Sebuah puisi didedikasikan kepada Mas Dawam (Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo) yang wafat pada 30 Mei 2018 di Jakarta. Beliau almarhum dikenal sebagai tokoh LSM, cendekiawan muslim ahli ekonomi, pendiri dan pemimpin jurnal Ulumul Quran. Puisi dibacakan di resto hotel Gren Melia, Jakarta, 2 Juni 2018 dalam pertemuan para aktivis dan murid-murid Mas Dawam.
ODE UNTUK MAS DAWAM
Dia yang pergi diam-diam
Meninggalkan bara api dalam pikiran
Penyendiri yang idealis-romantis
Pemikir revolusioner yang kesepian
Betapa malu kita
Berdiri di atas makamnya
Dengan api yang hampir padam
Sekarang baru kita merasakan
Kehilangan, setelah lama mengabaikan
Karena sibuk menumpuk
Sampah-sampah percakapan
Wacana-wacana yang tak berguna bagi peradaban
Sedangkan dia manusia pendiam
Tapi seorang pemberani dengan kedalaman
Dia hanya bicara kalau melihat ketidakadilan
Maka setiap katanya telah matang benar
Direbus dalam pikiran
Mulutnya dibungkam oleh kesibukan
Mengkaji ayat-ayat Tuhan
Dalam kitab suci dan alam semesta
Dan hanya dibuka manakala dia
Tidak tahan melihat kebodohan
Betapa kerdil kita, terbungkuk
Di hadapan orang besar seperti dia
Yang menulis kata demi kata
Dari ensiklopedia ayat-ayat Tuhan
Sambil merangkak dalam keterbatasan
Mas Dawam, Mas Dawam
Sosok pemberani
Manusia langka
Tidak seperti kita
Manusia kebanyakan
Pengecut yang takut berpikir
Melarikan diri dari kebebasan
Sedangkan dia
Pikirannya terus mengembara
Menembus hutan belantara
Tubuhnya dimakan usia
Jasadnya dihimpit derita
Tapi jiwanya tak berhenti juga
Menulis kebebasan manusia
Sebab hanya dengan itu
Anak-anak adam menjadi mulia
Hari sudah malam ketika rindu datang mengetuk pintu rumahku Kukatakan bahwa cinta telah pergi beberapa jam yang lalu Namun ia tetap bergeming, alih-alih berlalu dari mataku
Sesaat kemudian ia melepaskan sepatu dan melenggang ke ruang tamu
“Sudah larut malam,” ujarku, “aku mau tidur.”
“Apa kau yakin bisa tidur?” Ia malah mengejekku.
Lalu sekonyong-konyong ia memutar musik dari gawainya Suara Leo Sayer yang jernih mengalun begitu saja,
“When I need you I just close my eyes and I’m with you And all that I so want to give you It’s only a heartbeat away…”
Akhirnya kami menikmati malam itu dengan lagu-lagu oldies yang menyimpan banyak kenangan.
Puisi di bawah ini dibacakan di acara resepsi pernikahan Yuan dan Pri (dalam foto ini), rekan kerja saya di Lembaga Sensor Film/LSF, pada 22 Oktober 2016 — GOR Sunter, Jakarta Utara.
Cinta dan Pernikahan
Puisi Ahmad Gaus
CINTA itu satu tapi banyak
ia menyatu tapi berserak
seperti ribuan gerimis di senja hari
yang diserap warna pelangi.
BETAPA bahagia sepasang kekasih
disatukan dalam ikatan cinta
lebih bahagia jika mereka mampu
melepaskan ikatan-ikatan itu
dan merajutnya menjadi sayap-sayap merpati
yang membawa mereka terbang bersama
ke langit tinggi.
CINTA itu melepaskan, bukan membelenggu
jika engkau mencintai kekasihmu
jangan meminta dia bersimpuh di kakimu
pinanglah kekasihmu sebagaimana engkau
meminang impianmu
yang kau lukis menjadi kupu-kupu
bermata salju, bersayap langit biru.
SEPASANG kekasih menabur cinta sepanjang jalan
permadaninya ayat-ayat Tuhan
istananya surga di ketinggian
karena cinta itu setinggi-tinggi kebenaran
bila perjalanan telah sampai di pintu kematian
setiap kekasih akan dimintai pertanggungjawaban.
PERNIKAHAN adalah kebersamaan yang berjarak
biarkan ia seperti itu
supaya engkau tetap memiliki dirimu
dan kekasihmu tidak kehilangan dirinya.
