International Webinar on Cak Nur’s Humanism Thought

Nurcholish Madjid (affectionately known as Cak Nur) is one of Indonesia’s leading public intellectual and a respected Islamic scholar and reformist. On 30.08.20, The Reading Group collaborated in an online discussion called “Agama Kemanusiaan Pasca Nurcholish Madjid” (Humanistic Religion Post-Nurcholish Madjid), with three other institutions who are at the forefront of keeping his legacy alive: the Nurcholish Madjid Society, Jakarta; Centre for the Study of Religion and Culture (CSRC), Syarif Hidayatullah State Islamic University, Jakarta; and the Centre for Pesantren Studies, Bogor.

The session featured Ahmad Gaus from CSRC; Dr Azhar Ibrahim from the National University of Singapore; and Huda Ramli from Sisters in Islam, Malaysia. Executive Director of Nurcholish Madjid Society, Fachrurozi Majid gave the Keynote Address and Nur Hikmah of The Reading Group moderated the session.
The session focused on Cak Nur’s key message of humanism that flows from his religious philosophy. Fachrurozi, in his Keynote Address spoke of Cak Nur’s main contributions to society and calls for the continuation of his message, particularly that of uplifting the conditions of the marginalised in society through the humanitarian approach.
Ahmad Gaus, who had written extensively on Cak Nur including a biography called ‘Api Islam’ (The Torch of Islam), emphasised the ‘tauhid’ (radical monotheism) of Cak Nur. Cak Nur’s ‘tauhid’ would not admit any form idolatry, including that of power, wealth or the state. This is where Cak Nur’s pluralism stands out: any denial of diversity in order to concentrate and monopolise truth and power, is to imitate God – hence, idolatrous.
There is no doubt that Cak Nur had brought religious thought beyond the ‘traditionalist’ and ‘modernist’ divide in the Malay-Indonesian world, exemplified by two mass-based movements, Nahdlatul Ulama and Muhammadiyah. Since his clarion call for ‘Pembaruan Pemikiran Islam’ (Renewal of Islamic Thought) in the 1970s, Cak Nur situates his project as that of ‘preserving from the past what is good, and taking from the present what is better’.
This project was realised through the formation of Paramadina, an organisation that promotes what Cak Nur calls as ‘masyarakat madani’ (civil society), a term no doubt, derived from his reading of American sociologist, Robert N. Bellah. This term had also inspired the concept of ‘Islam madani’ (civil Islam) that was later promoted by Anwar Ibrahim in Malaysia, although it took a different trajectory under the state-led project of Islamisation.
According to Dr Azhar Ibrahim, whose past postdoctoral research in Copenhagen University drew on Cak Nur’s public theology, the humanist agenda of Cak Nur has yet to be appreciated in its fullness. The humanistic approach is not confined to religious thought but must be realised in other sectors of society, including education. Cak Nur himself, is an educator par excellence, having studied under a leading Islamic scholar and reformist, Professor Fazlur Rahman in Chicago University.
Despite all these, Cak Nur’s reformist views remain controversial within certain segments of society. Huda Ramli, who works for Sisters in Islam in Malaysia, reminds the audience of attempts to discredit Cak Nur’s thought under the amorphous term ‘liberal Islam’. There is currently a standing fatwa against ‘liberal Islam’, which made people afraid to explore views propounded by the likes of Cak Nur. The attacks against ‘liberal Islam’, it was noted, came from within the environment of politicisation of Islam, whose proponents are known as ‘Islamists’.
Hence, it is crucial to first critique the ideas of political Islam before Cak Nur’s humanistic views can take root. It must not escape observers that Cak Nur had anticipated the hardening of political Islam back in the 1970s, hence his call for “Islam, Yes; Islamic Party, No!” – which caused a stir in Indonesian society that reverberated throughout the region, particularly in Malaysia where the ruling party, UMNO was faced with the challenge of the Islamist party, PAS who called for Islam to be the basis of governance.
In the final analysis, whether one agrees or not with Cak Nur’s reformism, he remains as one of the formidable ulama of the contemporary Malay-Indonesian world. His vision for a civil religion – one that is tolerant, compassionate, democratic and open to religious diversity – is suited for a modern world that has to grapple with a multitude of problems in the spheres of politics, economy, education and social relations.
At the end of the day, it is important to remember that Cak Nur’s core approach is to highlight the ‘good of religion’ more than the ‘truth of religion’. No one can disagree on the good that religion brings to human civilisation, but not all can agree on the truth in every religion. The good, therefore, is inclusive and can be a unifying factor; while truth remains subjective, contested and even personal to every individual. The focus on the good is also what makes us human.
Fifteen years after his passing on, Cak Nur’s message remains relevant. In fact, it is more urgent considering that humanity is currently faced with the problems of violent extremism, sectarianism, terrorism and threats to the environment, including the pandemic and global climate change. Cak Nur’s values-based approach to religion and society can be invigorating for those who want to go beyond the current impasse in Islamic thought.
Written by: Mohamed Imran, taken from Facebook:

