Para Distopian Negara Syariah

 

Screenshot_010719_085402_AM

Para Distopian Negara Syariah

 

Oleh Ahmad Gaus AF

Artikel ini dibuat sebagai tanggapan terhadap tulisan Denny JA yang berjudul NKRI Bersyariah atau Ruang Publik Yang Manusiawi? Tulisan tersebut juga telah ditanggapi (pro-kontra) oleh tokoh-tokoh agama, cendekiawan, akademisi, aktivis, dan para pengamat. Kalau boleh diringkaskan, intisari dari tulisan Denny JA ialah: menolak NKRI Bersyariah seperti yang selalu digaungkan oleh Habib Rizieq Shihab dkk dalam aksi 212 (2016 dan 2017), dan terus disuarakan melalui calon presiden hasil ijtima’ ulama 212, yakni Prabowo Subianto.

 

Mengapa Denny JA menolak NKRI Bersyariah? Alasannya, NKRI ber-Pancasila sebagai fondasi bangsa sudah cukup dan sudah final. Kita harus fokus ke sana, agar tidak banyak waktu terbuang untuk mempersoalkan hal-hal yang sudah selesai. Selain itu,  berdasarkan Islamicity Index maupun World Happiness Index, ternyata negara-negara Islam tidak ada yang masuk top 10 negara yang paling islami maupun yang paling tinggi skor Happiness Index-nya. Semua diisi oleh negara-negara non-Islam (Barat). Dengan kata lain, negara-negara Islam yang mendengung-dengungkan syariah ternyata gagal menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan nyata mereka. Negara-negara Muslim tidak selalu identik dengan nilai-nilai Islam itu sendiri.

 

Melihat kenyataan tersebut, kita teringat pada kata-kata seorang pembaharu Islam Mesir, Syeikh Muhammad Abduh yang sangat terkenal: “Saya melihat orang Muslim di Mesir, tapi saya tak melihat Islam di sini. Adapun di Eropa saya tak melihat orang Muslim, namun saya melihat Islam di sana.” Apa nilai-nilai Islami yang dimaksud oleh Islamicity Index itu? Yakni: Economic Islamicity, Legal and Governance, Human and Political Rights, dan International Relation Islamicity Index. Denny JA meringkasnya menjadi “Ruang Publik yang Manusiawi”, yang menurutnya semua negara modern saat ini sedang menuju ke arah sana.

imageproxy

Dapat kita tambahkan bahwa negara-negara Islam bukan saja tidak mampu menerapkan nilai-nilai yang mendukung terciptanya ruang publik yang manusiawi, bahkan juga mengimplementasikan nilai-nilai yang bersebrangan dengan itu. Contoh yang paling kongkrit ialah terorisme. Tentu kita tidak boleh menuduh negara-negara Islam mendukung terorisme. Tapi juga tidak perlu membantah bahwa terorisme yang marak dalam 2 dasawarsa terakhir ini lahir dari rahim Islam — setidaknya dari komunitas Muslim. Aksi terorisme terbesar dalam sejarah yakni penyerangan World Trade Center di Amerika Serikat pada 11 September 2001 mencengangkan banyak orang, dan sekaligus menggugat klaim Islam sebagai agama damai. Yang muncul kemudian citra Islam yang agresif dan anti-kemanusiaan, serta kaum Muslim yang kasar, bengis, dan berdarah dingin.

 

Seorang sarjana Barat tercengang ketika bertemu dengan seorang Muslim Libya yang tinggal di Amerika yang mengatakan “11 September merupakan hari yang paling indah dalam hidup saya.” (Robert Spencer, 2002). Dia terfana kok ada orang Islam bergembira ketika orang lain tertimpa musibah. Kok bisa orang-orang Islam berpesta di jalan-jalan raya di Palestina, Baghdad dan Indonesia ketika ribuan orang meregang nyawa. Dia bingung, hati orang Islam itu terbuat dari apa? Ini yang membuat dia berusaha keras mencari akar-akar kekerasan dalam Islam. Kemudian dia membuka-buka al-Quran dan menemukan ayat yang bunyinya begini:

 

Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir maka hantamlah batang leher mereka. Dan apabila mereka menyerah tawanlah mereka. Sesudah itu bolehlah dibebaskan atau mintakan tebusan sampai perang usai. (QS Muhammad/47:4)

 

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tapi janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka karena mereka telah mengusir kamu. Dan fitnah itu lebih kecam daripada pembunuhan (QS. 2: 190-191)

 

Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrik di mana pun saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan salat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. 9: 5)

 

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar, yaitu orang-orang yang diberikan Al-Kitab kepada mereka sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. (QS. 48: 29).

 

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi kasih sayang antar sesama mereka. (QS. 48: 29).

9781893554771

 

Menurut Spencer, tidak ada ayat dalam al-Quran yang menjelaskan keharusan menyebarkan kedamaian kepada orang-orang kafir. Bahkan, ujarnya, penegasan surat 48: 29 di atas, umat Islam dibolehkan untuk tidak berlaku kasih dan sayang kepada non-Muslim. Atas dasar itu Spencer berkesimpulan bahwa kekerasan itu memang memiliki akar yang menghunjam kuat di dalam jantung Islam. Maka tindakan Osama bin Laden menyerang Amerika dan membunuh orang-orang yang tidak berdosa itu tidak menyimpang dari Islam. Bahkan mendapatkan dukungan doktriner dan teologis. Dengan kata lain, Osama bin Laden tidak sedang membajak Islam sebagaimana dikatakan oleh banyak sarjana. Yang dilakukan oleh Bin Laden adalah mengamalkan Islam dengan sebenar-benarnya. Maka pertanyaan: Apakah Islam agama damai? Dijawab dengan tegas oleh Spencer: tidak!

 

Tentu saja kita tidak sedang membenarkan klaim-klaim Spencer yang tampaknya tidak mampu melihat konteks turunnya ayat-ayat tersebut (asbabun nuzul). Namun pandangan Spencer tidak boleh dianggap sepele karena telah menjadi bagian dari kesadaran mayoritas non-Muslim terhadap Islam dan kaum Muslim. Sebagai bahan introspeksi, pandangan seperti Spencer ini penting diperhatikan, terlebih saat sekarang sebagian kaum Muslim ingin menerapkan syariat Islam di tingkat negara dalam jargon NKRI Bersyariah.

 

NKRI Bersyariah?