JANGAN menghidangkan seluruh cintamu di meja makan
sebab semua akan dilahap habis lalu dilupakan
yang harus kau berikan cinta itu
bukan hanya mulut kekasihmu
tapi juga matanya, telinganya, jiwanya, pikirannya, hatinya
sampai dia tidak memintanya lagi
sampai engkau tidak perlu memberinya lagi
sebab dia tahu bahwa hidupmu adalah cinta itu sendiri
Saya menulis puisi Senandung Ramadan sambil mendengarkan lantunan Sholawat Thoriqiyyah dari Thoriqot Qodiriyah Naqsabandiyyah (TQN) yang amat sangat menyentuh hati. Saya sertakan link-nya semoga anda pun menyukainya.
Sholawat Thoriqiyyah
Allâhumma Shalli wa Sallim ‘alâ Muhammadin wa Âli wa Shahbi Ajma’în
Allâhumma Shalli wa Sallim ‘alâ Muhammadin wa Âli wa Shahbi Ajma’în
Aku bertanya pada cinta sampai kapan akan membiarkan rindu terbelenggu dalam penjara jiwa. Ia menggelengkan kepala menitikkan airmata!
Aku bertanya pada rindu sampai kapan akan membiarkan cinta terpenjara dalam belenggu kalbu. Ia menangis pilu menumpahkan airmatanya di bahuku!
Akhirnya aku bertanya pada airmata sudikah ia mempertemukan cinta dan rindu di taman pelaminan dimana tak ada lagi kesedihan. Ia pergi meninggalkanku sambil menangis tersedu-sedu!
duka nestapa bagai delima yang tumbuh tak kenal waktu
ada yang kau tatap dengan sorot mata sayu:
senjakala di seberang jendela
seakan dunia tengah menutup tabirnya
dan malam membawa selimut untuk menghangatkan puisi-puisimu.
Secangkir kopi belum cukup untuk mengiringi ceritamu tentang Cirebon
sampai dini hari, saat ayam berkokok mengabarkan pagi yang cerah
kantuk belum juga tiba
tapi memang, untuk apa kita tidur kalau dalam mimpi pun
harus melewati jalan-jalan yang berdarah
memandangi pohon-pohon yang terluka.
Pematang sawah telah kau pindahkah ke tubuhmu
ilalang dibiarkan tumbuh di kepalamu, dan pantai-pantai yang koyak
menjadi lidahmu yang gemetar setiap kali menyebut kenangan
tentang masa kanak-kanak yang indah: pesisir bendungan
dengan tanah segar, laut ganggang, mendung yang bagai salju
— semuanya telah berakhir, dan para pemimpin telah memaksa
jalan pikiranmu menjadi serdadu…
engkau berteriak, menggertak, menggebrak
tapi dunia tetap saja sunyi
seperti bentangan jurang di antara larik-larik sajakmu.
Hidup memang tidak pernah memberimu waktu untuk beristirahat
setiap kali engkau selesai membangun rumah
saat itu juga rumahmu ambruk
akhirnya engkau membuat rumah dari sajak
tidak memerlukan semen, batu bata, keramik, dan genteng
semua sudah terlalu mahal kini
cukup kata-kata, ia bisa menjadi rumah abadi
yang penting terus disusun dengan sabar dan tekun
walhasil, sampai juga engkau
pada baris terakhir yang begitu syahdu: kematian
Ciputat, 17/12/15
——————
***
Penyair Ahmad Syubbanuddin Alwy, meninggal dunia pada 2 November 2015. Pria kelahiran Cirebon, Jawa Barat, 26 Agustus 1962 yang kerap dijuluki “Raja Penyair Cirebon” dan “Sastrawan Santri” ini telah menerbitkan buku puisinya yang berjudul Bentangan Sunyi (1996). Karya-karyanya juga termuat dalam beberapa antologi seperti Puisi Indonesia (1987), Titian antar Bangsa (1988), Negeri Bayang-bayang (1996) dan Cermin Alam (1997). Selamat jalan, Mas Alwy. Semoga damai di sisi-Nya.
Hari ini, 29 Agustus 2015 genap sepuluh tahun wafatnya Nurcholish Madjid (29 Agustus 2005). Untuk mengenang almarhum saya menulis sebuah puisi yang judulnya diambil dari buku karya beliau, Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Paramadina, 1992). Puisi ini saya bacakan di sela-sela diskusi “Mengenang 10 Tahun Wafatnya Cak Nur” yang diadakan oleh ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies) UIN Suska Riau, pada Kamis 27 Agustus lalu. Diskusi yang dipandu oleh Ali Hasan Palawa dan digelar di aula Fakultas Sains dan Teknologi UIN Suska tersebut menghadirkan tiga penulis buku tentang Cak Nur sebagai narasumber yaitu Budhi Munawar Rachman (Penulis Ensiklopedi Nurcholish Madjid), Muhammad Wahyuni Nafis (penulis buku Cak Nur Sang Guru Bangsa, dan saya sendiri, Ahmad Gaus, selaku penulis buku Api Islam Nurcholish Madjid).
