[Puisi] Kepada Yth. Cebong dan Kampret

 

 

Kepada Yth.
CEBONG DAN KAMPRET

Sebuah negeri tergelincir dari tanganku
Jatuh ke dalam kolam
Sekawanan burung masuk ke tubuhku
Membawa reruntuhan kota
Ekosistem kehidupan telah berubah
Dan aku terpaksa menyesuaikan diri
Meminum air yang bercampur dengan puing-puing bangunan yang belum lama berdiri dan runtuh
Menghirup udara yang tercemar dari polusi besi-besi tua yang gemar berteriak.

Aku tidak tahu kapan pastinya tubuhku bermutasi
Ekor dan sayapku tumbuh begitu saja
Meniru orang-orang, aku pun mulai bisa berenang seperti anak katak
Dan belajar terbang seperti kelelawar
Menyusup ke dalam kepala orang lain dan mencuri pikiran mereka
Kutanam di tengah kota yang telah mati
Dan tumbuh menjadi pohon dengan daun-daun yang dapat berbicara
Menggantikan lidah yang sudah hangus karena tidak pernah berhenti saling menista.

Orang-orang terbangun dari tidur dengan isi kepala dipenuhi burung.
Mereka berhamburan dari mulut dan lubang telinga
Terbang ke sana ke mari memenuhi seantero kota
Kaki mereka mencengkram batu-batu yang menyala
Dan dijatuhkan di atas pemukiman warga
Penduduk berlarian ke luar rumah dengan wajah menengadah dan mulut menganga
Menelan batu-batu itu sampai memenuhi perut mereka
Lalu meledak seperti bom bunuh diri
Langit gelap gulita. Bumi rata.

Apakah semua harus dihancurkan dulu?
Sebelum dibangun kembali oleh anak-anak yang belum lahir
Anak-anak manusia — bukan anak katak atau kelelawar.

 

Pontianak, 31 Juli 2018

Wassalam,

Ahmad Gaus AF
penulis, aktivis

Note: Puisi “Cebong dan Kampret” dibacakan di Aula Universitas Tanjung Pura, Pontianak, 31 Juli 2018. Dibacakan kembali dalam pertemuan para aktivis Komunitas Bela Indonesia (KBI) di Hotel Best Western Premier The Hive, Jakarta, 7 Agustus 2018

Pontianak Untan

“Pertemuan Komunitas Bela Indonesia, Jakarta, 7 Agustus 2018”

Best Western Premier The Hive Jkt

Komunitas Bela Indonesia

 

 

PUISI PERNIKAHAN

IMG-20200422-WA0019
Puisi di bawah ini dibacakan di acara resepsi pernikahan Yuan dan Pri (dalam foto ini), rekan kerja saya di Lembaga Sensor Film/LSF, pada 22 Oktober 2016 — GOR Sunter, Jakarta Utara.

Cinta dan Pernikahan

Puisi Ahmad Gaus

CINTA itu satu tapi banyak

ia menyatu tapi berserak

seperti ribuan gerimis di senja hari

yang diserap warna pelangi.

BETAPA bahagia sepasang kekasih

disatukan dalam ikatan cinta

lebih bahagia jika mereka mampu

melepaskan ikatan-ikatan itu

dan merajutnya menjadi sayap-sayap merpati

yang membawa mereka terbang bersama

ke langit tinggi.

CINTA itu melepaskan, bukan membelenggu

jika engkau mencintai kekasihmu

jangan meminta dia bersimpuh di kakimu

pinanglah kekasihmu sebagaimana engkau

meminang impianmu

yang kau lukis menjadi kupu-kupu

bermata salju, bersayap langit biru.

SEPASANG kekasih menabur cinta sepanjang jalan

permadaninya ayat-ayat Tuhan

istananya surga di ketinggian

karena cinta itu setinggi-tinggi kebenaran

bila perjalanan telah sampai di pintu kematian

setiap kekasih akan dimintai pertanggungjawaban.

PERNIKAHAN adalah kebersamaan yang berjarak

biarkan ia seperti itu

supaya engkau tetap memiliki dirimu

dan kekasihmu tidak kehilangan dirinya.

JANGAN menghidangkan seluruh cintamu di meja makan

sebab semua akan dilahap habis lalu dilupakan

yang harus kau berikan cinta itu

bukan hanya mulut kekasihmu

tapi juga matanya, telinganya, jiwanya, pikirannya, hatinya

sampai dia tidak memintanya lagi

sampai engkau tidak perlu memberinya lagi

sebab dia tahu bahwa hidupmu adalah cinta itu sendiri

dan cinta adalah hidupmu itu sendiri.