 

Konsep NKRI Bersyariah memang belum dirumuskan secara gamblang oleh para pendukungnya. Namun praktik permulaan dari motiv semacam itu dapat dilihat dari Peraturan-Peraturan Daerah (Perda) Syariah yang banyak bermunculan dalam 20 tahun terakhir. Perda-perda Syariah ini pada umumnya difasilitasi oleh fraksi partai-partai Islam di DPRD di daerah bersangkutan dengan dukungan atau desakan dari kelompok-kelompok garis keras: Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI) dan berbagai organisasi kelaskaran yang muncul dengan label Islam seperti Laskar Jihad, Laskar Jundullah, Laskar Fi Sabilillah, dan lain-lain. Tak jarang fraksi-fraksi partai berhaluan kebangsaan pun dengan terpaksa ikut membidani lahirnya Perda-perda Syariah tersebut, baik karena alasan mencari aman, takut dituduh anti-Islam, atau karena alasan-alasan pragmatis kekuasaan (oportunisme).

maxresdefault

Kelompok-kelompok garis keras punya taktik jitu untuk menundukkan para penentang Perda Syariah yaitu menyebut mereka sebagai anti-Islam. Dan tuduhan ini sangat efektif karena menciptakan rasa takut di kalangan sebagian orang Islam. Mantan Amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Abu Bakar Ba’asyir bahkan pernah mengancam, “Jika pemberlakuan syariah Islam dihalang-halangi maka umat Islam wajib berjihad,” tegasnya seperti dikutip Andi Muawiyah Ramli dalam Demi Ayat Tuhan: Upaya KPPSI Menegakkan Syariah Islam (2006; 387).

 

Ba’asyir menambahkan bahwa berjihad untuk melawan kaum kufar yang menghalangi dan menentang berlakunya syariah Islam adalah wajib dan amal yang paling mulia. Ia menuding para penentang Perda Syariah sebagai kafir. Tentu saja anggota DPRD atau pemerintah daerah yang “lemah imannya” akan gentar mendengar ancaman semacam itu.

 

Kalangan Islam moderat yang memiliki visi kebangsaan menentang Perda-perda Syariah Islam. KH Abdurrahman Wahid pernah menyebut Perda-perda Syariah yang banyak bermunculan belakangan sebagai kudeta terhadap Konstitusi. Sementara sesepuh Muhammadiyah Prof. Dr. Ahmad Syafii Maa’rif menanggapi maraknya Perda Syariah yang cenderung diskriminatif, menegaskan bahwa jika syariah Islam benar-benar diterapkan sebagai dasar hukum negara maka perpecahan tidak hanya terjadi antara kelompok Muslim dan non-Muslim tapi juga antara sesama umat Islam sendiri. (Syariat Islam Yes, Syariat Islam No, Paramadina, 2001). Syafii tidak berlebihan. Salah satu reaksi atas lahirnya Perda-perda Syariah adalah gagasan umat Kristiani menjadikan Manokwari, Papua Barat, sebagai “Kota Injil”, beberapa waktu lalu. Kemudian bergulir juga wacana untuk menerapkan “Perda Hindu” di Bali, “Perda Kristen” di Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Timur yang mayoritas penduduknya Nasrani.

Abu-Bakar-Baasyir-20140805-johan

Jika logika penerapan syariah ini diteruskan maka yang disebut NKRI Bersyariah itu tiada lain ialah NKRI tanpa Papua, NTT, Bali, sebagian Maluku, sebagian Sulut, dan sebagian Sumut. Dengan kata lain,  penerapan syariah secara formal bukan hanya akan membelokkan Indonesia menjadi negara Islam namun juga menimbulkan perpecahan bangsa.

 

Mengapa sebagian kaum Muslim begitu terobsesi dengan penerapan Syariah secara formal? Benarkah Perda-perda Syariah mendorong kehidupan yang lebih baik seperti yang diyakini oleh faksi-faksi pendukung Prabowo seperti PKS, HTI, FPI? Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Dalam penelitian yang diberi judul Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim (Kamil dan Bamualim, 2007) tersebut terungkap bahwa tidak ada korelasi antara kesejahteraan masyarakat dengan penerapan Perda Syariah; kehidupan masyarakat tidak berubah antara sebelum dan sesudah diberlakukannya Perda-perda Syariah. Bahkan diungkapkan bahwa Perda-perda Syariah justru memicu terjadinya berbagai pelanggaran hak-hak sipil kalangan non-Muslim dan kaum perempuan.

islam ham

Kalangan non-Muslim terkena kewajiban untuk melaksanakan beberapa aspek dari Perda Syariah. Di Kabupaten Cianjur, misalnya, dilaporkan seorang perempuan non-Muslim mengaku dipaksa mengenakan jilbab di kantor setiap hari Jumat. Pemaksaan serupa juga menimpa seorang guru di sekolah negeri dan seorang siswi sebuah SMU. Bagi siswi yang menolak, orang tuanya diharuskan mengajukan permohonan dan pernyataan bahwa siswi tersebut adalah non-Muslim. Jilbabisasi juga diberlakukan terhadap keturunan Tionghoa yang bekerja di kantor BCA Cianjur. Kalangan non-Muslim tidak dilibatkan sama sekali dalam proses pengambilan keputusan penerapan syariah Islam di Cianjur, tetapi pada beberapa kasus ternyata konsep syariah Islam diberlakukan juga bagi kalangan non-Muslim.

 

Menurut laporan the Wahid Institute tahun 2008, kaum perempuan non-Muslim di Padang (Sumatera Barat) dan Bulu Kumba (Sulawesi Selatan) juga terkena kewajiban memakai jilbab setelah keluarnya Perda Syariah. Seorang wali murid Katolik yang 2 anak perempuannya dipaksa memakai jilbab di sekolah negeri di Padang mencoba membujuk anaknya bahwa jilbab hanya sekadar etika berpakaian, jadi sebaiknya ikuti saja peraturan itu. Namun, anak-anaknya merasakan bahwa kewajiban berjilbab itu lebih dari sekadar etika berpakaian. Mereka merasakan bahwa saat ini berada dalam suatu lingkungan yang memusuhi agama mereka. Beberapa siswi lain menyatakan bahwa saat ini mereka dipandang oleh rekan-rekannya sebagai telah pindah agama ke Islam karena memakai jilbab. Menanggapi kasus-kasus ini, seorang tokoh Katolik di Padang menyatakan bahwa Perda Syariah telah menimbukan dampak psikologis yang cukup serius terhadap kalangan siswi non-Muslim.