Diskusi Refleksi 10 Tahun Mengenang Wafatnya Nurcholish Madjid di UIN Sultan Syarif Kasim Riau, 27 Agustus 2015.
PINTU-PINTU MENUJU TUHAN
Kepada Nurcholish Madjid, ‘Allah yarham’
Oleh: Ahmad Gaus
BANYAK pintu menuju Tuhan
Kita berdiri di satu pintu pilihan
Walaupun harus berdesakan
Walaupun harus berhimpitan.
PARA sufi mengajarkan
Semua jalan musyahadah kepada Tuhan
Akan sampai juga pada tujuan
Karena disinari cahaya-cahaya kebenaran.
DAN CAHAYA-cahaya itu terang adanya
Dalam Kitab yang pasti kebenarannya
Walladzina jahadu finaa
Lanahdiyannahum subulanaa
(Mereka yang bersungguh-sungguh mencari jalan Kami
Akan Kami tunjukkan berbagai jalan Kami QS. Al-Ankabut:29/69).
JIKA engkau harus memegang satu kebenaran
Silakan, tapi jangan lupa bersikap toleran
Sebab kebenaran yang engkau pertengkarkan
Nisbi adanya, bukan mutlak-mutlakan.
BANYAK pintu menuju Tuhan
Banyak jalan menuju kebenaran
Mengapa harus memaksa orang lain berada di satu jalan
Pada 12 Juli 2015 lalu budayawan dan sastrawan Remy Sylado genap berusia 70 tahun. Sejak remaja, pria kelahiran Makassar 12 Juli 1945 ini telah aktif menulis puisi, esai, cerpen, novel, drama, kolom, kritik, roman, juga buku-buku musikologi, dramaturgi, bahasa, dan teologi. Sebagai kado di hari ulang tahunnya, dan sekaligus doa untuk kesembuhannya (karena beliau sedang sakit), berikut saya turunkan sebuah catatan atas gerakan sastra yang pernah dipeloporinya pada tahun 1970-an: Gerakan Puisi Mbeling. Catatan ini semula merupakan makalah penulis yang disampaikan pada diskusi sastra di kampus Swiss German University (SGU) pada Mei 2013. Makalah ini pun pernah saya kirimkan kepada Bang Remy dengan harapan mendapat masukan-masukan dari beliau. Melalui emailnya pada 18 Juli 2013 ia menjawab: “Oke, sudah saya baca. Silahkan saja dilanjutkan.”
______________________________
Mei Hwa perawan 16 tahun Farouk perjaka 16 tahun Mei Hwa masuk kamar jam 24.00 Farouk masuk kamar jam 24.00 Mei Hwa buka blouse Farouk buka hemd Mei Hwa buka rok Farouk buka celana Mei hwa buka BH Farouk buka singlet Farouk buka celana dalam Mei Hwa telanjang bulat Farouk telanjang bulat Mei Hwa pakai daster Farouk pakai kamerjas Mei Hwa naik ranjang Farouk naik ranjang Lantas mereka tidurlah Mei Hwa di Taipeh Farouk di Kairo
– Remy Sylado –
Apa saja bisa dan boleh ditulis menjadi puisi, dan siapa saja bisa dan boleh menjadi penyair. Begitulah kesan yang muncul dalam gerakan puisi mbeling yang dipelopori oleh Remy Sylado pada tahun 1970-an. Puisi berjudul Kesetiakawanan Asia Afrika yang dikutip di atas adalah salah satu contoh puisi mbeling yang dimuat di majalah Aktuil, tempat Remy berkiprah sebagai redaktur yang mengasuh rubrik yang juga diberi nama “Puisi Mbeling”. Belakangan puisi-puisi karya Remy Sylado selama 30 tahun diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (2004) dalam buku berjudul Puisi Mbeling Remy Sylado.