SENJA DI JAKARTA

BukuSenja
Buku puisi terbaru saya sudah terbit pada November 2017 oleh Penerbit Kosa Kata Kita

 

 

 

RG
Peluncuran Buku Puisi “SENJA DI JAKARTA” di The Reading Group, Singapura, 3 November 2017

 

jean
Ms Jean dan Buku SENJA DI JAKARTA, di ajang Singapore Writers Festival, 4 November 2017

 

Riri
Riri Riza, Produser dan Sutradara; mau diapain ini buku, Mas? hehe..
Irena
Dibaca di kelas Bahasa dan Budaya, Swiss German University (SGU) Tangerang,oleh Irena, Mahasiswi Smst 5 Jurusan Biomedical Engineering
Mekah
Alhamdulillah, sudah sampai di depan Kabah

 

Imi
Sudah ada di Jepang juga..

 

Fadiah
Testimoni, Fadiah (Singapura)
KKK
ETALASE

Jika anda berminat membeli buku ini sila menghubungi nomor telp/WA: 0857.5043.1305

 

Salam Puisi,

AHMAD GAUS

 

 

 

 

 

 

Hujan Lebat di Pasir Ris

rainBeach

/24/ Hujan Lebat di Pasir Ris

TENDA-TENDA yang berjajar di tepi pantai diterpa angin kencang. Matahari sore membiaskan cahaya merah pudar di kaki langit. Posisi pantai yang terletak di timur laut mata angin itu memang tidak sepenuhnya menyajikan keindahan panorama sunset. Namun keindahan yang sesungguhnya telah terpatri di hati Sally.

Ia merasa semua perhatian dari teman-teman barunya tertumpah kepadanya. Belum pernah ia merasa begitu dimanja — sejak tubuhnya terbenam di dunia yang sangat keras, dunia yang memaksanya untuk berdiri di atas kaki yang lunglai. Kini ia tahu ada dunia lain yang sangat bersemangat. Dunia yang hidup dalam pikiran anak-anak muda yang begitu optimis melihat ke depan.

Ini adalah hari ketiga ia dan Jihan berkumpul bersama teman-teman barunya di Singapura. Kadang ia merasa cemburu kepada Jihan yang begitu mudah berkomunikasi dengan mereka melalui bahasa orang-orang terpelajar yang tidak selalu ia pahami. Tapi Jihan memang berhak atas semua itu karena dia berpendidikan tinggi, berwawasan luas, berparas cantik, bertubuh sempurna, dan semua predikat baik yang pantas disandangkan kepadanya.