 

Hasil riset CSRC juga menyebutkan bahwa Perda-perda Syariah pada umumnya bersifat diskriminatif terhadap kaum perempuan. Perda jilbab, anti-prostitusi, dan larangan keluar malam bagi perempuan tanpa muhrim yang diberlakukan secara serampangan telah menimbulkan ketakutan bagi kaum perempuan untuk beraktivitas di luar rumah di malam hari. Di Aceh, kaum perempuan yang tidak berjilbab dipermalukan di depan umum dengan dipotong rambutnya. Peraturan mengenai jilbab dalam Perda telah mendiskreditkan perempuan yang tidak memakai jilbab, padahal hukum berjilbab itu sendiri masuk dalam ranah khilafiyah, ada ulama yang mewajibkan dan ada yang tidak.

 

Komoditas Politik

 

Selain alasan-alasan yang telah dikemukakan di atas, pragmatisme kekuasaan juga menjadi pintu masuk yang lain bagi formalisasi syariah Islam di daerah-daerah. Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada merupakan contoh penting dari kasus ini. Seorang calon Kepala Daerah tidak jarang menawarkan syariah sebagai “jualan” mereka untuk menarik perhatian pemilih. Cara ini juga ditempuh elit politik untuk meningkatkan legitimasi keagamaan mereka di mata publik.

 

Dalam kasus ini, syariah Islam tidak lebih dari sekadar komoditas politik. Kolaborasi antara elit politik oportunis dengan kelompok-kelompok garis keras telah menjadi gejala politik baru yang bertanggung jawab atas keluarnya banyak Perda Syariah Islam. Kepentingan politik di balik penerapan Perda-perda Syariah telah membutakan kalangan elit politik yang haus dukungan massa tentang keragaman tafsir Islam di masyarakat.

md-nkri-5d502e8b097f362f3d5bbe92

Semua penafsiran dibungkam, ditundukkan ke dalam satu pemahaman syariah versi kelompok garis keras. Itu sebabnya muatan Perda-perda Syariah yang bermunculan di berbagai daerah tidak jauh berbeda dengan aturan-aturan hukum yang diterapkan oleh rezim garis keras seperti Taliban di Afghanistan. Sayangnya banyak orang yang tidak menyadari hal tersebut, atau telah terprovokasi oleh kelompok-kelompok garis keras yang selalu siap dengan senjata pamungkasnya: “Ikuti kami atau anda memang anti Islam, kafir, dan harus diperangi!”

 

Para Distopian

 

Dari hasil-hasil riset di atas tergambar bahwa para pengusung formalisme syariah bukan saja tidak pernah berpikir untuk menciptakan ruang publik yang manusiawi, bahkan juga terperosok pada pandangan dan tindakan anti-kemanusiaan. Tindakan ini serupa belaka dengan kaum distopian, yakni para penyelenggara rezim-rezim fasis-totaliter yang ingin mengontrol seluruh kehidupan individu warganya dari mulai bangun tidur sampai tidur lagi.

 

Dalam novel terkenal “1984” yang terbit tahun 1949, George Orwell, penulisnya, menggambarkan rezim yang benar-benar menindas, di mana manusia tidak memiliki individualitas dan kebebasan. Rezim yang sungguh tidak manusiawi, dimana orang harus mematuhi serangkaian aturan yang ketat dan terus-menerus dipantau oleh Polisi Pikiran. Bahkan berpikir di luar aturan itu bisa dihukum. Sebelum Orwell, pernah terbit juga novel karya Yevgeny Zamyatin yang berjudul We (1920) yang dilarang oleh eks Uni Soviet. Gambaran dalam buku ini pun sama: segala sesuatu dikendalikan oleh kaum distopian, rezim penindas, termasuk ketika kita makan dan berhubungan seks. Tidak ada yang diizinkan berpikir sendiri.

 

Kita tidak bisa membayangkan jika syariah Islam diterapkan secara formal dalam negara dan dikendalikan oleh rezim tafsir tunggal versi salafi-wahabi atau taliban. Keragaman pandangan akan dibungkam. Dan para penguasa yang berbicara atas nama Tuhan sangat potensial menjadi kaum distopian yang merasa berhak untuk mengejar-ngejar orang lain yang berbeda.

 

Sementara itu para pendiri bangsa yang arif dan bijaksana dengan gagasan Pancasila menginginkan nilai-nilai Islam meresap ke dalam kehidupan nyata tanpa perlu diformalkan di level pemerintahan dan negara. Dengan begitu Islam menjadi agama yang berwajah humanis, sejalan dengan misinya sendiri sebagai agama rahmatan lil alamin (kasih-sayang untuk semua). []

 

NOTE:

Tulisan ini dimuat dalam buku “NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi: Tanggapan 21 Pakar terhadap Denny JA”, Editor: Dr. Satrio Arismunandar, Jakarta: Cerah Budaya Indonesia, 2019.  Versi PDF nya lihat di sini:

Click to access denny-ja_nkri-bersyariah-atau-ruang-publik-yang-manusiawi-polemik.pdf

BIODATA:

Ahmad Gaus AF: Penulis, peneliti, dosen, dan aktivis. Lebih dari 20 buku telah lahir dari tangannya. Selain menulis buku ia juga menulis artikel dan kolom di berbagai surat kabar, majalah, dan jurnal seperti Kompas, Media Indonesia, Republika, Suara Karya, Majalah Gatra, Matra, Gamma, Panji, Jurnal Kultur, Jurnal Afkar, dan lain-lain. Sebagian besar bukunya bertema agama, politik, sastra, dan kebudayaan. Ia juga banyak menulis biografi tokoh-tokoh nasional seperti: Nurcholish Madjid (Cendekiawan), Djohan Effendi (tokoh pluralisme dan mantan Mensesneg), Utomo Dananjaya (Pakar Pendidikan), dll. Sejak 2007 sampai sekarang mengajar mata kuliah Bahasa, Sastra, dan Kebudayaan di Swiss German Univesity (SGU), BSD City, Tangerang.

Pandangan Sufistik: Mengapa Kita Tidak Boleh Membenci Corona?

sufi

Segala sesuatu di dunia ada batas waktunya: penghidupan maupun penghabisannya.

Corona diutus-NYA untuk suatu masa tertentu. Telah ditetapkan-NYA berapa nyawa dihindarinya dan berapa nyawa direnggutnya.