Remy Sylado: Pencetus Puisi Mbeling
Puisi mbeling lahir bersamaan dengan menguatnya konsolidasi politik pemerintah Orde Baru yang baru saja menaiki panggung kekuasaan. Euforia di kalangan politisi dan aktivis pergerakan yang telah berhasil menumbangkan rezim lama masih terasa. Berbagai harapan yang dipikulkan kepada pemerintahan baru kerapkali tidak menyisakan sikap kritisisme sebagaimana yang diperlihatkan pada era demonstrasi besar (1966). Alih-alih, justru yang muncul ialah usaha kolektif untuk menciptakan suasana kondusif dan “stabil”, bukan hanya dalam politik tapi juga sastra.
Penampakan salah satu edisi Majalah Aktuil, tempat lahirnya gerakan Puisi Mbeling.
Sebagaimana dinyatakan oleh Remy Sylado, gerakan mbeling merupakan perlawanan yang diarahkan pada dua sasaran: pertama, estetika puisi yang tertawan dalam pikiran-pikiran konvensional yang melulu diungkap secara kabur dan gelap dalam bahasa berbunga-bunga sehingga puisi kehilangan tanggung jawabnya terhadap realitas, dan; kedua, situasi politik Orde Baru yang nyata dibingkai dalam gerontokrasi yang salah kaprah dengan slogan-slogan dari pejah gesang nderek bapak ke mikul dhuwur mendem jero.1)
Sebelum lahir sebagai genre puisi, gerakan mbeling sebenarnya telah muncul sebagai fenomena teater, dimana Remy Sylado melalui Dapur Teater 23761 di Bandung yang didirikannya mementaskan Genesis II, kemudian berturut-turut Exsodus II, dan Apocalypsis II. Dalam pentas-pentas teater itulah ia mengenalkan istilah mbeling. Anotasi II selalu disertakan sebagai lambang perlawanan terhadap yang sudah ada. Gerakan mbeling sebagai perlawanan budaya lewat teater juga diakui Remy sebagai reaksi terhadap WS Rendra dengan teaternya yang berpandangan bahwa perlawanan terhadap budaya mapan harus dilakukan dengan sikap urakan. Dalam Apologia Genesis II Remy menyatakan bahwa kata urakan dalam bahasa Jawa berkonotasi negatif: tidak sopan, tidak tahu aturan, dan kurang ajar. Karena itulah Remy, melalui teaternya, mengajukan kata “mbeling” yang lebih berkonotasi positif. Walaupun tetap bernuansa nakal, mbeling berasosiasi dengan pengertian pintar, mengerti sopan-santun, dan bertanggung jawab.
Gara-gara pementasan Genesis II itu Remy diinterogasi polisi Bandung selama hampir dua minggu. Namun peristiwa itu sekaligus mendorongnya untuk tetap menggunakan kata “mbeling” dan menjelaskan konsep di belakangnya sebagai budaya tandingan. Konsep itu kemudian ditransformasikan ke dunia puisi ketika pada tahun 1971 Remy bergabung dengan majalah Aktuil yang didirikan Denny Sabri, Toto Rahardjo, dan Sony Soeryatmadja. Kehadiran Remy di majalah hiburan dan musik yang berkantor di Jalan Lengkong Kecil 41, Bandung, itu menandai lahirnya gairah baru bersastra di kalangan remaja. Puisi yang semula dipandang sebagai benda pusaka yang sakral berubah menjadi barang biasa saja yang bisa ditulis oleh siapa saja. Melalui rubrik cerpen dan puisi mbeling yang diasuhnya, Remy mengajak kaum muda untuk bersastra.
Remy mengajak kaum muda bersastra ala mereka sendiri.
