Filsuf Sejati

Nada Cinta

Puisi Ulang Tahun Alifya K Sadra

ALIFYA

Kemarin lusa, 29 Mei 2021, anak pertama saya, Alifya Kemaya Sadra tepat berumur 22 tahun. Teman-temannya merayakan secara sederhana di rumah sambil menikmati bakso buatan mama Alif yang terkenal paling uenaak se-Tangsel 🙂

Sebagai ayah teladan dan idaman, saya menulis puisi dan membacakannya di depan teman-teman Alif, dan sempat divideokan oleh anak saya yang kedua, Raysa Falsafa Nahla. Di twiter saya video itu saya posting dan menanyakan siapa ayah yang menulis puisi untuk anak gadisnya yang  berulang tahun dan membacakannya, kalau tidak ada berarti saya ayah yang langka, heheee..

Puncak Tertinggi Ramadan

Puisi ini dibacakan oleh: Shahnaz Haque pada acara Halal Bihalal Cak Nurian Urban Sufism, Minggu 16 Mei 2021. Sayang saya belum mendapatkan rekaman audionya jadi belum bisa ditampilkan. Versi podcast akan dibuat menyusul ya 🙂

PUNCAK TERTINGGI RAMADAN

DARI Ramadan ke Ramadan, apa yang kita dapatkan

Selain berkurangnya umur dan bertambahnya usia

Ramadan hanya lewat di depan rumah seperti pedagang keliling

Kita membeli barang atau makanan yang dibutuhkan

Lalu membiarkan pedagang itu pergi

Tidak peduli kapan dia akan datang lagi

Besok, lusa, bulan depan, masa bodoh

SEMENTARA itu ada orang yang merasa sedih berpisah dengan bulan Ramadan

Kepergiannya ditangisi, kadang dengan emosi yang berlebihan

Agar semua orang tahu bahwa dia pencinta sejati bulan Ramadan

Dia meratap pilu karena harus menunggu Ramadan satu tahun lagi

Lama sekali

PADAHAL, Ramadan adalah waktu metafisik

Waktu yang tidak berdetak pada jam dinding

Waktu yang tidak bergantung pada kalender

Melainkan waktu yang berada di puncak kesadaran ruhaniyah

BAGI orang-orang yang sudah sampai ke puncak tertinggi Ramadan, setiap saat adalah Ramadan

Setiap malam adalah Lailatul Qadar

Dan setiap hari adalah Hari Raya

DI PUNCAK tertinggi Ramadan, seperti halnya di puncak gunung, semua terlihat indah

Karena dipandang dengan jiwa yang indah, yang berada di puncak ketinggian ruhani

Jiwa yang memancarkan cahaya kasih Tuhan ke segenap penjuru

TAPI, untuk sampai ke puncak itu tidaklah mudah, seperti halnya mendaki gunung

Wamaa adraaka mal ‘aqabah, Tahukah engkau apa itu jalan mendaki yang sulit

Fakku raqabah, yaitu melepaskan semua belenggu ragawiyah

Suatu pendakian menuju perjumpaan dengan Tuhan di atas gunung ruhani

ITULAH puncak tertinggi Ramadan dalam kehidupan sehari-hari

Di mana tidak ada lagi pertentangan antara ketuhanan dan kemanusiaan

Ketuhanan berarti kemanusiaan

Kemanusiaan berarti ketuhanan

Di puncak tertinggi Ramadan, manusia adalah umat yang satu, ummatan wahidah

Di antara mereka tidak ada batas, seperti langit yang terbuka tiada bertepi

DI PUNCAK tertinggi Ramadan kita telah melampaui al-‘aqabah, jalan mendaki yang sulit, untuk ber-fakku raqabah

Yaitu, melepaskan diri dari belenggu pandangan sempit dan sektarian

Yang membeda-bedakan manusia berdasarkan harta dan jabatan

Yang memilah-milah manusia berdasarkan suku dan keturunan

Yang memisah-misahkan manusia menjadi Hindu, Buddha, Yahudi, Kristen, Konghucu, Islam, dan lainnya

DI PUNCAK tertinggi Ramadan, umat manusia adalah satu, ummatan wahidah

Sebab mereka adalah penampakan wujud Tuhan yang Tunggal di muka bumi.

Terima kasih

Ahmad Gaus

Follow my IG: @gauspoem

Perkara Toa

Selebriti  Zaskia Adya Mecca belum lama ini mengeluhkan soal suara loud speaker masjid atau toa yang terlalu keras ketika membangunkan sahur. Dalam status instagramnya, Zaskia menilai bahwa cara membangunkan sahur seperti itu tidak etis dan tidak menghargai orang lain.

Kontan saja Zaskia menuai kecaman dari para netizen. Mereka menyebut bahwa Zaskia sudah terkena sindrom Islamofobia. Yakni, tidak suka dengan segala sesuatu yang berbau syiar Islam.

Benarkah masalahnya sesederhana itu? Masalah toa masjid sudah lama menjadi persoalan yang dikeluhkan warga secara bisik-bisik karena mereka tahu apa risikonya kalau mengangkat masalah itu ke permukaan.  Tentu kita masih ingat seorang ibu bernama Meliana di Tanjung Balai, Sumut, yang divonis 18 bulan penjara pada 2018 lalu hanya gara-gara mengeritik loud speaker masjid.