SAHABATKU, hidup ini hanya milik mereka

yang tekun menanam dan merawat cinta

tanpa cinta, surga tidak ada yang punya

maka cintailah dirimu, cintailah kekasihmu

cintailah kebersamaan dan kepedihannya

cintailah pernikahan dan penderitaannya

cintailah cinta dan lika-liku perjalanannya

di situlah engkau akan menemukan

Cinta-mu yang sebenarnya.

~~~

Gedung Film, 19 Oktober 2016

ahmad gaus af

Momen membaca puisi di berbagai acara pernikahan:

IMG-20170111-WA0002

IMG-20161022-WA0005-2

IMG-20200810-WA0008

*****************************

Novel terbaru saya, Hujan dalam Pelukan, dapat dibaca di platform NovelMe, ini link-nya: https://h5.novelme.com/bookinfo/22983

Selamat menikmati, jangan lupa kasih star vote dan subscribe ya, terima kasih

 [warning: only for adult]

Pembacaan Puisi “Senandung Ramadan”

 

 

SENANDUNG RAMADAN

Puisi Ahmad Gaus

 

Bila datang bulan Ramadan

aku terkenang kampung halaman

orang tua, sanak saudara, handai taulan

teman-teman kecilku, bermunculan bagaikan album kenangan

Dulu kami menyambut Ramadan dengan menggunduli kepala

sebagai simbol pembersihan diri, karena Ramadan bulan yang suci

beramai-ramai kami menceburkan diri ke sungai

mandi bersama menyucikan diri

karena bulan Ramadan bulan yang suci.

Di pagi hari, kami bergotong royong membersihkan mushalla

walaupun kecil, mushalla itu sangat  berarti

karena di situlah pertama kali kami belajar mengaji

belajar berwudu, salat, mendaras  Alquran

agar hidup punya pedoman.

Selepas senja matahari terbenam di cakrawala

perlahan-lahan hilal menampakkan wajahnya dari jendela surga.

Bulan puasa telah tiba

ya, bulan puasa telah tiba

bulan yang dinanti berjuta-juta umat manusia.

Beduk ditabuh, obor dinyalakan, kami berpawai keliling desa

menyalami orang-orang tua

memberi kabar Ramadan telah tiba.

Orang-orang di desa menyambut puasa dengan penuh suka cita

melantunkan tasbih, tahmid, tahlil, takbir:

Subhanallah wal-hamdulillah wa Lailahaillallah wallahu akbar

kalimat-kalimat mulia yang lebih utama dari dunia dan seluruh isinya.

Ramadan adalah cerita yang selalu menggenang di pelupuk mata

salat tarawih berjamaah, makan sahur, buka puasa bersama

menggoreskan kenangan yang tak akan terlupakan.

Berpuluh tahun kemudian, hidup terasa berbeda

semakin dewasa, tubuh semakin dibuai kenikmatan dunia

tersesat di belantara kota, dimana semua serba ada

hasrat pada kemewahan memaksa orang menjadi manusia durjana

apa yang diingini harus tersedia, apa yang diminta harus ada

dengan menghalalkan segala cara

saling sikut, saling jegal

peduli setan agama dan moral

dikendalikan oleh keserakahan

terpukau oleh uang dan jabatan.

Di kota, bulan puasa terasa berbeda

anak-anak membakar petasan pengantar tawuran

orang-orang bertawaf di pusat-pusat perbelanjaan.

Di layar televisi, ibadah puasa menjadi komoditi

mubalig-mubalig selebriti menjajakan diri

nasihat-nasihatnya dibungkus promosi

kain sarungnya promosi, pakaiannya promosi

agama telah dibeli oleh agen-agen promosi.

Acara-acara Ramadan penuh dengan dagelan

ustadz-ustadz komedian menjadi tontonan

cerita hikmah Ramadan sekadar selingan

pengisi waktu menunggu azan.

Lalu apa yang tersisa dari bulan Ramadan

selain jualan, bualan, iklan?

Di kota, ibadah puasa terasa berbeda

orang-orang sibuk dengan urusan dunia

didera hidup yang tergesa-gesa

menjadi hamba-hamba waktu yang merana.

Bila datang bulan suci

aku teringat nasihat para sufi

agar mengendalikan nafsu-nafsu jasmani

memutus hasrat-hasrat duniawi.

Puasa membersihkan hati dari koloni setan-setan

sebab hati yang ditempati kawanan setan adalah hati yang sakit

dan hati yang sakit perlu pengobatan khusus

ketahuilah, tidak ada pengobatan yang lebih manjur dari lapar dan haus.

Hanya dengan mengalahkan keinginan badan, hati menjadi suci

dan hanya hati yang suci yang pantas menyambut bulan suci.

Maka betapa lancangnya aku

berani memasuki bulan suci dengan hati penuh benci.

Betapa lancangnya aku berani memasuki gerbang Ramadan yang mulia

dengan hati yang dipenuhi iri-dengki pada sesama.

Pada bulan Ramadan tubuh kita tawan

hasrat-hasratnya kita kalahkan

karena tubuhlah yang membuat kita jauh dari Tuhan.

Ibadah puasa membawa jiwa-jiwa kita terbang ke angkasa

dari atas sana kita melihat dunia bagaikan serpihan jelaga

terombang-ambing di samudra raya.

Bila datang bulan Ramadan

pintu-pintu neraka ditutup, pintu-pintu surga dibuka

setan-setan dirantai, agar tidak mengganggu orang yang berpuasa

sebab puasa ibadah paling mulia, paling dicintai Allah Taala

sebab puasa hanya milik Allah semata.

Bila datang bulan Ramadan

aku terkenang kampung halaman

di mana aku dan teman-teman kecilku dibesarkan

dalam buaian suara azan

suara yang akan terus berkumandang

sampai suatu hari nanti aku dikuburkan

kembali ke haribaan Tuhan

itulah sebenar-benarnya kampung halaman…

______________________  oo00oo  ______________________

 

woman-praying-inside-istiqlal-mosque-jakarta-during-ramadan-month-M192FE

Saya menulis puisi Senandung Ramadan sambil mendengarkan lantunan Sholawat Thoriqiyyah dari Thoriqot Qodiriyah Naqsabandiyyah (TQN) yang amat sangat menyentuh hati. Saya sertakan link-nya semoga anda pun menyukainya.

 

Sholawat Thoriqiyyah

 Allâhumma Shalli wa Sallim ‘alâ Muhammadin wa Âli wa Shahbi Ajma’în
Allâhumma Shalli wa Sallim ‘alâ Muhammadin wa Âli wa Shahbi Ajma’în

Allâhummah dinâ Thorîqol Mustaqîm, Thorîqom minallâhi Rabbil ‘Alamîn
Allâhummah dinâ Thorîqol Mustaqîm, Thorîqom mirrûhi Jibrîral Amîn

Allâhummah dinâ Thorîqol Mustaqîm, Thorîqol Anbiyâi wal Mursalîn
Allâhummah dinâ Thorîqol Mustaqîm, Thorîqos Syuhadâi wal Mujâhidîn

Allâhummah dinâ Thorîqol Mustaqîm, Thorîqol Khulafâir Rôsyidîn
Allâhummah dinâ Thorîqol Mustaqîm, Thorîqol Ulamâi wal Âmilîn

Allâhummah dinâ Thorîqol Mustaqîm, Thorîqol Auliâi wal Mukhlishîn
Allâhummah dinâ Thorîqol Mustaqîm, Thorîqos Su’adâi wal Fâizîn

Allâhummah dinâ Thorîqol Mustaqîm, Thorîqol Atqiyâi was Sholihîn
Allâhummah dinâ Thorîqol Mustaqîm, Thorîqol Budalâi wal Qônitîn

Allâhummah dinâ Thorîqol Mustaqîm, Thorîqol Asyifâi wadz Dzâkirîn
Allâhummah dinâ Thorîqol Mustaqîm, Thorîqol Asyifâi wadz Dzâkirîn

(Sholawat Thoriqoh Qodiriyyah Naqsabandiyyah — Suryalaya)

 

kultumLSF

Membaca puisi Senandung Ramadan dalam acara Kultum di Lembaga Sensor Film (LSF) Jakarta, 13 Juni 2016

 

 

Aku Bertanya Pada Cinta

ee877e63d4bb767c294e093bbcda1e5c

AKU BERTANYA PADA CINTA

Aku bertanya pada cinta
sampai kapan akan membiarkan rindu
terbelenggu dalam penjara jiwa.
Ia menggelengkan kepala
menitikkan airmata!

Aku bertanya pada rindu
sampai kapan akan membiarkan cinta
terpenjara dalam belenggu kalbu.
Ia menangis pilu
menumpahkan airmatanya di bahuku!

Akhirnya aku bertanya pada airmata
sudikah ia mempertemukan
cinta dan rindu di taman pelaminan
dimana tak ada lagi kesedihan.
Ia pergi meninggalkanku
sambil menangis tersedu-sedu!

—  Gedung Film, Maret 2016

Baca juga: Mata yang Indah

 

[Puisi] Seribu Tahun Lagi

floating-leaf

 

SERIBU TAHUN LAGI

Kulayari malam dengan perahu

selembar daun yang jatuh dari mimpimu

laut gelap menunggu!

Kapal-kapal berlintasan di kepalaku

mengangkut udara kota yang beku

dan menaburkannya di sepanjang

aliran darahku.

Dengarlah!

Aku bukan pengelana yang gagah perkasa

menaklukkan badai, menembus rimba belantara

mencari cinta sampai ke ujung dunia

Aku hanya debu

mengikuti angin yang setia mengirim rindu

kepada dermaga dan batu-batu.

Tubuhku ringan tanpa beban

terapung-apung di tengah lautan

esok, tirai fajar akan membuka kelopak matamu

atau harus seribu tahun lagi menunggu!

  —  Bintaro, 22 Januari  2016

Aku Tidak Memesan Malam

 

bulannn

AKU TIDAK MEMESAN MALAM

puisi ahmad gaus

 

Aku tidak memesan malam

ia datang begitu saja

dituangkan angin ke cangkir kopi

“Untuk apa?” tanyaku

“Aduklah, lalu minum,” katanya, “sebentar lagi sepi akan datang

ia akan menemanimu mengobrol.”

 

Hei, siapa pula yang memesan sepi?

aku sedang ingin sendiri

seisi rumah sudah kukeluarkan

kuletakkan di pinggir jalan

pakaian yang kukenakan telah kulucuti

kusedekahkan pada pengemis yang nyaris telanjang

bahkan tangan, kaki, alat vital, mata, telinga, hidung

telah kuberikan pada orang-orang yang lewat

terserah mau mereka apakan

aku ingin menyendiri

benar-benar sendiri.

 

Dunia sekelilingku telah menjadi asing

orang-orang tak kukenal hilir mudik

menuju tempat-tempat hiburan

merayakan malam dengan tangisan yang meriah

sebagian lagi berjubel di pusat-pusat perbelanjaan

memasukkan sepi ke kantong-kantong plastik.

 

Biarlah aku tetap seperti ini

tanpa malam, tanpa sepi

sebab keduanya sama saja:

telah tercemar oleh bau busuk keramaian

hanya kesendirian yang membuatku nyaman

hidup apa adanya, penuh kepasrahan

seperti bayi yang baru dilahirkan

dan dibuang ke dalam selokan

lalu menyusu dari polutan.

 

 

Ciputat, 10/1/2016

 

[Esai] LANGIT MAKIN MENDUNG

buku langit mendung

Catatan Ahmad Gaus

KEHADIRAN KARYA-KARYA yang mengusung tema keagamaan menjadi fenomena tersendiri dalam kancah kesusastraan di tanah air.1)  Karya jenis ini biasanya muncul dalam dua corak: menjadikan agama sebagai pemecah persoalan atau menjadikan agama hanya sebagai latar belakang. Karya sastra corak pertama biasanya memperoleh sambutan positif dari khalayak, sementara corak kedua seringkali menimbulkan kontroversi. Cerpen Langit Makin Mendung masuk dalam kategori kedua. Ia bukan saja menimbulkan kehebohan di tengah masyarakat, tapi juga memancing kontroversi di kalangan agamawan dan ahli hukum sampai kasusnya dibawa ke pengadilan.

Cerpen Langit Makin Mendung ditulis oleh seorang yang memakai nama samaran Kipandjikusmin. Cerpen ini dimuat di Majalah Sastra, Th. VI. No. 8, Edisi Agustus 1968 yang dipimpin oleh HB Jassin. Kontroversi yang ditimbulkan oleh cerpen ini terkait dengan isinya yang terang-terangan mempersonifikasi Tuhan dan menggambarkan sosok Nabi Muhammad yang selama ini dianggap tabu oleh kaum Muslim.

Diceritakan bahwa Nabi Muhammad meminta izin kepada Tuhan untuk turun ke muka bumi dengan alasan ingin mengetahui apa yang menyebabkan umatnya akhir-akhir ini lebih banyak dimasukkan ke dalam neraka. Dan Tuhan memberinya izin karena alasan itu dianggap cukup kuat. Jutaan penduduk surga sibuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk melepas Muhammad ke bumi. Upacara pelepasan diadakan di sebuah lapangan terbang disaksikan seluruh penghuni surga dan dipimpin oleh Nabi Adam yang menyampaikan pidato pelepasan melalui sebuah alat pengeras suara. Di akhir pidatonya Nabi Adam mengatakan: “Akhir kata Saudara-saudara, hasil peninjauan on the spot oleh Muhammad S.A.W harus dapat dimanfaatkan secara maksimal nantinya. Ya, Saudara-saudara kita di bumi melawan rongrongan iblis-iblis neraka beserta antek-anteknya. Kita harus bantu mereka dengan doa-doa dan sumbangan-sumbangan pikiran yang konstruktif agar mereka semua mau ditarik ke pihak Tuhan; sekian. Selamat jalan Muhammad! Hidup persatuan Rakyat Sorga dan Bumi!” “Ganyang!!!” (Berjuta suara menyahut serempak).

Muhammad segera menuju bumi menaiki buraq – kuda sembrani yang dulu menjadi kendaraannya sewaktu melakukan Mi’raj. Secepat kilat buraq melesat ke arah bumi, sementara itu Jibril yang digambarkan sudah tua terengah-engah mengikutinya di belakang. Mendadak, sebuah sputnik Rusia melayang di angkasa hampa udara. Dua kendaraan berbeda teknologi itu pun bertabrakan dan keduanya hancur tanpa sisa. Muhammad dan Jibril terpental ke bawah, tersangkut di gumpalan awan yang empuk bagai kapas. Ketika menengok ke bawah Muhammad mengira itu adalah neraka. Maka Jibril segera meralatnya:  “Paduka salah duga. Di bawah kita bukan neraka tapi bagian bumi yang paling durhaka, Jakarta namanya. Ibukota sebuah negeri dengan seratus juta rakyat yang malas dan bodoh.”

Selanjutnya dikisahkan bahwa Muhammad dan Jibril mengubah diri mereka menjadi sepasang burung elang. Mereka bertengger di Monas. Percakapan di puncak yang digambarkan sebagai menara emas bikinan pabrik Jepang itu menyindir Soekarno yang disebut sebagai nabi palsu dengan ajaran Nasakomnya yang telah menggerogoti jiwa prajurit-prajurit dan mendarah daging pada sebagian ulama.

Tidak hanya penggambaran tentang Muhammad dan Jibril, namun juga penggambaran tentang Tuhan, seperti kejadian yang mengisahkan para nabi yang protes kepada Tuhan: “Kami bukan malaikat atau burung perkutut. Bibir-bibir kami sudah pegal dan kejang memuji kebesaranMu; beratus tahun tanpa henti….. Membaca petisi para nabi, Tuhan terpaksa menggeleng-gelengkan kepala. Tak habis pikir pada ketidakpuasan di benak manusia….”

Dialog-dialog terjadi antara Muhammad dan Jibril yang sarat dengan sindiran terhadap kondisi sosial tanah air masa pada masa itu. Diceritakan bahwa penduduk negeri ini 90 persen beragama Islam tetapi justru segala macam perilaku jahat, nista, lacur, munafik, tumbuh subur di mana-mana. Tidak lupa pula diselipkan sindiran tajam terhadap prilaku para pejabat pemerintah seperti kegemaran mereka berfoya-foya, minum alkohol, dan main perempuan.

“Acara bebas dimulai. Dengan tulang-tulangnya yang sudah tua Presiden menari lenso bersama gadis-gadis daerah Menteng yang spesial diundang. Patih-patih dan Menteri tak mau kalah gaya. Tinggal para hulubalang cemas melihat Panglima Tertinggi bertingkah seperti anak kecil urung disunat.”