Kesakralan puisi dan keangkeran majalah sastra menjadi alasan utama menjauhnya kaum muda dari budaya literasi yang sebenarnya berakar kuat di masyarakat. Kata-kata Chairil Anwar “yang bukan penyair tidak ambil bagian” justru menjadi pemicu untuk mengembalikan sastra (puisi) ke pangkuan khalayak. Gerakan puisi mbeling yang dipelopori Remy merupakan kritik terhadap fenomena onani dalam bersastra dimana para penyair menulis puisi untuk dibaca—karena hanya dipahami—oleh mereka sendiri. Gerakan ini diapresiasi oleh penyair Sapardi Djoko Damono sebagai “suatu usaha pembebasan”. Lebih lanjut Sapardi menulis:
Puisi rupanya telah menjadi bentuk sastra yang menarik minat orang-orang muda, terutama dalam masa perkembangannya sebagai sastrawan. Sajak-sajak yang dikirimkan ke majalah-majalah yang berprestasi tidak dapat segera dimuat… Sementara beberapa penyair mendapatkan tempat yang semakin kukuh dalam perkembangan puisi Indonesia, kaum muda yang baru mulai menulis itu merasakan semacam tekanan. Mereka merasa tidak bisa cepat tampil karena terhalang oleh tokoh-tokoh yang sudah ‘mapan’… Tambahan lagi kebanyakan mereka menetapkan kepenyairan berdasarkan dimuat atau tidaknya sajak-sajaknya dalam majalah sastra satu-satunya, Horison.2)
Sebagai gerakan perlawanan terhadap bahasa puisi yang berbunga-bunga namun gelap, puisi mbeling menawarkan konsep sebaliknya: puisi ditulis dengan bahasa biasa dan diusahakan terang-benderang. Dengan begitu, puisi bukan saja mudah dipahami sebagai pertanggungjawaban penyairnya terhadap realitas, namun ia juga membuka akses seluas-luasnya kepada siapa saja untuk menjadi penyair. Puisi tidak melulu harus berurusan dengan hal-hal yang agung dan mulia. Bisa saja ia menampilkan potret keseharian yang sepele. Simak, misalnya puisi berjudul “Sialan Banget” yang ditulis Remy Sylado: Sudah jatuh / dihimpit tangga // Hendak berdiri / digonggong anjing // Begitu lari terbirit / malah menginjak tahi.
Puisi itu menampilkan filosofi dari peribahasa yang sudah umum dikenal tentang situasi yang tidak menguntungkan. Namun oleh Remy, situasi itu diperburuk dengan menambahkan dua kesialan lainnya sehingga menimbulkan kesan tentang situasi yang benar-benar sial—sesuai dengan judulnya: Sialan Banget. Pilihan judul itu sendiri sudah keluar dari bahasa puisi yang “standar”. Sebagai sebuah eksperimentasi di tengah mainstream puisi serius yang mengusung narasi-narasi besar, puisi mbeling terbilang radikal dalam menjungkirbalikkan estetika perpuisian. Alih-alih, justru estetika itulah yang ingin dilawannya, antara lain dengan mensastrakan kosakata yang dianggap tabu untuk dimasukkan ke dalam puisi.
Memang tidak selamanya perlawanan terhadap ketabuan itu berjalan mulus. Salah satu puisi Remy yang dimuat di majalah Aktuil pernah membuat berang pemerintah. Saat itu Departemen Penerangan mengancam akan mencabut Surat Izin Terbit (SIT) majalah Aktuil. Hanya setelah para pengelola Aktuil membayar upeti—sesuai kelaziman pada saat itu—ancaman tersebut dibatalkan. Puisi yang menimbulkan masalah itu berjudul “Pesan seorang ibu kepada putranya”, terdiri dari tiga kata dalam tiga baris: jangan / bilang / kontol.3)
Puisi mbeling memang terkesan main-main. Tapi justru dengan cara itu Remy mengajak kaum muda untuk menulis. Dunia tulis-menulis, termasuk sastra, dikesankan sebagai dunia yang dekat dengan keseharian, tempat untuk bergurau dan menuangkan gagasan apa saja tanpa harus mengerutkan dahi terlalu lama. Dan usahanya itu mendapat respon meruah dari kalangan muda. Sejak rubrik puisi mbeling dibuka, sepuluh ribuan penulis dari seluruh wilayah Indonesia dan di manca negara telah mengirimkan karya mereka, dan ratusan di antaranya telah dimuat. Tentu saja pemuatan itu tidak asal-asalan melainkan melalui proses yang disesuaikan dengan kriteria dan idealitas yang dicanangkan oleh gerakan mbeling. Remy sendiri menyebut dirinya dalam proses itu sebagai despot yang di tangannya ada wewenang untuk mengubah dan mengedit naskah-naskah yang masuk ke redaksi.4)
Majalah Aktuil nyaris dibredel penguasa gara-gara memuat puisi mbeling “Jangan bilang k*nt*l”.
Di bawah asuhan Remy Sylado sebagai penjaga gawang rubrik puisi mbeling majalah Aktuil, tercatat juga nama-nama — yang belakangan dikenal sebagai sastrawan — yang ikut menyemarakkan kegairahan berpuisi mbeling: Abdul Hadi WM, Seno Gumira Ajidarma, Noorca Massardi, Yudistira M. Massardi, Adhi M. Massardi, Mustofa Bisri (dengan nama samaran Mustov Abi Sri) dan nama-nama lainnya. Sampai sekarang corak kepenyairan mereka masih kental dengan nuansa mbeling dalam pengertian menyuarakan protes sosial dengan bahasa yang lugas dan terbuka.
