Sekuntum Bunga di Taman Surga

Ebook terbaru 2024

Dalam sejarah sastra di tanah air, sangat sedikit, kalau tidak bisa dibilang tidak ada, puisi yang ditulis secara khusus untuk menyahuti isu-isu lintas agama dengan berbagai konteksnya seperti diskriminasi, intoleransi, kekerasan berbasis agama, dan sejenisnya. Buku ini merupakan yang pertama, yang memuat puisi-puisi dalam tema tersebut.

Buku ini memuat 32 puisi yang ditulis dan dibacakan oleh penyairnya di berbagai forum lintas agama, baik di dalam maupun di luar negeri. Di sini pembaca akan menemukan puisi tentang diskriminasi terhadap kelompok minoritas, perusakan rumah ibadah, inspirasi tokoh-tokoh agama, hingga refleksi sufistik.

Testimoni:

Puisi-puisi Ahmad Gaus menyibak cakrawala bahwa kitas semua bersaudara – Albertus Patty, Pendeta dan aktivis dialog antaragama

Melalui estetika, Ahmad Gaus mengajak kita untuk mencintai Tuhan, manusia, dan ciptaan lainnya – Romo Yohanes Wahyu Prasetyo, OFM – JPIC OFM Indonesia.

Puisi-puisi dalam buku ini mencerminkan nurani penulisnya yang punya empati dan berani berselancar di arena yang sulit menyangkut diskriminasi ras dan agama – Nasri  Astani, Penganut Agama Bahai.

Sebuah mahakarya yang menghubungkan keindahan sastra, spiritualitas, dan pesan-pesan kemanusiaan yang mendalam – Budhy Munawar-Rachman, Aktivis Kebebasan Beragama

Spesifikasi
Judul            :  Sekuntum Bunga di Taman Surga: Puisi-Puisi Lintas Agama

Jenis             : Buku Puisi/ Ebook/ Pdf
Kategori       : Sastra
Penulis          :  Ahmad Gaus
Penerbit       :   Lotus Books
Panjang        :  iii + 130 Halaman
Tahun Terbit: September 2024

Harga            :    Rp.35.000,00
Mau beli buku ini?

Hubungi email: tangseldita091@gmail.com

[Memoar] Api Yang Membakar Jiwa

Puslitbang

API YANG MEMBAKAR JIWA

Pagi sampai siang ini (11/12/2018) berlangsung diskusi buku “Djohan Effendi, Sang Pelintas Batas” oleh Puslitbang Kemenag RI. Djohan Effendi pernah menjadi Kepala Litbang Depag, kemudian menjadi Menteri Sekretaris Negara di masa Presiden Abdurrahman Wahid. Tapi orang lebih mengenal Djohan sebagai intelektual dan aktivis gerakan Islam. Saya diundang ke acara ini sebagai penulis biografi Djohan Effendi, dan Dr. Neng Dara Affiah, M.Hum hadir sebagai pembahas.

Dua tema kunci dalam pemikiran Djohan Effendi adalah pluralisme dan kebebasan beragama. Itu juga yang menjadi titik temu dari para tokoh pergerakan pada masa itu dgn nama-nama yang menonjol spt Cak Nur, Gus Dur, Dawam, Wahib, dll. Walaupun begitu masing-masing tokoh punya ciri tersendiri dalam membawa pemikiran mereka ke publik.

Berbeda dengan rekan-rekannya spt Cak Nur dan Gus Dur yang cenderung menggebu-gebu, Djohan cenderung pendiam dan mengambil tempat di belakang layar: merajut solidaritas antar-kelompok dan menggerakkan aksi. Berbeda dengan mereka yang lazim berbicara mengenai hal-hal besar semisal peradaban, umat, bahkan masa depan Islam. Djohan lebih tertarik pada hal-hal sederhana seperti iman yang bersifat pribadi, kehidupan spiritual, puisi sufistik, hingga nasib kelompok sempalan alias aliran sesat. Djohan bahkan memposisikan dirinya sebagai pembela “aliran sesat”.

Dari Djohan kita belajar pentingnya dialog agama sebagai aktivitas yang dapat menjembatani perbedaan dan mereduksi sikap saling curiga. Kesediaan untuk berdialog membutuhkan kesadaran agama yang bersifat terbuka (teologi inklusif).

Dari dialog agama Djohan melangkah lebih jauh ke dialog antariman. Praksis dialog agama selama ini hanya melahirkan toleransi sosial. Dan toleransi jenis ini masih rapuh dan mudah terjatuh pada sikap saling curiga. Dialog antariman menukik lebih jauh ke dasar keyakinan, namun dilakukan dengan hati yang tulus untuk saling memahami, bukan menghakimi.

Dialog antariman inilah yang kini berkembang menjadi semacam trend di kalangan anak-anak muda yang memiliki keberanian untuk melintas (pass over) di antara agama-agama. Dari dialog semacam ini lahir sikap saling menghargai yang otentik dan sejati di antara para pemeluk agama. Bukan sekadar basa-basi sosial.

Posisi Djohan di antara tokoh-tokoh di atas menjadi unik. Dia terlibat aktif dalam gerakan pembaruan, tapi Bapak Pembaruan ialah Cak Nur; dia juga tidak diragukan lagi perannya dalam wacana dan aksi toleransi, tapi Bapak Toleransi telah disematkan orang kepada Gus Dur. Lalu di mana posisi Djohan Effendi?

Djohan adalah perintis solidaritas lintas batas. Djohan adalah BAPAK DIALOG ANTARIMAN. Inilah posisinya yang paling tepat. Posisi ini tidak ditempati oleh dua raksasa lainnya: Cak Nur dan Gus Dur.

Berbeda dengan Cak Nur dan Gus Dur yang datang dengan seruan massif, ideologis, dan intelektual, Djohan hadir di lubuk hati dengan seruan personal dan emosional. Dalam ungkapan teman saya, Budhy Munawar Rachman,  Djohan itu “api yang membakar jiwa”. Mungkin maksudnya berbeda dengan Gus Dur dan Cak Nur sebagai “api yang membakar kota”. 😃😃.

Demikian ringkasan presentasi saya.

 

Takes Mansion & Hotel, Jakarta, 11/12/18
Ahmad Gaus AF

(Dari laman Facebook Gaus Ahmad, 11.12.2018)