 “Tamu-tamu permisi pamit. Perut kenyangnya mendahului kaki-kaki setengah lemas. Beberapa orang muntah-muntah mabuk di halaman parkir…Sendawa mulut mereka berbau alkohol. Sebentar-sebentar kiai mengucap ‘alhamdulillah’ secara otomatis. Menteri-menteri pulang belakangan bersama gadis-gadis, cari kamar sewa. Pelayan-pelayan sibuk kumpulkan sisa-sisa makanan buat oleh-oleh anak istri di rumah. Anjing-anjing istana mendangkur kekenyangan-mabuk anggur Malaga. Pengemis-pengemis di luar pagar istana memandang kuyu, sesali nasib kenapa jadi manusia dan bukan anjing!”

Setelah menyasar berbagai masalah dari ideologi, poligami, utang luar negeri, hingga kondisi rakyat yang kebanyakan hidup susah dan kelaparan, cerpen ini diakhiri dengan sebuah pernyataan: “Rakyat rata-rata memang pemaaf serta baik hati. Kebohongan dan kesalahan pemimpin selalu disambut dengan lapang dada. Hati mereka bagai mentari, betapapun langit makin mendung, sinarnya tetap ingin menyentuh bumi.”

Setelah pemuatannya di majalah Sastra bulan Agustus 1968, kontan cerpen ini menyulut kehebohan. Berbagai kecaman datang, terutama dari umat Islam yang menganggap karya Kipandjikusmin itu menghina Islam. Kantor majalah Sastra di Jakarta didemonstrasi oleh kelompok-kelompok masyarakat dan dindingnya dicoreti dengan kata-kata makian. Reaksi massa yang sangat keras muncul di Medan sehingga Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara melarang peredaran majalah edisi tersebut. HB Jassin selaku penanggung jawab majalah Sastra tutup mulut tentang siapa sebenarnya Kipandjikusmin itu. Akibat pilihan sikapnya itu akhirnya ia harus berhadapan dengan pengadilan untuk mempertanggungjawabkan pemuatan cerpen tersebut di majalahnya.

jassin

HB JASSIN

Ada yang menduga bahwa Kipandjikusmin tidak lain adalah HB Jassin sendiri yang menulis dengan nama samaran.

Di kalangan sastrawan sendiri terjadi polemik panjang baik menyangkut batas-batas imajinasi karya sastra maupun pengadilan atas kasus Langit Makin Mendung. Puluhan artikel bermunculan di media massa baik yang pro maupun kontra dengan melibatkan nama-nama besar: Goenawan Mohammad, Taufik Ismail, A.A. Navis, Wiratmo Soekito, Bur Rusuanto, Bahrum Rangkuti, Buya Hamka, dan lain-lain. Isu polemik berkembang dari persoalan sastra ke masalah agama, hukum, dan politik, yang berlangsung selama sekitar tiga tahun (1968-1970).2)

Dalam pledoinya di persidangan, HB Jassin menyatakan: “Kami telah dilain-tafsirkan dan karena perlainan tafsir itu orang mengira kami telah menghina mereka, menghina kepercayaan mereka yang adalah kepercayaan dan keyakinan kami juga. Kami dengan tulus ikhlas meminta maaf kepada mereka yang mengganggap bahwa kami telah menghina, dan kami pun memohon maaf kepada Allah Maha Kuasa, yang kami tahu adalah Maha Pengampun dan Maha Pemaaf.”

Setelah menyampaikan permohonan maaf, Jassin tetap dengan pendiriannya: “Saya berpendapat bahwa cerita pendek Langit Masih Mendung adalah hasil imajinasi, mempunyai dunia lain dan karena itu tidak bisa diukur dengan kaidah-kaidah agama.” Jassin pun mulai mempertanyakan tuntutan hukum atas karya sastra. Katanya, “Dengan kesadaran minta perhatian buat perbedaan antara dunia imajinasi seniman dan dunia realitas dengan hukum positifnya, karena keputusan Saudara Hakim yang kurang tepat akan mempunyai akibat merugikan bagi masa depan kreativitas para seniman, bukan saja di Ibukota, tapi terutama di daerah-daerah”.

hamkaa

HAMKA: “Murtad saya dari Islam kalau karangan seperti itu saya muat di majalah saya.”

Pembelaan HB Jassin tampaknya sia-sia. Majelis Hakim tetap memvonisnya dengan pidana penjara selama satu tahun dengan masa percobaan dua tahun karena dianggap melakukan penodaan agama (pasal 156a KUHP). Ia menerima putusan tersebut tapi bukan berarti sikapnya surut dalam membela kebebasan imajinasi. Masih terkait kasus itu ia menulis dalam majalah Horison: “Sesuatu karya haruslah dianggap sebagai alat penggungah pikiran, disetujui ataupun tidak disetujui isinya, masing-masing orang berhak untuk menyenanginya atai tidak menyenanginya, tapi orang tidak berhak menghancurkannya, seperti orang juga tidak berhak membunuh penciptanya.”

Mengapa Jassin mau membela dan menanggung akibat dari perbuatan yang tidak dilakukannya? Jawabannya tentu karena dia lahir-batin mencintai sastra dan hidup untuk sastra. Begitu gigihnya ia membela Langit Makin Mendung dan menyembunyikan identitas penulisnya sampai-sampai ada yang menduga bahwa Kipandjikusmin tidak lain adalah HB Jassin sendiri yang menulis dengan nama samaran.

Dua bulan setelah heboh itu Kipandjikusmin bicara kepada majalah Kami edisi 22 Oktober 1968 bahwa ia tidak bermaksud menghina agama Islam melainkan hanya menertawakan aneka kebodohan di masa rezim Soekarno. Tentang personifikasi hal-hal yang selama ini dianggap tabu, ia menandaskan bahwa itu semata-mata hasrat pribadinya untuk mengadakan komunikasi langsung dengan Tuhan, Nabi Muhammad, sorga, dll.

Teka-teki tentang siapa Kipandjikusmin yang sebenarnya baru terkuak dua tahun kemudian (1970). Kepada Usamah, redaktur pelaksana Ekspress yang dipimpin Goenawan Mohamad, Kipandjikusmin mengaku nama aslinya adalah Soedihartono. Ia menempuh pendidikan di Akademi Pelayaran Nasional, dan selama 6 tahun menjalani wajib dinas di Jakarta. Setelah itu ia tidak pernah menulis lagi. Namanya ditelan oleh arus gelombang kesusastraan yang—meminjam kata-kata Goenawan Mohamad seputar kasus ini—menentramkan dan bukan yang menggelisahkan.3)

Posisi Kipandjikusmin memang terpojok. Para sastrawan pada umumnya tidak membela dirinya maupun karyanya yang dianggap buruk, melainkan membela kebebasan imajinasi. Sebagian, seperti Hamka, tidak membela dirinya dan karyanya melainkan membela HB Jassin yang harus menjadi tameng karena kepengecutan Kipandjikusmin yang tidak menampakkan batang hidungnya ketika kasus itu merebak ke permukaan. Para sastrawan seperti Bur Rasuanto, Ali Audah, Taufiq Ismail, menganggap Langit Makin Mendung sebagai karya yang buruk atau bermutu rendah.

Hanya HB Jassin yang membela ketiganya: penulisnya, mutu karyanya, dan kebebasan imajinasi. Dan tampaknya Jassin konsisten, sebab seandainya Langit Makin Mendung bukan karya sastra yang bermutu tentunya tidak akan dimuat di majalah Sastra yang dipimpinnya. Hal ini berbeda dengan Hamka, misalnya, yang mengatakan bahwa majalah Panji Masyarakat yang dipimpinnya tidak akan memuat karya semacam itu. “Murtad saya dari Islam kalau karangan seperti itu saya muat.” Jadi alasannya ialah agama, bukan sastra.

Kalau kita setuju kepada penilaian sebagian sastrawan tentang buruknya mutu sastra Langit Makin Mendung, maka karya itu dengan sendirinya akan terhapus dalam lembaran sejarah sastra. Sialnya, yang terjadi justru sebaliknya. Sementara banyak karya sastra yang dinilai bermutu tinggi tenggelam ditelan zaman dan dalam ingatan masyarakat, Langit Makin Mendung terus saja dibicarakan. Melintasi zaman. Rupanya keburukan sebuah karya tidak selalu identik dengan kesia-siaan atau mudah dilupakan. []

Catatan:

  1. Kajian mutakhir mengenai ini lihat, Marwan Saridjo, Sastra dan Agama (Jakarta: Penamadani, 2006).
  2. Duduk perkara dan polemik sekitar kasus ini kini telah dibukukan. Lihat, Muhidin M. Dahlan dan Mujib Hermani (eds.), Pleidoi Sastra: Kontroversi Cerpen “Langit Makin Mendung” Ki Pandjikusmin (Jakarta: Melibas, 2004).
  3. Ibid., hal. 166.

[][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][]

******************************************

Mengapa Kita Harus Menulis?

Menulis itu menyenangkan. Banyak orang menemukan kembali gairah hidupnya setelah diperkenalkan dengan dunia tulis-menulis, sebab di dalam aktivitas itu ada energi gerak yang memutar baling-baling kehidupan menuju dunia tanpa batas: dunia imajinasi. Jika anda muak dengan realitas di sekeliling anda, ciptakanlah realitas lain yang menyenangkan di dunia imajinasi. Semakin banyak orang yang dapat anda bawa masuk ke dunia imajinasi anda, semakin besar kemungkinan imajinasi itu menjadi kenyataan.

Menulis itu menyenangkan. Ratusan orang (pelajar/santri, mahasiswa, dosen, umum) telah membuktikannya dalam berbagai pelatihan menulis yang saya pandu. Yuk ikuti pelatihan menulis, ada kelas regular, ada juga in house training.

Para Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Jambi Mengikuti Pelatihan Menulis Karya Ilmiah dan Karangan Kreatif, 23-24 Maret 2015
Para Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Jambi Mengikuti Pelatihan Menulis Karya Ilmiah dan Karangan Kreatif, 23-24 Maret 2015
Para siswa/i SMP sekota Ambon mengikuti pelatihan menulis bersama Ahmad Gaus, 19  Nopember 2013
Para siswa/i SMP sekota Ambon mengikuti pelatihan menulis bersama Ahmad Gaus, 19 Nopember 2013

Selama masa pandemi Corona (Covid-19), pelatihan menulis tatap muka ditiadakan, dan dialihkan ke format daring (online). Kalau kamu berminat, silakan daftar untuk kelas online setiap Sabtu dan Minggu. Lihat infonya di sini:

Daftar sama Kak Windi ya di nomor yang tertera dalam flyer.

Baca juga: Menulis itu Gampang dan Mendatangkan Uang

DUA HATI: Antologi Puisi Mini Multimedia

INI PUISI era digital, teks saja tidak cukup. Puisi dipadukan dengan audio-visual. Namanya Puisi Mini Multimedia (PMM), atau #eShortPoem

Di bawah ini beberapa PMM saya yang dibingkai dengan ilustrasi. Dua PMM lainnya saya buatkan versi videonya. Selamat menikmati 🙂

03-Jangkar

10-Rindu

06-Cupid

01-Dua Hati

07-Cemara

02-Perkasa
08-Kutukan
09-Pesta

[Esai] Membaca Puisi-puisi Gelap Afrizal Malna

Afrizal4

Memutus Tradisi Sunyi dan Luka
Membaca Puisi-Puisi Gelap Afrizal Malna
Catatan Ahmad Gaus

Puisi-puisi Afrizal Malna kerap dianggap menyimpang dari tradisi maupun wawasan estetika puisi yang pernah ada sebelumnya. Kefasihan penyair botak itu dalam memainkan kata-kata dan idiom-idiom yang digali dari khazanah dunia modern membedakannya dengan penyair lainnya. Ketika banyak penyair masih gamang menghadapi kemelut budaya industri dan teknologi, Afrizal memilih untuk bergelut di dalamnya dan menjadikannya sebagai kancah pergulatan estetik dan intelektualnya.1)

Zaman peralihan yang mengantarkan masyarakat dari budaya agraris ke budaya industri memang menimbulkan sejumlah anomali nilai dan sekaligus ketegangan eksistensial manusia di hadapan produk teknologi. Dan itu terutama dialami oleh masyarakat kota (urban) yang menjadi lokus perenungan Afrizal. Sebagai penyair, ia tidak berdiri di ruang hampa. Dan sebagai pewaris tradisi kepenyairan ia sendiri kerap tidak sungkan-sungkan mengakui wawasan estetikanya dipengaruhi oleh para penyair sebelumnya. Seorang budayawan bahkan mengatakan bahwa puisi-puisi Afrizal ialah hasil eksplorasi dari puisi Chairil Anwar dan Sutardji Calzoum Bachri.2)

Yang unik dari puisi-puisi Afrizal memang sudut pandangnya yang dominan pada dunia benda di lingkungan budaya modern (urban). Penyair melukiskan dunia modern beserta objek-objeknya sedemikian rupa sehingga menciptakan nuansa dan gaya puitik tersendiri.3) Karena ruang (kota) yang dipilihnya sendiri sebagai kancah pergulatan, dan ia menjadikan dirinya sendiri sebagai bagian dari “benda” di ruang itu, dan berdialog secara mesra dengan televisi, kabel, pabrik, hotel, pecahan kaca, maka ia tidak mengalami kesunyian atau terluka. Inilah yang menjadikan dirinya unik

Bisa dibilang, puisi-puisi Afrizal Malna adalah anti-tesis dari puisi-puisi tentang sunyi dan luka dari para penyair raksasa sebelumnya: sunyi yang duka dan kudus (Amir Hamzah), sunyi yang buas dan menderu (Chairil Anwar), dan sunyi yang absurd dan menyayat – sepisaupa sepisaupi, sepisausepi (Sutardji Calzoum Bachri). Jika mainstream puisi sunyi meneriakkan kegelisahan eksistensial aku-lirik, puisi-puisi Afrizal meneriakkan hak hidup seluruh makhluk yang bernyawa maupun tak, untuk mengada bersama.

Dalam puisi-puisi Afrizal, aku-lirik berubah menjadi aku-publik4) — lagi-lagi menjadi antitesis dari tradisi puisi sebelumnya — yang beranggotakan: televisi, bensin, coklat, saputangan, gerobak, sandal jepit, lemari, kucing, toilet, linggis, nenek moyang, panci, kartu nama, pabrik, sejarah, pipa air, parfum, popok bayi, dan nama-nama benda yang hanya biasa disebut dalam kamus, bukan dalam puisi. Benda-benda itu dihidupkan, dibunyikan, bahkan diberi loudspeaker.

Puisi Afrizal adalah puisi tentang keramaian dan kebisingan di supermarket, kios elektronik, jalan raya, jembatan, lobi hotel, bioskop, dan lain-lain. Apakah itu kebisingan yang sesungguhnya (sungguh-sungguh ramai) ataukah sekadar halusinasi sang penyairnya (Afrizal Malna), itu soal lain. Apakah sang penyair menikmati keberadaannya di tengah benda-benda yang bercampur dari masa lalu dan masa sekarang itu, atau justru refleksi dari rasa cemasnya, itu juga soal lain. Esai ini tidak berminat pada pendekatan psikologi. Di tengah gemuruh estetika kesunyian, kehadiran benda-benda yang ditabuh secara bersamaan itu menjadi penting, sebab ia berpotensi memutus tradisi sunyi dan luka dalam penciptaan puisi, dan lahirnya pergerakan baru dalam proses kreatif.

Afrizal01