Saat itu ia meminta kepada petugas masjid agar volume speaker suara azan dikecilkan.
Kasus itu pun segera menjadi rumor yang beredar di kalangan warga lengkap dengan bumbu-bumbu penyedapnya. Mereka pun mencari tahu asal-usul agama dan kesukuan Meliana. Walhasil, kasus “sepele” itu berhasil digoreng dan meletup menjadi  isu SARA. Rumah Meliana, warga keturunan Tionghoa beragama Konghucu, itu dirusak.  Bersamaan dengan itu, rumah ibadah vihara yang ada di kota itu pun dibakar warga.

 

 

Kita bertanya-tanya, benarkah orang tidak boleh terusik ketenangannya dengan suara berisik dari loud speaker masjid? Kalau tidak boleh, berarti alangkah otoriter cara kita beragama. Kita tidak mau tahu urusan ketenangan orang lain. Kita merasa penting dan mendesak sekali mengumandangkan azan, pengajian, ceramah, dll., melalui toa, dan orang tidak boleh terganggu. Ini kepentingan agama, kepentingan Tuhan, kalian tidak boleh protes atau merasa terganggu. Begitu kira-kira cara berpikir mereka.

Suatu hari Rasulullah SAW beritikaf di masjid, lalu beliau mendengar orang membaca Al-Quran dengan suara keras. Rasulullah kemudian menyingkap tirai dan berkata, ‘Ketahuilah, setiap kamu sedang bermunajat kepada Tuhan. Jangan sebagian kalian menyakiti sebagian yang lain. Jangan juga sebagian kalian meninggikan suara atas sebagian lainnya dalam membaca.’ Atau ia berkata, ‘dalam shalat,’” (HR Abu Dawud).

Hadits ini menjadi sandaran pendapat Sayyid Abdurrahman Ba’alawi dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin. Ba’alawi menjelaskan bahwa tadarus Al-Quran, zikir atau semacamnya yang membuat “kebisingan” dilarang karena dapat mengganggu orang yang sedang shalat. Selanjutnya ia mengatakan, zikir dan sejenisnya, termasuk membaca Al-Quran, dengan suara keras di masjid hukumnya tidak makruh kecuali jika menggangu konsentrasi orang yang sedang shalat atau mengusik orang yang sedang tidur.

Dalil-dalil di atas saya pinjam dari pandangan KH Taufik Damas yang menanggapi kasus yang sama — karena sebagian orang memang masih membutuhkan dalil. Sebetulnya untuk perkara-perkara menyangkut muamalah dan hidup bertetangga kita tidak memerlukan dalil-dalil, sebab kita memiliki akal sehat, adab, sopan santun, dan tata krama dalam hidup bermasyarakat. Keterlaluan kalau berteriak-teriak lewat toa atau pengeras suara, merasa tidak mengganggu orang lain.

Toa juga tidak satu, melainkan banyak, diarahkan ke empat penjuru angin, dan dari banyak masjid yang berdekatan pula, sehingga satu sama lain saling  berbenturan, menimbulkan kebisingan yang luar biasa. Dan orang lain tidak boleh merasa terganggu. Kalau merasa tergangggu berarti dia anti-Islam, islamofobia, bahkan melakukan penodaan agama dan bisa dipenjara, rumahnya dirusak, viharanya dihancurkan, seperti yang dialami oleh Ibu Meliana dalam contoh di atas.

Kalian waras? Kalian ini sedang beragama atau sedang kesurupan?

Salam Waras dalam Beragama

Ahmad Gaus

 

Musikalisasi 20 Puisi Sufistik Rumi oleh Ovi Hasulie

Kita Melampaui Setiap Kata

20 Sajak Tasawuf Jalaluddin Rumi

Dibacakan oleh: Ovi Hasulie

Klik watch this video on YouTube :

https://www.youtube.com/watch?v=9kyj9HB0Txs&lc=Ugy-ewty2EH85Vua4ZB4AaABAg.9MISdgtuhxe9MIZjpxDXgM

Baca juga: Rumi dan Burung Nuri

Puasa itu Meninggalkan Tubuh

Baca juga: Bertemu Nabi Sebentar Saja

 

Kalau anda menyukai postingan ini, jangan lupa share ke yang lain semoga bermanfaat. Terima kasih. Ahmad Gaus

Diagram Air Mata

 

Follow my IG: @gauspoem

Perempuan yang Menangis di Jendela

Baca juga –>  Diagram Air Mata

Follow my IG: @gauspoem

March Poem

Selamat jalan Maret 2021

Mau menulis biografi bersama saya?

Baca di sini: Menulis Biografi

Kursi Ruang Tunggu

Saya meminjam kerangka tubuh puisi SDD di bawah ini untuk membuat puisi di atas. Bandingkan hasilnya, apakah saya berhasil meniru gaya SDD 🙂

ClMEPg3VAAAIaD8

Sarah Mae Sudah Pergi