Sedangkan dirinya? Seorang perempuan kampung yang hanya sempat belajar satu tahun di perguruan tinggi. Itu pun di kota kecil yang jauh dari fasilitas modern seperti di kota besar. Terlintas rasa sesal bahwa ia pernah mengambil keputusan berhenti kuliah. Tapi perasaan itu segera ditepis. Ia tidak ingin menyalahkan orangtuanya. Situasilah yang memaksanya mengambil keputusan itu. Sejak ayahnya meninggal, ia mengambil tanggung jawab menjadi tulang punggung keluarga, karena ia anak tertua. Saat itu, Mega adiknya baru duduk di bangku kelas satu SMA dan si bungsu Fitri masih kelas lima SD. Keduanya membutuhkan biaya untuk melanjutkan sekolah. Ia harus bekerja. Mengadu nasib di Jakarta. Kota yang kejam bagi mereka yang lemah.

Tapi Sally tidak merasa lemah. Ia hanya merasa sedih. Kesedihan yang mendadak muncul saat ia berada di puncak bahagia, berkumpul bersama anak-anak muda yang tak henti-henti mencandainya dengan cerita-cerita lucu, sambil menunggu sesi barbeque setelah lelah berdiskusi.

Sally merasa gamang untuk tertawa. Hanya senyuman kecil tersungging di sudut bibirnya. Ia tahu, anak-anak muda itu tulus. Sejak perkenalan beberapa hari lalu, ia merasa mereka bahkan sangat memanjakannya. Jihan yang baik hati seperti sengaja menciptakan situasi agar seluruh perhatian anak-anak muda itu dicurahkan kepadanya. Aaaahh… Jihan memang seperti seorang kakak yang mengemong adiknya. Tapi kini perhatian itu membuatnya jengah. Ia tersudut — oleh perasaannya sendiri.

“Ayo, makanan sudah siap.” Seseorang berteriak.

Tangan-tangan bersilangan di atas meja. Sendok dan garpu beradu. Mulut-mulut mulai mengunyah. Tapi Sally tetap diam. Jihan membantu menyiapkan satu porsi untuknya.

“Makan dulu, Sal,” ujarnya lembut, seperti tahu temannya sedang gelisah memikirkan sesuatu.

“Kamu ingat si peneror itu lagi?”

“Bukan, Jihan, aku ingat ibu dan adik-adikku, kenapa aku tidak memberitahu mereka soal kepergianku ke sini. Firasatku tidak enak.”

“Ah.. itu kan perasaanmu saja, Sal. Ya sudah, kalau begitu kamu hubungi saja mereka sekarang, supaya kamu merasa tenang.”

Saran yang baik. Sally mengambil telepon genggam dari dalam tasnya, berniat menulis pesan kepada adik-adiknya. Namun ia mengurungkan niatnya dan meletakkan kembali telepon genggam itu. Teman-teman yang lain memperhatikan tingkah laku Sally yang berbeda dari biasanya.

“Sally, kok tidak makan?” tanya Ana.

Mereka yang tengah asik menikmati barbeque menoleh ke arah Sally hampir bersamaan, membuatnya grogi. Tapi ia merasakan semua tatapan itu memancarkan getaran simpati dan perhatian pada dirinya. Tidak ingin merusak suasana, akhirnya ia memutuskan untuk menyantap makanan yang sudah disiapkan oleh Jihan.

“Terima kasih, Ana, rasa laparku baru muncul setelah melihatmu makan begitu lahap,” kata Sally. Kelakarnya memancing gelak tawa.

-o0o-

“Jangan pergi terlalu jauh, Sal,” teriak Jihan.

“Tidak, aku cuma mau menikmati angin pantai,” jawab Sally.

Pasir putih terhampar seperti butiran mutiara. Cahaya matahari sore yang masih tersisa hanya mampu mengintip dari balik awan yang mulai menebal. Anak-anak remaja berwajah oriental berkejaran di atas pasir basah. Tawa mereka berderai saat lidah ombak berhasil menyentuh kaki-kaki putih telanjang.