Selain itu, pengaruh puisi mbeling juga melintasi majalah Aktuil. Ketika Remy Sylado berpindah ke majalah Top, ia tetap melanjutkan gerakan puisi mbeling dengan membuka rubrik bertajuk Puisi Lugu. Dari sini, sebagaimana dicatat oleh penyair Heru Emka, virus mbeling menyebar ke berbagai media massa: majalah Stop, Astaga, Sonata, Yunior, dan lain-lain. Berbagai surat kabar mingguan yang terbit di Jakarta maupun di daerah juga ikut tertular virus mbeling dengan membuka rubrik serupa. Begitu juga beberapa majalah remaja. Gerakan puisi mbeling telah menjadi gerakan menulis puisi alternatif yang memiliki spirit “yang bukan penyair boleh ambil bagian”. Dan, menurut Heru Emka lagi, gerakan ini telah mewarnai lembaran sejarah sastra Indonesia pada era awal tahun 1970-an.
Apakah itu artinya setelah era 1970-an gerakan ini meredup? Masa pasang naik dan surut sebetulnya lumrah dalam dunia apapun. Puisi mbeling sebagai gerakan perlawanan atau budaya tandingan sejak awal pasti telah menyadari dirinya adalah subkultur. Dan sebagai subkultur ia tidak akan menjadi arus utama (mainstream) yang langgeng. Namun, ia juga tidak akan mati sebab di setiap masa selalu ada proses pemapanan tradisi, dan di situlah yang mbeling akan hadir sebagai alternatif dan oposisi. Tegasnya, puisi mbeling mengabadikan dirinya di seberang aneka arus utama, dan menjadi kritikus yang nakal atas berbagai bentuk kemapanan, baik dalam sastra maupun politik.
Ketika belakangan Remy Sylado menerbitkan kumpulan puisinya setelah 30 tahun berlalu, tentu ia tidak bermaksud mengenang atau memperingati puisi mbeling yang pernah berjaya pada masanya. Buku ini berisi 143 puisi Remy Sylado yang ditulis antara 1971-2002.5) Penerbitan buku ini menjadi semacam reminder bahwa dalam lembaran sejarah sastra Indonesia pernah lahir gerakan puisi mbeling yang mengharu-biru dunia perpuisian. Dan penulisan puisi jenis itu hingga kini masih terus dilakukan. Bahkan, berdasarkan alasan yang telah dikemukakan di atas, puisi mbeling akan terus ditulis.
Buktinya, pada tahun 2012 lalu terbit sebuah buku berjudul Suara-Suara Yang Terpinggirkan, yang diberi judul kecil (tambahan): Antologi Puisi Mbeling.6) Sebagaimana mudah ditebak, kehadiran buku ini sontak menimbulkan spekulasi bahwa puisi mbeling bangkit lagi,7) karena dianggap telah lama menghilang dari peredaran. Buku ini memuat ratusan puisi dari para penyair yang dulu pernah terlibat dalam gerakan puisi mbeling: Yudhistira ANM Massardi, Adhie M Massardi, Noorca M Masardi, Darmanto Jatman, Nugroho Suksmanto, Satmoko Budi Santoso, Abdul Hadi WM, Gus Mustofa Bisri, Hendrawan Nadesul, F. Rahardi, Landung Simatupang, Jose Rizal Manua, Heru Emka (editor buku ini), dan lain-lain.
Buku ini diberi kata pengantar oleh Remy Sylado, Sang Bapak Puisi Mbeling itu sendiri. Bagaikan sebuah pernyataan sikap, tulisan kata pengantar Remy Sylado diberi judul Mbeling: Masih Berlanjut. Di sana ia menegaskan: “Bagi saya mbeling pernah ada, dan terserah, apakah mbeling masih akan ada. Sebab, pendirian saya sekarang: ada atau tiada tetap ada.” Selain menguraikan latar belakang estetik dan politik kelahiran puisi mbeling, dalam pengantarnya, Remy sebenarnya lebih banyak memanfaatkan kesempatan itu untuk meluruskan sejarah puisi mbeling. Mengapa diluruskan, karena menurutnya telah ada yang mengaku-ngaku sebagai pencetus puisi mbeling.8)
Menarik bahwa dalam buku ini dimuat banyak puisi yang berdata tanggal baru dari para penyair muda. Ini menunjukkan bahwa puisi mbeling memang masih menarik minat para penyair generasi baru dan karena itu terus diproduksi. Jangan kaget juga bahwa para penyair yang kini dikenal sebagai sastrawan kenamaan seperti Abdul Hadi WM, D. Zawawi Imron, Sutardji Calzoum Bachri, Gus Mustofa Bisri, Ahmadun Yosi Herfanda, Beni Setia, dan lain-lain, ternyata adalah para pendukung puisi mbeling yang produktif.