Jangan meminta Corona pergi sebelum waktunya pergi. Memintanya berlalu sebelum habis batas waktu seperti meminta siang di saat malam dan sebaliknya, meminta sore di kala pagi dan sebaliknya.

Bershobarlah, semua ada giliran dan dipergilirkan-NYA. Cukupkan bermohon kepada-NYA agar terjaga dari serangan Corona, dianugerahi kekuatan untuk bertahan, dan masih diberkahi panjang usia dengan dimampukan mengisi hari-hari #dirumahajah dengan positif dan tetap produktif.

Jangan membenci Corona. Membenci Corona membenci Pencipta-NYA. Cukuplah kita waspada saja, sebab ia hanya melakukan tugas dari-NYA.

Ketahuilah,
Corona diutus-NYA dengan misi untuk menguji kesetiaan hati kita untuk tidak berpaling dari-NYA, mengetes seberapa besar nyali kita untuk tidak takut Corona, ciptaan-NYA, dan kita tetep teguh hanya takut kepada-NYA.

Tetaplah setia hati kita kepada-NYA, tetaplah takut kita hanya kepada-NYA dengan selalu mengingat-NYA, terus mendekat dan lekat kepada-NYA. Sebab hanya dengan sikap jiwa demikian Corona tak kan menyentuh apalagi mengganggu kehidupan kita. Janji utusan-NYA, Nabi Agung Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, MAN KHOFALLOH KHOFAHU KULLU SYAI (Barangsiapa yang takut hanya kepada ALLOH, ia ditakuti segala sesuatu).

Untuk itu, ikutilah selalu orang yang selalu ingat, dekat, dan lekat dengan ALLOH. Orang yang hanya takut kepada ALLOH. Kita akan terbawa.

Salam Kajembaran Rohmaniyah,
abahjagat21

Sumber: KENAPA JANGAN MEMBENCI CORONA http://tqnppsuryalaya.com/kenapa-jangan-

 

 

 

 

 

 

SARJANA TUA

Ini bukan lagu satire Iwan Fals yang menohok sarjana muda pencari kerja setelah empat tahun lamanya bergelut dengan buku, dan ternyata ijazahnya sia-sia…!!

Ini sarjana tua yang benar-benar menghabiskan waktu belasan tahun lamanya hanya untuk meraih gelar es dua.

Alhamdulillah ala kulli hal..

391A8205

Foto: Prosesi wisuda saya pada 27 April 2019 di Auditorium  Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina, Jakarta, oleh Rektor Prof Dr Firmansjah.

Barangkali ada yang penasaran dengan tesis saya, berikut adalah abstraknya

GERAKAN PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM NURCHOLISH MADJID DAN PARA PENERUSNYA: Analisis Wacana Kritis atas Lahirnya Gerakan Post-Pembaruan.

“Gerakan pembaruan pemikiran Islam yang dipelopori oleh Nurcholish Madjid pada dasawarsa 1970-an dan 1990-an menegaskan dua agenda utama yaitu: pembaruan teologi politik dan pembaruan keimanan. Penelitian ini ingin melihat bagaimana gerakan tersebut terbentuk, sejauhmana ia mampu memengaruhi wacana publik pada masanya dan masa sesudahnya, dan mampukah ia melahirkan gerakan penerusnya, atau gerakan yang melampauinya baik dari segi bentuk maupun substansinya.”

“Penelitian ini menggunakan metode analisis wacana kritis (critical discourse analysis). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Nurcholish Madjid telah berhasil dengan gemilang membangun praktik diskursif yang membuat gerakan dan agenda pembaruannya menjadi wacana dominan dan memberi pengaruh yang sangat besar baik dalam debat publik keagamaan selama tiga dasawarsa terakhir maupun dalam kehidupan sosial politik dan keagamaan kaum Muslim. Selain itu, gerakan ini juga telah melahirkan generasi penerus di masa ketika formasi-formasi diskursif telah berubah, relasi-relasi kuasa diruntuhkan, dan kebenaran dikondisikan kembali.”

“Generasi ini melanjutkan dan sekaligus merevisi beberapa bagian dari gagasan pembaruan Nurcholish melalui strategi diskursif yang berbeda, sehingga dapat disebut sebagai gerakan Post-Pembaruan.”

Kata Kunci: Gerakan Pembaruan, Nurcholish Madjid, Analisis Wacana Kritis, Gerakan Post-Pembaruan

Jumlah halaman: 218+ix
Daftar pustaka: 123 (1970 – 2018)

Tesis ini sedang saya kembangkan menjadi sebuah naskah buku. Untuk keperluan itu judulnya saya ubah (lihat daftar isi di bawah). Sengaja saya infokan di sini, siapa tahu ada penerbit yang melihat dan tertarik untuk menerbitkannya. Kalau tidak, ya tidak apa-apa juga. Saya akan simpan saja untuk kenang-kenangan anak-cucu.

Salam hormat
AHMAD GAUS

Outline buku

GERAKAN POST-PEMBARUAN:
Arus Besar Reformasi Pemikiran Islam Pasca Nurcholish Madjid

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

BAB II NURCHOLISH MADJID DAN GERAKAN PEMBARUAN

Pemikiran Islam

Sikap Politik

Gerakan Pembaruan

BAB III DUA AGENDA PEMBARUAN NURCHOLISH MADJID

Pembaruan Teologi Politik

Pembaruan Keimanan

Pengaruh Gerakan Pembaruan

BAB IV GERAKAN POST-PEMBARUAN

Jaringan Islam Liberal

Fiqih Lintas Agama

Membela Kebebasan Beragama

BAB V PEMIKIRAN POST-NURCHOLISH

Tradisi Nurcholishian

Neo-Nurcholishme

Nurcholish Kanan Vs Nurcholish Kiri

Komposisi dan Prospek Nurcholish Tengah

Para Pemikir Post-Nurcholish

BAB VI PENUTUP

Kesimpulan dan Rekomendasi

Note:

Kalau ada penerbit tertarik menerbitkan buku ini silakan hubungi saya di nomor berikut ini: 0857 5043 1305

Ahmad Wahib dan Pergolakan Pemikiran Islam

Wahib
Ahmad Wahib adalah nama yang sangat sering disebut ketika kita membicarakan perkembangan pemikiran Islam. Siapakah dia? Seberapa menarik pemikiran-pemikirannya sehingga ia tetap dikenang sebagai pemberontak pemikiran dan namanya menjadi legenda? Dan mengapa penting sekali “menghidupkan kembali” Ahmad Wahib dalam diskursus keislaman kita sekarang?
Dalam video ini, Ahmad Gaus AF mengupasnya untuk Anda. #AhmadWahib #AhmadGaus #PemikiranIslam #Islam
Wahib 3
Wahib 2
Salam,
Ahmad Gaus

