachman/