[Puisi] Ideologi dan Utopia

utopia

 

IDEOLOGI DAN UTOPIA

Setiap lelaki hidup dengan mimpi yang jatuh dari sebatang pohon. Mereka mengira itulah cinta paling agung yang disemaikan oleh semesta dan tumbuh di tubuh perempuan — dimana sungai-sungai mengalir deras, bukit-bukit berbaris, dan lahan perkebunan terbentang luas

Dunia adalah mimpi para lelaki dengan perempuan yang hanya terlihat bulu matanya di hutan cemara, dan betisnya yang menyala-nyala di cakrawala. Tapi itulah yang menggerakkan kaki-kaki mereka untuk berkelana membuka daerah-daerah baru pertanian, pertambangan, dan perdagangan.

Politik belum ada waktu itu, sehingga tidak ada ketentuan yang mengatur kapan matahari harus terbit, dan di mana harus terbenam. Satu-satunya simbol kehidupan ialah perempuan itu sendiri, karena tubuh mereka adalah bumi. Itu sebabnya para lelaki senang bertawaf mengelilingi bumi, mencari pintu masuk ke dalamnya melalui rahim perempuan.

Bangsa-bangsa baru didirikan belakangan, setelah kaum perempuan mau membuka rahim mereka dan melahirkan konstitusi. Pasal-pasal perang dan perdamaian ditulis dengan huruf-huruf tebal di mulut rahim. Agar para lelaki tahu di mana mereka harus mati, jika politik tidak mampu memberi cinta dan kebahagiaan.

 

Harris Hotel, Sentul, Bogor
23 Februari 2019
IG: ahmadgaus68

[Puisi] Elegi untuk Ibu Omi

 

omi1

ELEGI UNTUK IBU OMI *)

Suatu hari nanti kita akan sendiri
Duduk di sisi jendela
Di tepi pagi yang sunyi
Memandangi bunga-bunga di taman
Tumbuh, merekah, kemudian layu dan jatuh ke bumi
Menikmati kicau burung-burung di halaman
Sebelum mereka terbang satu persatu menuju cakrawala

Seperti itu pula orang-orang yang kita cintai
Keluarga, sahabat, handai taulan
Satu demi satu mereka pergi meninggalkan kita
Sebagian telah berpulang menuju keabadian
Sebagian lagi masih menunggu antrian
Di simpang jalan kehidupan

Mereka yang pergi bukan tidak mencintai kita
Tapi masing-masing punya dunia sendiri
Dunia yang tidak bisa kita kunjungi sekalipun hanya dalam mimpi (begitu kata penyair Libanon-Amerika, Khalil Gibran, dalam puisi “On Children”)
Dunia yang dibangun untuk masa depan mereka yang lebih baik
Agar kelak, mereka pun dapat menikmati hidup bahagia seperti kita
Duduk dekat jendela
Ditemani secangkir teh di sore hari yang sunyi

Kesunyian bukanlah tragedi
Seperti ranting tua yang jatuh ke jalan
Dilindas roda kendaraan
Bukan!

Kesunyian itu seperti tsunami yang berdiam di dalam botol
Menunggu tangan-tangan malaikat menumpahkannya di kanvas kehidupan
Dari kesunyian lahir bayi-bayi mungil bernama kearifan, kebijakan, dan peradaban

Kesunyian adalah sahabat lama yang kita nantikan
Sebab dialah yang akan menemani kita
Mengumpulkan serpihan jiwa yang berserakan
Di sepanjang perjalanan

Kesunyian menguji kesabaran kita hingga batas terjauh
Untuk menghubungkan dua dunia
Yang fana dan yang baqa

Kesunyian bukanlah alasan untuk merasa sunyi
Sebab seluruh semesta ini, kata penyair sufi Jalaluddin Rumi, ada di dalam diri
Mengapa kita harus merasa sunyi

Suatu hari nanti kita akan sendiri
Duduk di tepi jendela, di ujung senja yang sunyi
Tapi kita semua membutuhkan kesunyian
Sebab pada dasarnya kita memang harus belajar mempersiapkan diri
Menuju kesunyian yang abadi.

PIM 3 Jakarta, 26/01/2019

*) Ibu Omi Komaria Madjid adalah istri almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur), cendekiawan, guru bangsa, dan pemimpin besar revolusi pemikiran yang pernah dimiliki bangsa ini.

Note:
Puisi ini dibacakan di acara pertemuan Caknurian II dan tasyakuran ulang tahun ke-70 Ibu Omi Madjid di Pondok Indah Mal 3, Jakarta. Terima kasih kepada Prof Komaruddin Hidayat sebagai host acara, dan Kiai Ulil Abshar Abdalla yang menginspirasi lahirnya puisi ini. Terima kasih juga untuk teman-teman yang hadir di acara ini. Ingatlah: Semua akan berpuisi pada waktunya. 😂

omi2

omi3

 

 

 

 

Sarah Mae

dark

SARAH MAE

Sarah Mae sudah pergi dari rumah ini sejak kemarin lusa. Ia hanya berpamitan pada daun pintu yang selalu terbuka — walaupun tidak pernah tahu siapa yang ditunggu; dan pada seekor burung piaran yang tidak berhenti bernyanyi karena selalu kesepian. Tidak ada yang tahu mengapa Sarah pergi, dan ke mana. Jejak kakinya pun hanya mengantar dia sampai halaman.

Tapi memang, rumah yang ditinggali Sarah akhir-akhir ini sudah hampir meleleh karena hawa panas dari tubuh para penghuninya. Setiap hari ada saja suara jeritan dari alat -alat rumah tangga yang dilemparkan ke muka orang. Dan sebenarnya rumah ini pun sudah penuh, tapi para penghuninya masih saja mengajak orang lain untuk masuk.

Sarah tidak bisa tinggal di rumah yang membayangkan dirinya taman surga, tapi setiap hari disirami air kencing. Ia marah ketika ruang perpustakaannya difungsikan sebagai toilet; buku-buku koleksinya dipakai untuk melempar anjing — hanya karena anjing itu mengajari mereka cara hidup bertetangga.

Orang-orang di rumah ini memang lebih sering kesurupan daripada membaca. Lebih suka berteriak-teriak daripada berusaha mencari akalnya yang hilang.

Sarah Mae pergi karena tidak tahan melihat rumahnya terus-menerus dirusak oleh para penghuninya sendiri. Besok atau lusa mungkin orang-orang akan menyusulnya.

[[[[[[ ** ]]]]]]

Saya buatkan versi pendek dari puisi di atas dalam format poster mini supaya mudah dikopi dan disebarluaskan.

Sarah Mae

Baca juga: Cerita Natal Seorang Gadis Kecil

Puisi di atas dimuat dalam buku SENJA DI JAKARTA (Ahmad Gaus, 2017)

[Puisi] MATA IBU

ibu-01

Mata Ibu

Dari apakah Tuhan menciptakan mata ibu
Begitu luas hingga mampu menampung isi semesta
Tempat matahari beredar
Dan bulan yang selalu purnama
Bintang-bintang bertaburan di sana

Di dalam mata ibu ada lautan
Tempat aku berlayar menuju pulau tujuan
Kota-kota yang pernah aku kunjungi
Ada di dalamnya

Setiapkali kutatap mata ibu
Aku menemukan potret diriku
Dari bayi hingga tumbuh dewasa
Aku tetaplah kanak-kanak di matanya

Mata ibu tidak pernah terpejam
Walaupun sedang tertidur ia tahu
Ke mana aku berjalan

Mata ibu terbit sebelum fajar
Dan tidak pernah terbenam
Sepanjang siang
Sepanjang malam

Mata ibu lebih terang dari matahari
Karena mata ibu tidak menciptakan bayangan
Sehingga aku tidak bisa bersembunyi dari pandangannya

Mata ibu lebih tajam dari mata pedang
Setiap kali menatapku
Aku tersungkur dengan darah bercucuran
Dan luka-luka yang tak ingin kusembuhkan

Kelak bila tiba masanya 
Aku ingin mati dalam tatapan matanya

Gedung Film, 14/01/19

[Puisi] “Meninggalkan Tubuh”

ruh

 

 

Pembacaan Puisi oleh Ira Diana (penyair, novelis)

MENINGGALKAN TUBUH
  — puisi ahmad gaus

Aku berjalan ke timur

Bertanya pada semua yang kutemui

Benarkah jalan yang kutuju

           untuk mencari diriku

Semua membisu, tidak  ada yang tahu

Dalam terang cahaya, aku seperti buta

Dalam terik siang, yang kutemukan

                      hanya bayang-bayang

Aku berjalan ke barat dengan tergesa

Saat matahari masih menyala

Kutemukan semua keindahan

                                 panorama senja

Tapi sayang,  yang kucari  tidak ada

Aku berjalan ke setiap penjuru angin

Tapi perjalananku hanya melelahkan batin

Sedang  tujuan yang ingin kucapai

                                      makin tak tergapai

Orang yang kucari, tak juga

                                      menampakkan diri

Seseorang mengetuk pintu malamku

dan berkata; bagaimana engkau akan

                                 menjumpai Tuhanmu

sedangkan menuju dirimu sendiri saja

engkau tak pernah sampai

Perjalananmu berat karena engkau

                                    membawa tubuhmu

Berpuasalah, tinggalkanlah tubuhmu

Hanya dengan berada di luar tubuh

engkau akan menemukan dirimu

Menjumpai Tuhanmu

 

Dimuat dalam buku puisi Ahmad Gaus, Senja di Jakarta (2017)

Mekah

 

 

 

Follow my IG: @gauspoem and get interesting prizes every weekend

[Poem] December Rain

 

HUJAN BULAN DESEMBER

Kalau tidak ada aral melintang, nanti sore aku akan menemuimu
Untuk menyatakan cinta
Bukankah kau telah menunggu masa itu
Dalam kesunyian ratusan tahun bunga mawar
Maka berdirilah di pintu masa kanak-kanakmu
Sambut aku dengan mata coklatmu
Atau tikam aku dengan nyanyian masa lalu
Yang kau tirukan dari suara burung hantu

Masa lalu berjalan seperti awan yang bersembunyi di ranting malam
Sekali waktu menyusup ke balik gaunmu dan membuat aku cemburu
Mengalun lirih seperti suara gerimis diterpa angin petang
Tapi tiba-tiba engkau menangis ketika gerimis menjelma 
Hujan lebat yang mengoyak-ngoyak rambutmu

Bulan Desember memang bukan saat yang tepat untuk menyatakan cinta
Sebab angin bulan ini terlalu kencang
Menerbangkan atap gedung dan merobohkan pohon angsana
Apatah lagi cuma sekuntum bunga mawar di tanganku
Sekali hentak saja cintaku bisa hancur berkeping-keping

Harusnya memang aku bersabar menunggu bulan Juni 
Ketika rintik hujan turun begitu pelan dan pedih
Seperti dilukiskan dalam puisi Hujan Bulan Juni oleh penyair Sapardi Djoko Damono
Kerinduan dibiarkan menjadi rahasia alam yang tak pernah terucapkan
Kerinduan begitu arif, begitu bijak

Tapi aku tidak akan setabah hujan bulan Juni
Bahkan diam-diam aku berharap hujan turun lebih deras dari biasanya
Supaya ada alasan untuk tidak menyatakan cinta
Yang kutunggu hanyalah waktu yang tepat
Untuk menyelipkan cinta pada pita rambut kanak-kanakmu
Agar dengan begitu engkau tetap abadi dalam waktu.

Jakarta, 13/12/2018
IG: gauspoem

[Poem] A Letter from dusk to morn

 

lake

 

A Letter from dusk to morn

If you arrive at the hill this afternoon

I most likely have already left.

But …

on the lips of the horizon

not far from the first place where we met

there is a lake

I will be waiting for you there.

————-

IG : ahmadgaus68

SENJA DI JAKARTA

Pembacaan puisi  SENJA DI JAKARTA oleh Abdullah Sajad. Silakan dinikmati sambil nyeruput kopi dan membayangkan seorang kekasih duduk di sampingmu 🙂

 

SENJA DI JAKARTA

tubuhku berulang kali menjadi dinding, kekasihku

menahan rasa sakit dan gemuruh angin yang dikirim

dari gedung-gedung yang selalu berisik

di jantung kota

kisah-kisah konspirasi menjerat mimpiku

di kursi-kursi tua yang lelah menunggumu

untuk menghapus peluh dari tanganku

yang tidak berhenti berderak

di sudut kota matahari sore menerobos

jendela apartemen yang tidak pernah dibuka

burung gereja menyanyikan mars perjuangan

awan hitam berbaris seperti pasukan demonstran

yang marah, ingin merubuhkan pagar istana

intrik, makar, konspirasi, apalagi

semua huru-hara ini, kekasihku,

masih akan berlangsung

memekakan telingaku yang sudah rata

dengan jalanan

pandanganku yang selalu nanar

kehilangan taman bunga

duduklah, aku ingin menikmati lagi

bibir senja, rambutmu yang berkilau langit sutra

matamu yang bening bagai air telaga

aku ingin mereguk lagi segelas teh

dan ciuman hangat

sebelum senja berlalu

memetik bunga mawar di kelopak matamu

Jakarta, 26 Juli 2017

Senja di Jakarta

SDD

Bersama sastrawan senior Indonesia, Sapardi Djoko Damono (SDD), usai seminar sastra Melayu di Selangor, Malaysia, Desember 2017

*************

Novel terbaru saya, Hujan dalam Pelukan, dapat dibaca di platform NovelMe, ini link-nya: https://h5.novelme.com/bookinfo/22983

Selamat menikmati, jangan lupa kasih star vote dan subscribe ya, terima kasih

 [warning: only for adult]

[Poem] NOCTURNO

scrib
Sumber ilustrasi: https://www.pikview.com/media/BnSc5oCBfBA

 

NOCTURNO

My body is a book — full of scribbles
my friends write down all the events there
with pencils, river water, gadgets, coffee shops
social media, cinemas, and many more
I don’t even have a slit to write my life story on my own body
but yea, never mind
after all, people won’t care
except what they want to write on my body
once upon a time I just followed a bird’s invitation
fly and sing at the top of the tree
here is more free, he said
from a distance I get goose bumps watching my body
get blackened full of scribbles.

My body is a book — full of scribbles
my friends write down all the events there
with pencils, river water, gadgets, coffee shops
social media, cinemas, and many more
I don’t even have a slit to write my life story on my own body
but yea, never mind
after all, people won’t care
except what they want to write on my body
once upon a time I just followed a bird’s calling
to fly and sing at the top of the tree
here is more free, he said
away from a distance I get goose bump watching my body
get filled full of scribbles.

— a poem by ahmad gaus

 

Homo Homini Lupus

homo_homini_lupus_by_lordofwrappedarrow-d49suym
Sumber ilustrasi: https://www.deviantart.com/lordofwrappedarrow/art/Homo-Homini-Lupus-258327742

HOMO HOMINI LUPUS

Di antara terang dan gelap ada dinding yang tak terlihat. Semacam kaca atau, katakanlah, spektrum yang memisahkan keasingan. Ia berpindah-pindah tempat dari mata ke ruang tahanan, dari hidung ke gudang senjata, dari telinga ke medan pertempuran. Maka pancaindra selalu dihantui mimpi buruk.

Suatu malam, saat kau berada di dalam barisan untuk memerangi manusia, sekumpulan makhluk mengintai dari dinding itu. Mula-mula ada suara gaduh. Kemudian pecahan kaca. Lalu darah berceceran.

Orang-orang dalam barisan itu memunguti pecahan-pecahan kaca yang berserakan dan memakannya. Doa-doa dilantunkan setengah berteriak. Semakin lama semakin banyak orang yang datang. Makhluk-makhluk itu mendekat dan mencekik leher mereka hingga doa-doa yang mereka teriakkan berhamburan menjelma binatang buas. Dalam sekejap saja, ruang di antara terang dan gelap itu berubah menjadi medan perang.

Malam melambaikan tangan dengan cakar-cakarnya yang tajam. Engkau tak sabar menunggu pagi untuk memastikan bahwa yang tergeletak di jalan itu bukan tubuhmu.

22/07/17


N O V E L

“Di dunia ini ada kekuatan hitam, ada kekuatan putih. Kamu pilih yang mana untuk membantu mewujudkan impian-impianmu? Tapi ingat, setiap pilihan akan membawa akibat pada kehidupanmu.”

Kisah pertempuran abadi dua kekuatan yang diwakili oleh dua karakter perempuan muda, baca di sini: https://h5.novelme.com/bookinfo/18126

[Puisi] PERSEKUSI

persecution

PERSEKUSI

Batu-batu yang jatuh dari langit berlarian di tubuhku seperti kawanan serigala. Taring-taringnya mengancamku di balik cermin; dan matanya mengirimkan dendam. Mereka tidak peduli mulutku sudah lama terkunci, tak bisa lagi menjadi pengeras suara yang melontarkan lolongan mereka ke angkasa. Terus saja mereka melolong sepanjang malam.

Dan aku benar-benar tak bisa tidur, sebab suara-suara itu sangat mengganggu, seperti jeritan orang-orang di ruang penyiksaan. Akhirnya kuputuskan untuk masuk lebih jauh lagi — ke jantungku, urat-urat sarafku, pembuluh-pembuluh darahku…

Rupanya inilah negeri masa kanak-kanakku; negeri elok nan damai. Tapi huru-hara itu datang seperti hujan batu yang ditimpakan dari langit dan merenggut semuanya: keluarga, sanak-saudara, sahabat, handai taulan. Gedung-gedung yang megah dan taman-taman yang indah, terkubur batu.

Sudut-sudut kota dijaga kawanan serigala dengan sorot mata penuh dendam. Mereka akan mengejar siapa saja yang menghina pemimpin serigala, mencabik-cabik tubuhnya, dan melemparkannya ke neraka.

03/06/17

 

[Puisi] Menjaring Bayang-Bayang

Bogor4

MENJARING BAYANG-BAYANG

Aku dan bayang-bayangku adalah satu kesatuan
Ke timur atau ke barat, ke utara atau ke selatan
Kami selalu pergi bersama-sama
Tidak ada yang bisa memisahkan kami kecuali kegelapan

Di dalam gelap aku tidak pernah bertanya ke mana bayang-bayangku pergi
Dan dia tidak pernah peduli apa yang aku lakukan

Aku membutuhkan bayang-bayangku
Karena dia memberitahu aku tentang cahaya
Tapi aku juga takut dengan bayang-bayangku sendiri
Karena dia menjelmakan sisi yang paling gelap dari diriku

Aku dan bayang-bayang tidak pernah saling mengejar
Karena kami memahami posisi masing-masing
Kadang dia ada di belakang mengikutiku
Kadang dia di depan dan aku yang mengikutinya

Bayang-bayang selalu melekat padaku
Tapi aku tidak memilikinya
Dia adalah milik cahaya
Bahkan aku tidak mengenalinya
Hanya kegelapan yang mengenalinya dengan baik
Karena dia adalah anak kandung kegelapan

Cahaya dan kegelapan bersaing menjaring bayang-bayangku
Hasilnya adalah gambaran diriku dalam satu dimensi… gelap dan tidak utuh!
Itulah sebabnya aku tidak percaya pada bayang-bayangku sendiri
Walaupun aku tahu dia akan terus bersamaku
Sampai nanti aku mati

Catatan:
Puisi dibacakan dalam workshop Lembaga Sensor Film (LSF) “Menjaring Bayang-Bayang Zaman Now” di Ibis Styles, Bogor, 1 September 2018

Bogor1
Bersama Hasanuddin Ali (di samping kiri saya), penulis buku “Millennial Nusantara” yang menjadi salah satu narasumber dalam workshop LSF “Menjaring Bayang-Bayang Zaman Now”.

Bogor5
Bersama teman-teman LSF. Ketua LSF, Dr. Ahmad Yani Basuki duduk di tengah (berjaket hitam)