Sally terus melangkah menyusuri tepian pantai. Semakin menjauh dari teman-temannya yang kembali melanjutkan obrolan sehabis makan. Angin yang menerpa wajahnya terasa basah, entah karena mengandung butiran air laut atau rintik gerimis. Ia tidak peduli. Kakinya terus diayunkan.

Tiba-tiba ia teringat Bahar. Ia merasa bersalah telah menyia-nyiakan cinta pria itu. Mungkin ia akan lebih nyaman bersama Bahar, karena sama-sama dari kampung. Bukan bersama teman-teman barunya yang semuanya orang pandai — berpendidikan tinggi. Mereka lebih cocok dengan Jihan, gadis kota yang sangat mandiri, cantik, dan intelek.

Sally merindukan Bahar ada di sisinya. Tapi di mana Bahar sekarang? Apakah ia sudah kembali bekerja di kapal pesiar di Thailand setelah pertemuannya di kampung hanya meninggalkan perasaan kecewa, sebab Sally tidak memberinya kepastian apapun.

Kini Sally merasa itu adalah tindakan yang bodoh, yang membuatnya sangat tersiksa. Ia ingin Bahar ada di sampingnya. Bergandengan tangan. Berkejaran. Bergulingan di atas pasir — seperti pernah mereka lakukan saat di kampung, di kaki bukit, di area perkebunan tomat. Kalau hujan deras mengguyur ia ingin berada dalam pelukan pria itu. Berdua saja mencari tempat berlindung, atau membiarkan hujan membasahi tubuh mereka. So sweet…!!

Dan ilusi itu terlalu kuat untuk ditepis. Sosok Bahar menguasai pikirannya, dan menjelma di hadapannya.

“Kang Bahar.”

“Salimah.”

“Kok ada di sini?”

“Kenapa Kang Bahar juga ada di sini?”

“Kapalku merapat karena cuaca buruk, tidak bisa melanjutkan perjalanan ke Thailand.”

“Kalau saya sedang bersembunyi, Kang.”

“Bersembunyi? Dari siapa?”

“Dari orang-orang yang akan membunuhku.”

“Siapa yang akan membunuhmu, Limah? Memang kamu salah apa?”

“Aku tidak salah, Kang, tapi aku dijebak.”

Sekonyong-konyong suara petir menggema. Sally tersentak. Tubuhnya limbung. Bahar meraih tubuh itu. Tubuh yang sudah sangat dikenalnya. Suara petir kembali menyalak. Kali ini disertai hujan yang tiba-tiba turun dengan derasnya. Bahar membopong tubuh Sally, membawanya berlindung di bawah pohon.

Di tempat lain Jihan dan teman-temannya berlarian meninggalkan tenda yang meliuk-liuk diterjang angin dan hujan deras. Tempat yang aman ialah ruang dalam restoran. Tapi pengunjung yang terlalu banyak dan semua masuk ke dalamnya membuat restoran yang luas itu terasa sempit.

“Man Sally? Mana Sally?” Beberapa orang bertanya kepada Jihan. Tampak wajah-wajah yang cemas.

“Tadi pergi ke sana.” Jihan menyahut, menunjuk ke satu arah.

“Kamu susullah dia, Imran, nanti dia tersesat.” Suara Rosnidar bergetar.

Bagaikan mendapat aba-aba, Imran dan kawan-kawan bergegas menerobos hujan. Berlari ke arah yang ditunjuk oleh Jihan. Suara petir bersahutan dengan debur ombak. Mereka terus berlari. Berharap bisa menemukan Sally. Sebelum langit benar-benar gelap.[]

________________
Tulisan di atas adalah cuplikan dari novel terbaru saya yang akan terbit Januari 2013, berjudul PENULIS HANTU.

Saran/respon via Twiter: @AhmadGaus FaceBook: Gaus Ahmad email: gausaf@yahoo.com PIN 21907D51