Kita tahu bahwa resonansi Nyanyi Sunyi Amir Hamzah terus terbawa hingga ke masa-masa penulisan puisi kontemporer. Kesunyian dan luka menyelinap dengan perkasa ke alam bawah sadar para penyair. Ia menjadi melodi yang terus diperdengarkan dalam bait-bait puisi hujan, senja, angin, cemara, laut, pasar, masjid, hingga pabrik terompet. Puisi Afrizal memperdengarkan melodi yang berbeda. Sebab melodi itu diletakkan di dalam ruang yang berisik yang di dalamnya ada benda-benda lain, sehingga suara hujan tidak melulu terdengar sebagai ritme kesunyian.

Tentu saja puisi Afrizal tidak bebas sama sekali dari desah kesunyian, tetapi sunyi pada Afrizal bukan sunyi yang kudus, atau buas, atau absurd seperti pada para penyair sebelumnya, melainkan sunyi yang pejal, yang diisi oleh benda yang kongkret dan memiliki ukuran.5) Karena itu ia tidak mengelak dari sunyi dengan bersimpuh di hadapan Tuhan, sebab Tuhan sendiri ialah benda dalam puisinya. Ingat ketika ia berusaha meminjamkan “sebait tuhan” kepada penyair Sutardji Calzoum Bachri, dalam puisi “Matahari Bachri” — apapun makna konotasi dari frase itu.6)

Jika bagi para penyair seluruh ruang berisi tuhan, maka dalam puisi afrizal ruang ini berisi benda-benda, tuhan hanya salah satu di antaranya. Menarik bagaimana ia menyusun benda-benda itu dalam puisi-puisinya, memberi mereka hak untuk muncul ke permukaan dan dikenal sebagai bagian yang sah dari semesta dan perkembangan zaman. Untuk memahami amanat dalam puisinya mungkin harus mengetahui makna di balik benda-benda itu. Atau, jangan-jangan seperti Sutardji Calzoum Bachri yang membebaskan kata dari makna, Afrizal pun berusaha membebaskan benda dari kungkungan makna konvensionalnya.7) Berikut beberapa puisi Afrizal:

Warisan Kita

Bicara lagi kambingku, pisauku, ladangku, komporku, rumahku, payungku, gergajiku, empang ikanku, genting kacaku, emberku, geretan gasku. Bicara lagi cerminku, kampakku, meja makanku, alat-alat tulisku, gelas minumku, album foto keluargaku, ayam-ayamku, lumbung berasku, ani-aniku.

Bicara lagi suara nenek-moyangku, linggisku, kambingku, kitab-kitabku, piring makanku, pompa airku, paluku, paculku, gudangku, sangkar burungku, sepedaku, bunga-bungaku, talang airku, ranjang tidurku. Bicara lagi kerbauku, lampu senterku, para kerabat-tetanggaku, guntingku, pahatku, lemariku, gerobakku, sandal jepitku, penyerut kayuku, ani-aniku.

Bicara lagi kursi tamuku, penggorenganku, tembakauku, penumbuk padiku, selimutku, baju dinginku, panci masakku, topiku. Bicara lagi kucing-kucingku… pisau

1989

Masyarakat Rosa

Dari manakah aku belajar jadi seseorang yang tidak aku kenal, seperti belajar menyimpan diri sendiri. Dan seperti usiamu kini, mereka mulai mengira dan meyakini orang banyak, bahwa aku bernama Rosa.

Tetapi Rosa hanyalah penyanyi dangdut, yang menghisap keyakinan baru setelah memiliki kartu nama. Di situ Rosa menjelma, dimiliki setiap orang. Mahluk baru itu kian membesar jadi sejumlah pabrik, hotel, dan lintasan kabel-kabel telpon. Rosa membuat aku menggigil saat mendendangkan sebuah lagu, menghisap siapa pun yang mendengarnya. Rosa membesar jadi sebuah dunia, seperti Rosa mengecil jadi dirimu.

Ayahku bernama Rosa pula, ibuku bernama Rosa pula, seperti para kekasihku pula bernama Rosa. Mereka memanggilku pula sebagai Rosa, seperti memanggil diri dan anak-anak mereka. Dan aku beli diriku setiap saat, agar aku jadi seseorang yang selalu baru.

Rosa berhembus dari gaun biru dan rambut basah, dari bibir yang memahami setiap kata, lalu menyebarkan berlembar-lembar cermin jadi Rosa. Tetapi jari-jemarinya kemudian basah dan membiru, ketika menggenggam mikropon yang menghisap dirinya. Di depan layar televisi, ia menggenang: “Itu adalah Rosa, seperti menyerupai diriku.” Gelombang Rosa berhembus, turun seperti pecahan-pecahan kaca. Rosa menjelma jadi lelaki di situ, seperti perempuan yang menjelma jadi Rosa.

Rosa, tontonlah aku. Rosa tidak akan pernah ada tanpa kamera dan fotocopy. Tetapi kemudian Rosa berbicara mengenai kemanusiaan, nasionalisme, keadilan dan kemakmuran, seperti menyebut nama-nama jalan dari sebuah kota yang telah melahirkannya. Semua nama-nama jalan itu, kini telah bernama Rosa pula.

Hujan kemudian turun bersama Rosa, mengucuri tubuh sendiri. Orang-orang bernama Rosa, menepi saling memperbanyak diri. Mereka bertatapan: Rosa … dunia wanita dan lelaki itu, mengenakan kacamata hitam. Mereka mengunyah permen karet, turun dari layar-layar film, dan bernyanyi: seperti lagu, yang menyimpan suaramu dalam mikropon pecah itu.

1989

Mitos-mitos Kecemasan

Kota kami dijaga mitos-mitos kecemasan. Senjata jadi kenangan tersendiri di hati kami, yang akan kembali membuat cerita, saat-saat kami kesepian. Kami telah belajar membaca dan menulis di situ. Tetapi kami sering mengalami kebutaan, saat merambahi hari-hari gelap gulita. Lalu kami berdoa, seluruh kerbau bergoyang menggetarkan tanah ini. burung-burung beterbangan memburu langit, mengarak gunung-gunung keliling kota.

Negeri kami menunggu hotel-hotel bergerak membelah waktu, mengucap diri dengan bahasa asing. O, impian yang sedang membagi diri dengan daerah-daerah tak dikenal, siapakah pengusaha besar yang memborong tanah ini. Kami ingin tahu di mana anak-anak kami dilebur jadi bensin. Jalan-jalan bergetar, membuat kota-kota baru sepanjang hari.

Radio menyampaikan suara-suara ganjil di situ, dari kecemasan menggenang, seperti tak ada, yang bisa disapa lagi esok pagi.

1985

Migrasi dari Kamar Mandi

Kita lihat Sartre malam itu, lewat Pintu Tertutup: menawarkan manusia mati dalam sejarah orang lain. Tetapi wajah-wajah Dunia Ketiga yang memerankannya, masih merasa heran dengan ke- matian dalam pikiran: “Neraka adalah orang-orang lain.” Tak ada yang memberi tahu di situ, bagaimana masa lalu berjalan, memposisikan mereka di sudut sana. Lalu aku kutip butir-butir kacang dari atas pangkuanmu: Mereka telah melebihi diriku sendiri.

Wajahmu penuh cerita malam itu, menyempatkan aku mengingat juga: sebuah revolusi setelah hari-hari kemerdekaan, di Peka- longan, Tegal, Brebes; yang mengubah tatanan lama dari tebu, udang dan batik. Kita minum orange juice tanpa masa lalu di situ, di bawah tatapan Sartre yang menurunkan kapak, rantai penyiksa, alat-alat pembakar bahasa. Tetapi mikropon meraihku, mengumumkan migrasi berbahaya, dari kamar mandi ke jalan-jalan tak terduga.

Di Ciledug, Sidoarjo, Denpasar, orang-orang berbenah meninggalkan dirinya sendiri. Migrasi telah kehilangan waktu, kekasihku. Dan aku sibuk mencari lenganmu di situ, dari rotasi-rotasi yang hilang, dari sebuah puisi, yang mengirim kamar mandi ke dalam sejarah orang lain.

1993

***

Barangsiapa mencari amanat dalam puisi-puisi di atas niscaya ia akan kecewa. Tapi untunglah rumusan sesuatu itu puisi atau bukan tidak terletak pada amanat yang bisa diserap. Ada hal lain yang lebih membahagiakan orang ketika membaca puisi yakni penghayatan yang intens terhadapnya. Bisa dimengerti atau membingungkan adalah ranah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bahasa puisi, bagaimanapun, adalah bahasa yang dikreasi oleh penyairnya, bukan bahasa yang sudah lecek karena terlalu sering digunakan orang. Hanya karena sulit dimengerti, puisi-puisi Afrizal Malna kerap juga disebut sebagai puisi gelap, entah penyebutan itu berkonotasi positif atau negatif.

Adalah Sapardi Djoko Damono yang melihat adanya kesejajaran puisi Warisan Kita, yang dikutip di atas, dengan puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri dalam hal aspek bunyi yang menyerupai mantra. Menurut penyair senior itu, terdapat ketegangan antara tulisan dan ucapan dalam puisi-puisi Afrizal Malna. Namun ia juga menambahkan bahwa dua penyair itu (Sutardji dan Afrizal) mampu menjalin kata, larik, dan baitnya sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah bangunan puisi yang solid.8)

Bukan soal benar bahwa Afrizal dipengaruhi oleh Sutardji, bahkan juga oleh para penyair lain sebelumnya. Sebab atmosfer pernafasannya ialah wawasan estetika yang sudah terbentuk secara mapan, yang bisa ditelusuri hingga Raja Ali Haji. Lihat puisinya “Buku Harian dari Gurindam Duabelas”, yang memperlihatkan kefasihannya membaca masa lalu: Kau telah ambil lenganku dari sungai Siak, sebelum Raja Ali Haji berkata: Bismillah permulaan kalam.” Dan kapal-kapal bergerak membawa Islam, membawa para nabi, sutra, barang-barang elektronik juga… Jelas bahwa Afrizal meletakkan lokus kreativitasnya pada sinopsis historia puisi yang terserak di alam bawah sadarnya sebagai penyair. Tapi ia tidak berhenti sampai di situ: “para nabi, sutra, dan barang-barang elektonik juga” menandai pergerakan di ruang kreativitasnya.

Bahkan puisinya yang berjudul “ChanelOO” bisa disepadankan dengan puisi Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Tuan”. Perhatikan dan bandingkan keduanya.

Chanel OO

Permisi,
saya sedang bunuh diri sebentar,
Bunga dan bensin di halaman

Teruslah mengaji,
dalam televisi berwarna itu,
dada.

1983

Tuan
Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar,
saya sedang keluar.9)

Keterpengaruhan bukanlah sebuah cacat bagi seorang penyair. Bahkan secara ekstrim TS Elliot berkata: “Penyair teri meminjam, penyair kakap mencuri.” Tidak ada penyair — dan pada umumnya penulis — yang lahir sebagai penyair. Ia belajar dari para pendahulunya, mencerna, dan menerima pengaruh mereka dengan lapang dada. Masalahnya, apakah dia selamanya berada di bawah bayang-bayang pendahulunya atau bertumbuh menjadi dirinya sendiri. Afrizal, rasanya, telah menjadi Afrizal yang kita kenal dengan puisi-puisi uniknya yang mudah dibedakan dengan puisi-puisi dari penyair lain, baik pendahulunya maupun yang semasanya. Bahkan pada awal 1990-an pernah lahir genre puisi “Afrizalian” yang menjadi mainstream kuat, yakni puisi dengan mosaik bercitraan dunia urban dan berwarna gelap.10) Ini menandakan bahwa Afrizal memberikan pengaruh penting pada perpuisian Indonesia mutakhir.

Afrizal02

Afrizal telah menerbitkan sejumlah antologi di antaranya Narasi dari Semangka dan Sepatu, Yang Berdiam dalam Mikropon, Mitos-mitos Kecemasan, Membaca Kembali Dada, dan Arsitektur Hujan. Yang disebut terakhir itu bagi saya merupakan masterpiece-nya karena menunjukkan kematangannya sebagai penyair. Antologi puisi lainnya, Abad Yang Berlari, walaupun telah memperlihatkan jatidirinya sebagai penyair yang berbeda dengan yang lain, masih memperlihatkan pencarian bentuk dan penyempurnaan wawasan estetik. Sejajar dengan puisi-puisi awal Amir Hamzah dalam Buah Rindu sebelum mencapai taraf kematangan dalam Nyanyi Sunyi. Adapun puisi-puisi Afrizal sesudah periode Abad Yang Berlari seperti yang termuat dalam antologi Kalung dari Teman (1998) dan Dalam Rahim Ibu Tak Ada Anjing (2003), dapat disebut sebagai pemapanan proses kreativitasnya dalam kerangka wawasan estetika yang sama. Belakangan ia juga menerbitkan kembali puisi-puisinya dalam antologi Pada Bantal Berasap.

Dan kini, atau nanti, setiap kita membaca sebuah puisi semacam itu, dengan tanpa melihat penulisnya kita bisa mengatakan itu puisi Afrizal, atau setidaknya — jika ternyata ditulis oleh penyair lain — bercorak Afrizalian. Itu saja sudah cukup membuktikan bahwa penyair yang lahir di Jakarta, 7 Juni 1957, ini adalah somebody dalam gelanggang sastra di tanah air. Sambil menutup uraian ini, mari kita nikmati lagi puisi-puisi Afrizal Malna.

Kebiasaan Kecil Makan Coklat

“Aku tak suka kakimu berbunyi.”
“Ini coklat, seperti cintaku padamu.”

James Saunders membuat drama dari kereta dan permen coklat di situ, menyusun persahabatan dari orang-orang yang tak bisa saling menemani: Kita adalah kegugupan bersama, sejak berusaha mencari arti lewat permen coklat, dan kutu pada lipatan baju. Jangan menyusun flu di situ, seperti menyusun jendela kereta dari dialog-dialog Romeo. Tetapi Suyatna ingin menemani sebuah dunia, sebuah pentas, dengan dekor dan baju-baju, pita- pita pada jalinan rambut sebahu.

Tak ada stasiun kereta pada kerut keningmu, seperti kegelisahan membuat pesta di malam hari. Lihat di luar sana, orang masih percaya pada semacam kebahagiaan, seperti memasukkan seni peran dalam tas koper. Tetapi kenapa kau tinggalkan dirimu dalam toilet. Jangan ledakkan sapu tanganmu, dari kebiasaan kecil seperti itu.

Aih, biarlah kaki itu terus berbunyi, makan coklat terus berlalu, kutu-kutu di baju, cinta yang penuh kegugupan ditonton orang. Tetapi jangan simpan terus ia di situ, seperti dewa-dewa berdebu dalam koper, berusaha memberi arti dengan mengisap permen gula.

Ini coklat untukmu.

Jangan mengenang diri seperti itu.

1994

Lembu yang Berjalan

Aku bersalaman. Burung berita telah terbang memeluk sayapnya sendiri. Kota telah pergi jauh sampai ke senja. Aku bersalaman. Matahari yang bukan lagi pusat, waktu yang bukan lagi hitungan. Angin telah pergi, tidak lagi ucapkan kotamu, tak lagi ucapkan namamu. Aku bersalaman. Mengecup pesawat TV sendiri… tak ada lagi, berita manusia.

1984

Gadis Kita

O gadisku ke mana gadisku. Kau telah pergi ke kota lipstik gadisku. Kau pergi ke kota parfum gadisku. Aku silau tubuhmu kemilau neon gadisku. Tubuhmu keramaian pasar gadisku. Ja- ngan buat pantai sepanjang bibirmu merah gadisku. Nanti engkau dibawa laut, nanti engkau dibawa sabun. Jangan tempel tanda-tanda jalan pada lalulintas dadamu gadisku. Nanti polisi marah. Nanti polisi marah. Nanti kucing menggigit kuning pita rambutmu. Jangan mau tubuhmu adalah plastik warna-warni gadisku. Tubuhmu madu, tubuhmu candu. Nanti kita semua tidak punya tuhan, nanti kita semua dibawa hantu gadisku. Kita semua cinta padamu. Kita semua cinta padamu. Jangan terbang terlalu jauh ke pita-pita rambutmu gadisku, ke renda-renda bajumu, ke nyaring bunyi sepatumu. Nanti ibu kita mati. Nanti ibu kita mati. Nanti ibu kita mati.

1985

Buku Harian dari Gurindam Duabelas

Kau telah ambil lenganku dari sungai Siak, sebelum Raja Ali Haji berkata: Bismillah permulaan kalam.” Dan kapal-kapal bergerak membawa Islam, membawa para nabi, sutra, barang-barang elektronik juga. Tetapi seseorang mencarimu hingga Piz Gloria, kubah-kubah putih yang mengirimku hingga Senggigi. 150 tahun kematian Friedrich Holderlin, jadi penyair lagi di situ, hanya untuk menjaga cinta. Gerimis membawa kota-kota lain lagi, tanaman palma dan kenangan di jendela: Siti berlari-lari, menyapu halaman jadi buah mangga, apel, dan kecapi juga.

Kini dia bukan lagi kisah batu-batu, pelarian tempo dulu, atau seorang biu mengajar menyapu. Kini setiap tubuhnya membaca Gurindam Duabelas, mengirim buku harian, untuk masa silam seluruh unggas. Kita saling mencari, di antara pikiran yang dicurigai, lebih dari letusan, menumbangkan sebuah bahasa di malam hari. “Puan-puan dan Tuan-tuan,” kata Siti,”aku melayu dari Pejanggi.” … Dan sungai Siak jadi sepi, jadi lebih dalam lagi dari Gurindam Duabelas.

Lenganmu, membuat bahasa lain lagi di situ; untuk orang-orang di pelabuhan, menjual beras, sayuran, radio, ikan-ikan juga. Dan aku berlari-lari. Ada rumah di situ, setelah jalan berkelok. Ini untukmu, bahasa dari letusan itu, penuh suaramu melulu.

1993

Asia Membaca

Matahari telah berlepasan dari dekor-dekornya. Tapi kami masih hadapi langit yang sama, tanah yang sama. Asia. Setelah dewa-dewa pergi, jadi batu dalam pesawat-pesawat TV; setelah waktu-waktu yang menghancurkan, dan cerita lama memanggili lagi dari negeri lain, setiap kata jadi berbau bensin di situ. Dan kami terurai lagi lewat baju-baju lain. Asia. Kapal-kapal membuka pasar, mengganti naga dan lembu dengan minyak bumi. Membawa kami ke depan telpon berdering.

Di situ kami meranggas, dalam taruhan berbagai kekuatan.Mengantar pembisuan jadi jalan-jalan di malam hari. Asia. Lalu kami masuki dekor-dekor baru, bendera-bendera baru, cinta yang lain lagi, mendapatkan hari yang melebihi waktu: Membaca yang tak boleh dibaca, menulis yang tak boleh ditulis.

Tanah berkaca-kaca di situ, mencium bau manusia, menyimpan kami dari segala jaman. Asia. Kami pahami lagi debur laut, tempat para leluhur mengirim burung-burung, mencipta kata. Asia hanya ditemui, seperti malam-malam mencari segumpal tanah yang hilang: Tempat bahasa dilahirkan.

Asia.

1985

CATATAN AKHIR

1. Joko Pinurbo, “Puisi Indonesia, Jelajah Estetik dan Komitmen Sosial”, Jurnal Kebudayaan Kalam 13, 1999.

2. Tommy F. Awuy , “Sastra Indonesia Kontemporer” dalam Jurnal Budaya Kolong 3, Th. I, 1996)

3. Esai ini mengutip dari Wikipedia Indonesia dari buku Barbara Hatley. ”Nation, ‘Tradition’, and Constructions of the Feminine in Modern Indonesian Literature,” dalam Imagining Indonesia, ed. J. Schiller and B. Martin Schiller, hal. 93, dikutip dari Harry Aveling, Rahasia Membutuhkan Kata: Puisi Indonesia 1966-1998 (diterjemahkan dari Secrets Need Words, Indonesian Poetry 1966-1998 oleh Wikan Satriati), IndonesiaTera, 2003.

4. Bagi penyair Agus R. Sarjono, perubahan dari aku-lirik menjadi aku-publik dalam puisi-puisi Afrizal Malna memperlihatkan kegelisahan eksistensial penyairnya. Lihat esai Agus R Sarjono, “Puisi Indonesia Mutakhir” dalam Ulumul Qur’an, No. 1/VIII/1998.

5. Puisi-puisi Afrizal banyak menggunakan penanda bilangan, misalnya: ”5 sentimeter dari kiri”, “500 meter dari bahasa yang telah kau campakkan”, “karikatur 15 menit”, ”cerita dari 2 hijau”, “biografi Yanti setelah 12 menit”, “pulogadung dari peta 15 menit”, “1 menit dari halaman rumahku”, ”cerita dari tata bahasa 16.000 liter minyak tanah yang berjalan di depanku”, 16.000 liter jadi lehermu, 16.000 liter minyak tanah mulai mencium bau warganegara”

6. Puisi ini dimuat dalam buku Abad yang Berlari (Lembaga Penerbit Altermed, Yayasan Lingkaran Merahputih, 1984), hal. 21), demikian: …. Mabukmu membawa penyair kepada keperihan kamus-kamus, bachri. kepada siapa mengajari tuhan kepada siapa mengajari bintang-bintang. langit menurunkan mataharimu setangga-setangga. dan tanah terus berkibar menyimpan hidup dalam rahasia-rahasia. // Di kubur mabuk, lonceng oleng, kita hanya barisan kata-kata, bachri. siapkan rumput di padang-padang telanjang. aku pinjamkan sebait tuhan untukmu

7. Dalam salah salah satu esainya, pengamat budaya Tommy F. Awuy menyatakan bahwa puisi-puisi Afrizal Malna memaknai benda-benda bukan sesuatu yang “an sich”; setiap benda menjadi simbol masing-masing, bahkan kadang satu benda merupakan wakil dari sekian banyak simbol. Lihat, Wacana Tragedi dan Dekonstruksi Kebudayaan (Yogyakarta, Bentang, 1995).

8. Sapardi Djoko Damono, “Kelisanan dan Keberaksaraan, Kasus Puisi Indonesia Mutakhir”, Jurnal Kebudayaan Kalam 13, 1999.

9. Dikutip dari 3: Buku Puisi Sapardi Djoko Damono (Jakarta: Editium, 2010), hal. 72.

10. Lihat, Ahmadun Yosi Herfanda, “Heterogenitas Puisi Indonesia Mutakhir”, Republika, Minggu, 10 Juni 2007.

 

______________________________________________________________________________________________________
INFO PELATIHAN MENULIS
______________________________________________________________________________________________________

Para siswa SMP dan SMA dari 30 sekolah di kota Ambon dan Maluku Tengah mengikuti pelatihan menulis di bawah bimbingan Ahmad Gaus, bertempat di Imperial Inn, Ambon, 23 Oktober 2013.

Ambon WriterPreneurship3 Ambon Writerpreneurship

____________________________________
Pelatihan menulis bersama Ahmad Gaus dan para narasumber dari MizanGrup, Kompas, Gatra, SCTV, diadakan setiap Kamis sore di auditorium CSRC, Gedung PBB lantai 2 UIN Jakarta.

_____________________________________

CSRC2

Pelatihan Menulis di CSRC UIN Jakarta

Sesuai dengan aturan PSBB dan protokol kesehatan di masa pandemi Covid-19, pelatihan menulis untuk sementara waktu beralih ke dunia maya alias online via Zoom meeting. Silakan jika anda berminat baca infonya dalam flyer berikut:

Indonesia Lahir dari sebuah PUISI

f-hormat

Indonesia Lahir dari sebuah Puisi
Catatan Ahmad Gaus

Sosok negeri bernama Indonesia belum terbayang di benak Muhammad Yamin ketika ia menulis puisi berjudul Tanah Air pada tahun 1920. Konsep tanah air Indonesia boleh jadi masih terlalu abstrak, walaupun ide-ide tentang nasionalisme mulai dikumandangkan sejak awal abad ke-20. Bahkan, jika nasionalisme dikaitkan dengan kehendak untuk bebas dari penjajahan, puisi Yamin tidak mengekspresikan kehendak tersebut. Ia hanya bertutur tentang keindahan alam tanah airnya, yakni Sumatera. Mengapa Sumatera, tentu saja karena Yamin lahir di pulau yang dulu dikenal dengan sebutan Swarnadwipa (pulau emas) itu, tepatnya di Sawah Lunto, pada 24 Agustus 1903.

Yamin telah mulai memupuk karirnya sebagai penulis di usia belasan tahun. Karya-karya pertamanya dipublikasikan dalam jurnal berbahasa Belanda, Jong Sumatera. Namun Yamin menulis dalam bahasa Melayu, dan ini dinilai sebagai bentuk kepeloporannya dalam merintis penggunaan bahasa Indonesia yang kelak diikrarkan sebagai bahasa persatuan pada Kongres Pemuda II, 1928 di Jakarta.

Puisi berjudul Tanah Air dimuat di Jong Sumatera Nomor 4 Tahun III, 1920. Puisi ini dianggap penting oleh para pengamat sastra karena merupakan karya pertama yang mencoba keluar dari pakem puisi lama yang lazim ditulis dalam empat larik pada setiap baitnya, sementara Yamin menulisnya dalam sembilan larik. Dan lebih penting lagi, puisi Tanah Air termasuk karya sastra generasi pertama yang mengangkat tema kebangsaan, walaupun dalam pengertian yang masih berkonotasi kedaerahan. Berikut adalah puisi Tanah Air:

Pada batasan bukit Barisan
Memandang aku, ke bawah memandang
Tampaklah Hutan rimba dan ngarai
Lagipun sawah, sungai yang permai
Serta gerangan lihatlah pula
Langit yang hijau bertukar warna
Oleh pucuk daun kelapa
Itulah tanah, tanah airku
Sumatera namanya, tumpah darahku.

Sesayup mata, hutan semata
Bergunung bukit, lembah sedikit
Jauh di sana, disebelah situ
Dipagari gunung, satu persatu
Adalah gerangan sebuah surga
Bukannya janat bumi kedua
Firdaus Melayu di atas dunia!
Itulah tanah yang kusayangi,
Sumatera, namanya, yang kujunjungi.

Pada batasan, bukit barisan,
Memandang ke pantai, teluk permai
Tampaklah air, air segala
Itulah laut, samudera Hindia
Tampaklah ombak, gelombang pelbagai
Memecah kepasir lalu berderai
Ia memekik berandai-randai:
“Wahai Andalas, Pulau Sumatera,
“Harumkan nama, selatan utara !”

Puisi itu terdiri dari tiga bait dan masing-masing baitnya memuat sembilan larik. Bentuk ini sudah keluar dari konvensi persajakan tradisional seperti syair atau pantun yang setiap baitnya terdiri dari empat larik dan taat pada keharusan memuat sampiran pada dua larik pertama dan isi pada dua larik terakhir. Eksperimentasi ini telah berhasil membangun pola estetika tersendiri yang membuat perbedaan dengan pola estetika pantun dan syair dalam puisi lama.

Perubahan itu memang tidak bersifat radikal dalam arti memutus sama sekali pola persajakan dengan tradisi sebelumnya karena kita masih bisa merasakan rima sajak pada beberapa lariknya, misalnya kalau kita penggal larik-larik itu dengan tanda “/” maka akan terasa rimanya: Sesayup mata/hutan semata. Bergunung bukit/lembah sedikit. Atau larik ini: Pada batasan/bukit barisan. Memandang ke pantai/ teluk permai.

Yamin

Bukan soal besar apakah Yamin sengaja membiarkan pengaruh persajakan tradisional mewarnai puisinya, ataukah ia memang dengan sadar tidak hendak meninggalkan sama sekali tradisi puisi lama. Yang jelas, dengan puisi Tanah Air itu Yamin telah merintis tradisi sastra Nusantara yang mengarah ke bentuk yang lebih modern.

Memang ada pandangan berbeda mengenai kedudukan puisi Yamin, termasuk puisi-puisinya yang lain selain Tanah Air. Teeuw, misalnya, mengatakan bahwa puisi-puisi Yamin belum memperlihatkan corak puisi modern… terjebak klise… dan ulangan-ulangan yang tak ada artinya.1) Namun demikian, para pengamat pada umumnya menganggap wajar hal itu terjadi karena tidak mudah memutus sama sekali tradisi puisi lama yang telah mapan sebelumnya, terutama pola pantun dan syair.2)

Pada tahun 1922, puisi Tanah Air diterbitkan dalam sebuah buku dengan judul yang sama, dan merupakan buku puisi modern Melayu pertama yang pernah diterbitkan.3) Di dalam buku ini dimuat 15 puisi masing-masing terdiri atas dua bait dan masing-masing baitnya memuat sembilan larik. Jadi di usianya yang belum genap 20 tahun Yamin telah menjadi penyair perintis bagi kelahiran tradisi baru puisi Nusantara. Di masa kemudian puisi-puisi Yamin muda juga diterbitkan dalam sebuah buku Armijn Pane yang memuat judul-judul: Permintaan, Cita-cita, Cinta, Asyik, Pagi-pagi, Gembala, Awan, Tenang, Gubahan, Perasaan, Keluhan, Ibarat, Kenangan, Gamelan, Gita Gembala, Kemegahan, dan Niat.4)

Puisi Tanah Air memang belum secara ekspisit menyebut “Indonesia”. Nama Indonesia muncul pada tahun 1928 sebagai kelanjutan dari kesadaran nasionalisme yang makin sering disuarakan oleh kalangan penulis dan kaum intelektual. Pada tahun ini Yamin menulis puisi Tumpah Darahku, dan di situ kata tanah air tidak lagi berkonotasi Sumatera tempat kelahirannya melainkan telah memperoleh wujud konkretnya sebagai kesatuan geografis yang hendak diperjuangkan untuk lepas dari penjajahan asing. Apa yang tergambar di benak Yamin tentang tanah air pada periode tersebut? Mari kita simak puisinya berikut ini:

Duduk di pantai tanah yang permai
Tempat gelombang pecah berderai
Berbuih putih di pasir terderai
Tampaklah pulau di lautan hijau
Gunung-gemunung bagus rupanya
Dilingkari air mulia tampaknya
Tumpah darahku Indonesia namanya.

Lihatlah kelapa melambai-lambai
Berdesir bunyinya sesayup sampai
Tumbuh di pantai bercerai-cerai
Memagar daratan aman kelihatan
Dengarlah ombak datang berlagu
Mengejar bumi ayah dan ibu
Indonesia namanya tanah airku

Pada puisi berjudul Tumpah Darahku itu kita memang masih merasakan nuansa musikal seperti pada puisi-puisi lama dalam beberapa akhir lariknya. Namun yang lebih penting sebenarnya isi dari puisi itu sendiri yang tidak lagi mendendangkan keindahan kampung halaman melainkan perasaan yang mengharu-biru pada keelokan sebuah negeri di garis katulistiwa. Konsep tanah air telah mengalami transfomasi makna dari pulau Sumatera menjadi sebuah kawasan bernama Indonesia. Estetika romantisme telah berganti wujud menjadi estetika heroisme dimana pesan politiknya sangat kentara sungguhpun puisi itu sejatinya mendendangkan keindahan bumi pertiwi.

Kongres Pemuda II tahun 1928 tercatat sebagai cikal-bakal kemerdekaan Indonesia. Tanpa peristiwa tersebut, konon, Indonesia tidak akan pernah lahir sebagai sebuah bangsa. Jika momen itu begitu penting, maka puisi Tanah Air karya Muhammad Yamin juga sama pentingnya, sebab ia menandai pergerakan zaman dari era kolonialisme menuju kemerdekaan. Teks Sumpah Pemuda jelas terbaca sebagai kelanjutan puisi Tanah Air karya Muhammad Yamin, sebab dialah yang merumuskannya.5) Teks Sumpah Pemuda itu berbunyi demikian:

Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Air Indonesia.
Kami putera dan puteri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.
Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.

Rasa cinta Yamin yang mendalam pada tanah air (Sumatera) yang ditulis dengan nada romantis dalam puisi Tanah Air bersinggungan dengan gemuruh perjuangan di ranah politik nasional. Realitas itu mendorongnya untuk segera mengubah haluan romantisme kedaerahan menuju kesadaran nasionalisme yang lebih luas. Perubahan makna tanah air dalam puisi Tanah Air secara ekspisit tercermin pada larik Indonesia namanya tanah airku dalam puisi Tumpah Darahku.

Dua puisi Yamin itu memang harus dilihat dalam garis kontinum – puisi yang kedua merupakan kelanjutan dari puisi yang pertama. Sebab dalam teks Sumpah Pemuda yang dirumuskan Yamin, yang dimaksud bertumpah darah satu ialah tanah air, dan yang dimaksud tanah air ialah Indonesia.

Dalam garis kontinum itulah puisi Tanah Air berada di urutan pertama kategori puisi-puisi yang menyuarakan spirit nasionalisme,6) sekaligus memperlihatkan peranan penting karya sastra dalam mengukuhkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

 

Catatan Akhir

1). A. Teeuw, Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru (Djakarta: Jajasan Pembangunan, 1953), hal. 51-53.

2). Suyono Suyatno, Juhriah, dan Joko Adi Sasmito, eds., Antologi Puisi Indonesia Periode Awal (Jakarta: Pusat Bahasa, 2000), hal. 15.

3). http://id.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Yamin

4). Armin Pane, Sajak-sajak Muda Mr. Muhammad Yasin (Jakarta: Firma Rada, 1954).

5). Dalam kapasitasnya sebagai sekretaris Kongres, Yamin bertugas meramu rumusan Sumpah Pemuda. “Rancangan sumpah itu ditulis Yamin sewaktu Mr Sunario berpidato di sesi terakhir kongres,” tulis Majalah Tempo edisi 2 November 2008 dalam artikel “Secarik Kertas untuk Indonesia”.

6). Lebih jauh mengenai puisi-puisi yang menyuarakan nasionalisme ini lihat, S. Amran Tasai, Maini Trisna Jayawati, dan Ni Nyoman Subardini, eds., Semangat Nasionalisme dalam Puisi Sebelum Kemerdekaan (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2002), hal. 98.

______________________________________________

Mengenang BUYA HAMKA dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck

Buya_Hamka01

“Terlalu gegabah menuduh Hamka plagiat seperti meneriaki tukang copet di Senen.” – HB Jassin

TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK

Catatan Ahmad Gaus

(Berikut adalah esai untuk mengenang Buya Hamka yang wafat pada tanggal 24 Juli 1981 dalam usia 73 tahun. Beliau almarhum adalah seorang ulama dan sekaligus sastrawan besar yang dimiliki bangsa kita. Selamat membaca).

ADA CERITA menarik dari Kutaraja (kini Banda Aceh). Setiap Rabu malam, orang-orang berkerumun di stasiun kereta menunggu kiriman majalah Pedoman Masjarakat yang terbit di Medan. Mereka bukan hanya agen penjual majalah itu, tapi juga ratusan pembaca yang tidak sabar ingin membaca kelanjutan kisah “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” yang dimuat di majalah itu secara bersambung pada 1938.1] Penulis cerita bersambung itu ialah Hamka, nama lengkapnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang juga pengasuh dan pendiri majalah mingguan Pedoman Masjarakat.

Hamka menuturkan bahwa ia mendapat banyak surat dari pembaca—atau tepatnya, penggemar—cerita Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Sebagian surat itu berisi pengungkapan kesan mereka setelah membaca kisah cinta tragis antara Zainuddin dan Hayati yang dikungkung adat dalam Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. “Seakan-akan Tuan menceritakan nasibku sendiri,” tulis seorang pemuda dalam suratnya.2]

Berdasarkan masukan dari berbagai pihak, cerita bersambung itu akhirnya diterbitkan dalam bentuk novel dengan judul yang sama pada 1939. Hamka menulis novel itu berdasarkan kisah nyata tentang kapal Van Der Wijck yang berlayar dari pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, menuju Tanjung Priok, Jakarta, dan tenggelam di Laut Jawa, timur laut Semarang, pada 21 Oktober 1936. Peristiwa itu kemudian diabadikan dalam sebuah monumen bersejarah bernama Monumen Van Der Wijck yang dibangun pada tahun 1936 di Desa Brondong, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan, sebagai tanda terima kasih masyarakat Belanda kepada para nelayan yang telah banyak membantu saat kapal itu tenggelam. Dan Hamka mengabadikannya dalam sebuah novel.

van-der-wijck2

Walaupun peristiwa tenggelamnya kapal Van Der Wijck itu benar-benar terjadi, kisah yang ditulis Hamka dalam novel itu tentu saja fiksi belaka. Sebagaimana umumnya karya sastra yang baik dibangun di atas serpihan kejadian nyata, Hamka pun mengolah tragedi yang memilukan itu dalam kisah fiksi yang diberi badan peristiwa konkret dengan plot yang apik sehingga imajinasi pembacanya memiliki pijakan di dunia faktual. Karakter utamanya (Zainuddin, Hayati, dan Aziz) seolah pribadi-pribadi yang benar-benar hidup dan mewakili potret kaum muda pada masa itu ketika mereka berhadapan dengan arus perubahan sementara kakinya berpijak pada adat dan tradisi.

Kepiawaian Hamka dalam menyampaikan kritiknya atas tradisi boleh jadi melanjutkan kesuksesan pendahulunya Marah Rusli dalam roman Siti Nurbaya yang melegenda itu. Keduanya juga sama-sama berkisah tentang adat dan kawin paksa. Dan keduanya berujung kematian tokoh-tokoh utamanya. Bedanya, Siti Nurbaya menimbulkan dampak yang sangat kuat dan melintasi zaman karena ide ceritanya itu sendiri, sementara Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck melahirkan guncangan keras karena kontroversi yang menyertai ide cerita. Siti Nurbaya adalah kisah cinta di atas panggung tradisi. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck juga kisah cinta yang sama namun sekaligus kisah tentang kesusastraan di pentas pertarungan politik. Belum pernah ada perdebatan yang begitu keras tentang sebuah novel melebihi karya Hamka ini. Novel ini dituduh sebagai plagiat dari novel Majdulin karya Mustofa Lutfi al Manfaluti (sastrawan Mesir), yang merupakan saduran dari novel Sous les Tilleuls (‘Di Bawah Pohon Tilia’) karya Alphonse Karr (sastrawan Prancis).3]

Sebagaimana novel Siti Nurbaya, novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck juga berkisah tentang cinta yang tak sampai. Tokoh utamanya, Zainuddin, adalah anak dari Pendekar Sutan yang diasingkan ke Cilacap karena membunuh mamaknya dalam sebuah perselisihan harta warisan. Setelah bebas ia pergi ke Makassar dan di kota ini menikah dengan Daeng Habibah. Dari pernikahan inilah lahir Zainuddin. Setelah orangtuanya meninggal, Zainuddin pergi ke Batipuh, Padang Panjang, yang merupakan kampung halaman ayahnya. Sayangnya, di sana ia tidak diperlakukan dengan baik karena dianggap bukan anak Minang. Maklum walaupun ayahnya seorang Minang, ibunya orang Bugis sehingga putuslah pertalian darah menurut garis matrilinear yang bernasabkan kepada ibu.

Sungguhpun begitu Zainuddin menjalin cinta dengan Hayati, gadis Minang yang prihatin terhadap nasibnya dan sering mencurahkan kesedihan hatinya kepada Hayati. Sebagai gadis keturunan bangsawan, tentu saja keluarga Hayati mencegahnya berhubungan dengan Zainuddin yang bukan orang Minang dan tidak jelas pula masa depannya. Keluarga Hayati memilih Aziz yang asli Minang dan berasal dari keluarga terpandang. Hayati harus tunduk pada kesepakatan keluarga, walaupun hatinya condong pada Zainuddin.

Zainuddin menganggap Hayati telah berkhianat. Akhirnya dengan membawa perasaan luka ia pergi ke Jakarta, kemudian pindah ke Surabaya. Sementara itu Hayati dan Aziz yang telah menikah juga pergi ke Surabaya dan tinggal di sini karena alasan pekerjaan. Tanpa sengaja, dalam suatu acara keduanya bertemu dengan Zainuddin yang telah menjadi orang sukses. Sedangkan kehidupan ekonomi Aziz dan Hayati semakin lama semakin memburuk. Aziz jatuh miskin sampai-sampai ia dan istrinya harus menumpang di rumah Zainuddin. Tak tahan menahan penderitaan, Aziz akhirnya bunuh diri dan sebelumnya meninggalkan pesan agar Zainuddin menjaga Hayati.

Zainuddin yang pernah dikhianati merasa sulit untuk menerima kembali Hayati. Perasaan cinta yang masih menyala dicoba untuk dipadamkan. Bahkan ia meminta Hayati untuk kembali ke kampung halaman di Batipuh, walaupun wanita itu merajuknya: “Tidak Hayati ! kau mesti pulang kembali ke Padang! Biarkan saya dalam keadaan begini. Pulanglah ke Minangkabau! Janganlah hendak ditumpang hidup saya , orang tak tentu asal ….Negeri Minangkabau beradat !…..Besok hari senin, ada Kapal berangkat dari Surabaya ke Tanjung Periuk, akan terus ke Padang! Kau boleh menumpang dengan kapal itu, ke kampungmu”. (hal. 198)

Hayati pun pulang dengan menumpang kapal Van Der Wijck. Namun nasib malang menimpanya. Kapal yang ditumpanginya tenggelam di Laut Jawa. Zainuddin yang mendengar berita itu langsung menuju rumah sakit di Tuban. Sayang nyawa Hayati tidak dapat diselamatkan. Sejak peristiwa itu Zainuddin sering mengalami sakit sampai akhirnya meninggal dan dimakamkan di samping pusara Hayati.

Ujung cerita tragis tampaknya menjadi pilihan untuk menyampaikan pesan bahwa cinta yang merupakan pangkal kebahagiaan seseorang sering dikorbankan demi martabat keluarga atau keturunan. Novel ini ditulis sebagai kritik terhadap beberapa tradisi dalam adat Minang saat itu yang tidak sesuai dengan dasar-dasar Islam ataupun akal budi yang sehat.4] Penulisnya sangat berwenang melakukan itu karena ia hidup dalam kumparan masa tersebut. Sehingga ia bukan hanya merekam sejarah, melainkan juga sang pelaku yang fasih dengan kultur masyarakat Minang dan perubahannya pada zaman itu.5]

Sejak awal novel ini diterbitkan berpindah dari satu penerbit ke penerbit lain. Mula-mula penerbit swasta, kemudian mulai tahun 1951 oleh Balai Pustaka. Lalu pada tahun 1961 oleh Penerbit Nusantara. Hingga tahun 1962 novel ini telah dicetak lebih dari 80 ribu eksemplar. Setelah itu penerbitannya diambilalih oleh Bulan Bintang.6] Tidak hanya di Indonesia, Van Der Wijck juga berkali-kali dicetak di Malaysia. Hingga kini novel ini terus dicetak, bahkan tahun ini (2013) novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini sedang dibuat film layar lebarnya.

Tenggelam3

Reaksi negatif dari sejumlah pembaca Muslim telah muncul saat pertama novel ini diterbitkan. Mereka menolak membacanya dan mengatakan bahwa seorang ulama tidak sepatutnya mengarang cerita tentang percintaan. Dalam sebuah tulisan di Pedoman Masyarakat No. 4 1938, Hamka seolah membela diri menyatakan bahwa tidak sedikit roman yang berpengaruh positif terhadap pembacanya seperti roman tahun 1920-an dan 1930-an yang mengupas adat kolot, pergaulan bebas, kawin paksa, poligami, dan bahaya pembedaan kelas.7]

Tidak berhenti di situ, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck menghadapi batu sandungan lebih keras pada 1962, yakni 24 tahun sejak pertama diterbitkan. Seorang penulis bernama Abdullah SP membuat esai berjudul “Aku Mendakwa Hamka Plagiat” yang dimuat di Harian Bintang Timur 7 September 1962. Dalam esai itu ia menilai bahwa Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ialah hasil jiplakan dari novel Magdalena karya sastrawan Mesir Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi yang juga hasil saduran dari novel Sous les Tilleuls karya pengarang Prancis, Alphonse Karr.

Untuk membuktikan tuduhannya Abdullah SP membuat perbandingan dengan metode “idea-script” dan “idea-sketch” yang menjajarkan dua novel itu secara detail dalam bentuk tabel perbandingan. Metode perbandingan semacam ini baru pertama dilakukan sepanjang sejarah sastra Indonesia. Dan dari hasil perbandingan itu Abdullah SP menemukan banyak kemiripan, sehingga ia menuduh Hamka sebagai plagiator. Karuan saja tuduhan itu memicu polemik, lebih-lebih serangan terhadap Hamka tidak berhenti pada esai tersebut melainkan berlanjut dengan dibuatnya kolom khusus di Harian Bintang Timur yang berjudul “Varia Hamka” dalam lembaran kebudayaan Lentera yang diasuh oleh Pramoedya Ananta Toer.

Plagiat

Kasus ini terus bergulir menjadi polemik lantaran muncul pada era pertentangan ideologi yang cukup keras antara kubu seniman kiri Lekra versus kubu Manifes Kebudayaan. Para sastrawan Manifes Kebudayaan membela Hamka dari tuduhan para seniman Lekra. Kedudukan Hamka sebagai anggota Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), partai yang dilarang oleh Presiden Soekarno pada Agustus 1960, memperkeras polemik dan membawanya ke ranah politik—bukan semata polemik sastra. Lekra banyak menentang agama. Oleh sebab itu, Hamka yang merupakan ulama dianggap sebagai salah satu target penting.8] Kubu Abdullah SP (yang konon adalah nama samaran dari Pramoedya Ananta Toer sendiri) berhadapan dengan kubu HB Jassin bersama para sastrawan yang ikut membela Hamka yakni Anas Makruf, Ali Audah, Wiratmo Soekito, Asrul Sani, Rusjdi, Umar Junus, Soewardi Idris, dan lain-lain.