Dalam Fana

Dalam Fana

dalam fana aku tiada
dalam tiada aku mengada
aku adalah debu purba
dihempas angin negeri-negeri tua
mencari tempatku di alam semesta
namun tak ada

aku adalah setitik air
berkelana mencari samudera
ingin melebur dalam keluasannya
namun tak sampai jua

kuikuti jalan fana
dalam fana wujudku tiada
aku melihat tidak dengan mata
mendengar tidak dengan telinga
berkata tidak dengan mulut
meraba tidak dengan tangan
mencium tidak dengan hidung
sebab indraku terputus
segala yang ada pupus

pikiranku sirna karena aku tidak membutuhkannya
perasaanku sirna karena aku tidak mengindahkannya
pikiran dan perasaan membuatku
terpenjara dalam ruang dan waktu
sedang burung-burung jiwaku
datang dan pergi tak kenal waktu

aku tidak hidup di bawah langit
aku tidak hidup di atas bumi
sebab langit dan bumi tidak ada
ruang dan waktu tidak ada
dan dalam tidak ada apa-apa
hanya DIA yang mutlak ada

dalam fana aku tiada
dalam tiada aku mengada
bersama Sang Ada

Puisi: Ahmad Gaus

Puisi ini dibacakan dalam Kultum Ramadan di Gedung Film, Jl. MT Haryono Kav. 47-48, Jakarta, 09 Mei 2019

kultumLSF

Masjid Cak Nur

 

Sebuah Masjid di Atas Langit

 Oleh Ahmad Gaus AF

 

 

Dalam suatu pertemuan Majelis Reboan, awal tahun 1985, KH Abdurrahman Wahid menantang Nurcholish untuk membuat gebrakan baru, setelah menyelesaikan PhD-nya di Universitas Chicago, AS.[1] Menjawab tantangan itu, Nurcholish mengatakan bahwa ia ingin membangun masjid ketiga terbesar di Indonesia setelah Masjid Istiqlal di Jakarta dan Masjid Syuhada di Yogyakarta. Mendengar itu Abdurrahman Wahid terbahak, diiringi gelak tawa para peserta pertemuan yang ada di situ (Utomo Dananjaya, Ekky Syahruddin, Soetjipto Wirosardjono, Masdar F. Mas’udi, dll). Mereka menduga Nurcholish sedang berkelakar.

gusdur-caknur2

Waktu itu, Abdurrahman Wahid belum lama terpilih sebagai Ketua Umum PB NU dalam Muktamar Situbondo. Sebagai masinis dari gerbong yang mengangkut 40 juta kaum santri, ujarnya, dia tidak berpikir untuk membikin masjid, masa’ Nurcholish yang baru meraih gelar doktor bidang keislaman dari Amerika, pulang ke Indonesia cuma mau membikin masjid.

Tapi, Nurcholish tidak sedang berkelakar. Ia menjelaskan bahwa universitas-universitas besar dan ternama di Amerika, pada mulanya tumbuh dari lingkungan kompleks keagamaan semacam pesantren di Indonesia. Ia menyebut pendeta Harvard yang “pesantren”-nya kemudian tumbuh menjadi Universitas Harvard yang besar dan paling berperan dalam pengembangan ilmu pengetahuan modern. Karena faktor-faktor kesejarahan tertentu seperti penjajahan, ujarnya, pesantren-pesantren di Indonesia berada di pinggiran kota, dan tidak tumbuh menjadi universitas yang berpengaruh semacam Harvard.

Menurut Nurcholish, ia tidak berencana mendirikan pesantren, karena ia bukan kiai seperti Abdurrahman Wahid, melainkan ingin membangun masjid yang akan berfungsi semacam “pesantren”, dan kemudian tumbuh di dalamnya universitas. Predesen semacam itu, urainya, bisa ditemukan di masa-masa kejayaan peradaban Islam di Baghdad maupun Spanyol.

Madinatul Umran

Pada awal 2003, dalam sebuah forum yang diselenggarakan oleh ICRP, Abdurrahman Wahid bertanya kepada Nurcholish apa yang sedang direncanakannya, selain mau maju sebagai calon presiden pada Pemilu 2004. Di luar dugaannya, Nurcholish memberikan jawaban yang sama dengan pernyataannya 18 (delapan belas) tahun silam, bahwa ia ingin membangun masjid. Abdurrahman Wahid tersentak. Lho, belum jadi juga toh masjid itu? Begitu pikirnya. Tapi kali ini ia sudah tahu Nurcholish serius. Bahkan, ia juga bicara soal dananya. “Namanya masjid monumen,” kata Abdurrahman Wahid menirukan Nurcholish saat itu. Ia kemudian menuturkan keberhasilan Nurcholish membangun sekolah dan universitas, tetapi sejauh ini belum berhasil membangun masjid. “Mungkin orang-orang yang mendukungnya ‘gak mengerti jalan pikiran Cak Nur,” ujar Abdurrahman Wahid, yang pernah mengucurkan dana Rp.500 juta untuk membantu pembelian kantor baru Paramadina.

Beasiswa Universitas Paramadina

Nama masjid yang dibicarakan itu sebenarnya ialah Madinatul Umran, yang berarti “peradaban kertaraharja”. Pada akhir dasawarsa 1980-an, Nurcholish  menggambar arsitektur masjid itu di langit-langit pikirannya. Kemudian, belasan tahun lamanya ia berusaha memindahkan lukisan masjid itu dari langit ke tanah yang keras. Namun, sampai hari ia dipanggil Tuhan pada 29 Agustus 2005, tak pernah ada peletakan batu pertama. Berbeda dengan sekolah-sekolah dan universitas yang diprakarsainya yang begitu cepat memperoleh dukungan sponsor, rencana pembangunan Masjid Madinatul Umran selalu tersendat. Para pendukung yang semula begitu antusias dan ingin segera merealisasikan rencana itu, satu persatu pergi dan tak terdengar lagi beritanya.