Gerakan mbeling yang semula digulirkan di panggung teater itu telah bermetamorfosis menjadi gerakan puisi yang menyebal dari arus utama untuk melawan tirani, menertawakan kebodohan, dan meludahi kemunafikan orang-orang dengan kedudukan terhormat. Dan selama fakta-fakta semacam itu berlintasan di depan wajah kita, maka selama itu pula puisi mbeling akan terus ditulis. Di bawah ini adalah puisi-puisi mbeling yang dikutip dari antologi Suara-suara Yang Terpinggirkan, yang ditulis oleh beberapa penyair generasi baru.
MBELING 2011
Sungguh
Susah
Terlambat
Empatpuluh
Tahun
Ide
Sudah
Keburu
Macet
(Pandu Ganesha)
KETIKA ADA BINTANG JATUH
TUHAN…..
Apa keinginanMU??
(Palestina Nabila)
BUNTU
mandek
Sudah lelah mataku, otakku, jariku,
cukup sekian dan terima kasih
(Palestina Nabila)
OTAK UDANG
banyak yang bilang
ada udang di balik batu
barangkali
si udang tengah mencari
otaknya yang hilang
(Rini Febriani Hauri)
JADI PRESIDEN
Seandainya aku jadi presiden
Semua orang tak usah kerja
Uang kita cetak saja
Bagikan setiap hari
Petani tak usah ke sawah
Libur tiap hari
Sekolah juga tutup saja
Gurunya tak mau kerja
Orang sakit mati saja
Dokternya juga tak mau praktek lagi
Kita makan uang saja
Karena tak ada yang bisa dibeli
Makanya jangan pilih aku jadi presiden..
(Ren Ren Gumanti)
Karakter dari puisi-puisi di atas masih senada dengan puisi-puisi mbeling yang ditulis oleh Remy Sylado 40 tahun silam: terkesan lugu, semaunya, tidak peduli dengan kata-kata indah, melawan logika umum. Pendeknya, menyimpang dari penulisan puisi yang standar. Ya, begitulah. Namanya juga puisi mbeling. Namun, seperti yang dijelaskan oleh Remy sendiri, tidak semua tulisan berbentuk puisi yang dibuat main-main dan menekankan sifat-sifat pop adalah otomatis puisi mbeling.
Karena lahir dalam konteks perlawanan terhadap estetika puisi yang tertawan oleh pikiran konvensional dan counter culture terhadap kemunafikan politik yang muncul dalam bahasa-bahasa feodal, maka puisi mbeling membawa kredo tersendiri: pertanggungjawaban sastra terhadap realitas baik-buruk. Puisi yang main-main, menurut Remy, justru adalah puisi yang dibingkai dengan bahasa indah namun hanya bisa dinikmati sendiri oleh penulisnya. Padahal puisi akan dibaca oleh khalayak.
Lebih jauh Remy Sylado bahkan berpandangan bahwa di dalam puisi ada pesan-pesan kenabian dan relijiositas. “Puisi seyogianya mengandung nilai-nilai kawruh seperti yang terdapat dalam akar budaya Jawa,” ungkap Remy, yang memperoleh Khatulistiwa Literary Award tahun 2002 melalui novel Kerudung Merah Kirmizi, dan Anugrah Sastra 2011 dari Komunitas Nobel Indonesia.[]
Biodata Remy Sylado:
REMY SYLADO lahir di Makassar 12 Juli 1945. Dia salah satu sastrawan Indonesia. Nama sebenarnya adalah Yapi Panda Abdiel Tambayong (Jampi Tambajong). Ia menghabiskan masa kecil dan remaja di Solo dan Semarang. Sejak usia 18 tahun dia sudah menulis kritik, puisi, cerpen, novel, drama, kolom, esai, sajak, roman popular, juga buku-buku musikologi, dramaturgi, bahasa, dan teologi.Ia memiliki sejumlah nama samaran seperti Dova Zila, Alif Dana Munsyi, Juliana C. Panda, Jubal Anak Perang Imanuel. Dibalik kegiatannya dibidang musik, seni rupa, teater, dan film, dia juga menguasai sejumlah bahasa.
Remy Sylado memulai karir sebagai wartawan majalah Tempo (Semarang, 1965), redaktur majalah Aktuil Bandung (1970), dosen Akademi Sinematografi Bandung (1971), ketua Teater Yayasan Pusat Kebudayaan Bandung. Remy terkenal karena sikap beraninya menghadapi pandangan umum melalui pertunjukan-pertunjukan drama yang dipimpinnya.
