

Aku menulis, maka aku ada
Sahabat puisi, dengarin lagi podcast saya ya, kali ini dibuat oleh teamnya Prof Jajang Jahroni dari UIN Jakarta. Di sini saya juga membaca puisi, selamat mendengarkan 🙂
Wawancara Podcast dengan Novi Febrianti di Studio Monalisa, Pekan Baru, Riau, 30 November 2021, seputar perkembangan puisi dan budaya pop di kalangan milenial.
Foto-foto kegiatan Seminar Moderasi Beragama, dilaksanakan di Hotel Grand Suka, Pekan Baru, 29 November 2021
Usai seminar Moderasi Beragama diminta mengisi diskusi lagi di markas HMI UIN Susqa, Pekan Baru, 29 November 2021 (sore hari)
Esok harinya sebelum kembali ke Jakarta sempat dipodcast di studio Monalisa. Perbincangan seputar puisi dan budaya pop di kalangan milenial. Pewawancaranya gadis melayu yang cantik, Novi Febrianti.
Ini adalah Ibu Lisa, pemilik studio Monalisa, yang terletak di lantai 2 Sea food DDH, di Jalan Juanda, Pekan Baru. Foto diambil usai wawancara.
Berikut adalah makalah saya dalam seminar Moderasi Beragama di atas:
Dari Toleransi Pasif Menuju Toleransi Aktif
Mengarusutamakan Moderasi di Kalangan Umat Beragama
Dalam beberapa tahun terakhir ini Kementerian Agama (Kemenag) RI sangat aktif mengarusutamakan moderasi beragama. Terus terang banyak orang (di luar sana) yang bersikap skeptis memandang hal tersebut, yang notebene merupakan sikap resmi pemerintah dalam memandang dan mengkonstuksi hubungan antaragama di tengah masyarakat. Alasannya, sudut pandang pemerintah dalam soal keagamaan biasanya konservatif. Apakah sikap pemerintah sekarang sudah berbeda, atau sama saja? Mari kita lihat.
Bercermin sejenak pada masa lalu barangkali diperlukan untuk melihat kesinambungan atau keterputusan kebijakan pemerintah terkait masalah ini. Kita tahu, dulu pemerintah Orde Baru juga mengembangkan kebijakan mengenai hubungan antar-agama. Waktu itu diberi nama Proyek Kerukunan Hidup Antarumat Beragama. Kemudian dikembangkan lagi menjadi “Trilogi Kerukunan”, yakni kerukunan antar-umat, kerukunan intra-umat, dan kerukunan antara umat beragama dan pemerintah. Dalam hal ini pemerintah melihat kerukunan merupakan faktor penting bagi terwujudnya stabilitas dalam menunjang pembangunan. Kerukunan nasional merupakan modal utama bagi terwujudnya persatuan dan kesatuan dalam rangka mencapai tujuan dan cita-cita pembangunan.
Perhatikan kalimat dalam cetak miring (terwujudnya stabilitas dalam menunjang pembangunan). Karena tujuannya stabilitas, maka wacana tentang hubungan antaragama dan intraagama dikooptasi oleh negara, dan menjadi bagian integral dari politik pemerintah. Bukan hanya itu. Pendekatannya pun elitis, melibatkan hanya tokoh-tokoh agama. Nyaris tidak peduli dengan apa yang terjadi di bawah. Bahkan setiap kali muncul letupan seperti konflik agama atau kekerasan atas nama agama, langsung dibawa ke ranah keamanan karena dianggap subversif, mengganggu stabilitas nasional, dsb.
Apakah pemerintah (c.q. Kemenag) sekarang mengambil kebijakan yang berbeda? Apakah pemerintah sudah berubah? Moderasi beragama kini dilakukan dengan sudut pandang multidimensi, melibatkan pendekatan sosiologis, politis, dan sekaligus juga teologis. Sosiologis maksudnya melibatkan civil society. Politis maksudnya menjalankan amanat konstitusi. Dan yang menarik, juga melibatkan pendekatan teologis, misalnya semakin menganggap penting mendiseminasikan ajaran Islam rahmatan lil alamin.
Kemenag memahami moderasi beragama sebagai proses memahami sekaligus mengamalkan ajaran agama secara adil dan seimbang, agar terhindar dari perilaku ekstrem atau berlebih-lebihan saat mengimplementasikannya. Cara pandang dan sikap moderat dalam beragama dianggap penting bagi masyarakat plural dan multikultural seperti Indonesia, karena hanya dengan cara itulah keragaman dapat disikapi dengan bijak, serta toleransi dan keadilan dapat terwujud.