Melihat rancangan arsitektur, fasilitas, lokasi, dan prasarananya, masjid ini memang terbilang ambisius. Dari segi kemegahan, sebagai pembandingnya Nurcholish menyebut-nyebut Masjid Muhammad Ali di Kairo, Masjid Sulaimaniyah di Istambul, dan Taj Mahal di Agra. Dana yang diperlukan bagi pembangunan masjid mencapai Rp6,8 miliar (perhitungan tahun 1997). Lahan yang diperlukan untuk pembangunan masjid luasnya minimal 7000 (tujuh ribu) meter persegi dan berada di keramaian kota dengan tujuan untuk mengundang apresiasi dan menarik perhatian banyak orang. Saat itu telah ditentukan lokasinya di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, yang sekaligus juga akan menjadi lokasi kampus Universitas Paramadina.[2]

d06d2c88b48be4440587e8530a5be3e5

Keyakinan Nurcholish untuk mewujudkan impian akan sebuah masjid megah itu lahir dari pengamatannya sendiri tentang kelas menengah kota yang sedang tumbuh, terhadap siapa ia berharap akan mendapatkan dukungan yang memadai. Bersama Utomo Dananjaya dan beberapa pendiri Paramadina lainnya, Nurcholish mulai menjajakan konsep Masjid Madinatul Umran itu kepada calon-calon donatur potensial. Para jamaah Paramadina yang kebanyakan dari kelas menengah kota—yang diam-diam telah terbentuk menjadi segmen Muslim tersendiri sebagai hasil dari pengajian di hotel-hotel bintang lima yang dikelola Paramadina—sangat antusias menyambut rencana tersebut, dan menganggapnya sebagai cita-cita bersama. Mata para jamaah berbinar-binar manakala Nurcholish sudah mulai berbicara mengenai Masjid Madinatul Umran.

Pada bulan Januari 1990, dalam suatu kesempatan makan malam di Restoran Arirang, Jakarta, yang di-setting sebagai acara presentasi, para dermawan dan sejumlah pejabat tinggi pemerintah tampak hadir. Beberapa di antara mereka menyatakan kesiapan untuk mendukung pembangunan Madinatul Umran, bahkan ada yang langsung memberikan kantornya untuk digunakan sebagai sekretariat pembangunan masjid. Seorang menteri dari kalangan militer menyebut tentang adanya lima kemungkinan bakal lokasi masjid ini. Dermawan lainnya berjanji akan menjadi fasilitator dalam pertemuan-pertemuan fund raising.

Kepercayaan kepada Nurcholish sebagai ikon cendekiawan Muslim modern menjadi faktor penting bagi tumbuhnya harapan akan Islam Indonesia yang sedang bangkit menyongsong zaman baru. Mendengarkan bagaimana Nurcholish menjelaskan visi-misi Madinatul Umran sebagai episentrum peradaban, tidak syak lagi ia memang sangat serius dengan rencananya tersebut. Konsep yang memuat pandangan dasar, fungsi, dan peruntukan masjid sudah disusun, menyusul kemudian maket yang menggambarkan bangunan fisik, lingkungan, dan fasilitas masjid.

Akan tetapi, karena berbagai faktor dan kendala, perkembangan pembangunan masjid ini sering sekali tertunda. Baru pada 29 April 1997 sebuah kepanitiaan resmi dilantik di Hotel Regent, Jakarta. Di dalamnya tercatat nama-nama seperti Emil Abeng (putra Tanri Abeng/Presiden Direktur Bakrie Grup saat itu) yang duduk sebagai ketua panitia, Shahnaz Haque (aktris) dan Ratih Sanggarwati (peragawati dan foto model) yang dilibatkan untuk mobilisasi dana, serta sederet nama lain dari kalangan dalam Paramadina maupun simpatisan.

Monumen Ketiga

Masjid Madinatul Umran merupakan simbol perjuangan dalam mewujudkan cita-cita masyarakat beradab, adil, dan makmur. Nurcholish merujuk contoh perjuangan Nabi Muhammad SAW ketika hijrah dari Makkah ke Madinah. Hal pertama yang dilakukan Nabi ketika tiba di Madinah ialah membangun Masjid Nabawi (sesudah Masjid Quba yang dibangun di tengah perjalanan hijrah). Masjid Nabawi inilah yang menjadi modal utama perjuangan Nabi dalam mewujudkan masyarakat beradab. Fungsi masjid ini tidak hanya sebagai tempat kegiatan peribadatan, melainkan lebih luas lagi, yaitu menjadi pusat bagi segenap aktivitas beliau dalam berinteraksi dengan umat. Singkatnya, masjid ketika itu merupakan pranata terpenting masyarakat Islam.

Masjid Madinatul Umran dirancang oleh Nurcholish untuk menjadi monumen ketiga setelah Masjid Syuhada dan Masjid Istiqlal. Masjid Syuhada terletak di Yogyakarta, ibukota revolusi di masa perjuangan kemerdekaan. Nama Syuhada diambil dari bahasa Arab yang berarti pahlawan. Nama ini digunakan untuk memperingati jasa para pahlawan dan sekaligus sebagai doa kepada mereka yang telah berjasa bagi bangsa dan negara. Dengan demikian, Masjid Syuhada merupakan monumen kepahlawanan. Sementara itu, Masjid Istiqlal yang terletak di ibukota proklamasi, Jakarta, dibangun sebagai monumen kemerdekaan. Kata Istiqlal sendiri memiliki makna kemerdekaan.  Pembangunan Masjid Istiqlal dimaksudkan untuk mengingatkan bangsa Indonesia agar senantiasa bersyukur atas karunia kemerdekaan yang tak terkira nilainya, yang diperoleh atas jasa dan pengorbanan para Bapak Bangsa (the Founding Fathers).

Kedua masjid yang didirikan untuk memperingati hari-hari besar sejarah bangsa itu, menurut Nurcholish, menunjukkan adanya keinsafan dan kesadaran yang amat mendalam para pemimpin nasional kita tentang peranan jiwa keagamaan dalam kebangkitan, pertumbuhan, perkembangan, dan pembangunan bangsa. Jika Masjid Syuhada dibangun sebagai penanda fase revolusi, dan Masjid Istiqlal menjadi penanda fase kemerdekaan, maka Masjid Madinatul Umran dengan sadar direncanakan untuk menandai fase ketiga dalam sejarah perjalanan bangsa, yaitu pembangunan nasional. Bagi Nurcholish, pembangunan nasional memang masih jauh dari cita-cita konstitusional yang diamanatkan dalam UUD 1945. Masyarakat yang adil dan makmur sebagai cita-cita bersama pun masih harus terus diperjuangkan. Akan tetapi, ujarnya, kita tidak boleh mengingkari bahwa pembangunan telah membawa kebaikan bagi seluruh bangsa. Salah satu wujud nyata dari keberhasilan pembangunan ialah tetap utuh dan bersatunya seluruh tanah air dari Sabang sampai Merauke, dan makin kukuhnya kedudukan UUD 1945 dan Pancasila.