Serangan terhadap Hamka berlangsung berbulan-bulan “dengan bahasa yang sangat kasar dan tak layak sama sekali dimuat dalam ruang kebudayaan Lentera dan telah menjadi fitnah terhadap pribadi dan keluarga sastrawan tersebut.”9] Dalam sebuah pembelaannya terhadap Hamka, HB Jassin menulis bahwa Tenggelamnya Kapal Van der Wijck bukanlah karya plagiat. Menurutnya, yang disebut plagiat adalah pengambilan karangan orang lain sebagian atau seluruhnya dan membubuhkan nama sendiri seolah-olah kepunyaannya. Di samping plagiat, ada saduran, yaitu karangan yang jalan ceritanya dan bahan-bahannya diambil dari suatu karangan lain, misalnya cerita luar negeri disesuaikan dengan alam sendiri (Indonesia) dengan mengubah nama-nama dan suasananya. Saduran itu pun harus disebutkan nama pengarang aslinya. Selain “plagiat” dan “saduran”, ada juga “pengaruh”, yakni hasil ciptaan pengarang sendiri mendapat pengaruh pikiran atau filsafat pengarang lain, baik disengaja maupun tidak.

Jassin

Menurut HB Jassin dalam pengantar buku Manfaluthi yang kemudian diterjemahkan menjadi Magdalena (1963), memang antara dua novel itu terdapat ada kemiripan plot, pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan yang mengingatkan kepada Magdalena, tetapi ada pengungkapan sendiri, pengalaman sendiri, permasalahan sendiri. Sekiranya ada niat pada Hamka untuk menyadur Magdalena Manfaluthi, lanjutnya, maka kepandaian Hamka melukiskan lingkungan masyarakat dan menggambarkan alam serta manusianya, kemahirannya melukiskan seluk-beluk adat istiadat serta keahliannya membentangkan latar belakang sejarah masyarakat Islam di Minangkabau, mengangkat ceritanya itu jadi ciptaan Hamka sendiri.

Atas dasar itu, Jassin berpandangan bahwa karya Hamka bukan plagiat atau jiplakan, karena Hamka tidak hanya menerjemahkan dan membubuhkan nama sendiri dalam terjemahan itu, melainkan ia menciptakan karya dengan seluruh kepribadiannya. Karena itu, “terlalu gegabah untuk menuduh Hamka plagiat seperti meneriaki tukang copet di Senen.”

Bagaimana sikap Hamka sendiri atas kasus yang menimpanya. Dalam majalah Gema Islam (1962) ia menulis: “Tjatji maki dan sumpah-serapah terhadap diri saja dengan mengemukakan tuduhan bahwa buku Tenggelamnja Kapal Van der Wijck jang saja karang 24 tahun jang lalu, adalah sebuah plagiat, atau djiplakan, atau hasil tjurian atau sebuah skandal besar, tidaklah akan dapat mentjapai maksud mereka untuk mendjatuhkan dan menghantjurkan saja. Dengan memaki-maki dan menjerang demikian persoalan belumlah selesai.”

Hamka akhirnya memang lebih banyak bersikap pasif. Ia menyatakan bahwa kalau ada orang yang menunggu-nunggu dirinya membalas segala serangan dan hinaan itu, maka mereka akan lelah menunggu karena ia tidak akan membalas. Yang ia tunggu, ujarnya, adalah terbentuknya satu Panitia Kesusastraan yang bersifat ilmiah, yang apabila Panitia tersebut memandang perlu untuk menanyainya, maka ia akan bersedia memberikan keterangan.

Pada tanggal 19 November 1962, Bintang Timur memuat pernyataan bahwa redaksi menerima larangan dari Peperda (Penguasa Perang Daerah) agar persoalan Hamka tidak dimuat lagi di lembar kebudayaan Lentera. Namun pro-kontra kasus itu sudah terlanjur membesar sehingga larangan dari Peperda itu seolah dianggap sepi. Polemik terus bergulir selama kurang lebih 3 tahun, sampai terjadinya peristiwa yang disebut G30S/PKI 1965 yang benar-benar mengubur kasus tersebut.

Sisi lain yang menarik dari karya Hamka ialah pelabelan sastra Islam padahal tidak satu pun ada petuah agama yang terkandung di dalamnya (secara eksplisit). Baik di dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck maupun karya lainnya yang terkenal seperti Di Bawah Lindungah Kabah dan Merantau Ke Deli, sastrawan kelahiran Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908, ini sangat piawai menyisipkan nilai-nilai keislaman secara implisit.

Merantau

Hal ini berbeda dengan para penulis karya islami yang banyak bermunculan akhir-akhir ini yang sangat gamblang menggunakan simbol-simbol Islam, bahkan mengutip ayat-ayat Quran atau hadis, sehingga karya novel hampir menyerupai kitab fikih. Pada Hamka, penyebutan kata Islam bisa dihitung dengan jari, alih-alih mengutip Quran. Hal ini menarik perhatian kritikus sastra Jakob Soemardjo. Ia menilai bahwa Hamka lebih mengutamakan substansi keislaman ketimbang pemaparan tentang hukum-hukum Islam secara eksplisit. “Hamka memasukkan nilai-nilai agama secara universal, sehingga umat di luar Islam juga tertarik untuk menikmatinya,” kata Guru Besar Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung itu.10]

Mungkin karena sifatnya yang tidak verbalistik itulah maka karya-karya Hamka menjadi abadi. Sampai wafatnya pada 24 Juli 1981, Hamka akan terus dikenang sebagai pengarang yang berdedikasi pada kesusastraan di tanah air. Kabar terakhir yang menggembirakan ialah bahwa selain akan difilmkan, novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck juga sedang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan akan diterbitkan di Mesir. Buku Hamka ini merupakan langkah awal penerjemahan buku-buku Indonesia ke dalam bahasa Arab.11]

Catatan
1. Sebagaimana dituturkan kolega Hamka yang juga wartawan dan penulis terkenal, M. Yunan Nasution, lihat: http://buyahamka.org/ mengenang-sastrawan-besar-hamka/

2. “Hamka Menggebrak Tradisi”, Tempo, 19 Mei 2008

3. Polemik mengenai kasus ini telah didokumentasikan, di antaranya dalam buku: Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dalam Polemik, editor Junus Amir Hamzah dengan bantuan penuh HB Jassin (Jakarta: Mega Book Store, 1963); Aku Mendakwa Hamka Plagiat! Skandal Sastra Indonesia 1962-1964 oleh Muhidin M Dahlan (Yogyakarta: ScriPtaManent dan Merakesumba, 2011)

4. HB Jassin, Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I (Jakarta: Gramedia, 1985), hal. 63

5. “Hamka Menggebrak Tradisi”, Tempo, 19 Mei 2008

6. Maman S. Mahayana, Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 168

7. “Hamka Menggebrak Tradisi”, Tempo, 19 Mei 2008

8. Maman S Mahayana, Oyon Sofyan, dan Ahmad Dian, Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern (Jakarta: Grasindo, 1995), hal. 78–79

9. DS Moeljanto dan Taufiq Ismail, Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI Dkk (Jakarta: Mizan, 1995), hal. 40, catatan kaki no. 1

10. “Berdakwah Tanpa Mengajari”, Jurnal Nasional, 31 Agustus 2008

11. http://www.antaranews.com/berita/334814/novel-tenggelamnya-kapal-van-der-wijch-menyapa-pembaca-arab diakses pada 14 Juni 2013

 

Baca juga puisi tentang Siti Nurbaya: Kasih Tak Sampai

Follow my Instagram: @gauspoem and let me know by DM if you want me to follow you back

Membaca Kembali Pram: Gonjang-Ganjing BUMI MANUSIA

pram2

Esai ini berasal dari makalah diskusi memperingati wafatnya Pramoedya Ananta Toer yang diselenggarakan oleh Sanggar Kaki Langit, Tangerang, 30 April 2013. Saya posting di sini setelah diperbaiki dan dilengkapi dengan catatan kaki. Selamat membaca. Semoga bermanfaat. Ahmad Gaus

BUMI MANUSIA

Duapuluh tahun sebelum menerbitkan Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer menulis sebuah esai berjudul “Dengan Datangnya Lenin Bumi Manusia Lebih Kaya”. Dalam esai ini Pram memuji keberhasilan Lenin dalam memimpin revolusi yang mengantarkan Uni Sovyet menjadi negara besar. Keberhasilan revolusi Indonesia 1945, ujarnya, tidak bisa dilepaskan dari peran Uni Sovyet mengingat bantuannya yang sangat besar di bidang politik, ekonomi, maupun persenjataan militer. Pram memuji Lenin yang menurutnya telah menciptakan surga di dunia, di mana rakyat telah memiliki segala yang dibutuhkannya.1)

Frase “Bumi Manusia” akhirnya menjadi judul novel Pram yang ditulis semasa ia menjadi tahanan politik di pulau Buru akibat sepak-terjangnya dalam Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat—organisasi yang ditengarai berafiliasi kepada PKI). Dan lantaran itu pula novel Bumi Manusia kerap dikaitkan dengan ajaran Leninisme, yang tidak lain berarti Komunisme.2) Pada 21 Desember 1979 Pram dibebaskan dari tahanan dan mendapatkan surat pembebasan yang menyatakan bahwa secara hukum ia tidak bersalah dan tidak terlibat G30S/PKI.

Delapan bulan setelah pembebasannya, pada Agustus 1980, novel Pram yang berjudul Bumi Manusia itu diterbitkan oleh penerbit Hasta Mitra. Hanya dalam waktu 12 hari, novel itu habis terjual 5.000 eksemplar. Tiga bulan kemudian Hasta Mitra membuat cetakan ketiga dan berhasil menjual 10.000 eksemplar. Dalam setahun (1980-1981), Bumi Manusia telah dicetak ulang 10 kali. Melihat prestasi tersebut–yang terbilang luar biasa di masa itu—sejumlah penerbit di Hongkong, Malaysia, Belanda, dan Australia mendekati Hasta Mitra untuk mendapat hak terjemahan. (Sampai tahun 2005, buku ini telah diterbitkan dalam 35 bahasa).

bumi manusia

Setelah satu tahun beredar di masyarakat, pada bulan Mei 1981, Kejaksaan Agung melarang peredaran Bumi Manusia karena dianggap mempropagandakan ajaran-ajaranKomunisme. Pram menyangkal tuduhan tersebut karena tidak sepatah kata pun dari ajaran-ajaran Komunisme disebut dalam novel itu. Banyak pengamat menyayangkan bahwa Kejaksaan Agung telah menilai sebuah karya sastra secara sewenang-wenang. Namun, dalam SK-052/JA/5/1981 keluaran Jaksa Agung disebutkan bahwa pelarangan itu sepenuhnya adalah keputusan politik dan tidak ada kaitannya dengan nilai sastra.

Benarkah Pram menyebarkan paham komunis dalam Bumi Manusia walaupun tidak secara eksplisit menyebut sepatah pun ajaran itu? Seorang peneliti, Pamela Allen, melihat keterkaitan Bumi Manusia dengan esai yang ditulis Pram 20 tahun sebelumnya yang berjudul “Dengan Datangnya Lenin Bumi Manusia Lebih Kaya” yang telah disebutkan di atas. Menurut Allen, tetralogi Bumi Manusia3) bisa dibaca sebagai manifesto dari posisi filosofis, keterlibatan politik, dan visi Pramudya untuk masa depan. Benih dari novel ini, kata Allen, bisa ditemukan dalam esai tersebut.4) Statemen itu memang bisa diartikan bahwa pijakan ideologis karya Pram ialah leninisme atau komunisme. Tapi menganut paham komunis dan berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia (PKI) pada masa sebelum 1965 adalah hal yang lumrah bagi sebagian orang. Bukan saja karena PKI bisa dilacak asal-usulnya pada Sarikat Islam (Merah), tapi juga PKI merupakan kekuatan politik pertama di tanah air yang berani melancarkan pemberontakan pada penjajah Belanda (1926-1927). Walaupun pemberontakan itu gagal, ia telah memberi rasa bangga pada sebagian orang untuk berafiliasi dengan PKI.

Masalahnya, Bumi Manusia terbit setelah PKI menjadi barang haram dan ideologinya dikutuk di mana-mana. Alhasil terbitnya novel ini menimbulkan polemik yang cukup keras. Bukan hanya Kejaksaan Agung yang melarangnya, para sastrawan penggagas Manifes Kebudayaan yang dulu merupakan musuh ideologis Pram melibatkan diri dalam polemik tersebut. Setelah polemik panjang novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Hamka yang dituduh plagiat oleh Pram dalam surat kabar Bintang Timur yang diasuhnya pada 1962, kini giliran novel Bumi Manusia yang menyulut polemik serupa. Wiratmo Sukito, Rendra, Goenawan Mohamad, Sori Siregar, dan sejumlah sastrawan lain melibatkan diri dalam polemik Bumi Manusia ini.5)

Sebagai sastrawan kubu Manifes Kebudayaan yang pernah diserang habis-habisan oleh sastrawan kubu Lekra yang dikomandani oleh Pram di masa Orde Lama, tentu mudah dipahami bahwa respon kelompok pertama bersifat negatif. Wiratmo Sukito, misalnya, mengatakan bahwa karya Pram fenomenal karena berhasil menjadi raja di tengah-tengah novel pop, sementara untuk ukuran sastra dunia ia tidak memiliki arti.6) Sastrawan Umar Junus bahkan menulis bahwa tokoh-tokoh dalam Bumi Manusia dimotivasi oleh paham tentang kelas, tanpa konsep dosa dan banyak adegan amoral. Ia mencontohkan beberapa bagian dalam novel tersebut, seperti hubungan seks Minke dan Annelis sebelum menikah, sebagai tindakan yang tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Kata-kata terakhir dalam Bumi Manusia—“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya”—oleh Junus ditangkap sebagai adegan yang mengacu pada kegiatan PKI di Indonesia. Junus lalu mencap Bumi Manusia sebagai novel yang berbahaya bagi generasi muda. Anak-anak yang tidak mempunyai pengalaman dengan kejahatan komunisme, ujarnya, bisa terpengaruh oleh Bumi Manusia.7)

Selain diserang, pujian juga bertaburan untuk Bumi Manusia dan Pram sebagai pengarangnya. Pengamat sastra Jacob Sumarjo menulis, “Dengan karyanya yang pertama setelah pengarangnya hampir selama 15 tahun lenyap dari percaturan budaya dan sastra Indonesia (lantaran ditahan selama itu), maka ia membuktikan dirinya bahwa Pramoedya Ananta Toer tetap novelis milik Indonesia sampai saat ini.”8) Penulis lain, Parakitri, menuturkan: “Dengan novel ini [Bumi Manusia] Pramoedya dengan sekali hantam telah mencairkan kebekuan sastra Indonesia yang belakangan ini hanyut berputar-putar dalam inovasi-inovasi teknik, berpilin-pilin dalam kegelisahan dan kekosongan jiwa perseorangan…”9)