Dalam pandangan Kemenag, moderasi beragama bukan berarti memoderasi agama, karena agama dalam dirinya sudah mengandung prinsip moderasi, yaitu keadilan dan keseimbangan. Bukan agama jika ia mengajarkan perusakan di muka bumi, kezaliman, dan angkara murka. Agama tidak perlu dimoderasi lagi. Namun, cara seseorang beragama harus selalu didorong ke jalan tengah, harus senantiasa dimoderasi, karena ia bisa berubah menjadi ekstrem, tidak adil, bahkan berlebih-lebihan.
Tidak cukup sampai di situ, buku pedoman Moderasi Beragama yang dikeluarkan oleh Kemenag juga menyebutkan bahwa moderasi beragama tidak dapat dipisahkan dari terma toleransi. Moderasi beragama adalah proses, dan toleransi adalah hasil atau buah (outcome) jika moderasi diterapkan. Kata toleransi bisa diartikan kelapangan dada, dalam pengertian suka kepada siapa pun, membiarkan orang berpendapat atau berpendirian lain, tak mau mengganggu kebebasan berpikir dan berkeyakinan lain. Toleransi dalam konteks ini dapat dirumuskan sebagai satu sikap keterbukaan untuk mendengar pandangan yang berbeda, toleransi berfungsi secara dua arah yakni mengemukakan pandangan dan menerima pandangan dalam batasbatas tertentu namun tidak merusak keyakinan agama masing-masing.
Agak mengejutkan bahwa Kemenag menggunakan istilah “Toleransi Aktif” (Buku Pedoman Moderasi Beragama, hlm. 9). Di situ disebutkan bahwa kebinekaan hanya bisa bertahan lama manakala kita dapat mengembangkan kultur toleransi yang sejati, bukan toleransi karena terpaksa atau toleransi yang dibungkus kepurapuraan. Toleransi sejati yang dimaksud di sini adalah toleransi yang tidak pasif dengan sekadar menghargai dan menghormati pemeluk keyakinan yang berbeda, namun juga aktif melakukan komunikasi, membangun kebersamaan dan kerjasama dalam kehidupan sosial budaya. Bangsa Indonesia harus mampu memelihara kebhinekaan melalui sikap toleransi aktif tersebut. Tanpanya, bangsa dengan banyak ragam keyakinan dan ratusan jenis suku atau etnis ini dapat hancur karena pertikaian.
Ada satu lagi sikap pemerintah yang dapat dikategorikan sebagai “progresif” dalam mewacanakan moderasi dan toleransi agama. Progresif di sini maksudnya kebalikan dari konservatif, sebagaimana ditempuh oleh pemerintah di masa lalu. Dalam buku Moderasi Beragama disebuktan bahwa, dilema agama-agama yang paling serius adalah tatkala berhubungan dengan kalangan di luar komunitasnya. Hampir semua agama memandang pihak lain lebih rendah, bahkan cenderung mendiskreditkan ketika berbicara komunitas di luar dirinya. Hal ini tidak lepas dari keyakinan setiap pemeluk agama bahwa kebenaran atau keselamatan hanya ada pada agama yang dianutnya (truth claim). Padahal perbedaan paham keagamaan bahkan perbedaan agama,
merupakan bagian tidak terpisah dari realitas kehidupan. Perbedaan bisa menjadi potensi, namun bisa juga menjadi persoalan. Menjadi potensi jika dipahami secara baik dan dikelola secara konstruktif untuk semakin memperkaya makna hidup, dan menjadi persoalan jika disikapi secara eksklusif dan intoleran.
Sikap keberagamaan yang eksklusif yang hanya mengakui kebenaran dan keselamatan secara sepihak, dapat menimbulkan gesekan antar kelompok agama. Konflik keagamaan yang banyak terjadi di Indonesia, umumnya dipicu adanya sikap keberagamaan yang eksklusif, serta adanya kontestasi antar kelompok agama dalam meraih dukungan umat yang tidak dilandasi sikap toleran. Wajah agama yang sejatinya damai, sejuk, dan oase harapan kebahagiaan menjadi penuh perselisihan, permusuhan, bahkan pembantaian.
