Baca juga: Bertemu Nabi Sebentar Saja
Kalau anda menyukai postingan ini, jangan lupa share ke yang lain semoga bermanfaat. Terima kasih. Ahmad Gaus
Aku menulis, maka aku ada
Baca juga: Bertemu Nabi Sebentar Saja
Kalau anda menyukai postingan ini, jangan lupa share ke yang lain semoga bermanfaat. Terima kasih. Ahmad Gaus
SENANDUNG RAMADAN
Puisi Ahmad Gaus
Â
Bila datang bulan Ramadan
aku terkenang kampung halaman
orang tua, sanak saudara, handai taulan
teman-teman kecilku, bermunculan bagaikan album kenangan
Dulu kami menyambut Ramadan dengan menggunduli kepala
sebagai simbol pembersihan diri, karena Ramadan bulan yang suci
beramai-ramai kami menceburkan diri ke sungai
mandi bersama menyucikan diri
karena bulan Ramadan bulan yang suci.
Di pagi hari, kami bergotong royong membersihkan mushalla
walaupun kecil, mushalla itu sangat berarti
karena di situlah pertama kali kami belajar mengaji
belajar berwudu, salat, mendaras  Alquran
agar hidup punya pedoman.
Selepas senja matahari terbenam di cakrawala
perlahan-lahan hilal menampakkan wajahnya dari jendela surga.
Bulan puasa telah tiba
ya, bulan puasa telah tiba
bulan yang dinanti berjuta-juta umat manusia.
Beduk ditabuh, obor dinyalakan, kami berpawai keliling desa
menyalami orang-orang tua
memberi kabar Ramadan telah tiba.
Orang-orang di desa menyambut puasa dengan penuh suka cita
melantunkan tasbih, tahmid, tahlil, takbir:
Subhanallah wal-hamdulillah wa Lailahaillallah wallahu akbar
kalimat-kalimat mulia yang lebih utama dari dunia dan seluruh isinya.
Ramadan adalah cerita yang selalu menggenang di pelupuk mata
salat tarawih berjamaah, makan sahur, buka puasa bersama
menggoreskan kenangan yang tak akan terlupakan.
Berpuluh tahun kemudian, hidup terasa berbeda
semakin dewasa, tubuh semakin dibuai kenikmatan dunia
tersesat di belantara kota, dimana semua serba ada
hasrat pada kemewahan memaksa orang menjadi manusia durjana
apa yang diingini harus tersedia, apa yang diminta harus ada
dengan menghalalkan segala cara
saling sikut, saling jegal
peduli setan agama dan moral
dikendalikan oleh keserakahan
terpukau oleh uang dan jabatan.
Di kota, bulan puasa terasa berbeda
anak-anak membakar petasan pengantar tawuran
orang-orang bertawaf di pusat-pusat perbelanjaan.
Di layar televisi, ibadah puasa menjadi komoditi
mubalig-mubalig selebriti menjajakan diri
nasihat-nasihatnya dibungkus promosi
kain sarungnya promosi, pakaiannya promosi
agama telah dibeli oleh agen-agen promosi.
Acara-acara Ramadan penuh dengan dagelan
ustadz-ustadz komedian menjadi tontonan
cerita hikmah Ramadan sekadar selingan
pengisi waktu menunggu azan.
Lalu apa yang tersisa dari bulan Ramadan
selain jualan, bualan, iklan?
Di kota, ibadah puasa terasa berbeda
orang-orang sibuk dengan urusan dunia
didera hidup yang tergesa-gesa
menjadi hamba-hamba waktu yang merana.
Bila datang bulan suci
aku teringat nasihat para sufi
agar mengendalikan nafsu-nafsu jasmani
memutus hasrat-hasrat duniawi.
Puasa membersihkan hati dari koloni setan-setan
sebab hati yang ditempati kawanan setan adalah hati yang sakit
dan hati yang sakit perlu pengobatan khusus
ketahuilah, tidak ada pengobatan yang lebih manjur dari lapar dan haus.
Hanya dengan mengalahkan keinginan badan, hati menjadi suci
dan hanya hati yang suci yang pantas menyambut bulan suci.
Maka betapa lancangnya aku
berani memasuki bulan suci dengan hati penuh benci.
Betapa lancangnya aku berani memasuki gerbang Ramadan yang mulia
dengan hati yang dipenuhi iri-dengki pada sesama.
Pada bulan Ramadan tubuh kita tawan
hasrat-hasratnya kita kalahkan
karena tubuhlah yang membuat kita jauh dari Tuhan.
Ibadah puasa membawa jiwa-jiwa kita terbang ke angkasa
dari atas sana kita melihat dunia bagaikan serpihan jelaga
terombang-ambing di samudra raya.
Bila datang bulan Ramadan
pintu-pintu neraka ditutup, pintu-pintu surga dibuka
setan-setan dirantai, agar tidak mengganggu orang yang berpuasa
sebab puasa ibadah paling mulia, paling dicintai Allah Taala
sebab puasa hanya milik Allah semata.
Bila datang bulan Ramadan
aku terkenang kampung halaman
di mana aku dan teman-teman kecilku dibesarkan
dalam buaian suara azan
suara yang akan terus berkumandang
sampai suatu hari nanti aku dikuburkan
kembali ke haribaan Tuhan
itulah sebenar-benarnya kampung halaman…
______________________ oo00oo ______________________
Saya menulis puisi Senandung Ramadan sambil mendengarkan lantunan Sholawat Thoriqiyyah dari Thoriqot Qodiriyah Naqsabandiyyah (TQN) yang amat sangat menyentuh hati. Saya sertakan link-nya semoga anda pun menyukainya.
Â
Sholawat Thoriqiyyah
 Allâhumma Shalli wa Sallim ‘alâ Muhammadin wa Âli wa Shahbi Ajma’în
Allâhumma Shalli wa Sallim ‘alâ Muhammadin wa Âli wa Shahbi Ajma’în
Allâhummah dinâ Thorîqol Mustaqîm, Thorîqom minallâhi Rabbil ‘Alamîn
Allâhummah dinâ Thorîqol Mustaqîm, Thorîqom mirrûhi Jibrîral Amîn
Allâhummah dinâ Thorîqol Mustaqîm, Thorîqol Anbiyâi wal Mursalîn
Allâhummah dinâ Thorîqol Mustaqîm, Thorîqos Syuhadâi wal Mujâhidîn
Allâhummah dinâ Thorîqol Mustaqîm, Thorîqol Khulafâir Rôsyidîn
Allâhummah dinâ Thorîqol Mustaqîm, Thorîqol Ulamâi wal Âmilîn
Allâhummah dinâ Thorîqol Mustaqîm, Thorîqol Auliâi wal Mukhlishîn
Allâhummah dinâ Thorîqol Mustaqîm, Thorîqos Su’adâi wal Fâizîn
Allâhummah dinâ Thorîqol Mustaqîm, Thorîqol Atqiyâi was Sholihîn
Allâhummah dinâ Thorîqol Mustaqîm, Thorîqol Budalâi wal Qônitîn
Allâhummah dinâ Thorîqol Mustaqîm, Thorîqol Asyifâi wadz Dzâkirîn
Allâhummah dinâ Thorîqol Mustaqîm, Thorîqol Asyifâi wadz Dzâkirîn
(Sholawat Thoriqoh Qodiriyyah Naqsabandiyyah — Suryalaya)
Membaca puisi Senandung Ramadan dalam acara Kultum di Lembaga Sensor Film (LSF) Jakarta, 13 Juni 2016