Setelah pelarangan itu, Bumi Manusia menghilang dari peredaran, namun tidak benar-benar lenyap. Tetralogi novel berikutnya terbit berturut-turut pada dasawarsa yang sama: Anak Semua Bangsa (1981), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988), semuanya beredar di bawah tanah dalam bentuk stensilan atau fotokopi. Memiliki dan membacanya ialah perbuatan terlarang dan dianggap subversif. Sejumlah aktivis mahasiswa yang kedapatan membawa, membaca, dan mengedarkan buku-buku tersebut harus mendekam di penjara, seperti yang dialami Bonar Tigor Naipospos, Bambang Subono, dan Bambang Isti Nugroho dari Kelompok Studi Sosial Palagan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Di luar penilaian tentang ajaran komunis yang tersirat dalam Bumi Manusia seperti yang dituduhkan banyak pihak, novel ini sebenarnya mengangkat kisah seorang pribumi bernama Minke — yang belakangan diketahui sebagai penggambaran atas sosok Raden Mas Tirto Adhi Soerjo (1880-1918) tokoh pers nasional — yang berani memberontak terhadap penindasan penjajah atas bangsanya. Mengambil setting pada akhir abad ke-19, novel ini mengajak pembacanya masuk ke lorong waktu masa silam. Bumi Manusia memang novel sejarah. Dan, seperti dikatakan George Lukacs, novel sejarah yang baik ialah yang membawa masa lampau kepada kita dan membuat kita mengalami sendiri apa yang sebenarnya terjadi pada masa silam itu.10)

Novel diawali oleh kisah cinta antara Minke (lelaki pribumi) dengan Annelies (perempuan keturunan Indo-Belanda). Minke yang belajar di sekolah Belanda H.B.S Surabaya mengenal Annelies secara kebetulan ketika seorang teman sekelasnya membawa dia berkunjung ke rumah perempuan itu. Di rumah itu Minke juga berkenalan dengan ibunda Annelies, Sanikem atau nama Eropanya Nyai Ontosoroh, seorang gundik yang dinikahi secara tidak sah oleh tuan Mellema (Belanda). Minke dan Annelies saling jatuh cinta, dan kemudian menikah secara Islam, tanpa kehadiran ayahnya (Mellema).

minke

Setelah kematian tuan Mellema, Nyai Ontosoroh diseret ke pengadilan dengan perkara hak asuhnya terhadap Annelies. Penggugatnya ialah keluarga istri sah tuan Mellema. Dalam pengadilan putih tersebut status perkawinan Minke dan Annelies juga dibicarakan, Dan hakim menyatakan tidak sah di mata hukum. Karuan saja Minke berontak.Ia merasa telah menikahi Annelies secara sah sesuai dengan hukum Islam. Maka ia menulis artikel di sebuah surat kabar bahwa mereka telah menghina dan menentang hukum Islam. Tulisan itu kemudian disebar ke seluruh kampung hingga dibaca oleh warga dan para pemuka agama.

Ketika Nyai Ontosoroh gagal mempertahankan hak asuh atas anaknya dan Minke gagal mempertahankan status pernikahannya dengan Annelies, maka pengadilan memutuskan perempuan itu harus dikirim ke Belanda.Masyarakat yang sudah dikondisikan oleh statemen-statemen Minke tentang pengadilan Belanda yang menghina hukum Islam, datang dengan amarah yang menggelegak Mereka mengepung rumah Nyai Ontosoroh untuk mencegah Belanda memasuki rumah itu.Namun mereka pun gagal mencegah Belanda mengambil Annelies.Annelies harus pergi meninggalkan Minke dan Nyai Ontosoroh.
“Kita kalah, Ma,” kata Minke pada mertuanya.

“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya,” jawab Nyai Ontosoroh.
Sebagaimana sering dikatakan Pram sendiri bahwa ia hanya menulis tentang nasionalisme. Tulisan-tulisannya ber-setting sejarah yang ia konstruksi sebagai pergulatan rakyat dan orang-orang kecil, bukan sejarah sebagai narasi besar yang melulu bercerita tentang orang-orang hebat, pahlawan; dan sejarah yang dikonstruksi secara politik untuk mendukung rezim tertentu.

Berbagai pujian kepada Pram bertebaran di media internasional menyusul terbitnya tetralogi Bumi Manusia dalam berbagai bahasa:

“Pramoedya Ananta Toer selain seorang pembangkang paling masyhur adalah juga Albert Camus-nya Indonesia. Kesamaan terdapat di segala tingkat, belum lagi kemampuannya mengkonfrontasikan berbagai masalah monumental dengan kenyataan kesehari-harian yang paling sederhana.” (The San Fransisco Chronicle)

“Pramoedya Ananta Toer adalah seorang master cemerlang dalam mengisahkan liku-liku emosi, watak dan aneka motivasi yang serba rumit.” (The New York Times)

“Penulis ini berada sejauh separoh dunia dari kita, namun seni-budaya dan rasa kemanusiaannya sedemikian anggunnya menyebabkan kita langsung merasa seakan sudah lama mengenalnya dan dia pun sudah mengenal kita sepanjang usia kita.” (USA Today)

“Pramoedya Ananta Toer, kandidat Asia paling utama untuk Hadiah Nobel.” (Time)

Demikian kutipan-kutipan yang dinukil dari cover belakang novel tersebut. Tetralogi Bumi Manusia telah mengantarkan Pram ke pentas internasional dimana dia disebut-sebut sebagai calon penerima Nobel Sastra. Dan dia satu-satu orang yang pernah dicalonkan untuk mendapat hadiah bergengsi itu. Namun sampai akhir hayatnya Hadiah Nobel itu tidak pernah ia terima. Dan tak pernah ada orang yang tahu persis apa sebabnya.

Kehebohan lainnya ialah saat sastrawan kelahiran Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 ini diberi Anugerah Magsaysay di bidang jurnalisme, sastra, dan seni komunikasi kreatif oleh Yayasan Ramon Magsaysay di Filipina pada 19 Juli 1995. Beberapa kalangan memperingatkan Yayasan Ramon Magsaysay untuk tidak melupakan apa yang telah dilakukan Pram di tahun 1960-an yakni membungkam kreativitas sastrawan dan seniman Manifes Kebudayaan yang bersebrangan secara ideologis dengan Lekra dimana Pram berada.

Penolakan atas hadiah untuk Pram ditandatangani nama-nama besar: Taufiq Ismail, HB Jassin, Mochtar Lubis, Asrul Sani, Rendra, Danarto, Mochtar Pabottingi, Rachmat Djoko Pradopo, Abdul Rachman Saleh, Ikranagara, Wiratmo Soekito, Rosihan Anwar, Bokor Hutasuhut, DS Moeljanto, Leon Agusta, Misbach Jusa Biran, Amak Baljun, Chairul Umam, Slamet Sukrinanto, Syu’bah Asa, SM Ardan, dan beberapa nama lain. Dua di antara mereka, HB Jassin dan Mochtar Lubis, juga pernah mendapat penghargaan Magsaysay di zaman Orde Lama.

Mochtar Lubis yang pernah dituduh Pram sebagai kaki-tangan imperialis mengancam akan mengembalikan hadiah yang pernah diterimanya jika Yayasan Magsaysay memberi hadiah serupa kepada Pram. Dan ia benar-benar membuktikan ucapannya itu ketika Yayasan tetap memberi hadiah kepada Pram. Mochtar Lubis merasa tidak pantas duduk bersanding dengan Pram. Kedua pengarang ini berada dalam pandangan politik yang berseberangan. Mochtar terlibat dengan organisasi-organisasi blok barat dengan simpati Amerika, sementara Pramoedya mengembangkan sikap nasionalis radikal dan bergabung dengan Lekra.11)

Keberatan serupa ditulis oleh WS Rendra: “Di Indonesia, PKI dan Lekra mengganyang, menindas, meneror dan membantu pencekalan terhadap para penandatangan Manifes Kebudayaan dan para lawan politik mereka yang lain. Bahkan mereka melakukan pembakaran buku-buku yang dianggap anti revolusi. Dan selama itu terjadi, Pramoedya Anata Toer tidak berbuat apa-apa yang berarti membela para seniman dan cendekiawan yang tertindas, tercekal dan terbentur. Malahan ikut berpidato di auditorium Universitas Gadjah Mada dan menulis di surat kabar yang isinya mendukung aksi PKI dan Lekra itu. Waktu itu ia adalah anggota Lekra yang memimpin lembaga sastranya. Dan terhadap pembakaran buku yang terjadi ia juga tidak mengeluarkan suara protesnya. Inilah segi-segi ideologi dan praktek politik yang saya tentang dari Pramoedya Ananta Toer, seorang yang sebagai sastrawan tetap saya bela dan kegumi dari dulu sampai sekarang.”12)

Di tengah keriuhan kontroversi, muncul suara dari kalangan sastrawan/budayawan muda yang mendukung Pram menerima penghargaan Yayasan Magsaysay. Mereka menyampaikan statemen yang bertitel “Pernyataan Kaum Muda untuk Kebudayaan” yang ditandatangani antara lain oleh Ariel Heryanto, Arif Budiman, Acep Zamzam Noor, Isti Nugroho, Halim HD, Sitok Srengenge, Tommy F. Awuy, Wiji Thukul, Hilmar Farid, Mudji Sutrisno, dan beberapa nama lain. Salah satu poin pernyataan itu demikian: “Wacana kebudayaan Indonesia hingga kini belum beranjak dari pengobaran tema dan konflik lama yang bersemangat primordialistik. Masa depan membutuhkan kebudayaan yang demokratis, toleran, dan siap menerima yang lain. Oleh sebab itu, wacana pengembangan kebudayaan masa depan seyogyanya bersih dari konflik-konflik masa silam yang tidak relevan untuk masa kini.”

MAGSAYSAY

Bagaimana Pram menanggapi polemik itu?13) Tampaknya ia tidak mau ambil pusing. Ia tetap menerima penghargaan itu — yang diwakili oleh istrinya, Maimunah, karena ia sendiri dicekal ke luar negeri. Dan Yayasan Ramon Magsaysay menanggapai polemik itu dengan enteng. Dalam sebuah pernyataannya disebutkan: “Yayasan mengetahui Pramoedya sebagai anggota Lekra yang di tahun 1960-an menyerang pengarang-pengarang terkemuka. Dalam kondisi serang-menyerang itu memang ada pihak yang menderita. Tetapi, itu terjadi 30 tahun lalu, yang membuat kedua pihak menderita. Pramoedya sendiri dipenjara 14 tahun karena dituduh komunis, karyanya masih tidak diizinkan terbit di Indonesia, dan dia dilarang bepergian ke luar negeri.”

Perseteruan Pram dengan para sastawan Manifes Kebudayaan seperti menghidupkan kembali pertarungan ideologis di pentas seni pada masa Orde Lama. Pram dengan ideologinya yang didukung oleh partai yang paling dekat dengan kekuasaan tentu saja berada di atas angin. Namun musim berganti, kekuasaan roboh. Pram ditahan, dikucilkan, dan dirampas hak-haknya sebagai manusia. Ia menuliskan penderitaannya: “Saya menghabiskan hampir separuh usia saya di Pulau Buru dengan siksaan, penghinaan, dan penganiayaan. Keluarga saya mengalami penderitaan yang luar biasa… Rumah saya di Rawamangun Utara dirampas dan diduduki militer, sampai sekarang. Buku dan naskah karya-karya saya dibakar. Ketika dibebaskan 14 tahun lalu, saya menerima surat keterangan bahwa saya tidak terlibat G30S-PKI. Namun, setelah itu tidak ada tindakan apa-apa. Dalam buku saya Nyanyi Sunyi Seorang Bisu yang terbit pada 1990 juga terdapat daftar 40 tapol yang dibunuh Angkatan Darat. Tapi tidak pernah pula ada tindakan.”

Pernyataan itu diberi judul “Saya Bukan Nelson Mandela” yang ditulis Pram sebagai jawaban terhadap Goenawan Mohamad yang sebelumnya menulis “Surat Terbuka untuk Pramoedya Ananta Toer”. Keduanya dimuat dalam Tempo edisi April 2000. Walaupun bersikap “keras” terhadap Pram, Goenawan tetap mengagumi, bahkan sejak SMA, bahwa “Pram adalah seorang novelis dan penulis prosa yang memukau.” Sisi lain Pram baru diketahuinya ketika Pram memimpin lembar kebudayaan Lentera di harian pagi Bintang Timur dimana tulisan-tulisannya banyak menyerang dan menghantam siapa saja yang berbeda atau kontra-revolusi. “Adakah yang terasa pahit di sana adalah cerminan kegeraman eksistensial, atau suatu protes sosial: marah kepada hidup yang hanya kadang-kadang memberi momen yang ringkas untuk bahagia?” tulis Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir di Majalah Tempo edisi Agustus 1995, yang berjudul PRAM.

Sungguh tak mudah memotret sastrawan yang wafat pada 30 April 2006 di usia 81 tahun itu. Ia tegak dalam kontroversi, puja-puji dan kutukan, serta sikapnya yang tidak peduli karena “sudah kehilangan kepercayaan” dan “sudah terlampau pahit menjadi orang Indonesia”. Tapi esai ini ingin diakhiri dengan pengakuan bahwa Pram ialah —mengutip kata-kata Ben Anderson dalam Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia — “pengarang Indonesia terbesar” dan yang “mengagetkan dunia sastra” (A. Teeuw), bahkan juga para pejabat, sampai-sampai Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan surat edaran yang melarang semua lembaga di bawahnya membaca dan memiliki novel Bumi Manusia.

Catatan:

1). Dipublikasikan di harian Bintang Timur pada 22 April 1960, dikutip dari DS Moeljanto dan Taufiq Ismail, Prahara Budaya: Kilas-Balik Ofensif Lekra/PKI Dkk. (Jakarta: Mizan, 1995), hal. 67-71

2). Komunisme ialah marxisme sebagaimana ditafsirkan oleh Lenin (1870-1924). Lenin menambahkan ajaran tentang perebutan kekuasaan oleh Partai Komunis yang tidak ada dalam ajaran Karl Marx (1818-1883).

3). Tetralogi Bumi Manusia merupakan 4 novel terpisah dalam satu kesatuan cerita yang ditulis Pram di pulau Buru selama masa penahanan, yaitu, selain Bumi Manusia: Anak Semua Bangsa (1981), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988).

4). Pamela Allen, Membaca dan Membaca Lagi, Reinterpretasi Fiksi Indonesia 1980-1995, Terj. Bakdi Soemanto (Magelang: Indonesia Tera, 2004), hal. 32

5). Ady Asmara, Analisa Ringan Kemelut Roman Karya Pulau Buru Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer (Yogyakarta: CV Nur Cahaya, 1981).

6). Wawancara Wiratmo Sukito, dikutip dari Majalah TIRAS, 1 Juni 1995.

7). Dikutip dari Pamela Allen, Membaca, dan Membaca Lagi, hal. 57

8). Dikutip dari Ady Asmara, Analisa Ringan Kemelut Roman Karya Pulau Buru Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer, hal. 38

9). Dikutip dari Ady Asmara, ibid., hal. 46-47

10). George Lukacs, The Historical Novel (London: Merlin Press, 1962), p. 53

11). David T. Hill, Jurnalisme dan Politik di Indonesia: Biografi Kritis Mochtar Lubis (1922 – 2004) sebagai Pemimpin Redaksi dan Pengarang, terjemahan Warief Djajanto Basorie dan Hanna Rambe (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011), hal. 229

12). WS Rendra, “Hadiah Magsaysay dan Pramoedya”, Kompas, 14 Agustus 1995

13). Dokumen mengenai kontroversi ini bisa dibaca dalam AS Laksana, ed., Polemik Hadiah Magsaysay (Jakarta: ISAI dan Jaringan Kerja Budaya, 1997).