Secara pribadi saya terkejut membaca buku pedoman Moderasi Beragama yang diterbitkan oleh Kemenag tersebut yang merefleksikan pandangan-pandangan yang sangat maju dalam hubungan antar-agama. Ketika dikatakan bahwa kita dapat mengembangkan kultur toleransi yang sejati, bukan toleransi karena terpaksa atau toleransi yang dibungkus kepurapuraan, itu artinya kita sedang meniti jalan transformasi dari toleransi yang pasif menuju toleransi yang aktif. Persis di sinilah problem kita selama ini. Toleransi kita, salah satu contohnya, seringkali didasarkan pada penafsiran yang sempit atas sebuah ayat Quran yang berbunyi Lakum dinukum waliyadin, yang selalu diartikan, “bagimu agamamu, bagiku agamaku”. Terjemahan demikian mengerucut pada pemahaman bahwa setiap pemeluk agama adalah komunitas yang secara teologis memang sudah dipisahkan (oleh Tuhan). Tidak perlu berkolaborasi atau berinteraksi dalam soal-soal keagamaan. Tegasnya, kita hidup nafsi-nafsi saja alias masing-masing. Tidak perlu tahu urusan orang.
Menarik bahwa Kemenang hendak mendobrak pemahaman tersebut melalu wacana toleransi aktif. Bahwa melalui pemahaman teologi yang lebih inklusif, bahkan progresif, kita umat beragama dapat saling berinteraksi secara positif, saling bekerja sama, untuk saling menguatkan dan memberdayakan satu sama lain.
Sebagai konsekuensi dari gagasan toleransi aktif tersebut, maka tugas kita semua, termasuk dan terutama Kemenag, ialah meninjau ulang Terjemah al-Quran versi Kemenag yang terkait dengan ayat-ayat toleransi atau hubungan antar-agama. Saat ini kita semua membutuhkan tafsir Quran yang sesuai dengan kebutuhan kita dalam membangun kohesi sosial yang lebih solid dan otentik. Bagaimanapun, tafsir al-Quran akan menjadi rujukan dalam menumbuhkan pemahaman dan kesadaran baru.
Saat ini terdapat puluhan, kalau bukan ratusan, kitab tafsir yang beredar di tengah masyarakat Islam. Satu kitab tafsir dengan yang lainnya berbeda-beda. Tpi untuk tujuan mengarusutamakan wacana moderasi beragama kita memerlukan tafsir yang progresif. Cendekiawan Muslim terkemuka, Nurcholish Madjid, sudah lama memperkenalkan penafsiran progresif atas ayat-ayat tertentu yang terkait dengan hubungan antaragama. Bahkan dari Nurcholish Madjid kita mengetahui bahwa kitab suci al-Quran sebenarnya mengandung banyak sekali ayat-ayat toleransi. Hanya saja selama ini ayat-ayat tersebut tidak dibaca, tidak diekspose, sehingga ia menjadi ajaran yang membisu. Oleh Nurcholish Madjid, ayat-ayat itu dibunyikan dengan keras sekali.
Dari sekian banyak kitab tafsir, dua di antaranya yang dapat dijadikan rujukan untuk membangun kesadaran moderasi dan toleransi agama ialah The Holy Quran yang disusun oleh Abdullah Yusuf Ali, dan The Message of the Quran karya Muhammad Asad. Dua kitab tafsir tersebut mengenalkan sudut pandang yang progresif atas ayat-ayat toleransi, dan keduanya telah diakui secara internasional.
Ibarat menanam pohon, menanam sikap moderat dan toleran yang sejati tidak bisa dicangkok, distek, atau ditempelkan begitu saja dalam kesadaran, melainkan harus ditanam bijinya. Sehingga ketika menjadi pohon dia akan tumbuh menjadi pohon yang kuat sekali karena akarnya menghunjam ke bumi. Bagaimana caranya menanam biji tersebut? Tidak lain dan tidak bukan ialah dengan cara kembali kepada al-Quran dengan penafsiran yang sejalan dengan spirit al-Quran sendiri, yakni humanisasi dan emanspasi.
Saya akhiri makalah ini dengan mengutip kata-kata yang sering diucapkan oleh Nurcholish Madjid: “Semakin dekat pada Quran maka orang akan semakin toleran, semakin jauh dari Quran, semakin tidak toleran.”
Ahmad Gaus AF
Selebriti Zaskia Adya Mecca belum lama ini mengeluhkan soal suara loud speaker masjid atau toa yang terlalu keras ketika membangunkan sahur. Dalam status instagramnya, Zaskia menilai bahwa cara membangunkan sahur seperti itu tidak etis dan tidak menghargai orang lain.