Selain menulis banyak novel, ia juga dikenal piawai melukis, dan tahu banyak akan dunia perfilman. Saat ini ia bermukim di Bandung. Remy pernah dianugerahi hadiah Sastra Khatulistiwa 2002 untuk novelnya Kerudung Merah Kirmizi.
Dalam karya fisiknya, sastrawan ini suka mengenalkan kata-kata Indonesia lama yang sudah jarang dipakai. Hal ini membuat karya sastranya unik dan istimewa, selain kualitas tulisannya yang sudah tidak diragukan lagi. Penulisan novelnya didukung dengan riset yang tidak tanggung-tanggung. Seniman ini rajin ke Perpustakaan Nasional untuk membongkar arsip tua, dan menelusuri pasar buku tua. Pengarang yang masih menulis karyanya dengan mesin ketik ini juga banyak melahirkan karya berlatar budaya diluar budayanya. Diluar kegiatan penulisan kreatif, ia juga kerap diundang berceramah teologi.
Karya yang pernah dihasilkan olehnya antara lain : Orexas, Gali Lobang Gila Lobang, Siau Ling, Kerudung Merah Kirmizi (2002). Kembang Jepun (2003), Matahari Melbourne, Sam Po Kong (2004), Rumahku di Atas Bukit, 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Bahasa Asing, dan Drama Musikalisasi Tarragon “ Born To Win “, dan lain-lain.
Remy Sylado pernah dan masih mengajar di beberapa perguruan di Bandung dan Jakarta seperti Akademi Sinematografi, Institut Teater dan Film, dan Sekolah Tinggi Teologi. (Dikutip dari http://www.goodreads.com/author/show/541628.Remy_Sylado)
Catatan Kaki
Remy Sylado, “Kata Pengantar”, dalam Heru Emka, ed., Suara-suara yang Terpinggirkan (Semarang: Kelompok Studi Sastra Bianglala, Mei 2012), hal. xv
Sapardi Djoko Damono, Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan (Jakarta, Gramedia, 1983), hal. 90
Remy Sylado, “Kata Pengantar”, dalam Heru Emka, ibid.
Ibid.
Remy Sylado, Puisi Mbeling (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2004)
Heru Emka, ed., Suara-suara yang Terpinggirkan (Semarang: Kelompok Studi Sastra Bianglala, Mei 2012).
“Puisi mbeling bangkit lagi!” Begitu statemen pembukaan artikel berjudul “Mbeling” dalam Puisi “Urakan” yang ditulis Riza Multazam Luthfy sebagai ulasan buku Suara-Suara Yang Terpinggirkan, dalam Koran Jakarta, 1 Oktober 2012.
Dalam hal ini Remy menyebut nama Jeihan. “Untuk banyak hal Jeihan adalah kawan akrab, tetapi untuk satu hal menyangkut mengaku-akunya sebagai pencetus puisi mbeling, saya tidak menghargainya,” tulis Remy dalam “Kata Pengantar”, ibid., hal. xix). Ia juga mengeritik penyair Soni Farid Maulana dan pengamat sastra Jakob Sumardjo yang menurutnya telah percaya begitu saja pada Jeihan. Keduanya masing-masing menulis prolog dan epilog untuk buku berjudul Mata mBeling Jeihan (Jakarta: Grasindo, 2000).
Foto alumni Ponpes Darun Najah (DN) Angkatan 15 (lulus tahun 1992) saat reuni di Kuningan-Cirebon, 30/8/14. Photo Courtesy: Jumiatie
Kalau anda pernah tinggal di asrama mungkin pernah juga mendengar lagu di bawah ini. Biasanya dinyanyikan saat kumpul bersama, acara api unggun, renungan malam, dsb. Lagu ini membuat para penghuni asrama mampu bertahan dari cobaan dan penderitaan bertubi-tubi, atau sebaliknya, nangis berdarah-darah, hehehe. Saya sendiri pertamakali mendengarnya waktu mondok di ponpes Darqo long long agooo… dan ikut koor saat ada kegiatan PII (Pelajar Islam Indonesia) di Tangerang. Aslinya ini memang lagu PII.
Yang ini lebih bagus:
TABAH
Daku kini tiada berarti
hidup di dalam derita
siang malam dirundung malang
hidup di dalam gemblengan.
Datang terang penyuluh hati
kuatkan iman selalu
tabahkanlah lapangkan dada
jauh dari putus asa…