Seraya menegaskan perasaan bangganya terhadap hasil-hasil pembangunan yang menurutnya sangat mengesankan dan pantas dipanjatkan puji syukur ke hadirat Allah atas semua hasil itu, Cak Nur  menekankan pentingnya membangun sebuah masjid monumen. Masjid Madinatul Umran dimaksudkan sebagai masjid monumen itu. Sebagai monumen kebangsaan, yang merupakan kelanjutan dari masjid-masjid monumen Syuhada dan Istiqlal, Madinatul Umran dirancang untuk menampilkan unsur-unsur ekspresi artistik Islam Indonesia yang representatif. Dengan cara begitu, dari segi arsitektural, Masjid Madinatul Umran bukan hanya akan menjadi pendorong bagi perkembangan seni Islam Indonesia lebih lanjut, tapi juga menjadi suatu masterpiece  bangunan Islam Indonesia yang membanggakan sebagai salah satu landmark ibukota negara, seperti suksesnya Masjid Islamic Center di Washington D.C. sebagai salah satu landmark ibukota Amerika.

islamic-mosque-and-cultural

Usaha untuk menampilkan kembali unsur-unsur klasik dalam sebuah bangunan masjid modern memang bukan tanpa preseden. Dalam konteks ini, Nurcholish tidak menutupi kebanggaannya kepada Presiden Soeharto yang telah membangun ratusan masjid dengan konsep revivalisme arsitektur klasik Masjid Demak dalam arsitektur masjid-masjid yang didirikan oleh Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila yang dipimpin Pak Harto. Pandangan dasar Masjid Madinatul Umran ialah nilai-nilai keislaman dalam paduannya yang harmonis dan utuh dengan nilai-nilai keindonesiaan. Pancasila menjadi simbol perpaduan antara keislaman dan keindonesiaan, sebab Pancasila mengandung nilai-nilai tauhid yang menjadi pesan dasar Islam, dan sekaligus juga merupakan identitas bangsa Indonesia. Masjid Madinatul Umran dengan sadar dirancang untuk menjadi salah satu sumber usaha substansiasi dan pengisian nilai-nilai Pancasila. Sejajar dengan kedudukan Pancasila yang telah final sebagai dasar hidup bersama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka Masjid Madinatul Umran juga dididirikan untuk ikut memikul amanat toleransi dan kerukunan agama dalam masyarakat plural Indonesia.

Pusat Kegiatan Paramadina

Rencana pembangunan Masjid Madinatul Umran tidak terlepas dari pengembangan aktivitas Yayasan Wakaf Paramadina yang didirikan Nurcholish dan kawan-kawan pada tahun 1986. Karena itu, pandangan dasar masjid ini serupa dengan pandangan dasar Paramadina yang dibangun di atas prinsip kebebasan dan toleransi, dengan menekankan dialog dalam semangat keterbukaan. Program-program yang dirancang untuk menjadi kegiatan Madinatul Umran sebenarnya juga merupakan perluasan dari kegiatan Paramadina. Bahkan dalam konsep yang disusun oleh Nurcholish, dengan jelas disebutkan bahwa Masjid Madinatul Umran merupakan pusat kegiatan Yayasan Wakaf Paramadina.

Beberapa program pokok yang dirancang untuk menjadikan masjid sebagai monumen yang hidup, terlibat aktif, dan memberi kontribusi nyata dalam kehidupan masyarakat adalah sebagai berikut:[3]

  1. Peningkatan dan penyebaran faham keagamaan Islam yang luas, mendalam dan bersemangat keterbukaan, dengan titik berat kepada:

a)    Pemahaman sumber-sumber ajaran Islam, khususnya masa-masanya yang paling formatif, dalam kaitannya dengan lingkungan sosial, politik,, ekonomi, budaya, dll.

b)   Penyadaran tentang sejarah pemikiran Islam, khususnya masa-masanya yang paling formatif, dalam kaitannya dengan lingkungan sosial, politik,, ekonomi, budaya, dll.

c)    Penginsafan tentang segi-segi budaya dan peradaban dalam sejarah Islam dan bangsa-bangsa Muslim.

d)   Penanaman semangat non-sektarian dan pengembangan serta pemeliharaan ukhuwah Islamiyah dalam arti yang sebenar-benarnya.

e)    Pendalaman dan perluasan segi komparatif mazhab-mazhab dan aliran-aliran dalam Islam, antara lain guna menangkal timbulnya faham-faham kelompok yang sempit dan eksklusivistik.

f)     Pengembangan sikap penuh toleransi dan hormat kepada kelompok-kelompok agama lain yang damai dan bersahabat sebagaimana hal itu diajarkan oleh Islam.

 

  1. Penyediaansarana fisik guna menopang kegiatan tersebut, khususnya perpustakaan yang tepat dan benar-benar memadai.
  2. Penyelenggaraan kegiatan-kegiatan ilmiah khusus dalam bentuk berbagai halaqah (lingkaran, circle) ilmiah untuk para ulama, kaum intelektual, para dai dan mubalig, serta para mahasiswa dan remaja.
  3. Pengadaan penelitian dan pengembangan, serta penyelenggaraan pertemuan-pertemuan ilmiah tentang berbagai masalah aktual.
  4. Penyelenggaraan pendidikan manajemen dan kewirausahaan (entrepreneurship) guna ikut mendorong gerak dinamik pembangunan nasional.
  5. Pengadaan pelayanan masyarakat umum serta penyelenggaraan acara-acara seni dan budaya Islam.
  6. Penerbitan jurnal, booklet dan buku-buku ilmiah tentang keislaman dan keindonesiaan.
  7. Penggalangan kerjasama dengan lembaga-lembaga ilmiah di luar negeri, guna meningkatkan mutu intelektualitas Islam Indonesia.
  8. Inventarisasi, pemeliharaan, dan pengembangan warisan budaya Islam Indonesia guna memupuk kesadaran keislaman-keindonesiaan.