Kontan saja Zaskia menuai kecaman dari para netizen. Mereka menyebut bahwa Zaskia sudah terkena sindrom Islamofobia. Yakni, tidak suka dengan segala sesuatu yang berbau syiar Islam.
Benarkah masalahnya sesederhana itu? Masalah toa masjid sudah lama menjadi persoalan yang dikeluhkan warga secara bisik-bisik karena mereka tahu apa risikonya kalau mengangkat masalah itu ke permukaan. Tentu kita masih ingat seorang ibu bernama Meliana di Tanjung Balai, Sumut, yang divonis 18 bulan penjara pada 2018 lalu hanya gara-gara mengeritik loud speaker masjid.
Saat itu ia meminta kepada petugas masjid agar volume speaker suara azan dikecilkan.
Kasus itu pun segera menjadi rumor yang beredar di kalangan warga lengkap dengan bumbu-bumbu penyedapnya. Mereka pun mencari tahu asal-usul agama dan kesukuan Meliana. Walhasil, kasus “sepele” itu berhasil digoreng dan meletup menjadi isu SARA. Rumah Meliana, warga keturunan Tionghoa beragama Konghucu, itu dirusak. Bersamaan dengan itu, rumah ibadah vihara yang ada di kota itu pun dibakar warga.
Kita bertanya-tanya, benarkah orang tidak boleh terusik ketenangannya dengan suara berisik dari loud speaker masjid? Kalau tidak boleh, berarti alangkah otoriter cara kita beragama. Kita tidak mau tahu urusan ketenangan orang lain. Kita merasa penting dan mendesak sekali mengumandangkan azan, pengajian, ceramah, dll., melalui toa, dan orang tidak boleh terganggu. Ini kepentingan agama, kepentingan Tuhan, kalian tidak boleh protes atau merasa terganggu. Begitu kira-kira cara berpikir mereka.
Suatu hari Rasulullah SAW beritikaf di masjid, lalu beliau mendengar orang membaca Al-Quran dengan suara keras. Rasulullah kemudian menyingkap tirai dan berkata, ‘Ketahuilah, setiap kamu sedang bermunajat kepada Tuhan. Jangan sebagian kalian menyakiti sebagian yang lain. Jangan juga sebagian kalian meninggikan suara atas sebagian lainnya dalam membaca.’ Atau ia berkata, ‘dalam shalat,’” (HR Abu Dawud).
Hadits ini menjadi sandaran pendapat Sayyid Abdurrahman Ba’alawi dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin. Ba’alawi menjelaskan bahwa tadarus Al-Quran, zikir atau semacamnya yang membuat “kebisingan” dilarang karena dapat mengganggu orang yang sedang shalat. Selanjutnya ia mengatakan, zikir dan sejenisnya, termasuk membaca Al-Quran, dengan suara keras di masjid hukumnya tidak makruh kecuali jika menggangu konsentrasi orang yang sedang shalat atau mengusik orang yang sedang tidur.
Dalil-dalil di atas saya pinjam dari pandangan KH Taufik Damas yang menanggapi kasus yang sama — karena sebagian orang memang masih membutuhkan dalil. Sebetulnya untuk perkara-perkara menyangkut muamalah dan hidup bertetangga kita tidak memerlukan dalil-dalil, sebab kita memiliki akal sehat, adab, sopan santun, dan tata krama dalam hidup bermasyarakat. Keterlaluan kalau berteriak-teriak lewat toa atau pengeras suara, merasa tidak mengganggu orang lain.
Toa juga tidak satu, melainkan banyak, diarahkan ke empat penjuru angin, dan dari banyak masjid yang berdekatan pula, sehingga satu sama lain saling berbenturan, menimbulkan kebisingan yang luar biasa. Dan orang lain tidak boleh merasa terganggu. Kalau merasa tergangggu berarti dia anti-Islam, islamofobia, bahkan melakukan penodaan agama dan bisa dipenjara, rumahnya dirusak, viharanya dihancurkan, seperti yang dialami oleh Ibu Meliana dalam contoh di atas.
Kalian waras? Kalian ini sedang beragama atau sedang kesurupan?
Salam Waras dalam Beragama
Ahmad Gaus
Saya meminjam kerangka tubuh puisi SDD di bawah ini untuk membuat puisi di atas. Bandingkan hasilnya, apakah saya berhasil meniru gaya SDD 🙂