Banyak_Jalan_Menuju_Tuhan-PromoPuasa

Mereka yang mencermati perkembangan pemikiran Nurcholish sejak tahun 1970-an akan mudah menarik kesimpulan bahwa gagasan-gagasan yang dituangkan dalam rancangan kegiatan Madinatul Umran tidak lain adalah tema-tema pokok dari pikiran Nurcholish sendiri yang dicobanya untuk diwujudkan. Metode gerakan dakwahnya yang setia di jalan kultural membuatnya tetap percaya bahwa masjid adalah pusat budaya atau “kultur centrum”. Dari masjidlah—tempat nama Allah paling banyak disebut—memancar cahaya peradaban Islam. Karena itu, ke mana saja Nurcholish pergi mengunjungi negeri-negeri lslam, oleh-oleh cerita yang selalu dituturkannya tidak lain adalah masjid-masjid indah peninggalan kejayaan peradaban Islam di masa lampau.

Dengan menyebut Madinatul Umran sebagai pusat kegiatan Paramadina, menjadi jelas pula bahwa masjid ini merupakan muara dari semua impian Nurcholish tentang bangunan peradaban Islam yang agung, yang tak henti-hentinya ia suarakan. Akan tetapi, sebagaimana telah dikemukakan di atas, sampai akhir hayat Nurcholish tidak pernah ada peletakan batu pertama pembangunan masjid bernama Madinatul Umran. Obsesi yang terlampau besar untuk mewujudkannya, bertabrakan dengan fakta-fakta keras yang menghadangnya, melahirkan perasaan “frustasi” pada diri Nurcholish sehingga belakangan ia tidak pernah menyinggung soal pembangunan masjid itu lagi.[4]

DySgLzJUYAA8l76

 

Kisah sebuah Buletin

Saat ini, mungkin hanya Utomo Dananjaya yang matanya masih selalu berkaca-kaca setiap kali menatap maket bangunan masjid yang tak pernah terwujud itu—sebelum akhirnya maket itu sendiri pun raib entah ke mana. Abdurrahman Wahid mungkin orang terakhir kepada siapa Nurcholish menyampaikan impiannya tentang membangun sebuah masjid. Nama yang lainnya adalah Rahmat, yang selama 10 tahun menjadi sekretaris pribadi Nurcholish. Setelah kemangkatan Nurcholish pada 2005, Rahmat tetap mengabdikan dirinya mengurus kantor lama Paramadina yang telah diubah fungsinya menjadi mushalla. Bukan kebetulan bahwa mushalla ini diberi nama Mushalla Rahardja Paramadina. Rahardja dalam bahasa Arab semakna dengan Umran. Selain itu, sejak Juli 2007 Rahmat dan kawan-kawan juga secara rutin menerbitkan buletin Jumat bernama Madinatul Umran, untuk memelihara ingatan pada masjid impian itu.[5]

Dicetak setiap terbit sebanyak 800 eksemplar, buletin Madinatul Umran yang berukuran saku ini pada mulanya hanya dibagikan kepada jamaah salat Jumat di Mushalla Rahardja dan di kantor Paramadina yang baru di Pondok Indah Plasa III yang juga rutin mengadakan jumatan. Seratus eksemplar di antaranya dikirimkan melalui pos kepada lembaga-lembaga Islam dan sejumlah tokoh. Pendanaan buletin yang membutuhkan biaya Rp. 640 ribu setiap terbit dicarikan sendiri oleh Rahmat dari para jamaah dan donatur. Yayasan Medco dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Departemen Agama pernah tercatat sebagai penyumbang, selain beberapa individu yang mengulurkan bantuan atas nama pribadi.

DySgLzJUYAA8l76

Berbeda dengan buletin-buletin Jumat lain yang biasanya diedarkan di masjid-masjid, Madinatul Umran disebarkan di outlet-outlet laundry milik Joes Noerdin, pengusaha waralaba binatu ternama, 5 à Sec. Joes yang sejak lama bersimpati kepada Nurcholish belakangan bahkan menanggung semua biaya percetakan buletin, sedangkan biaya untuk pra-produksi diperoleh dari para donatur individual.

Buletin Madinatul Umran memuat materi khutbah Jumat yang disampaikan para khatib di Mushalla Rahardja Paramadina. Dalam setiap edisinya dimuat isi khutbah pertama dan khutbah kedua, sehingga materi buletin ini bisa langsung digunakan oleh para khatib pemula untuk bahan khutbah. Terkesan dengan isi dan nama buletin yang dinilai mengingatkan pada Nurcholish, beberapa orang yang dikirimi buletin ini melalui pos karena jarak yang jauh sengaja datang ke Mushalla Rahardja Paramadina semata-mata untuk memberi ongkos cetak, agar buletin tetap terbit.

Sampai  bulan Maret 2010, buletin Madinatul Umran telah memasuki edisi ke-80. Tapi, Rahmat dan kawan-kawan tidak tahu sampai kapan mereka akan mampu menjaga kesinambungan penerbitannya. Mereka juga tidak tahu apakah usahanya itu akan mampu membangkitkan ingatan orang-orang pada impian bersama membangun sebuah masjid dengan nama yang sangat elok itu: Madinatul Umran, Peradaban Kertaraharja.[]

Tulisan ini adalah salah satu bagian dari buku API ISLAM- Biografi Nurcholish Madjid, karya Ahmad Gaus (Penerbit Buku Kompas, 2010).

Baca juga: [Puisi] Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Kepada Nurcholish Madjid)


[1] Wawancara dengan KH Abdurrahman Wahid di Jakarta (17/07/2007).

[2] Booklet “Masjid Monumen Pembangunan Madinatul Umran”, Yayasan Wakaf Paramadina, 1990

[3] Dikutip dari Booklet, Ibid.

[4] Konon, Nurcholish juga merasa malu kepada beberapa arsitek yang pernah dihubunginya, antara lain Ir. Ahmad Noe’man, yang pernah mengarsiteki Masjid Salman ITB, yang sangat dikagumi Nurcholish. Kepada Rahmat, sekretaris pribadinya, Nurcholish pernah mengatakan bahwa ia sebenarnya tidak sulit mendapatkan dana dari para pengusaha non-Muslim, kalau ia mau, tapi ia masih menjaga perasaan umat Islam.

[5] Deskripsi mengenai Buletin Madinatul Umran diolah dari hasil wawancara dengan Rahmat Hidayat, sekretaris pribadi Nurcholish Madjid (22/03/2010).